Al-Kahfi 83-110: Kisah Dhul-Qarnayn dan Pelajarannya Mendalam

Ilustrasi Dinding Dhul-Qarnayn Gambar dinding megah yang dibangun antara dua gunung, dengan matahari terbit dan terbenam, melambangkan perjalanan dan kekuasaan Dhul-Qarnayn. Menampilkan simbol keadilan dan kekuatan.

Surah Al-Kahfi, salah satu surah yang paling mulia dalam Al-Qur'an, seringkali disebut sebagai 'pelindung' dari fitnah Dajjal, mengandung hikmah dan pelajaran yang tak lekang oleh waktu. Di antara kisah-kisah agungnya, seperti Ashabul Kahfi, dua pemilik kebun, dan pertemuan Nabi Musa dengan Khidr, terdapat pula narasi inspiratif tentang seorang raja atau pemimpin yang saleh bernama Dhul-Qarnayn. Kisahnya terangkum dalam ayat 83 hingga 110, sebuah segmen yang penuh dengan petunjuk mengenai kepemimpinan, keadilan, kekuasaan, dan kerendahan hati.

Bagian ini akan menggali secara mendalam kisah Dhul-Qarnayn, perjalanan-perjalanannya yang epik, interaksinya dengan berbagai kaum, pembangunan tembok penahan Ya'juj dan Ma'juj, serta pelajaran-pelajaran berharga yang dapat dipetik darinya. Lebih jauh, kita akan meninjau berbagai interpretasi ulama mengenai identitas Dhul-Qarnayn dan relevansi kisah ini dalam konteks kehidupan modern, menjadikannya cermin bagi setiap Muslim untuk merenungkan makna kekuasaan sejati dan penggunaannya demi kemaslahatan umat.

Pengantar Surah Al-Kahfi dan Konteks Kisah Dhul-Qarnayn

Surah Al-Kahfi adalah surah Makkiyah, yang berarti diturunkan di Makkah sebelum hijrah Nabi Muhammad ﷺ ke Madinah. Surah ini diturunkan pada periode ketika kaum Muslimin menghadapi tekanan berat dan membutuhkan keteguhan iman. Dalam konteks ini, Al-Kahfi menyajikan empat kisah utama yang masing-masing merepresentasikan sebuah 'ujian' atau 'fitnah' yang akan dihadapi manusia dalam berbagai dimensi kehidupan:

  1. Kisah Ashabul Kahfi (Para Penghuni Gua): Menguji keimanan dan agama di tengah ancaman penganiayaan dan penindasan. Kisah ini mengajarkan keteguhan hati dan perlindungan Allah bagi hamba-Nya yang berpegang teguh pada tauhid.
  2. Kisah Dua Pemilik Kebun: Ujian dalam harta dan kekayaan. Kisah ini memperingatkan bahaya kesombongan dan kekufuran nikmat, serta pentingnya bersyukur dan mengakui kekuasaan Allah atas segala rezeki.
  3. Kisah Nabi Musa dan Khidr: Ujian dalam ilmu dan pengetahuan. Menekankan kerendahan hati dalam mencari ilmu, bahwa ada pengetahuan di luar batas pemahaman manusia, dan bahwa hikmah Allah seringkali tersembunyi di balik peristiwa yang tampak aneh.
  4. Kisah Dhul-Qarnayn: Ujian dalam kekuasaan dan kepemimpinan. Kisah ini menjadi penutup yang menggambarkan bagaimana seorang pemimpin yang saleh seharusnya menggunakan otoritas dan kekuatan yang diberikan Allah untuk menegakkan keadilan, melindungi yang lemah, dan menyebarkan kebaikan.

Keempat kisah ini saling terkait secara tematis, menawarkan panduan komprehensif tentang bagaimana seorang Muslim seharusnya menghadapi tantangan hidup, menjaga iman, memanfaatkan rezeki, mencari ilmu, dan menggunakan kekuasaan secara bertanggung jawab. Kisah Dhul-Qarnayn, yang menutup rangkaian cerita ini, menjadi klimaks yang menunjukkan puncak dari ujian kekuasaan, di mana seorang pemimpin yang saleh menunjukkan bagaimana kekuatan dan otoritas harus digunakan untuk menegakkan keadilan dan kemaslahatan umat, sambil senantiasa mengakui bahwa semua berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.

Ayat 83: Permulaan Kisah yang Penuh Hikmah

وَيَسْأَلُونَكَ عَن ذِي الْقَرْنَيْنِ ۖ قُلْ سَأَتْلُو عَلَيْكُم مِّنْهُ ذِكْرًا

"Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dhul-Qarnayn. Katakanlah: "Akan kubacakan kepadamu sebagian dari kisahnya." (Al-Kahfi: 83)

Ayat ini menjadi pembuka kisah, yang menunjukkan bahwa pertanyaan tentang Dhul-Qarnayn datang dari kaum musyrikin Makkah (atau kaum Yahudi yang menguji Nabi ﷺ). Ini menandakan bahwa kisah Dhul-Qarnayn adalah sesuatu yang sudah dikenal dalam tradisi lisan atau kitab-kitab terdahulu, dan kini Al-Qur'an menyajikannya dalam perspektif Ilahi yang benar. Hal ini menegaskan pentingnya kisah ini, yang memuat hikmah besar dan menjadi bukti kebenaran kenabian Muhammad ﷺ. Allah memerintahkan Nabi untuk membacakan kisahnya, mengindikasikan bahwa ini bukan sekadar cerita hiburan, melainkan pelajaran ilahi dan petunjuk yang harus direnungkan oleh manusia sepanjang zaman.

Perjalanan Dhul-Qarnayn ke Barat (Ayat 84-86): Keadilan di Titik Terjauh

Kisah Dhul-Qarnayn dimulai dengan gambaran kekuasaan dan kemudahan yang diberikan Allah kepadanya, menunjukkan bahwa setiap anugerah adalah dari-Nya:

إِنَّا مَكَّنَّا لَهُ فِي الْأَرْضِ وَآتَيْنَاهُ مِن كُلِّ شَيْءٍ سَبَبًا ﴿٨٤﴾ فَأَتْبَعَ سَبَبًا ﴿٨٥﴾ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ مَغْرِبَ الشَّمْسِ وَجَدَهَا تَغْرُبُ فِي عَيْنٍ حَمِئَةٍ وَوَجَدَ عِندَهَا قَوْمًا ۗ قُلْنَا يَا ذَا الْقَرْنَيْنِ إِمَّا أَن تُعَذِّبَ وَإِمَّا أَن تَتَّخِذَ فِيهِمْ حُسْنًا ﴿٨٦﴾

"Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu. (84) Maka dia pun menempuh suatu jalan. (85) Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbenam matahari, dia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam, dan dia dapati di situ segolongan umat. Kami berkata: "Hai Dhul-Qarnayn, kamu boleh menyiksa atau berbuat kebaikan terhadap mereka." (86)

Ayat 84 menegaskan bahwa Allah-lah yang menganugerahkan kekuasaan dan sarana baginya untuk mencapai tujuan apa pun. Frasa "آتَيْنَاهُ مِن كُلِّ شَيْءٍ سَبَبًا" secara harfiah berarti "Kami berikan kepadanya dari segala sesuatu sebuah jalan/sarana." Ini bukan hanya berarti ia diberikan alat-alat fisik, tetapi juga ilmu, hikmah, kecerdasan strategis, kekuatan militer, dan kemampuan diplomasi yang diperlukan untuk mengelola kekuasaannya dan mencapai tujuannya dengan efektif. Ini adalah penekanan penting bahwa kekuasaan Dhul-Qarnayn bukanlah hasil semata dari kemampuannya sendiri, melainkan karunia dan takdir dari Allah Yang Maha Kuasa. Ini sekaligus mengajarkan pentingnya tawakal (berserah diri) setelah melakukan ikhtiar (usaha).

Fenomena Terbenamnya Matahari: Tafsir dan Perspektif

Ketika Dhul-Qarnayn mencapai "tempat terbenam matahari," ia melihatnya terbenam "di dalam laut yang berlumpur hitam (عَيْنٍ حَمِئَةٍ)." Deskripsi ini telah memicu berbagai diskusi. Secara ilmiah, matahari tidak benar-benar terbenam dalam lumpur atau air. Para ulama tafsir menjelaskan bahwa ini adalah deskripsi puitis dan metaforis yang mencerminkan perspektif pengamat di permukaan bumi. Bagi seseorang yang berada di tepi pantai Barat atau samudra yang luas, dengan cakrawala yang membentang tanpa batas, pemandangan matahari yang "tenggelam" ke dalam air, seringkali dengan pantulan cahaya yang keruh atau gelap di permukaan air yang tampak seperti lumpur (karena pengaruh sedimen atau kondisi atmosfer), bisa memberikan kesan demikian.

Imam Al-Qurtubi dan para mufassir lainnya menekankan bahwa ayat ini berbicara tentang apa yang "terlihat" oleh mata Dhul-Qarnayn dari sudut pandangnya, bukan tentang hakikat ilmiah terbenamnya matahari. Ini menunjukkan bagaimana Al-Qur'an terkadang menggunakan bahasa fenomenal, yaitu bahasa yang menggambarkan apa yang tampak oleh indra manusia dan sesuai dengan pemahaman umum saat itu, tanpa bertentangan dengan kebenaran hakiki penciptaan alam semesta. Hal ini juga menegaskan bahwa tujuan utama Al-Qur'an adalah memberikan petunjuk moral dan spiritual, bukan buku teks ilmu pengetahuan alam.

Pilihan Hukuman atau Kebaikan: Ujian Kepemimpinan

Di tempat tersebut, Dhul-Qarnayn mendapati suatu kaum. Allah memberinya pilihan: "Hai Dhul-Qarnayn, kamu boleh menyiksa atau berbuat kebaikan terhadap mereka." Ini adalah ujian langsung terhadap kekuasaannya, sebuah otoritas penuh untuk memutuskan nasib suatu kaum. Pilihan ini menunjukkan otoritas besar yang diberikan Allah kepadanya, namun sekaligus menuntut pertanggungjawaban dan kebijaksanaan dalam pengambilan keputusan. Ini adalah momen krusial yang menguji keadilan, moralitas, dan kebijakan seorang pemimpin yang sejati.

Respons Dhul-Qarnayn terhadap pilihan ini menunjukkan karakternya yang mulia, menjadikannya teladan kepemimpinan yang adil dan berintegritas:

قَالَ أَمَّا مَن ظَلَمَ فَسَوْفَ نُعَذِّبُهُ ثُمَّ يُرَدُّ إِلَىٰ رَبِّهِ فَيُعَذِّبُهُ عَذَابًا نُّكْرًا ﴿٨٧﴾ وَأَمَّا مَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُ جَزَاءً الْحُسْنَىٰ ۖ وَسَنَقُولُ لَهُ مِنْ أَمْرِنَا يُسْرًا ﴿٨٨﴾

"Dia berkata: "Adapun orang yang zalim, maka kami akan menyiksanya, kemudian dia akan dikembalikan kepada Tuhannya, lalu Tuhan akan menyiksanya dengan siksaan yang tiada taranya. (87) Adapun orang yang beriman dan beramal saleh, maka baginya pahala yang terbaik sebagai balasan, dan kami akan mengatakan kepadanya perintah-perintah kami yang mudah." (88)

Dhul-Qarnayn memilih untuk menegakkan keadilan dengan tegas namun bijaksana. Ia membedakan antara yang zalim (bertindak jahat, tidak adil, menolak kebenaran setelah jelas baginya, atau menentang perintah Allah) dan yang beriman serta beramal saleh. Ia berjanji akan menghukum yang zalim di dunia sebagai ganjaran atas kejahatan mereka, dan menegaskan bahwa siksaan yang lebih dahsyat menanti mereka di akhirat dari sisi Allah. Sementara itu, bagi yang beriman dan beramal saleh, ia menjanjikan balasan baik di dunia (yaitu perlakuan adil, perlindungan, dan kemudahan hidup) dan kemudahan dalam urusan mereka. Ini menunjukkan kebijaksanaannya dalam memimpin: menerapkan hukum yang tegas bagi pelanggar demi menjaga ketertiban dan keadilan, namun memberikan rahmat, penghargaan, dan dukungan bagi yang berbuat baik dan taat.

Perjalanan Dhul-Qarnayn ke Timur (Ayat 89-91): Simbol Jangkauan Kekuasaan dan Hikmah Allah

Setelah menyelesaikan urusannya di Barat, Dhul-Qarnayn melanjutkan perjalanannya, menunjukkan jangkauan kekuasaannya yang tak terbatas dan tekadnya untuk berbuat kebaikan di mana pun ia pergi:

ثُمَّ أَتْبَعَ سَبَبًا ﴿٨٩﴾ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ مَطْلِعَ الشَّمْسِ وَجَدَهَا تَطْلُعُ عَلَىٰ قَوْمٍ لَّمْ نَجْعَل لَّهُم مِّن دُونِهَا سِتْرًا ﴿٩٠﴾ كَذَٰلِكَ وَقَدْ أَحَطْنَا بِمَا لَدَيْهِ خُبْرًا ﴿٩١﴾

"Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain). (89) Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbit matahari, dia mendapati matahari itu terbit menyinari segolongan bangsa yang Kami tidak menjadikan bagi mereka suatu yang melindunginya dari (cahaya) matahari itu. (90) Demikianlah, dan sesungguhnya ilmu Kami meliputi segala apa yang ada padanya." (91)

Perjalanan Dhul-Qarnayn ke Timur mencerminkan jangkauan kekuasaannya yang luas dan kemampuannya untuk berinteraksi dengan berbagai peradaban. Ia mencapai "tempat terbit matahari," yang sekali lagi, secara fenomenal, adalah batas terjauh ke Timur yang ia jelajahi. Di sana, ia menemukan suatu kaum yang "tidak menjadikan bagi mereka suatu yang melindunginya dari (cahaya) matahari itu." Para mufassir menjelaskan bahwa ini bisa berarti mereka hidup di daerah terbuka tanpa banyak naungan alami (pohon, gunung), atau tanpa pakaian dan tempat tinggal yang memadai untuk melindungi diri dari sengatan matahari. Ini mungkin juga menyiratkan keadaan primitif mereka atau kurangnya peradaban, atau bisa jadi mereka adalah kaum nomaden yang terus-menerus terpapar elemen alam.

Al-Qur'an tidak merinci dialog Dhul-Qarnayn dengan kaum di Timur seperti di Barat, namun dapat disimpulkan bahwa ia menerapkan prinsip keadilan yang sama dalam berinteraksi dengan mereka, sesuai dengan karakter yang telah ditunjukkannya sebelumnya. Ketiadaan rincian ini mungkin untuk menekankan universalitas prinsip keadilan Dhul-Qarnayn, yang tidak terikat pada satu kelompok atau wilayah tertentu.

Ayat 91 ("Demikianlah, dan sesungguhnya ilmu Kami meliputi segala apa yang ada padanya") berfungsi sebagai penutup untuk setiap segmen perjalanan Dhul-Qarnayn. Ini adalah pengingat yang kuat bahwa semua yang terjadi adalah atas kehendak Allah dan berada dalam pengetahuan-Nya yang Maha Luas. Ini juga menegaskan bahwa kisah yang diceritakan ini adalah kebenaran yang datang dari sisi Allah, dan bukan sekadar legenda atau cerita rakyat. Ayat ini mengingatkan kita akan kemahatahuan Allah dan bahwa setiap tindakan Dhul-Qarnayn, sekecil apapun, tidak luput dari pengawasan-Nya.

Perjalanan Dhul-Qarnayn ke Antara Dua Gunung (Ayat 92-98): Pembangunan Dinding Megah

Perjalanan ketiga adalah yang paling dramatis dan menjadi puncak kisah ini, menunjukkan kemampuan Dhul-Qarnayn dalam menghadapi tantangan besar dan menerapkan kebijaksanaan serta teknologi untuk kemaslahatan umum:

ثُمَّ أَتْبَعَ سَبَبًا ﴿٩٢﴾ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ بَيْنَ السَّدَّيْنِ وَجَدَ مِن دُونِهِمَا قَوْمًا لَّا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ قَوْلًا ﴿٩٣﴾ قَالُوا يَا ذَا الْقَرْنَيْنِ إِنَّ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ مُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ فَهَلْ نَجْعَلُ لَكَ خَرْجًا عَلَىٰ أَن تَجْعَلَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ سَدًّا ﴿٩٤﴾ قَالَ مَا مَكَّنِّي فِيهِ رَبِّي خَيْرٌ فَأَعِينُونِي بِقُوَّةٍ أَجْعَلْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ رَدْمًا ﴿٩٥﴾ آتُونِي زُبَرَ الْحَدِيدِ ۖ حَتَّىٰ إِذَا سَاوَىٰ بَيْنَ الصَّدَفَيْنِ قَالَ انفُخُوا ۖ حَتَّىٰ إِذَا جَعَلَهُ نَارًا قَالَ آتُونِي أُفْرِغْ عَلَيْهِ قِطْرًا ﴿٩٦﴾ فَمَا اسْطَاعُوا أَن يَظْهَرُوهُ وَمَا اسْتَطَاعُوا لَهُ نَقْبًا ﴿٩٧﴾ قَالَ هَٰذَا رَحْمَةٌ مِّن رَّبِّي ۖ فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ رَبِّي جَعَلَهُ دَكَّاءَ ۖ وَكَانَ وَعْدُ رَبِّي حَقًّا ﴿٩٨﴾

"Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain lagi). (92) Hingga apabila dia telah sampai di antara dua buah gunung, dia mendapati di hadapan kedua gunung itu suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan. (93) Mereka berkata: "Wahai Dhul-Qarnayn, sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka bolehkah kami memberimu upah agar kamu membuatkan dinding penghalang antara kami dan mereka?" (94) Dhul-Qarnayn berkata: "Apa yang telah diberikan Tuhanku kepadaku lebih baik (daripada upahmu), maka bantulah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat) agar aku membuatkan dinding (penghalang) antara kamu dan mereka. (95) Berilah aku potongan-potongan besi." Hingga apabila besi itu telah sama (tingginya) dengan kedua (puncak) gunung itu, dia berkata: "Tiuplah (api itu)." Hingga apabila besi itu menjadi (merah seperti) api, dia pun berkata: "Berilah aku tembaga (cair) agar kutuangkan ke atasnya." (96) Maka mereka (Ya'juj dan Ma'juj) tidak dapat mendakinya dan tidak dapat (pula) melubanginya. (97) Dhul-Qarnayn berkata: "Ini (dinding) adalah rahmat dari Tuhanku. Apabila janji Tuhanku datang, Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Tuhanku itu adalah benar." (98)

Kaum yang Tidak Mengerti Pembicaraan dan Ancaman Ya'juj dan Ma'juj

Dhul-Qarnayn tiba di sebuah celah sempit di antara dua gunung, yang dalam Al-Qur'an disebut "bainas saddain" (antara dua penghalang alami). Di sana, ia bertemu dengan suatu kaum yang "hampir tidak mengerti pembicaraan" ("لَّا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ قَوْلًا"). Ini bisa diartikan sebagai perbedaan bahasa yang signifikan yang membuat komunikasi sulit, atau juga bisa menunjukkan bahwa mereka adalah kaum yang primitif, kurang beradab, dan sulit diajak berkomunikasi secara efektif dalam hal konsep yang lebih rumit. Meskipun demikian, mereka berhasil menyampaikan masalah mendesak mereka: ancaman dari Ya'juj dan Ma'juj (Gog dan Magog).

Kaum tersebut mengeluh bahwa Ya'juj dan Ma'juj adalah bangsa yang terus-menerus membuat kerusakan di muka bumi, menyerbu wilayah mereka dan menimbulkan kekacauan. Mereka meminta Dhul-Qarnayn untuk membangun dinding penghalang (سَدًّا) sebagai imbalan atas upah (خَرْجًا) yang akan mereka berikan. Ini menunjukkan betapa parahnya kerusakan yang ditimbulkan Ya'juj dan Ma'juj, sehingga penduduk setempat bersedia membayar mahal untuk mendapatkan perlindungan dan keamanan.

Sikap Mulia Dhul-Qarnayn: Pemimpin yang Ikhlas dan Melayani

Respons Dhul-Qarnayn sungguh luar biasa dan menjadi teladan bagi setiap pemimpin. Ia dengan tegas menolak upah, menyatakan bahwa karunia Allah kepadanya sudah lebih dari cukup ("مَا مَكَّنِّي فِيهِ رَبِّي خَيْرٌ"). Ini adalah pelajaran penting tentang kepemimpinan yang tulus, yang berorientasi pada pelayanan dan kebaikan umum, bukan keuntungan pribadi atau kekayaan materi. Ia hanya meminta bantuan berupa kekuatan fisik dan material (manusia dan alat-alat) dari mereka untuk membangun dinding tersebut. Ini menunjukkan bahwa meskipun ia adalah raja besar dan berkuasa, ia tidak sombong, serakah, atau haus kekayaan. Sebaliknya, ia adalah seorang pemimpin yang rendah hati, bersyukur kepada Allah, dan memanfaatkan kekuasaannya untuk kebaikan umat manusia, menolong yang lemah dan tertindas. Sikap ini sangat kontras dengan banyak penguasa di sepanjang sejarah yang menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan diri sendiri.

Teknologi dan Proses Pembangunan Dinding yang Cerdas

Proses pembangunan dinding ini menunjukkan kecerdasan, pengetahuan, dan kemampuan teknis Dhul-Qarnayn yang luar biasa, didukung oleh hikmah yang dianugerahkan Allah kepadanya. Ia memerintahkan untuk mengumpulkan potongan-potongan besi ("زُبَرَ الْحَدِيدِ"), bukan sekadar batu bata. Setelah tumpukan besi tersebut mencapai ketinggian yang sama dengan kedua puncak gunung, ia memerintahkan agar api ditiupkan padanya hingga besi menjadi merah membara. Kemudian, ia meminta tembaga cair ("قِطْرًا") untuk dituangkan ke atasnya. Hasilnya adalah sebuah dinding padat dan sangat kuat yang terbuat dari perpaduan besi dan tembaga, membentuk suatu struktur yang tak tertembus. Dinding ini sedemikian kokoh sehingga Ya'juj dan Ma'juj tidak dapat mendakinya (melompati atau memanjatnya) dan tidak dapat (pula) melubanginya.

Konstruksi ini bukan hanya monumental, tetapi juga cerdas secara teknik, jauh melampaui kemampuan rata-rata peradaban di masa itu. Perpaduan besi (yang memberikan kekuatan struktural) dan tembaga cair (yang mengisi celah, mengikat besi, dan membentuk lapisan pelindung yang sangat keras ketika dingin) menghasilkan material komposit yang sangat kokoh dan tahan lama. Ini adalah bukti bahwa Dhul-Qarnayn memiliki pengetahuan metalurgi dan konstruksi yang maju untuk zamannya, sebuah anugerah ilahi yang ia gunakan untuk kemaslahatan.

Kerendahan Hati dan Pandangan Jauh ke Depan: Mengingat Janji Allah

Setelah selesai membangun dinding yang megah ini, Dhul-Qarnayn tidak membanggakan hasil karyanya. Sebaliknya, dengan kerendahan hati yang mendalam, ia berkata: "Ini (dinding) adalah rahmat dari Tuhanku." Ini adalah puncak pengakuan bahwa semua keberhasilan, kekuatan, dan kemampuan adalah anugerah murni dari Allah, bukan hasil dari kehebatan pribadinya. Ini adalah esensi tauhid dan tawakal.

Ia juga memberikan peringatan penting tentang sifat sementara dari segala pencapaian duniawi dan kenyataan akhirat: "Apabila janji Tuhanku datang, Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Tuhanku itu adalah benar." Ini merujuk pada tanda-tanda Kiamat, ketika Ya'juj dan Ma'juj akan dibebaskan oleh Allah dan menyebar kerusakan di bumi. Dinding itu, sekuat apapun, hanyalah penghalang sementara atas izin Allah, dan akan hancur pada waktu yang telah ditentukan-Nya. Ini adalah pengingat bahwa segala kekuatan dan kekuasaan di dunia ini fana, dan hanya janji Allah yang abadi dan pasti terjadi. Pesan ini mendorong manusia untuk tidak terlena dengan kejayaan duniawi dan senantiasa mempersiapkan diri untuk hari penghisaban.

Tentang Ya'juj dan Ma'juj (Gog dan Magog)

Ya'juj dan Ma'juj adalah dua bangsa perusak yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan hadits Nabi Muhammad ﷺ. Mereka adalah bagian dari tanda-tanda besar Hari Kiamat. Al-Qur'an dalam Surah Al-Anbiya' ayat 96-97 juga menyebutkan tentang keluarnya mereka, menegaskan kembali janji Allah yang telah disampaikan Dhul-Qarnayn:

حَتَّىٰ إِذَا فُتِحَتْ يَأْجُوجُ وَمَأْجُوجُ وَهُم مِّن كُلِّ حَدَبٍ يَنسِلُونَ ﴿٩٦﴾ وَاقْتَرَبَ الْوَعْدُ الْحَقُّ فَإِذَا هِيَ شَاخِصَةٌ أَبْصَارُ الَّذِينَ كَفَرُوا يَا وَيْلَنَا قَدْ كُنَّا فِي غَفْلَةٍ مِّنْ هَٰذَا بَلْ كُنَّا ظَالِمِينَ ﴿٩٧﴾

"Hingga apabila dibukakan (tembok) Ya'juj dan Ma'juj, dan mereka turun dengan cepat dari seluruh penjuru yang tinggi. (96) Dan telah dekatlah janji yang benar (Hari Kiamat), maka tiba-tiba terbelalaklah mata orang-orang yang kafir. (Mereka berkata): "Aduhai, celakalah kami, sesungguhnya kami adalah dalam kelalaian tentang ini, bahkan kami adalah orang-orang yang zalim." (97)

Hadits-hadits Nabi ﷺ memberikan gambaran lebih lanjut tentang Ya'juj dan Ma'juj sebagai makhluk dengan kekuatan luar biasa dan jumlah yang sangat banyak yang akan keluar di akhir zaman. Mereka akan menyebar kerusakan di bumi, meminum habis air, merusak tanaman, dan menjadi ujian besar bagi umat manusia. Keluarnya Ya'juj dan Ma'juj adalah salah satu tanda besar kiamat yang akan terjadi setelah turunnya Nabi Isa as. Mereka akan dimusnahkan oleh Allah melalui doa Nabi Isa dan orang-orang beriman. Kisah mereka mengingatkan kita akan kerapuhan pertahanan duniawi dan keharusan untuk selalu berlindung kepada Allah dari segala bentuk kejahatan.

Identitas Dhul-Qarnayn: Berbagai Pandangan dan Mengapa Fokus pada Pelajaran

Identitas Dhul-Qarnayn telah menjadi subjek diskusi dan penelitian di kalangan sejarawan dan ulama sejak lama. Al-Qur'an tidak memberikan nama spesifik, melainkan julukan "Dhul-Qarnayn" yang berarti "pemilik dua tanduk" atau "pemilik dua zaman/generasi" (menguasai dua periode) atau "pemilik dua kekuatan/wilayah" (menguasai Timur dan Barat). Beberapa teori populer meliputi:

  1. Iskandar Agung (Alexander the Great): Ini adalah pandangan yang populer di kalangan sejarawan Barat dan beberapa mufassir klasik. Argumentasinya didasarkan pada perjalanan Alexander yang luas ke Timur dan Barat. Namun, pandangan ini memiliki kelemahan signifikan jika disandingkan dengan deskripsi Al-Qur'an. Alexander Agung dikenal sebagai penyembah berhala, seorang penakluk yang ambisius, dan terkadang kejam, yang sangat bertentangan dengan gambaran Dhul-Qarnayn sebagai pemimpin saleh yang beriman kepada Allah, menegakkan keadilan, dan selalu mengaitkan kekuasaannya dengan karunia Ilahi serta tujuan akhirat. Deskripsi dalam Al-Qur'an menyoroti karakter spiritual dan moral Dhul-Qarnayn, yang tidak konsisten dengan catatan sejarah Alexander.
  2. Cyrus Agung (Koresh Agung) dari Persia: Ini adalah pandangan yang semakin menguat di kalangan ulama kontemporer dan sejarawan Islam, didukung oleh penelitian mendalam dari tokoh seperti Abul Kalam Azad dan lain-lain. Cyrus Agung adalah seorang raja Persia yang hidup sekitar abad ke-6 SM. Ia dikenal sebagai pemimpin yang adil, toleran, dan berakhlak mulia. Ia membebaskan bangsa Yahudi dari penawanan Babilonia, dihormati dalam Kitab Daniel, dan membangun kerajaan yang sangat luas. Simbol "dua tanduk" juga bisa dikaitkan dengan mahkota atau atribut kekuasaan tertentu yang digambarkan pada masa Persia kuno, atau melambangkan kekuasaannya atas dua kerajaan besar (Media dan Persia). Kisahnya tentang keadilan, pembangunan, dan perluasan wilayah cocok dengan deskripsi Al-Qur'an tentang Dhul-Qarnayn sebagai seorang hamba Allah yang saleh.
  3. Seorang Raja Shaleh yang Tidak Dikenal: Beberapa ulama berpendapat bahwa Dhul-Qarnayn adalah seorang raja saleh yang namanya tidak disebutkan secara spesifik dalam sejarah yang tercatat saat ini oleh peradaban lain, namun kisahnya diabadikan dalam Al-Qur'an sebagai pelajaran abadi. Pandangan ini menekankan bahwa fokus utama Al-Qur'an bukan pada identitas historisnya secara spesifik, melainkan pada karakter, tindakan, dan pelajaran universal yang dapat diambil dari kisahnya. Mengetahui nama persisnya tidak menambah atau mengurangi nilai hikmah yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut.

Yang terpenting bukanlah identitas persisnya, melainkan sifat-sifat mulia, prinsip-prinsip kepemimpinan, dan pelajaran moral yang terkandung dalam kisahnya. Al-Qur'an sengaja tidak menyebutkan nama untuk menekankan universalitas pesan dan teladan yang disampaikan, menjadikannya relevan bagi setiap individu dan setiap pemimpin di setiap masa.

Pelajaran dan Hikmah dari Kisah Dhul-Qarnayn yang Abadi

Kisah Dhul-Qarnayn dalam Al-Kahfi 83-110 adalah gudang hikmah dan pelajaran berharga bagi setiap Muslim, terutama bagi mereka yang memegang amanah kepemimpinan atau kekuasaan. Ini adalah panduan tentang bagaimana kekuatan dan otoritas harus digunakan:

1. Kekuasaan sebagai Amanah dan Karunia Allah

Dhul-Qarnayn selalu mengakui bahwa kekuasaan yang diberikan kepadanya ("إِنَّا مَكَّنَّا لَهُ فِي الْأَرْضِ" - Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di bumi) dan segala sarana yang dimilikinya adalah karunia murni dari Allah. Ia tidak sombong atau merasa berhak atas kekuasaan tersebut. Ini mengajarkan kepada kita bahwa kekuasaan, jabatan, harta, atau kekayaan adalah ujian dan amanah dari Allah, bukan hak yang didapat karena kehebatan diri semata. Seorang pemimpin sejati harus senantiasa bersyukur, rendah hati, dan menggunakan amanah tersebut sesuai dengan kehendak Sang Pemberi, demi kemaslahatan umum, bukan kepentingan pribadi.

2. Keadilan Mutlak dalam Kepemimpinan

Ketika diberi pilihan untuk menyiksa atau berbuat baik kepada kaum di Barat, Dhul-Qarnayn memilih jalur keadilan dengan membedakan secara tegas: menghukum yang zalim (yang berbuat kerusakan dan kejahatan) dan berbuat baik kepada yang beriman serta beramal saleh (yang taat dan berbuat kebaikan). Ini adalah prinsip fundamental dalam Islam: keadilan harus ditegakkan tanpa pandang bulu, bahkan terhadap mereka yang mungkin berada di posisi rentan. Pemimpin yang adil adalah pemimpin yang dicintai Allah dan rakyatnya, yang memastikan hak-hak setiap individu terlindungi, dan yang menegakkan hukum demi ketertiban sosial.

3. Kerendahan Hati dan Keikhlasan dalam Beramal

Penolakan Dhul-Qarnayn terhadap upah dari kaum yang meminta pembangunan dinding, serta pernyataannya "Ini adalah rahmat dari Tuhanku" setelah selesai membangunnya, menunjukkan kerendahan hati dan keikhlasan yang luar biasa. Ia tidak mencari pujian manusia, keuntungan materi, atau pengakuan diri. Semua tindakannya murni untuk mencari ridha Allah dan melayani umat manusia yang membutuhkan perlindungan. Ini adalah teladan krusial di dunia yang sering kali mengagungkan keuntungan dan pengakuan pribadi. Pemimpin yang ikhlas adalah pemimpin yang paling berhak mendapatkan keberkahan dan dukungan dari Allah.

4. Pemanfaatan Ilmu dan Teknologi untuk Kebaikan Umat

Pembangunan dinding yang megah dan kokoh dengan teknik perpaduan besi dan tembaga menunjukkan bahwa Dhul-Qarnayn adalah seorang pemimpin yang cerdas dan visioner, yang mampu mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih untuk memecahkan masalah besar masyarakat. Islam mendorong umatnya untuk mencari ilmu, mengembangkan teknologi, dan berinovasi, bukan untuk dominasi atau kerusakan, tetapi untuk kemaslahatan bersama, melindungi yang lemah, dan membangun peradaban yang beradab dan maju. Ilmu dan teknologi harus menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dan melayani ciptaan-Nya.

5. Perlindungan Terhadap yang Lemah dan Tertindas

Dhul-Qarnayn tidak memandang remeh keluhan kaum yang lemah di antara dua gunung yang terancam oleh Ya'juj dan Ma'juj. Ia sigap membantu mereka dari ancaman tersebut, bahkan tanpa imbalan. Ini menekankan tugas asasi seorang pemimpin untuk melindungi rakyatnya, terutama yang rentan dan tertindas, dari segala bentuk ancaman dan kerusakan, baik internal maupun eksternal. Perlindungan ini adalah bentuk paling tinggi dari pelayanan kepada masyarakat.

6. Pandangan Jauh ke Depan dan Mengingat Akhirat

Pernyataan Dhul-Qarnayn bahwa dinding itu akan hancur ketika janji Tuhannya datang menunjukkan pandangan jauh ke depan dan kesadarannya akan akhir zaman. Ia mengajarkan bahwa segala pencapaian duniawi, sekokoh apapun, bersifat sementara dan fana. Kekuatan, kekuasaan, dan peradaban akan berakhir, dan yang abadi hanyalah janji Allah. Ini adalah pengingat bagi setiap individu dan setiap pemimpin untuk tidak terlena dengan dunia dan selalu mengingat kehidupan akhirat, mempersiapkan diri untuk pertanggungjawaban di hadapan Sang Pencipta.

7. Pentingnya Berusaha dan Mengambil 'Sebab'

Meskipun kekuasaan Dhul-Qarnayn adalah anugerah Allah, ia tetap "menempuh suatu jalan" ("فَأَتْبَعَ سَبَبًا") untuk mencapai tujuannya. Ini menunjukkan pentingnya berusaha keras, mengambil ikhtiar, dan menggunakan akal serta sarana yang diberikan Allah untuk mencapai tujuan yang baik. Tawakal (berserah diri kepada Allah) tidak berarti pasrah tanpa usaha, melainkan berusaha sekuat tenaga dengan sebaik-baiknya setelah itu menyerahkan hasilnya kepada Allah, karena Dialah yang menentukan keberhasilan.

8. Ujian dan Cobaan dalam Kekuasaan

Kisah Dhul-Qarnayn adalah contoh sempurna bagaimana kekuasaan adalah ujian terberat bagi manusia. Apakah seseorang akan menggunakan kekuasaannya untuk menindas, memperkaya diri, mencari pujian, atau sebaliknya, untuk menegakkan keadilan, membantu sesama, dan beribadah kepada Allah? Dhul-Qarnayn lulus ujian ini dengan gemilang, menjadi teladan pemimpin saleh yang menginspirasi, menunjukkan bahwa kekuasaan, jika digunakan dengan benar, dapat menjadi sarana untuk mendapatkan pahala yang besar di sisi Allah.

Kaitan dengan Kisah Lain di Surah Al-Kahfi: Integrasi Hikmah

Kisah Dhul-Qarnayn adalah puncak dari empat ujian utama yang disajikan dalam Surah Al-Kahfi. Masing-masing kisah, ketika direnungkan secara keseluruhan, membentuk sebuah peta jalan spiritual yang komprehensif bagi seorang Muslim untuk menghadapi berbagai fitnah dalam hidup:

Keempat kisah ini, ketika direnungkan bersama, membentuk sebuah panduan holistik bagi seorang Muslim untuk menghadapi berbagai tantangan kehidupan dunia yang penuh dengan godaan dan ujian. Mereka mengajarkan pentingnya iman yang kokoh, kesyukuran, kerendahan hati, keadilan, dan pandangan jauh ke depan menuju akhirat, dengan setiap fitnah menjadi kesempatan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memperkuat takwa.

Relevansi Kisah Dhul-Qarnayn di Era Modern: Inspirasi bagi Tantangan Kontemporer

Meskipun kisah ini terjadi ribuan tahun yang lalu, pelajaran dari Dhul-Qarnayn tetap sangat relevan dan mendesak bagi umat manusia di era modern, terutama dalam konteks globalisasi, kemajuan teknologi, dan tantangan kontemporer yang kompleks:

  1. Kepemimpinan Global yang Beretika dan Berkeadilan: Di tengah tantangan geopolitik, krisis kemanusiaan, dan konflik antarnegara, kisah Dhul-Qarnayn menyerukan kepemimpinan yang beretika, yang tidak mementingkan kekuasaan demi kekuasaan, melainkan untuk menegakkan keadilan global, melindungi yang lemah dan rentan dari penindasan, serta mempromosikan perdamaian dan kemakmuran bersama. Pemimpin modern harus meneladani Dhul-Qarnayn yang menolak imbalan demi kebaikan.
  2. Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan yang Bertanggung Jawab: Dhul-Qarnayn menggunakan sumber daya (besi dan tembaga) untuk membangun sesuatu yang bermanfaat, kokoh, dan melindungi masyarakat. Ini dapat diinterpretasikan sebagai seruan untuk menggunakan sumber daya bumi secara bijak, bertanggung jawab, dan berkelanjutan demi keberlanjutan hidup generasi mendatang, alih-alih merusak lingkungan dan mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan demi keuntungan sesaat.
  3. Pembangunan Infrastruktur dan Teknologi untuk Kesejahteraan Sosial: Kisah ini menginspirasi untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mampu memberikan solusi nyata bagi masalah-masalah sosial mendasar, seperti kemiskinan, penyakit, kelaparan, atau bencana alam. Teknologi harus digunakan sebagai alat untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dan mencapai tujuan kemanusiaan yang lebih tinggi, bukan untuk tujuan destruktif atau untuk memperlebar kesenjangan.
  4. Melawan Kekuatan Perusak (Modern "Ya'juj dan Ma'juj"): Konsep "Ya'juj dan Ma'juj" dalam konteks modern bisa diartikan secara metaforis sebagai segala bentuk kekuatan atau ideologi yang merusak tatanan sosial, ekonomi, dan lingkungan; seperti terorisme, korupsi endemik, eksploitasi manusia, kerusakan moral, atau penyebaran paham ekstremisme. Pemimpin yang baik harus membangun "dinding" perlindungan (melalui hukum yang adil, pendidikan yang berkualitas, penegakan etika, dan sistem sosial yang kuat) untuk masyarakatnya dari kekuatan-kekuatan perusak ini.
  5. Kerja Sama Internasional dan Solidaritas Global: Dhul-Qarnayn membutuhkan bantuan tenaga dari kaum yang lemah untuk membangun dinding. Ini menyiratkan pentingnya kerja sama, kolaborasi, dan solidaritas antara negara-negara, antara yang kuat dan yang lemah, untuk mencapai tujuan bersama yang lebih besar, yaitu kemaslahatan global, mengatasi tantangan bersama, dan membangun dunia yang lebih adil dan damai.
  6. Kesadaran akan Batasan Duniawi dan Nilai-nilai Abadi: Di tengah hiruk pikuk kemajuan, ambisi materialistik, dan budaya konsumerisme, peringatan Dhul-Qarnayn bahwa "janji Tuhanku itu adalah benar" adalah pengingat vital bahwa semua pencapaian duniawi memiliki batasnya dan bersifat fana. Ini mendorong kita untuk lebih fokus pada nilai-nilai abadi, tujuan spiritual, dan mempersiapkan diri untuk kehidupan setelah ini, agar tidak terlena oleh gemerlap dunia.

Penutup dan Intisari Pelajaran Surah Al-Kahfi 83-110

Kisah Dhul-Qarnayn, dari ayat 83 hingga 110 dalam Surah Al-Kahfi, adalah permata kebijaksanaan yang tak ternilai dalam Al-Qur'an. Ini bukan sekadar kisah sejarah kuno, melainkan sebuah manual kepemimpinan yang ideal, cerminan karakter seorang hamba Allah yang saleh, dan peta jalan bagi umat manusia untuk menghadapi ujian kekuasaan di setiap masa.

Dari perjalanan ke Barat, kita belajar tentang pentingnya keadilan dan kasih sayang dalam berinteraksi dengan orang lain, membedakan antara yang zalim dan yang berbuat baik, serta menegakkan prinsip-prinsip Ilahi. Dari perjalanan ke Timur, kita diingatkan akan luasnya kekuasaan Allah dan bagaimana hikmah-Nya bekerja dalam setiap aspek kehidupan, bahkan pada kaum yang paling terpinggirkan, serta perlunya menjangkau semua lapisan masyarakat.

Puncak kisah, yaitu pembangunan dinding melawan Ya'juj dan Ma'juj, adalah manifestasi tertinggi dari kepemimpinan yang tulus: menolak imbalan materi, mengerahkan semua potensi (ilmu, teknologi, tenaga kerja) demi kebaikan bersama, dan senantiasa bersyukur serta merendahkan diri di hadapan Allah. Dinding itu bukan hanya penghalang fisik, tetapi juga simbol pertahanan moral, spiritual, dan sosial terhadap kerusakan yang bisa datang dari luar maupun dari dalam masyarakat.

Kisah ini menegaskan bahwa kekuasaan sejati bukanlah tentang dominasi, penindasan, atau eksploitasi, melainkan tentang pelayanan, perlindungan, dan penegakan kebenaran. Dhul-Qarnayn mengajarkan kita bahwa semua kekuatan dan kemampuan adalah anugerah Ilahi yang harus digunakan dengan penuh tanggung jawab, dengan kesadaran bahwa segala sesuatu akan kembali kepada Sang Pencipta, dan bahwa janji-Nya tentang akhirat adalah pasti. Kesadaran ini adalah fondasi bagi setiap tindakan seorang pemimpin yang saleh.

Semoga kita semua dapat mengambil hikmah dari kisah mulia ini, meneladani sikap Dhul-Qarnayn dalam setiap aspek kehidupan kita, dan menjadi pribadi yang adil, rendah hati, berilmu, dan senantiasa bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dengan merenungkan ayat-ayat ini, kita tidak hanya memperdalam pemahaman agama kita, tetapi juga menemukan inspirasi untuk menjadi agen perubahan positif di dunia ini, mempersiapkan diri untuk hari di mana segala dinding akan runtuh dan kebenaran mutlak akan terungkap, yaitu Hari Kiamat.

Kisah Dhul-Qarnayn menutup rangkaian kisah di Surah Al-Kahfi dengan pesan yang kuat tentang kepemimpinan yang beriman dan bertakwa. Ia mengingatkan kita bahwa pada akhirnya, semua kekuasaan adalah milik Allah, dan hanya dengan bersandar pada-Nya, manusia dapat mencapai keberhasilan sejati baik di dunia maupun di akhirat. Pelajaran ini adalah cahaya penuntun bagi umat Islam di setiap zaman, menegaskan bahwa iman, ilmu, harta, dan kekuasaan haruslah selalu diarahkan untuk menggapai keridaan Allah dan kemaslahatan seluruh alam.

🏠 Homepage