Surah Al-Kahf adalah salah satu surah yang memiliki kedudukan istimewa dalam Al-Qur'an. Ia dikenal sebagai surah yang mengandung berbagai pelajaran berharga, dari kisah Ashabul Kahf yang menyelamatkan iman mereka dari penguasa zalim, kisah dua pemilik kebun yang mengajarkan tentang kesyukuran dan bahaya kesombongan, kisah Nabi Musa dan Khidir yang menyoroti pentingnya kerendahan hati dalam mencari ilmu, hingga kisah Dhul-Qarnayn yang menunjukkan kekuasaan, keadilan, dan kebijaksanaan dalam kepemimpinan. Ayat 93 dari Surah Al-Kahf secara khusus mengawali bagian krusial dari kisah Dhul-Qarnayn, yaitu perjalanannya menuju tempat di mana ia akan bertemu dengan kaum yang meminta pertolongannya untuk membangun penghalang dari gangguan Ya'juj dan Ma'juj. Kisah ini bukan sekadar narasi sejarah, melainkan sebuah cerminan abadi tentang keadilan, kepemimpinan yang benar, perlindungan terhadap yang lemah, serta tanda-tanda akhir zaman yang termuat dalam Al-Qur'an.
Surah Al-Kahf, atau yang dikenal juga dengan sebutan "Gua", merupakan surah ke-18 dalam Al-Qur'an dan terdiri dari 110 ayat. Surah ini diturunkan di Mekkah dan memiliki keutamaan besar, di antaranya adalah melindungi pembacanya dari fitnah Dajjal jika dibaca pada hari Jumat. Keutamaan ini tidak terlepas dari inti sari ajaran yang terkandung di dalamnya, yaitu penekanan pada tauhid, sabar dalam menghadapi ujian, pentingnya ilmu, dan persiapan menghadapi hari akhir.
Secara umum, Surah Al-Kahf memuat empat kisah utama yang saling berkaitan dan menjadi poros pesan-pesan moral serta akidah:
Keempat kisah ini, meskipun memiliki plot yang berbeda, terjalin dalam satu benang merah, yaitu bagaimana menghadapi fitnah dunia: fitnah agama (Ashabul Kahf), fitnah harta (dua kebun), fitnah ilmu (Musa dan Khidir), dan fitnah kekuasaan (Dhul-Qarnayn). Ayat 93 adalah gerbang awal untuk memahami puncak dari kisah Dhul-Qarnayn, di mana ia akan dihadapkan pada ujian kepemimpinan dan kebijaksanaan yang sangat besar.
Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Kahf ayat 93:
"Hingga apabila dia sampai di antara dua gunung, dia mendapati di hadapan kedua gunung itu suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan."
Ayat ini adalah titik balik dalam perjalanan Dhul-Qarnayn. Setelah melakukan perjalanan ke arah matahari terbit dan terbenam, kini ia bergerak ke arah lain, melintasi wilayah-wilayah yang berbeda.
Frasa ini mengindikasikan Dhul-Qarnayn tiba di sebuah lokasi geografis yang spesifik dan menonjol: sebuah celah atau lembah di antara dua gunung besar. Lokasi ini seringkali disebut sebagai "saddain" (dua tembok/penghalang alami) atau "baynas saddain" (di antara dua penghalang). Para mufasir berbeda pendapat mengenai lokasi pasti dari dua gunung ini. Beberapa teori mencoba mengaitkannya dengan pegunungan Kaukasus, pegunungan Asia Tengah, atau bahkan menyebutnya sebagai lokasi yang tidak dapat diidentifikasi secara pasti di zaman modern, menegaskan bahwa yang penting adalah pelajaran spiritual dan moralnya, bukan lokasi geografis yang presisi.
Di balik atau di antara celah gunung itu, Dhul-Qarnayn bertemu dengan sebuah kaum. Pertemuan ini adalah inti dari kisah berikutnya. Kaum ini digambarkan dalam ayat selanjutnya sebagai kaum yang menderita dan membutuhkan perlindungan. Mereka tidak disebutkan namanya, namun keberadaan mereka menjadi saksi atas kondisi geografis dan sosial yang ekstrem.
Frasa ini adalah detail yang sangat penting. "La yakadūna yafqahūna qawlan" (mereka hampir tidak mengerti pembicaraan) menunjukkan adanya hambatan komunikasi yang serius. Ini bisa diinterpretasikan dalam beberapa cara:
Hambatan komunikasi ini tidak menghentikan Dhul-Qarnayn untuk berinteraksi dan memahami penderitaan mereka. Ia berusaha mencari cara untuk berkomunikasi, mungkin melalui isyarat atau melalui orang-orang yang bisa memahami sedikit bahasa mereka, atau bahkan melalui intuisi dan kebijaksanaan yang diberikan Allah kepadanya. Ini adalah pelajaran penting tentang empati dan tekad seorang pemimpin untuk memahami dan membantu rakyatnya, terlepas dari segala kendala.
Ayat 93 adalah pembuka bagi tindakan besar Dhul-Qarnayn. Setelah pertemuan yang penuh tantangan komunikasi ini, kaum tersebut berhasil menyampaikan keluhan mereka:
QS. Al-Kahf (18): 94: "Mereka berkata, 'Wahai Dhul-Qarnayn, sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj itu pembuat kerusakan di muka bumi, maka bolehkah kami membayarmu suatu imbalan agar engkau membuatkan antara kami dan mereka sebuah dinding (penghalang)?'"
Keluhan utama kaum tersebut adalah tentang Ya'juj dan Ma'juj (Gog dan Magog) yang senantiasa membuat kerusakan di bumi. Ini adalah kali pertama Ya'juj dan Ma'juj disebutkan dalam Surah Al-Kahf. Mereka digambarkan sebagai kekuatan perusak yang kejam dan meresahkan, meneror kaum yang lemah ini secara berkala. Kerusakan yang mereka timbulkan mungkin meliputi penjarahan, pembunuhan, dan kehancuran lingkungan atau peradaban.
Kaum tersebut, dalam keputusasaan mereka, menawarkan upah atau imbalan kepada Dhul-Qarnayn agar ia membangunkan sebuah "sadd" (dinding atau penghalang) yang kokoh antara mereka dan Ya'juj dan Ma'juj. Ini menunjukkan bahwa mereka memahami kemampuan Dhul-Qarnayn sebagai seorang pemimpin dan pembangun yang ulung, atau setidaknya merasakan kekuatannya yang luar biasa.
Dhul-Qarnayn memberikan jawaban yang mencerminkan kebijaksanaan dan keadilannya:
QS. Al-Kahf (18): 95: "Dia (Dhul-Qarnayn) berkata, 'Apa yang telah dikaruniakan Rabb-ku kepadaku lebih baik (daripada upahmu), maka bantulah aku dengan kekuatan (manusia) agar aku membuatkan dinding (penghalang) antara kamu dan mereka.'"
Jawaban ini mengandung beberapa poin penting:
Ayat-ayat berikutnya menjelaskan detail pembangunan tembok tersebut:
QS. Al-Kahf (18): 96: "Berilah aku potongan-potongan besi." Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, dia berkata, "Tiuplah (api itu)." Hingga apabila besi itu telah menjadi merah menyala, dia berkata, "Berilah aku tembaga (yang sudah dicairkan) agar aku tuangkan ke atasnya."
Ini menunjukkan Dhul-Qarnayn adalah seorang ahli strategi dan teknolog pada masanya. Ia menggunakan material dan metode yang paling canggih untuk memastikan kekuatan dan ketahanan tembok tersebut:
QS. Al-Kahf (18): 97-98: "Maka mereka (Ya'juj dan Ma'juj) tidak dapat mendakinya dan tidak dapat pula melubanginya. Dia (Dhul-Qarnayn) berkata, 'Ini (tembok) adalah rahmat dari Rabb-ku, maka apabila janji Rabb-ku datang, Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Rabb-ku itu adalah benar.'"
Tembok ini berhasil menjalankan fungsinya dengan sempurna: Ya'juj dan Ma'juj tidak mampu mendakinya maupun melubanginya. Ini menjadi perlindungan efektif bagi kaum yang lemah.
Namun, Dhul-Qarnayn dengan bijak mengingatkan bahwa tembok ini, seperti segala sesuatu di dunia, bersifat sementara. Ketika "janji Rabb-ku datang" – yaitu waktu yang telah ditentukan Allah menjelang Hari Kiamat – tembok ini akan hancur luluh. Ini adalah pengingat penting bahwa semua kekuatan dan konstruksi manusia, tidak peduli seberapa megah dan kokoh, tunduk pada kehendak dan ketetapan Allah.
Sosok Ya'juj dan Ma'juj adalah salah satu misteri besar dalam Islam dan eskatologi. Mereka disebutkan dalam Al-Qur'an (Surah Al-Kahf dan Surah Al-Anbiya') serta dalam hadis-hadis Nabi Muhammad SAW sebagai salah satu tanda besar Hari Kiamat.
Ada banyak perdebatan di kalangan ulama dan sejarawan mengenai identitas dan lokasi Ya'juj dan Ma'juj:
Penting untuk tidak berspekulasi berlebihan mengenai lokasi atau identitas pasti mereka, melainkan fokus pada pelajaran bahwa ada kekuatan jahat yang dapat mengancam umat manusia, dan bahwa Allah adalah pelindung sejati.
Kisah Dhul-Qarnayn, yang dimulai dengan ayat 93, kaya akan pelajaran berharga bagi individu maupun masyarakat, terutama bagi para pemimpin.
Dhul-Qarnayn adalah prototipe pemimpin yang ideal. Ia memiliki kekuasaan dan sumber daya yang besar, namun ia menggunakannya untuk:
Ayat 93, dengan pertemuan pertamanya dengan kaum yang tertindas, adalah momen di mana Dhul-Qarnayn menunjukkan kepeduliannya yang mendalam terhadap penderitaan orang lain, bahkan mereka yang sulit berkomunikasi dengannya.
Frasa "yang hampir tidak mengerti pembicaraan" menyoroti tantangan komunikasi antarbudaya. Meskipun ada hambatan bahasa, Dhul-Qarnayn tidak lantas mengabaikan kaum tersebut. Ia berupaya memahami kebutuhan mereka, yang pada akhirnya berhasil disampaikan. Ini mengajarkan pentingnya:
Dhul-Qarnayn menggunakan ilmu metalurgi canggih untuk membangun tembok. Ini adalah pelajaran bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi harus dimanfaatkan untuk kebaikan manusia, untuk mengatasi masalah, dan untuk membangun peradaban yang lebih aman dan adil. Bukan untuk tujuan destruktif atau untuk menindas.
Dhul-Qarnayn menyadari bahwa kekuasaannya adalah anugerah dari Allah ("Apa yang telah dikaruniakan Rabb-ku kepadaku lebih baik"). Ini adalah tawakal kepada Allah. Namun, ia juga meminta bantuan fisik dari kaum tersebut dan menggunakan segala pengetahuannya untuk membangun tembok, yang menunjukkan usaha maksimal. Tawakal tidak berarti pasrah tanpa usaha, melainkan berserah diri setelah melakukan yang terbaik.
Pernyataan Dhul-Qarnayn bahwa tembok itu akan hancur luluh ketika "janji Rabb-ku datang" adalah pengingat bahwa semua hasil kerja manusia, seberapa pun megah dan kokohnya, akan berakhir. Ini menanamkan kesadaran akan kefanaan dunia dan kekekalan kekuasaan Allah. Ini juga mempersiapkan manusia untuk menghadapi tanda-tanda akhir zaman.
Kisah ini secara jelas menggambarkan tanggung jawab seorang pemimpin untuk melindungi kaum yang lemah dan tertindas dari kezaliman. Ini adalah prinsip dasar keadilan sosial dalam Islam. Kaum yang tidak berdaya melawan Ya'juj dan Ma'juj menemukan penyelamat dalam diri Dhul-Qarnayn, yang bertindak atas nama Allah.
Kisah Dhul-Qarnayn, termasuk ayat 93, tidak berdiri sendiri. Ia terjalin erat dengan tema-tema utama Surah Al-Kahf:
Meskipun kisah Dhul-Qarnayn terjadi di masa lampau, pelajaran dari ayat 93 dan seterusnya memiliki relevansi yang sangat kuat di zaman modern:
Di era globalisasi, kita membutuhkan pemimpin yang memiliki visi seperti Dhul-Qarnayn: menggunakan kekuatan dan pengaruh untuk menyelesaikan konflik, melindungi yang lemah, dan membangun kerjasama lintas negara. Pemimpin harus berani menolak korupsi (menolak upah) dan fokus pada kesejahteraan umat manusia, bukan kepentingan pribadi atau kelompok.
Dunia modern dipenuhi dengan konflik yang seringkali berakar dari kesalahpahaman atau hambatan komunikasi antarbudaya dan antar keyakinan. Kisah ini mengajarkan pentingnya jembatan dialog dan upaya tulus untuk memahami "kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan" lainnya, baik dalam konteks bahasa, budaya, maupun ideologi. Teknologi harus digunakan untuk mendekatkan, bukan memisahkan.
Ya'juj dan Ma'juj modern bisa diinterpretasikan sebagai berbagai bentuk kejahatan global: terorisme, kejahatan siber, penyebaran narkoba, perdagangan manusia, korupsi sistemik, atau bahkan ideologi-ideologi destruktif yang merusak moral dan tatanan sosial. Kita membutuhkan pemimpin dan masyarakat yang proaktif membangun "tembok" perlindungan melalui pendidikan, penegakan hukum yang adil, pengembangan etika, dan penguatan nilai-nilai moral dan agama.
Kisah Dhul-Qarnayn yang menggunakan teknologi metalurgi canggih untuk membangun tembok adalah pengingat bahwa inovasi dan kemajuan teknologi harus selalu diarahkan untuk kemaslahatan umat. Teknologi yang tidak diiringi dengan moralitas dan etika dapat menjadi bumerang, menciptakan kerusakan yang lebih besar. Kita harus memastikan teknologi digunakan untuk membangun, bukan menghancurkan.
Kaum yang meminta bantuan Dhul-Qarnayn adalah minoritas yang tertindas. Di dunia modern, prinsip ini relevan dengan perlindungan hak asasi manusia, keadilan bagi kelompok minoritas, dan perhatian terhadap mereka yang paling rentan terhadap eksploitasi dan penindasan, baik di tingkat lokal maupun internasional.
Menganalisis aspek kebahasaan Al-Qur'an dapat memperdalam pemahaman kita tentang ayat 93:
Para ulama tafsir sepanjang sejarah telah membahas ayat ini dengan berbagai nuansa:
Intinya, semua tafsir sepakat bahwa ayat 93 adalah pintu gerbang menuju salah satu proyek terbesar Dhul-Qarnayn, yang memiliki implikasi mendalam bagi pemahaman kita tentang keadilan ilahi, kepemimpinan yang saleh, dan misteri akhir zaman.
Ayat 93 dari Surah Al-Kahf, meskipun singkat, adalah pembuka bagi sebuah narasi yang megah dan penuh hikmah tentang Dhul-Qarnayn. Kisah pertemuannya dengan "kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan" di antara dua gunung, yang kemudian mengarah pada pembangunan tembok raksasa untuk menghalangi Ya'juj dan Ma'juj, adalah permata Al-Qur'an yang tak lekang oleh waktu.
Ia mengajarkan kepada kita tentang esensi kepemimpinan yang adil: menggunakan kekuasaan bukan untuk keuntungan pribadi, melainkan untuk menegakkan keadilan, melindungi yang lemah, dan membangun peradaban yang makmur. Kisah ini menegaskan pentingnya empati dan upaya komunikasi untuk memahami penderitaan orang lain, bahkan di tengah hambatan yang sangat besar. Lebih dari itu, ia menunjukkan bagaimana ilmu pengetahuan dan teknologi, ketika dipadukan dengan iman dan moralitas, dapat menjadi alat yang ampuh untuk mengatasi tantangan terbesar umat manusia.
Sebagai pengingat akan kefanaan dunia, tembok Dhul-Qarnayn yang kokoh itu pun pada akhirnya akan hancur luluh menjelang Hari Kiamat, mengukuhkan keyakinan akan kekuasaan mutlak Allah SWT atas segala ciptaan-Nya. Di tengah kompleksitas dunia modern, kisah Al-Kahfi 93 terus relevan, mengajak kita untuk merenungkan tanggung jawab kita sebagai individu dan pemimpin dalam membangun kebaikan, melawan kezaliman, dan senantiasa berserah diri kepada kehendak Ilahi.
Semoga kita semua dapat mengambil pelajaran berharga dari Surah Al-Kahf, khususnya dari kisah Dhul-Qarnayn, untuk menjadi pribadi yang lebih beriman, adil, dan bermanfaat bagi sesama.