Kisah Al-Kahfi 35: Pelajaran Berharga dari Pemilik Dua Kebun

Sebuah Renungan Mendalam tentang Kekayaan, Kesombongan, dan Kekuasaan Ilahi

Pendahuluan: Surah Al-Kahfi dan Hikmahnya

Surah Al-Kahfi, surah ke-18 dalam Al-Qur'an, adalah salah satu surah yang memiliki keutamaan dan hikmah yang luar biasa. Rasulullah ﷺ menganjurkan umatnya untuk membacanya setiap hari Jumat, mengingat kandungan pelajaran penting yang terdapat di dalamnya. Surah ini secara garis besar memuat empat kisah utama yang menjadi ujian bagi keimanan manusia: kisah Ashabul Kahfi (pemuda gua) sebagai ujian iman, kisah pemilik dua kebun sebagai ujian harta, kisah Nabi Musa dan Khidr sebagai ujian ilmu, dan kisah Dzulqarnain sebagai ujian kekuasaan. Masing-masing kisah ini saling melengkapi, memberikan gambaran komprehensif tentang tantangan hidup di dunia dan bagaimana seorang Muslim harus menyikapinya dengan keimanan, kesabaran, dan tawakal kepada Allah SWT.

Dalam tulisan ini, kita akan menyelami salah satu dari empat pilar utama surah ini, yaitu kisah pemilik dua kebun, dengan fokus mendalam pada ayat ke-35. Ayat ini menjadi titik sentral yang menggambarkan puncak kesombongan dan keangkuhan seorang manusia yang terlena oleh kekayaannya. Melalui kisah ini, Al-Qur'an tidak hanya menceritakan sebuah narasi masa lalu, tetapi juga memberikan cerminan tajam bagi kondisi manusia di setiap zaman, khususnya di era modern yang sangat didominasi oleh materialisme dan perlombaan akumulasi harta benda.

Kisah ini mengajarkan bahwa kekayaan, betapapun melimpahnya, hanyalah titipan sementara. Keindahan duniawi, kemewahan harta benda, dan keagungan pangkat sejatinya adalah ujian. Cara seseorang menyikapi nikmat tersebutlah yang akan menentukan nasibnya di hadapan Allah SWT. Apakah ia bersyukur, menggunakan hartanya di jalan kebaikan, dan senantiasa mengingat akhirat? Atau justru ia terbuai, sombong, kufur nikmat, dan melupakan Sang Pemberi Rezeki? Ayat 35 Surah Al-Kahfi adalah peringatan keras bagi mereka yang jatuh ke dalam lubang kesombongan karena harta, mengingatkan akan kerapuhan dan sifat fana dari segala yang ada di dunia ini.

Kondisi Kebun: Subur dan Hancur Kebun Makmur Kebun Hancur

Ilustrasi kontras antara kebun yang subur dan kebun yang telah hancur, menggambarkan siklus kekayaan duniawi.

Konteks Kisah Dua Pemilik Kebun dalam Surah Al-Kahfi

Kisah dua pemilik kebun ini dimulai dari ayat 32 hingga ayat 44. Ini adalah narasi tentang dua orang laki-laki, yang satu diberi oleh Allah karunia dua kebun anggur yang subur, dikelilingi oleh pohon kurma, dan di tengah-tengahnya mengalir sungai. Sementara yang lain adalah seorang mukmin yang miskin tetapi senantiasa bersyukur dan bertawakal kepada Allah. Kisah ini diceritakan sebagai bagian dari jawaban atas pertanyaan orang-orang musyrik Mekah yang diajukan kepada Nabi Muhammad ﷺ, tentang apakah kekayaan dan kemewahan yang mereka miliki menjadi bukti kebenaran agama mereka atau keridhaan Allah terhadap mereka.

Pada masa Nabi Muhammad ﷺ, kaum musyrikin Mekah, khususnya para pemuka Quraisy, seringkali membanggakan kekayaan dan kedudukan mereka sebagai tanda keunggulan. Mereka memandang rendah orang-orang miskin dan para budak yang telah memeluk Islam. Mereka beranggapan bahwa jika agama Nabi Muhammad ﷺ adalah benar, mengapa pengikutnya justru orang-orang lemah dan miskin, sementara mereka yang kaya dan berkuasa tetap menolak Islam? Kisah ini datang sebagai penegasan bahwa kekayaan dan status sosial di dunia bukanlah ukuran kemuliaan sejati di sisi Allah. Sebaliknya, ujian yang sebenarnya adalah bagaimana seseorang menyikapi nikmat tersebut: apakah ia bersyukur atau kufur.

Salah satu tujuan utama kisah ini adalah untuk menumbuhkan sifat rendah hati dan bersyukur bagi orang-orang yang kaya, serta untuk memberikan motivasi dan kesabaran bagi orang-orang yang kurang berharta. Allah ingin menunjukkan bahwa segala sesuatu di dunia ini adalah fana dan dapat lenyap dalam sekejap mata. Kekuasaan sejati, keberkahan abadi, dan kemuliaan hakiki hanya milik Allah SWT.

Analisis Ayat 32-34: Gambaran Kemakmuran yang Menipu

Sebelum kita sampai pada puncak kesombongan di ayat 35, penting untuk memahami latar belakang kemakmuran yang dimiliki oleh salah satu dari dua pria tersebut. Ayat 32-34 menggambarkan keindahan dan kesuburan kebun-kebunnya:

"Dan berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang laki-laki, Kami jadikan bagi seorang di antara keduanya (yang kafir) dua buah kebun anggur dan Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon kurma dan di antara kedua kebun itu Kami buatkan ladang. Kedua kebun itu menghasilkan buahnya dan tidak berkurang sedikit pun (hasilnya) dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu. Dan dia mempunyai kekayaan besar. Maka ia berkata kepada kawannya (yang mukmin) ketika bercakap-cakap dengan dia: “Hartaku lebih banyak dari hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat.” (QS. Al-Kahfi: 32-34)

Ayat-ayat ini melukiskan gambaran kemakmuran yang sempurna: dua kebun anggur yang rimbun, dikelilingi pohon kurma yang rindang, ladang pertanian di antaranya, serta sungai-sungai yang mengalir deras, menjamin irigasi yang stabil. Ini adalah gambaran kekayaan yang luar biasa di jazirah Arab yang kering. Allah menyebutkan bahwa kebun-kebun itu "menghasilkan buahnya dan tidak berkurang sedikit pun (hasilnya)," menunjukkan keberkahan yang tak henti-henti, rezeki yang berlimpah ruah, dan keberlangsungan panen yang tidak terputus. Ini semua adalah karunia dari Allah.

Pria tersebut tidak hanya kaya harta, tetapi juga memiliki "pengikut-pengikut yang lebih kuat" (أَعَزُّ نَفَرًا). Ini bisa diartikan sebagai keluarga besar, anak-anak, atau bahkan pekerja dan pendukung yang banyak, yang pada masa itu merupakan simbol kekuatan dan pengaruh sosial. Dengan demikian, pria ini tidak hanya memiliki kekayaan materi yang melimpah ruah, tetapi juga status sosial yang tinggi dan dukungan yang kuat.

Namun, semua kemakmuran ini, yang seharusnya menjadi alasan untuk bersyukur dan mengakui kebesaran Allah, justru menjadi bumerang bagi pemiliknya. Ia melihat semua itu sebagai hasil usahanya semata, atau keberuntungan yang mutlak miliknya, tanpa mengaitkannya dengan kehendak dan karunia Ilahi. Inilah akar dari kesombongan yang akan kita temukan puncaknya di ayat berikutnya.

Ayat 35: Puncak Kesombongan dan Kufur Nikmat

Setelah menggambarkan kemegahan kebun dan kekayaan sang pemilik, Al-Qur'an kemudian menampilkan dialog antara pemilik kebun yang sombong itu dengan temannya yang mukmin. Ayat 35 ini menjadi inti dari pelajaran tentang kesombongan dan kekufuran:

وَكَانَ لَهُ ثَمَرٌ فَقَالَ لِصَاحِبِهِ وَهُوَ يُحَاوِرُهُ أَنَا أَكْثَرُ مِنكَ مَالًا وَأَعَزُّ نَفَرًا

"Dan dia mempunyai kekayaan besar. Maka ia berkata kepada kawannya (yang mukmin) ketika bercakap-cakap dengan dia: “Hartaku lebih banyak dari hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat.” (QS. Al-Kahfi: 35)

Terjemahan ayat ini, meskipun singkat, mengandung kedalaman makna dan pelajaran yang luar biasa. Mari kita bedah setiap frasa untuk memahami esensinya:

"وَكَانَ لَهُ ثَمَرٌ" (Wa kana lahu tsamarun - Dan dia mempunyai kekayaan besar)

Frasa ini mengulang penekanan pada "kekayaan besar" atau "buah-buahan yang melimpah". Ini bukan sekadar deskripsi, melainkan pengantar untuk menunjukkan bahwa kekayaan ini, alih-alih membuatnya bersyukur, justru menjadi penyebab kesombongannya. Kata "tsamar" (buah/hasil) bisa merujuk pada hasil kebunnya yang melimpah, atau secara metaforis berarti segala bentuk kekayaan yang ia miliki. Poinnya adalah, ia memiliki begitu banyak hingga ia mulai menggunakannya sebagai tolok ukur keunggulan dirinya.

"فَقَالَ لِصَاحِبِهِ وَهُوَ يُحَاوِرُهُ" (Fa qala li saahibihi wa huwa yuhaawiruhu - Maka ia berkata kepada kawannya ketika bercakap-cakap dengan dia)

Kata "yuhaawiruhu" (bercakap-cakap/berdiskusi) menunjukkan bahwa ini adalah sebuah percakapan, bukan sekadar monolog. Ini berarti temannya itu hadir dan mendengarkan. Sang pemilik kebun memilih momen percakapan ini untuk menyampaikan keangkuhannya, mungkin dengan tujuan merendahkan temannya atau untuk membenarkan pandangannya sendiri tentang keunggulan duniawi. Ini menunjukkan bahwa kesombongan tidak hanya disimpan di dalam hati, tetapi juga diungkapkan secara lisan, seringkali dengan maksud menyakiti atau mendominasi orang lain.

"أَنَا أَكْثَرُ مِنكَ مَالًا" (Ana aktsaru minka malan - Aku lebih banyak hartanya darimu)

Ini adalah inti dari kesombongan materialistik. Ia secara eksplisit membandingkan dirinya dengan temannya dan menyatakan keunggulannya dalam hal harta. Ini adalah mentalitas yang mengukur nilai seseorang berdasarkan jumlah aset materi yang dimilikinya. Dalam pandangan orang ini, harta adalah segalanya, dan kepemilikan harta yang lebih banyak berarti superioritas. Ia lupa bahwa harta adalah pinjaman dari Allah, dan perbandingan sejati adalah ketakwaan serta amal shaleh.

Pernyataan ini menunjukkan betapa dangkalnya pemikiran orang yang sombong. Ia tidak melihat hikmah di balik perbedaan rezeki, ia juga tidak merenungkan sumber sejati dari kekayaan tersebut. Fokusnya hanya pada "aku," "milikku," dan "lebih banyak darimu," yang merupakan ciri khas egoisme dan keangkuhan.

"وَأَعَزُّ نَفَرًا" (Wa a'azzu nafaran - Dan pengikut-pengikutku lebih kuat)

Tidak cukup hanya membanggakan harta, ia juga membanggakan kekuatan dan jumlah "nafaran" (orang-orang, pengikut, keluarga, atau keturunan). Pada masa itu, jumlah anak laki-laki dan kerabat yang kuat seringkali dikaitkan dengan kekuasaan, pengaruh, dan keamanan. Ini menunjukkan bahwa keangkuhannya tidak hanya terbatas pada harta benda, tetapi juga meluas ke kekuasaan sosial dan dukungan komunitas.

Pernyataan ini melengkapi gambaran kesombongan holistik. Ia merasa unggul dalam segala aspek duniawi yang dianggap penting: materi dan kekuatan sosial. Baginya, semua ini adalah bukti keunggulan dirinya, mungkin bahkan bukti bahwa ia lebih "benar" atau lebih diridhai oleh Tuhan, padahal ini adalah ujian semata.

Analisis Lebih Lanjut: Psikologi Kesombongan

Ayat 35 ini mengungkap psikologi kesombongan yang seringkali muncul karena terlena dengan nikmat duniawi:

  1. Perbandingan Negatif: Orang yang sombong cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain, bukan untuk bersyukur atas nikmat yang didapat, melainkan untuk menegaskan superioritasnya. Perbandingan ini seringkali bersifat materialistik dan merendahkan orang lain.
  2. Klaim Kepemilikan Mutlak: Ia mengatakan "hartaku" seolah-olah harta itu adalah miliknya sendiri secara mutlak, bukan titipan atau karunia dari Allah. Ini menunjukkan lupa akan hakikat kepemilikan sejati.
  3. Lupa Asal-Usul Nikmat: Dalam keangkuhannya, ia melupakan bahwa segala yang ia miliki adalah pemberian dari Allah. Ia tidak melihat Allah sebagai sumber rezeki, melainkan menganggapnya sebagai hasil jerih payahnya atau kepintarannya semata.
  4. Ketidakpedulian terhadap Akhirat: Meskipun tidak disebutkan secara langsung di ayat 35, kesombongan harta seringkali beriringan dengan melupakan akhirat. Ketika seseorang terlalu fokus pada keuntungan duniawi, ia akan cenderung mengabaikan pertanggungjawaban di hari perhitungan.
  5. Bahaya 'Ujub (Merasa Hebat): Kesombongan ini berawal dari 'ujub, yaitu merasa bangga diri dan mengagumi pencapaiannya sendiri. Dari 'ujub inilah kemudian berkembang menjadi takabur (sombong) yang ditujukan kepada orang lain dan bahkan kepada Allah.
Kekayaan dan Kesombongan Kekayaan Duniawi vs. Kekosongan Spiritual

Representasi timbangan yang menunjukkan fokus berlebihan pada kekayaan materi, mengabaikan aspek spiritual.

Nasihat Sahabat yang Beriman (Ayat 36-39)

Setelah mendengar celotehan sombong temannya, sahabat yang beriman itu tidak tinggal diam. Ia mencoba menyadarkan temannya dengan nasihat yang bijak, mengingatkannya akan kebesaran Allah dan kerapuhan dunia. Meskipun tidak dijelaskan secara rinci di sini, ia mencoba mengarahkan pandangan temannya dari kebanggaan diri kepada kerendahan hati dan ketakwaan.

"Dan aku tidak mengira kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebun-kebun itu." (QS. Al-Kahfi: 36)
"Kawannya (yang mukmin) berkata kepadanya ketika dia bercakap-cakap dengannya, 'Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna?'" (QS. Al-Kahfi: 37)
"Tetapi aku (percaya bahwa) Dialah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan seorang pun dengan Tuhanku." (QS. Al-Kahfi: 38)
"Mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu, 'Mā shā’a Allāh, lā quwwata illā billāh (Sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan [pertolongan] Allah). Sekiranya kamu menganggap aku lebih sedikit daripada kamu dalam hal harta dan keturunan." (QS. Al-Kahfi: 39)

Nasihat sahabat itu sangat mendalam. Ia tidak hanya membantah klaim temannya, tetapi juga mengingatkannya pada asal-usul penciptaan manusia dari tanah dan setetes mani, menekankan kehinaan manusia di hadapan Sang Pencipta. Ini adalah pukulan telak terhadap kesombongan yang melupakan hakikat diri dan Tuhannya. Sahabat itu juga mengingatkan pentingnya mengucapkan "Mā shā’a Allāh, lā quwwata illā billāh" (Apa yang dikehendaki Allah, maka terjadilah; tiada daya dan kekuatan melainkan dengan pertolongan Allah) saat melihat nikmat, sebagai bentuk pengakuan bahwa semua itu berasal dari Allah dan hanya dengan kekuatan-Nya nikmat itu dapat bertahan.

Kehancuran Kebun dan Penyesalan (Ayat 40-44)

Kisah ini mencapai klimaks dengan kehancuran kebun-kebun yang menjadi sumber kesombongan itu. Ini adalah teguran keras dari Allah SWT, sebuah pelajaran yang sangat nyata tentang kefanaan dunia.

"Maka mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku kebun yang lebih baik dari kebunmu (ini); dan mudah-mudahan Dia mengirimkan kepadanya (kebunmu) badai dari langit, hingga (kebun itu) menjadi tanah yang licin." (QS. Al-Kahfi: 40)
"Atau airnya menjadi kering, sehingga kamu tidak dapat menemukannya lagi." (QS. Al-Kahfi: 41)
"Dan hartanya dibinasakan; lalu ia membolak-balikkan kedua telapak tangannya (tanda menyesal) terhadap apa yang telah ia belanjakan untuk itu, dan ia berkata: "Aduhai kiranya dulu aku tidak mempersekutukan seorang pun dengan Tuhanku." (QS. Al-Kahfi: 42)
"Dan tidak ada bagi dia segolongan pun yang akan menolongnya selain Allah; dan sekali-kali ia tidak akan dapat menolong dirinya." (QS. Al-Kahfi: 43)
"Di sana pertolongan itu hanya dari Allah Yang Hak. Dia adalah sebaik-baik Pemberi pahala dan sebaik-baik Pemberi balasan." (QS. Al-Kahfi: 44)

Doa atau peringatan dari sahabat yang mukmin itu ternyata menjadi kenyataan. Kebun yang menjadi kebanggaan sang pemilik hancur lebur, mungkin karena badai, atau airnya mengering. Ia kemudian menyesali perbuatannya, membolak-balikkan telapak tangannya sebagai tanda penyesalan mendalam. Penyesalan ini datang terlambat, setelah semua nikmat diambil kembali. Ia menyadari bahwa harta dan pengikut yang pernah ia banggakan tidak dapat menolongnya sedikitpun dari ketetapan Allah.

Ayat 43 dan 44 adalah penutup yang kuat: "Tidak ada bagi dia segolongan pun yang akan menolongnya selain Allah; dan sekali-kali ia tidak akan dapat menolong dirinya. Di sana pertolongan itu hanya dari Allah Yang Hak. Dia adalah sebaik-baik Pemberi pahala dan sebaik-baik Pemberi balasan." Ini menegaskan bahwa kekuasaan, pertolongan, dan balasan sejati hanya datang dari Allah. Semua dukungan duniawi adalah fana.

Pelajaran Berharga dari Kisah Ini

Kisah pemilik dua kebun, khususnya dengan fokus pada ayat 35, memberikan banyak pelajaran dan hikmah yang relevan bagi kehidupan kita:

1. Bahaya Kesombongan dan Kufur Nikmat

Pelajaran paling fundamental dari kisah ini adalah bahaya kesombongan dan kufur nikmat. Ketika seseorang merasa bahwa kekayaan, kekuatan, atau kedudukan adalah hasil dari usahanya semata, atau haknya yang mutlak, ia telah jatuh ke dalam kesombongan. Kesombongan ini menutup mata hatinya dari kebenaran, membuatnya lupa akan Sang Pemberi Rezeki, dan pada akhirnya dapat menyebabkan kehancuran, baik di dunia maupun di akhirat.

Kufur nikmat bukan hanya menolak mengakui nikmat Allah, tetapi juga menggunakan nikmat tersebut di jalan yang salah, atau tidak mensyukurinya. Pemilik kebun dalam kisah ini tidak hanya kufur, tetapi juga menggunakannya sebagai sarana untuk merendahkan orang lain dan membanggakan diri. Ini adalah bentuk kufur nikmat yang paling parah, yang berujung pada azab.

2. Hakikat Kepemilikan dan Keberkahan

Kisah ini mengingatkan kita bahwa segala sesuatu di dunia ini, termasuk harta benda, adalah milik Allah dan hanyalah titipan sementara bagi manusia. Manusia hanyalah pengelola atau pemegang amanah. Hakikat kepemilikan sejati ada pada Allah SWT. Ketika kita memahami ini, kita akan lebih rendah hati, bersyukur, dan menggunakan harta di jalan yang diridhai-Nya.

Keberkahan suatu harta tidak terletak pada jumlahnya, tetapi pada bagaimana harta itu diperoleh dan digunakan. Harta yang sedikit namun berkah akan membawa kebaikan dan ketenangan, sementara harta yang melimpah namun tidak berkah bisa menjadi sumber kesengsaraan dan azab.

3. Pentingnya Bersyukur dan Mengingat Allah

Melihat kemegahan dan karunia Allah seharusnya memicu rasa syukur, bukan kesombongan. Mengucapkan "Mā shā’a Allāh, lā quwwata illā billāh" adalah bentuk pengakuan akan kekuasaan Allah dan kerendahan hati kita sebagai hamba. Rasa syukur akan mendatangkan tambahan nikmat, sebagaimana firman Allah, "Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (QS. Ibrahim: 7).

Kisah ini adalah pengingat bahwa melupakan Allah saat diberi nikmat adalah awal dari kehancuran. Justru di tengah kelimpahan, seorang mukmin harus semakin mendekatkan diri kepada-Nya, karena Dialah yang Maha Memberi dan Maha Menarik kembali.

4. Sifat Fana Dunia dan Pentingnya Akhirat

Kebun yang subur dan megah dapat hancur dalam sekejap mata. Ini adalah cerminan dari sifat fana seluruh kehidupan dunia. Kekayaan, kedudukan, popularitas, dan segala bentuk kemewahan di dunia ini tidak abadi. Semua itu akan sirna dan pada akhirnya kita akan kembali kepada Allah dengan membawa amal perbuatan kita.

Pemilik kebun yang sombong itu bahkan meragukan datangnya Hari Kiamat. Ini menunjukkan betapa kuatnya ikatan duniawi bisa mengaburkan pandangan seseorang terhadap realitas akhirat. Seorang mukmin sejati akan selalu menyeimbangkan kehidupan dunia dengan persiapan untuk akhirat, karena dunia hanyalah jembatan menuju kehidupan yang kekal.

5. Peran Sahabat yang Saleh

Sahabat yang mukmin dalam kisah ini adalah teladan bagi kita tentang bagaimana seorang Muslim seharusnya bersikap terhadap temannya yang terjerumus dalam kesombongan dan kekufuran. Ia tidak mencela atau menghakimi, tetapi dengan lembut dan bijak memberikan nasihat, mengingatkan tentang Allah, dan kebenaran. Ia berupaya menarik temannya dari kegelapan menuju cahaya.

Ini menunjukkan pentingnya memiliki sahabat yang saleh, yang dapat mengingatkan kita ketika kita lalai, menegur ketika kita salah, dan mendorong kita kepada kebaikan. Seorang sahabat sejati adalah cermin bagi temannya.

6. Kekuasaan dan Pertolongan Hanya Milik Allah

Ketika kebunnya hancur, sang pemilik menyadari bahwa tidak ada yang dapat menolongnya. Harta, pengikut, atau kedudukannya tidak berarti apa-apa di hadapan kehendak Allah. Ini adalah pengingat keras bahwa kekuatan dan pertolongan sejati hanya datang dari Allah SWT. Manusia tidak memiliki daya dan upaya kecuali atas izin-Nya.

Oleh karena itu, setiap mukmin harus selalu bertawakal dan memohon pertolongan hanya kepada Allah, bukan kepada harta, pangkat, atau manusia.

Relevansi Kisah Ini di Era Modern

Kisah pemilik dua kebun dari Surah Al-Kahfi, meskipun terjadi di masa lampau, memiliki resonansi yang kuat dan relevansi yang abadi di era modern ini. Bahkan, mungkin lebih relevan lagi di tengah derasnya arus materialisme dan hedonisme yang melanda masyarakat global. Mari kita telusuri relevansinya:

1. Konsumerisme dan Materialisme

Masyarakat modern seringkali diukur berdasarkan apa yang mereka miliki: mobil mewah, rumah besar, gadget terbaru, pakaian branded. Iklan-iklan gencar mendorong kita untuk terus membeli dan mengonsumsi, menciptakan siklus yang tak ada habisnya. Kisah ini menjadi cermin bagi kita untuk merenungkan, apakah kita telah jatuh ke dalam pola pikir pemilik kebun yang sombong, yang mengukur nilai diri dan kebahagiaan dari seberapa banyak harta yang kita kumpulkan?

Banyak orang rela melakukan apa saja, bahkan melanggar norma dan agama, demi mendapatkan kekayaan. Mereka lupa bahwa tujuan hidup bukanlah sekadar akumulasi materi, melainkan ibadah kepada Allah dan mempersiapkan bekal untuk akhirat.

2. Media Sosial dan "Flexing" Kekayaan

Platform media sosial telah menjadi panggung virtual di mana banyak orang memamerkan kekayaan, kesuksesan, dan gaya hidup mewah mereka. Fenomena ini yang sering disebut "flexing" (memamerkan kekayaan) memiliki kemiripan mencolok dengan perilaku pemilik kebun yang membanggakan hartanya di depan temannya. Unggahan tentang liburan mahal, tas bermerek, mobil sport, atau pencapaian finansial seringkali disertai dengan narasi yang menonjolkan "aku" dan "milikku", bahkan terkadang tersirat perbandingan dengan orang lain.

Kisah ini mengajarkan kita bahwa pamer kekayaan, alih-alih mendatangkan kebahagiaan, justru bisa menjerumuskan pada kesombongan dan 'ujub. Ini juga bisa menimbulkan iri hati pada orang lain atau menciptakan standar hidup yang tidak realistis.

3. Ketidakpastian Ekonomi dan Perubahan Mendadak

Kisah hancurnya kebun adalah pengingat akan kerapuhan kekayaan duniawi. Di era modern, kita sering menyaksikan perusahaan-perusahaan besar bangkrut, pasar saham runtuh, dan krisis ekonomi melanda, menyebabkan banyak orang kehilangan harta benda dan mata pencarian dalam sekejap. Pandemi COVID-19 adalah contoh nyata bagaimana ekonomi global bisa terguncang hebat, bisnis tutup, dan kekayaan bisa lenyap begitu saja.

Hal ini menegaskan bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak abadi dan di bawah kendali Allah. Bergantung sepenuhnya pada kekayaan duniawi adalah tindakan yang rapuh, karena kapan saja bisa diambil kembali. Hanya Allah-lah Yang Maha Kekal dan pemilik segala kekuatan.

4. Pentingnya Perspektif Akhirat

Kisah ini juga mengingatkan kita untuk selalu memiliki perspektif akhirat dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam mengelola harta. Jika kita hanya melihat dunia sebagai tujuan akhir, kita akan cenderung sombong saat kaya dan putus asa saat miskin. Namun, jika kita melihat dunia sebagai ladang amal untuk akhirat, maka kekayaan akan menjadi sarana bersedekah, berinfak, dan menolong sesama, sementara kemiskinan akan diterima dengan kesabaran dan tawakal.

Meragukan Hari Kiamat, seperti yang dilakukan pemilik kebun, adalah kesalahan fatal yang banyak dilakukan orang di era modern ini, baik secara eksplisit maupun implisit melalui tindakan mereka yang hanya mengejar kesenangan duniawi.

5. Nilai Sejati Manusia

Pada akhirnya, kisah ini mengajarkan bahwa nilai sejati seorang manusia tidak terletak pada berapa banyak harta yang ia miliki, berapa tinggi jabatannya, atau seberapa banyak pengikutnya. Nilai sejati ada pada iman, takwa, akhlak mulia, dan amal salehnya di hadapan Allah SWT. Orang yang miskin namun beriman dan bertakwa jauh lebih mulia di sisi Allah daripada orang kaya yang sombong dan kufur.

Di dunia modern yang serba kompetitif ini, seringkali kita lupa akan esensi ini. Kita berlomba-lomba untuk menjadi yang "terkaya" atau "terkuat" dalam pandangan manusia, tetapi melupakan penilaian yang paling penting, yaitu penilaian dari Allah.

Bagaimana Mengamalkan Pelajaran Ini dalam Kehidupan Sehari-hari

Mengamalkan pelajaran dari Al-Kahfi 35 bukanlah hal yang sulit jika kita memiliki kesadaran dan niat yang tulus. Berikut adalah beberapa langkah praktis:

Ilmu dan Hidayah Hidayah dari Al-Qur'an

Ilustrasi sebuah kitab suci yang terbuka, memancarkan cahaya, melambangkan panduan dan ilmu pengetahuan Islam.

1. Senantiasa Bersyukur dan Mengucapkan Hamdalah

Setiap kali kita mendapatkan nikmat, baik besar maupun kecil, biasakan untuk mengucapkan "Alhamdulillah" dan "Mā shā’a Allāh, lā quwwata illā billāh". Ini adalah pengingat bahwa semua karunia berasal dari Allah dan tidak ada kekuatan kecuali dari-Nya. Sikap syukur akan membuka pintu-pintu rezeki dan keberkahan yang lebih luas.

2. Menjaga Kerendahan Hati (Tawadhu)

Hindari membanggakan diri, harta, atau kedudukan di hadapan orang lain. Ingatlah selalu bahwa kita semua adalah hamba Allah, tidak ada yang lebih unggul kecuali karena ketakwaannya. Perbanyak muhasabah diri (introspeksi) untuk membersihkan hati dari sifat 'ujub dan takabur. Bergaul dengan orang-orang yang lebih rendah hati atau yang kurang beruntung dapat membantu menumbuhkan rasa syukur dan menghindari kesombongan.

3. Menggunakan Harta di Jalan Allah

Jika Allah menganugerahkan kekayaan, gunakanlah harta itu di jalan yang diridhai-Nya. Berinfak, bersedekah, membantu yang membutuhkan, membiayai pendidikan, dan mendukung dakwah adalah cara untuk membersihkan harta dan menjadikannya sumber keberkahan di dunia dan bekal di akhirat. Harta yang dibelanjakan di jalan Allah adalah investasi yang tidak akan pernah hancur.

4. Memiliki Sahabat yang Saleh

Carilah dan jalinlah pertemanan dengan orang-orang yang beriman dan bertakwa, yang dapat saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Sahabat yang baik akan menjadi pengingat ketika kita lalai dan pendorong ketika kita lemah, sebagaimana peran sahabat mukmin dalam kisah pemilik kebun.

5. Mengingat Kematian dan Hari Kiamat

Perbanyak mengingat mati dan kehidupan akhirat. Kesadaran akan kefanaan dunia akan membantu kita untuk tidak terlalu terikat pada harta dan kemewahan. Ini akan memotivasi kita untuk fokus pada amal saleh dan persiapan untuk kehidupan yang kekal.

6. Mengambil Hikmah dari Segala Ujian

Setiap nikmat dan musibah adalah ujian dari Allah. Ketika diberi nikmat, bersyukurlah; ketika diuji dengan musibah, bersabarlah. Jangan sampai musibah membuat kita berputus asa, dan jangan sampai nikmat membuat kita lupa diri.

7. Membaca dan Merenungkan Al-Qur'an

Teruslah membaca Surah Al-Kahfi, terutama pada hari Jumat, dan merenungkan makna serta pelajaran di dalamnya. Dengan memahami Al-Qur'an secara mendalam, kita akan senantiasa diingatkan akan petunjuk Allah dan terhindar dari kesesatan.

Penutup

Kisah pemilik dua kebun, dengan penekanan pada ayat 35 Surah Al-Kahfi, adalah salah satu perumpamaan paling kuat dalam Al-Qur'an yang mengajarkan tentang hakikat kehidupan dunia, kekayaan, kesombongan, dan pentingnya iman serta syukur. Kisah ini menjadi peringatan keras bagi setiap manusia agar tidak terlena dengan gemerlapnya dunia dan melupakan Sang Pencipta.

Harta, kedudukan, dan kekuasaan hanyalah ujian. Keberkahan dan kebahagiaan sejati tidak diukur dari seberapa banyak yang kita miliki, melainkan dari seberapa besar rasa syukur kita, seberapa kuat iman kita, dan seberapa tulus amal saleh kita. Semoga kita semua dapat mengambil pelajaran berharga dari kisah ini, menjauhkan diri dari kesombongan, senantiasa bersyukur, dan menggunakan setiap nikmat yang diberikan Allah di jalan yang diridhai-Nya, sehingga kita termasuk golongan hamba-hamba-Nya yang beruntung di dunia dan akhirat. Amin ya Rabbal 'alamin.

🏠 Homepage