Surah Al-Kahfi adalah salah satu surah yang paling mulia dalam Al-Quran, menempati urutan ke-18 dan terdiri dari 110 ayat. Dinamakan "Al-Kahfi" yang berarti "Gua" karena surah ini mengisahkan secara terperinci tentang tujuh pemuda beriman yang mencari perlindungan di sebuah gua dari tirani penguasa zalim pada masanya. Surah ini diturunkan di Mekkah (Makkiyah) sebelum hijrah Nabi Muhammad ﷺ ke Madinah, pada masa-masa awal perjuangan Islam yang penuh tantangan dan ujian.
Keutamaan membaca Surah Al-Kahfi sangatlah besar, khususnya pada hari Jumat. Nabi Muhammad ﷺ bersabda, "Barang siapa yang membaca Surah Al-Kahfi pada hari Jumat, niscaya ia akan disinari cahaya antara dua Jumat." (HR. Al-Hakim). Keutamaan ini menunjukkan betapa pentingnya surah ini dalam kehidupan seorang Muslim, tidak hanya sebagai bacaan yang mendatangkan pahala, tetapi juga sebagai sumber petunjuk dan perlindungan dari berbagai fitnah.
Surah Al-Kahfi dikenal karena empat kisah utamanya yang menjadi inti dari pelajaran-pelajaran penting dalam kehidupan: kisah Ashabul Kahfi (Penghuni Gua), kisah dua pemilik kebun, kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir, serta kisah Dzulqarnain. Keempat kisah ini secara tematis membahas tentang empat fitnah terbesar yang dapat menimpa manusia: fitnah agama (Ashabul Kahfi), fitnah harta (dua pemilik kebun), fitnah ilmu (Musa dan Khidir), dan fitnah kekuasaan (Dzulqarnain).
Artikel ini akan berfokus pada 25 ayat pertama dari Surah Al-Kahfi, yang secara eksklusif menguraikan permulaan surah dan kisah heroik Ashabul Kahfi. Kita akan menyelami makna setiap ayat, menggali tafsirnya, dan mengambil pelajaran berharga yang relevan untuk kehidupan kita, khususnya dalam menghadapi berbagai cobaan dan menjaga kemurnian akidah.
Surah Al-Kahfi dibuka dengan pujian agung bagi Allah SWT, Dzat yang telah menurunkan Al-Kitab (Al-Quran) kepada hamba-Nya. Ayat-ayat ini menegaskan kesempurnaan Al-Quran sebagai petunjuk yang lurus, bebas dari kebengkokan, dan sebagai peringatan keras bagi mereka yang menyimpang, serta kabar gembira bagi orang-orang yang beriman.
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنزَلَ عَلَىٰ عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَل لَّهُ عِوَجَا ۜ
1. Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepada hamba-Nya, dan Dia tidak menjadikan padanya sedikit pun kebengkokan.
Ayat pertama ini adalah fondasi surah ini, sekaligus fondasi bagi seluruh ajaran Islam. Pujian "Alhamdulillah" menunjukkan pengakuan akan keesaan Allah dan kesempurnaan-Nya. Allah adalah satu-satunya Dzat yang berhak dipuji karena Dialah Pencipta, Pengatur, dan Pemberi segala nikmat, termasuk nikmat yang paling agung: diturunkannya Al-Quran. Penyebutan "kepada hamba-Nya" (Nabi Muhammad ﷺ) meninggikan derajat Nabi sebagai utusan pilihan Allah.
Frasa "tidak menjadikan padanya sedikit pun kebengkokan (عِوَجَا)" adalah penegasan tentang kemurnian, kebenaran, dan kesempurnaan Al-Quran. Al-Quran adalah petunjuk yang lurus, adil, dan tanpa cacat. Ia tidak mengandung kontradiksi, tidak pula mengandung kebohongan, dan ajarannya senantiasa relevan sepanjang masa. Kebengkokan di sini bisa berarti ketidakjelasan, ketidakadilan, atau pertentangan dengan akal sehat. Al-Quran bebas dari semua itu.
قَيِّمًا لِّيُنذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِّن لَّدُنْهُ وَيُبَشِّرَ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا
2. Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan siksa yang sangat pedih dari sisi-Nya, dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan kebajikan, bahwa mereka akan memperoleh balasan yang baik,
Kata "قَيِّمًا" (Qayyiman) menguatkan makna ayat sebelumnya: Al-Quran adalah petunjuk yang tegak lurus, menjaga keadilan, dan memelihara syariat. Fungsinya ada dua: (1) memperingatkan tentang siksa pedih dari Allah bagi mereka yang ingkar dan menentang, dan (2) memberi kabar gembira tentang balasan yang baik bagi orang-orang mukmin yang beramal saleh. Ini adalah keseimbangan antara 'al-khawf' (rasa takut) dan 'ar-raja'' (harapan) yang selalu hadir dalam ajaran Islam.
Peringatan akan siksa yang pedih adalah motivasi agar manusia menjauhi maksiat dan kekufuran. Siksa itu datang "dari sisi-Nya," menunjukkan bahwa ia adalah hak mutlak Allah dan tidak ada yang dapat menghalanginya. Sementara itu, kabar gembira bagi "orang-orang mukmin yang mengerjakan kebajikan" menekankan pentingnya iman yang dibuktikan dengan amal saleh. Iman tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah, dan amal tanpa iman bagaikan bangunan tanpa pondasi. Balasan yang baik (أَجْرًا حَسَنًا) adalah surga dan segala kenikmatan di dalamnya.
مَّاكِثِينَ فِيهِ أَبَدًا
3. Mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya.
Ayat ketiga ini menjelaskan sifat balasan yang baik tersebut: kekal abadi. Ini adalah janji yang menghibur dan memotivasi para mukmin. Surga bukanlah tempat persinggahan sementara, melainkan tempat tinggal yang abadi tanpa ada rasa takut akan kehilangan atau berakhirnya kenikmatan. Kekekalan ini menjadi pembeda utama antara kenikmatan duniawi yang fana dengan kenikmatan ukhrawi yang abadi.
Pelajaran dari Ayat 1-3: Ayat-ayat pembuka ini menegaskan keagungan Allah, kesempurnaan Al-Quran sebagai satu-satunya petunjuk yang benar, serta janji dan ancaman Allah yang pasti. Ini adalah seruan untuk menjadikan Al-Quran sebagai pedoman hidup, agar mendapatkan kebahagiaan abadi di akhirat.
Setelah pujian bagi Allah dan penegasan kemuliaan Al-Quran, Surah Al-Kahfi langsung mengarah pada isu fundamental akidah: menolak klaim keji bahwa Allah mempunyai anak. Ini adalah inti dari tauhid dan sekaligus bantahan terhadap keyakinan syirik yang tersebar di kalangan kaum musyrikin Mekkah dan umat-umat terdahulu.
وَيُنذِرَ الَّذِينَ قَالُوا اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا
4. Dan untuk memperingatkan kepada orang-orang yang berkata, "Allah mengambil seorang anak."
Ayat ini kembali mengulang fungsi Al-Quran sebagai pemberi peringatan, kali ini secara spesifik ditujukan kepada mereka yang melakukan kesyirikan terbesar: mengklaim Allah memiliki anak. Klaim ini datang dari berbagai kelompok, baik musyrikin yang mengklaim malaikat sebagai anak perempuan Allah, maupun Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang mengklaim Uzair dan Isa sebagai anak Allah. Ini adalah bentuk kekufuran yang sangat serius karena merusak konsep tauhid rububiyah dan uluhiyah.
Frasa "Allah mengambil seorang anak" (اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا) menyiratkan sebuah tindakan sukarela yang tidak pantas bagi kesempurnaan Allah. Allah tidak membutuhkan siapapun atau apapun. Dia adalah Al-Ahad (Yang Maha Esa), As-Samad (Yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu). Memiliki anak berarti memiliki ketergantungan, kebutuhan, dan kemiripan, yang semuanya mustahil bagi Allah.
مَّا لَهُم بِهِ مِنْ عِلْمٍ وَلَا لِآبَائِهِمْ ۚ كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ ۚ إِن يَقُولُونَ إِلَّا كَذِبًا
5. Mereka sama sekali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah jeleknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan kecuali dusta.
Ayat kelima ini mempertegas bahwa klaim tersebut sama sekali tidak memiliki dasar ilmiah maupun rasional. "Mereka sama sekali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu" menunjukkan bahwa keyakinan tersebut hanyalah asumsi, dugaan, atau warisan turun-temurun tanpa bukti. Ini juga berlaku untuk "nenek moyang mereka," yang berarti keyakinan itu sudah lama ada dan diwariskan dari generasi ke generasi tanpa ada dasar kebenaran.
"Alangkah jeleknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka" (كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ) adalah kecaman keras dari Allah terhadap perkataan yang begitu keji dan agung dosanya. Kalimat ini menggambarkan betapa beratnya dosa syirik. Perkataan tersebut bukan hanya salah, tetapi juga merupakan fitnah terbesar terhadap Pencipta alam semesta. Allah menegaskan, "mereka tidak mengatakan kecuali dusta." Ini adalah penegasan bahwa klaim tersebut murni kebohongan dan jauh dari kebenaran hakiki.
Pelajaran dari Ayat 4-5: Ayat-ayat ini menjadi benteng akidah Islam, mengajarkan kemurnian tauhid dan menolak segala bentuk syirik, khususnya yang berkaitan dengan klaim adanya anak bagi Allah. Ia menekankan bahwa kebenaran harus didasarkan pada ilmu dan bukti, bukan hanya pada warisan atau dugaan belaka. Ini adalah peringatan bagi umat Islam untuk senantiasa menjaga akidah dari segala bentuk penyelewengan.
Setelah membantah klaim tentang anak Allah, Al-Quran mengalihkan perhatian kepada kondisi hati Nabi Muhammad ﷺ yang penuh keprihatinan terhadap kaumnya. Ayat ini menunjukkan betapa besar rasa kasih sayang Nabi kepada umatnya, sampai-sampai beliau hampir mengorbankan diri demi melihat mereka beriman.
فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَّفْسَكَ عَلَىٰ آثَارِهِمْ إِن لَّمْ يُؤْمِنُوا بِهَٰذَا الْحَدِيثِ أَسَفًا
6. Maka (apakah) barangkali engkau akan membunuh dirimu karena bersedih hati mengikuti jejak mereka (orang-orang kafir), jika mereka tidak beriman kepada keterangan ini?
Ayat ini adalah bentuk hiburan dan peringatan dari Allah kepada Nabi Muhammad ﷺ. Frasa "بَاخِعٌ نَّفْسَكَ" (bakhi'un nafsaka) secara harfiah berarti "menghancurkan dirimu" atau "membinasakan dirimu." Ini adalah ungkapan hiperbolis yang menggambarkan tingkat kesedihan dan kepedihan hati Nabi yang sangat mendalam karena penolakan kaumnya terhadap risalah yang beliau sampaikan. Nabi begitu ingin kaumnya beriman, sehingga beliau merasa sangat frustrasi dan terpukul ketika melihat mereka enggan menerima kebenaran Al-Quran.
Al-Quran menyebut "keterangan ini" (بِهَٰذَا الْحَدِيثِ) yang dimaksud adalah Al-Quran itu sendiri, atau secara umum risalah Islam. Allah mengingatkan Nabi bahwa tugas beliau hanyalah menyampaikan risalah, bukan memaksa hati manusia untuk beriman. Hidayah adalah hak prerogatif Allah. Ini juga pelajaran bagi para dai dan pendakwah agar tidak terlalu terbebani dengan hasil dakwah, namun fokus pada proses penyampaiannya dengan benar.
Pelajaran dari Ayat 6: Ayat ini menunjukkan keagungan akhlak Nabi Muhammad ﷺ yang penuh kasih sayang dan kepedulian terhadap umatnya. Ini juga mengajarkan kepada kita untuk memiliki semangat dakwah yang tinggi, namun tetap memahami bahwa hidayah adalah urusan Allah. Kita bertugas menyeru, menjelaskan, dan mendoakan, tetapi bukan memaksakan kehendak hidayah kepada siapapun.
Setelah membahas isu akidah dan kekhawatiran Nabi, Al-Quran mengalihkan perhatian ke realitas dunia. Ayat-ayat ini menjelaskan hakikat kehidupan dunia sebagai ujian dan peringatan bahwa segala perhiasannya akan hancur dan kembali menjadi tanah yang tandus.
إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى الْأَرْضِ زِينَةً لَّهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
7. Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, untuk Kami uji mereka, siapakah di antara mereka yang terbaik amalnya.
Ayat ini mengungkap tujuan penciptaan segala sesuatu di bumi: sebagai "perhiasan" (زِينَةً) yang menarik dan indah. Harta, anak-anak, kekuasaan, jabatan, kenikmatan-kenikmatan indrawi, semuanya adalah perhiasan dunia. Namun, tujuan utama di balik perhiasan ini bukanlah untuk dinikmati tanpa batas, melainkan sebagai "ujian" (لِنَبْلُوَهُمْ) bagi manusia. Ujian untuk melihat "siapakah di antara mereka yang terbaik amalnya" (أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا).
Frasa "أَحْسَنُ عَمَلًا" (ahsan 'amalan) bukan hanya berarti "terbanyak amalnya," tetapi "terbaik amalnya," yang mencakup keikhlasan dan kesesuaian dengan syariat. Ujian ini mencakup bagaimana manusia merespons godaan dunia, bagaimana mereka menggunakan nikmat Allah, apakah mereka bersyukur atau kufur, apakah mereka berbuat adil atau zalim. Dunia adalah ladang amal, dan segala isinya adalah sarana untuk menguji kualitas amal manusia.
وَإِنَّا لَجَاعِلُونَ مَا عَلَيْهَا صَعِيدًا جُرُزًا
8. Dan Kami benar-benar akan menjadikan apa yang di atasnya (bumi) menjadi tanah yang tandus lagi kering.
Ayat ini adalah kelanjutan dari ayat sebelumnya, mempertegas kefanaan dunia. Meskipun dunia dipenuhi perhiasan yang indah, Allah akan "menjadikan apa yang di atasnya (bumi) menjadi tanah yang tandus lagi kering" (صَعِيدًا جُرُزًا). Ini adalah gambaran tentang kehancuran dunia pada hari kiamat. Gunung-gunung akan hancur, lautan akan meluap, dan bumi akan rata menjadi tanah yang tandus, tidak ada lagi tanaman dan kehidupan.
Peringatan ini berfungsi sebagai pengingat agar manusia tidak terlena dengan perhiasan dunia. Kekayaan, kekuasaan, dan segala kenikmatan fana ini akan lenyap. Yang tersisa hanyalah amal perbuatan. Oleh karena itu, seorang mukmin harus senantiasa menempatkan dunia di tangan, bukan di hati, dan menjadikan akhirat sebagai tujuan utamanya.
Pelajaran dari Ayat 7-8: Ayat-ayat ini mengajarkan hakikat dunia sebagai tempat ujian dan kefanaannya. Dunia bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana untuk mengumpulkan bekal menuju akhirat. Hikmahnya adalah agar kita tidak terbuai oleh gemerlap dunia, melainkan fokus pada amal saleh yang ikhlas dan sesuai syariat, karena hanya itu yang akan kekal.
Setelah pengantar yang fundamental mengenai akidah, peringatan, dan hakikat dunia, Al-Quran mulai mengisahkan tentang Ashabul Kahfi. Ayat-ayat ini memperkenalkan kisah tersebut dan mengisahkan doa tulus para pemuda saat mereka mencari perlindungan dari fitnah agama.
أَمْ حَسِبْتَ أَنَّ أَصْحَابَ الْكَهْفِ وَالرَّقِيمِ كَانُوا مِنْ آيَاتِنَا عَجَبًا
9. Apakah engkau mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kebesaran Kami yang menakjubkan?
Ayat ini dibuka dengan pertanyaan retoris, "Apakah engkau mengira...?" (أَمْ حَسِبْتَ). Ini adalah cara Al-Quran untuk menarik perhatian pembaca dan menegaskan bahwa kisah Ashabul Kahfi, meskipun luar biasa, bukanlah satu-satunya atau yang paling menakjubkan dari "tanda-tanda kebesaran Kami" (آيَاتِنَا). Seluruh alam semesta dan penciptaan manusia itu sendiri sudah merupakan tanda-tanda yang jauh lebih besar dan menakjubkan bagi orang yang mau berpikir. Allah ingin menunjukkan bahwa kemampuan-Nya menciptakan hal-hal yang 'aneh' (seperti tidur 309 tahun) adalah hal yang biasa bagi-Nya, tidak lebih aneh dari penciptaan alam semesta.
"أَصْحَابَ الْكَهْفِ" (Ashabul Kahfi) berarti "penghuni gua." Sedangkan "وَالرَّقِيمِ" (war-Raqim) memiliki beberapa penafsiran. Sebagian ulama mengatakan Raqim adalah nama gua itu sendiri, atau sebuah prasasti/lempengan batu yang berisi nama-nama mereka atau kisah mereka yang kemudian ditemukan. Mayoritas tafsir kontemporer cenderung mengartikan Raqim sebagai papan yang tertulis nama-nama dan kisah Ashabul Kahfi, yang kemudian ditemukan dan menjadi bukti kebenaran kisah tersebut.
إِذْ أَوَى الْفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوا رَبَّنَا آتِنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا
10. (Ingatlah) ketika pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa, "Ya Tuhan kami. Berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami."
Ayat ini adalah permulaan narasi kisah Ashabul Kahfi. "الْفِتْيَةُ" (al-fityah) berarti pemuda-pemuda. Mereka adalah sekelompok pemuda yang beriman teguh pada Allah di tengah masyarakat yang musyrik dan dipimpin oleh penguasa zalim (Daqyanus atau Decius, menurut riwayat sejarah). Karena iman mereka, mereka terancam penganiayaan dan hukuman mati. Mereka memilih untuk "mencari tempat berlindung ke dalam gua" (أَوَى الْفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ) sebagai bentuk hijrah demi menjaga agama mereka.
Yang paling mengharukan dari ayat ini adalah doa mereka: "رَبَّنَا آتِنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا" (Rabbana atina min ladunka rahmatan wa hayyi' lana min amrina rashada). Doa ini mencerminkan tawakal dan kepasrahan total kepada Allah. Mereka tidak meminta harta atau kekuatan, tetapi "rahmat dari sisi-Mu" (minta karunia, perlindungan, dan segala kebaikan) dan "petunjuk yang lurus dalam urusan kami" (minta agar Allah membimbing mereka dalam setiap langkah dan keputusan, menjauhkan dari kesesatan). Doa ini adalah teladan bagi setiap Muslim yang menghadapi ujian dan kesulitan: selalu memohon rahmat dan petunjuk dari Allah.
Pelajaran dari Ayat 9-10: Ayat-ayat ini memperkenalkan kisah Ashabul Kahfi sebagai bukti kekuasaan Allah yang tidak terbatas, bukan yang paling aneh, tetapi penuh pelajaran. Doa para pemuda mengajarkan pentingnya tawakal, memohon rahmat dan petunjuk Allah dalam setiap kesulitan, serta keberanian untuk berhijrah demi menjaga iman.
Setelah para pemuda berdoa dan berlindung di gua, Allah mengabulkan doa mereka dengan cara yang luar biasa: menidurkan mereka dalam waktu yang sangat panjang. Ayat-ayat ini menjelaskan proses ilahi tersebut dan hikmah di baliknya.
فَضَرَبْنَا عَلَىٰ آذَانِهِمْ فِي الْكَهْفِ سِنِينَ عَدَدًا
11. Maka Kami tidurkan mereka dalam gua itu beberapa tahun.
Frasa "فَضَرَبْنَا عَلَىٰ آذَانِهِمْ" (fadarabna 'ala adzanihim) secara harfiah berarti "Kami pukul telinga mereka." Ini adalah kiasan dalam bahasa Arab yang berarti membuat seseorang tertidur pulas dan tidak mendengar apapun. Allah lah yang menidurkan mereka dengan cara yang sempurna, sehingga mereka tidak terganggu oleh suara apapun, dan tidak ada yang dapat membangunkan mereka selama "beberapa tahun" (سِنِينَ عَدَدًا), yang kemudian dijelaskan lebih lanjut di ayat 25 berjumlah 309 tahun. Ini adalah mukjizat yang menunjukkan kekuasaan mutlak Allah atas waktu, kehidupan, dan kematian.
Tidur yang sangat panjang ini juga merupakan bentuk perlindungan Allah terhadap mereka, menyelamatkan mereka dari penguasa zalim dan kaum musyrikin yang mungkin akan mencari mereka. Allah menjaga mereka dalam keadaan tidak sadar, sehingga mereka tidak merasakan derita atau ketakutan selama masa penantian tersebut.
ثُمَّ بَعَثْنَاهُمْ لِنَعْلَمَ أَيُّ الْحِزْبَيْنِ أَحْصَىٰ لِمَا لَبِثُوا أَمَدًا
12. Kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui siapakah di antara kedua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung berapa lamanya mereka tinggal (di gua itu).
Setelah tidur panjang, Allah "membangunkan mereka" (ثُمَّ بَعَثْنَاهُمْ). Kebangkitan ini adalah mukjizat kedua, yang memiliki tujuan penting: "agar Kami mengetahui siapakah di antara kedua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung berapa lamanya mereka tinggal (di gua itu)" (لِنَعْلَمَ أَيُّ الْحِزْبَيْنِ أَحْصَىٰ لِمَا لَبِثُوا أَمَدًا). Frasa "Kami mengetahui" di sini bukan berarti Allah tidak tahu sebelumnya, melainkan agar pengetahuan Allah terbukti nyata bagi manusia, menjadi pelajaran yang tampak dan dapat direnungkan. "Kedua golongan" di sini bisa merujuk pada Ashabul Kahfi itu sendiri yang berdebat tentang lama tidur mereka, atau kelompok lain yang kemudian menemukan mereka dan juga berselisih tentang lama tidur mereka.
Hikmah dari kebangkitan ini adalah untuk menunjukkan bukti nyata kekuasaan Allah dalam menghidupkan kembali orang mati (kebangkitan di hari kiamat). Kisah Ashabul Kahfi adalah miniatur dari hari kebangkitan. Jika Allah mampu menidurkan sekelompok manusia selama berabad-abad dan kemudian membangkitkan mereka kembali dalam kondisi fisik yang relatif utuh, maka Dia jauh lebih mampu untuk membangkitkan seluruh umat manusia dari kubur mereka di hari kiamat.
Pelajaran dari Ayat 11-12: Ayat-ayat ini menunjukkan kekuasaan Allah yang tak terbatas atas hidup, mati, dan waktu. Tidur panjang Ashabul Kahfi adalah bukti nyata mukjizat-Nya dan merupakan pelajaran penting tentang hari kebangkitan. Ini juga menunjukkan perlindungan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, bahkan dalam situasi yang paling sulit sekalipun.
Al-Quran melanjutkan kisah Ashabul Kahfi dengan penegasan kebenaran narasi ini dan menyoroti keberanian iman para pemuda yang berdiri teguh di hadapan kemusyrikan dan kezaliman.
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُم بِالْحَقِّ ۚ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى
13. Kami ceritakan kepadamu (Muhammad) kisah mereka dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk.
Kalimat "Kami ceritakan kepadamu (Muhammad) kisah mereka dengan sebenarnya" (نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُم بِالْحَقِّ) adalah penegasan ilahi atas keautentikan dan kebenaran kisah ini. Ini penting karena ada banyak versi kisah Ashabul Kahfi (termasuk yang diceritakan oleh Ahli Kitab) yang mungkin mengandung penambahan atau pengurangan. Allah menjamin bahwa versi yang disampaikan dalam Al-Quran adalah yang paling benar dan akurat.
Allah kemudian menjelaskan identitas dan kualitas para pemuda ini: "Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka" (إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ). Kata "pemuda" (فِتْيَةٌ) menunjukkan bahwa mereka berada di usia muda, usia yang biasanya penuh dengan gejolak dan keinginan untuk menyenangkan orang lain. Namun, mereka memilih untuk teguh pada iman, menolak tekanan sosial dan politik. Ini adalah teladan yang luar biasa bagi pemuda Muslim di setiap zaman.
Dan yang lebih penting, Allah menambahkan, "dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk" (وَزِدْنَاهُمْ هُدًى). Ini adalah janji Allah: barang siapa yang beriman dan berusaha menaati-Nya, Allah akan menambahkan hidayah dan keteguhan dalam hatinya. Hidayah bukanlah sesuatu yang statis, melainkan dapat bertambah atau berkurang sesuai dengan tingkat keimanan dan usaha seorang hamba.
وَرَبَطْنَا عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ إِذْ قَامُوا فَقَالُوا رَبُّنَا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَن نَّدْعُوَ مِن دُونِهِ إِلَٰهًا ۖ لَّقَدْ قُلْنَا إِذًا شَطَطًا
14. Dan Kami teguhkan hati mereka ketika mereka berdiri, lalu mereka berkata, "Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi; kami tidak akan menyeru tuhan selain Dia. Sungguh, kalau kami berbuat demikian, tentu kami telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran."
Ayat ini menggambarkan keberanian luar biasa para pemuda. "وَرَبَطْنَا عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ" (warabatna 'ala qulubihim) berarti "Kami teguhkan hati mereka." Ini adalah pertolongan ilahi yang diberikan kepada mereka agar tidak gentar saat menghadapi raja zalim dan kaum musyrikin. Dalam situasi tekanan yang amat sangat, mereka mampu "berdiri" (قَامُوا) dan menyampaikan kebenaran dengan tegas.
Pernyataan mereka yang penuh iman: "Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi; kami tidak akan menyeru tuhan selain Dia" (رَبُّنَا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَن نَّدْعُوَ مِن دُونِهِ إِلَٰهًا) adalah deklarasi tauhid yang fundamental. Mereka menegaskan keesaan Allah sebagai Pencipta dan Pengatur alam semesta, dan menolak dengan tegas segala bentuk kemusyrikan. Mereka sadar bahwa jika mereka menyeru selain Allah, itu adalah "perkataan yang amat jauh dari kebenaran" (شَطَطًا), sebuah kebohongan dan penyelewengan yang sangat besar.
Ini adalah momen krusial yang menunjukkan keberanian mereka dalam mempertahankan iman, bahkan dengan mempertaruhkan nyawa. Mereka tidak takut akan ancaman duniawi karena mereka tahu kebenaran mutlak hanya datang dari Allah.
Pelajaran dari Ayat 13-14: Ayat-ayat ini adalah teladan tentang kekuatan iman dan keberanian dalam menegakkan kebenaran. Allah akan menguatkan hati hamba-Nya yang berani berdiri di atas prinsip tauhid, bahkan di tengah tekanan yang paling berat. Kisah ini mendorong kita untuk tidak gentar dalam menyatakan kebenaran dan menolak kesyirikan, dan meyakini bahwa Allah akan senantiasa menambah hidayah bagi hamba-Nya yang bersungguh-sungguh.
Melanjutkan dialog para pemuda Ashabul Kahfi dengan kaum mereka, ayat-ayat ini menampilkan argumen logis mereka melawan kesyirikan dan keputusan heroik mereka untuk berhijrah demi menyelamatkan iman.
هَٰؤُلَاءِ قَوْمُنَا اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ آلِهَةً ۖ لَّوْلَا يَأْتُونَ عَلَيْهِم بِسُلْطَانٍ بَيِّنٍ ۖ فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَىٰ عَلَى اللَّهِ كَذِبًا
15. Kaum kami ini telah menjadikan tuhan-tuhan (untuk disembah) selain Dia. Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang terang (tentang kepercayaan mereka)? Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?
Para pemuda Ashabul Kahfi dengan lugas menyanggah kesyirikan kaum mereka. Mereka menyatakan, "Kaum kami ini telah menjadikan tuhan-tuhan (untuk disembah) selain Dia" (هَٰؤُلَاءِ قَوْمُنَا اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ آلِهَةً). Ini menunjukkan keprihatinan mereka terhadap kondisi moral dan spiritual masyarakatnya. Mereka tidak hanya menolak, tetapi juga menuntut bukti.
Pertanyaan retoris, "Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang terang (tentang kepercayaan mereka)?" (لَّوْلَا يَأْتُونَ عَلَيْهِم بِسُلْطَانٍ بَيِّنٍ), adalah tantangan yang kuat. Mereka menuntut bukti atau argumentasi yang jelas dan nyata untuk mendukung klaim bahwa tuhan-tuhan selain Allah itu layak disembah. Tentu saja, tidak ada bukti valid untuk kesyirikan, karena akal sehat dan wahyu sejati menolak hal tersebut. Ini adalah pelajaran penting bahwa iman harus dibangun di atas dasar bukti dan keyakinan yang kuat, bukan hanya taklid buta.
Kemudian mereka menegaskan dengan pertanyaan lain, "Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?" (فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَىٰ عَلَى اللَّهِ كَذِبًا). Mengada-adakan kebohongan tentang Allah, seperti menyematkan sifat-sifat yang tidak pantas atau menyekutukan-Nya, adalah kezaliman terbesar, karena ia merusak hakikat tauhid dan merupakan dosa yang paling besar di sisi Allah.
وَإِذِ اعْتَزَلْتُمُوهُمْ وَمَا يَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ فَأْوُوا إِلَى الْكَهْفِ يَنشُرْ لَكُمْ رَبُّكُم مِّن رَّحْمَتِهِ وَيُهَيِّئْ لَكُم مِّنْ أَمْرِكُم مِّرْفَقًا
16. Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan bagimu apa yang berguna bagi urusanmu.
Setelah dialog yang gagal dengan kaumnya, para pemuda mengambil keputusan drastis: "Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah" (وَإِذِ اعْتَزَلْتُمُوهُمْ وَمَا يَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ). Ini adalah tindakan ‘uzlah (mengasingkan diri) atau hijrah demi menjaga iman. Dalam situasi di mana kezaliman dan kesyirikan merajalela dan tidak ada harapan untuk perubahan, menjaga diri dan agama adalah prioritas.
Mereka kemudian menasihati satu sama lain (atau Allah yang menginspirasi mereka) untuk "maka carilah tempat berlindung ke gua itu" (فَأْوُوا إِلَى الْكَهْفِ). Ini adalah langkah konkret yang diambil berdasarkan tawakal kepada Allah. Bukan pelarian tanpa rencana, melainkan pelarian yang disertai keyakinan penuh akan pertolongan Allah. Dan janji Allah pun menyertai mereka: "niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan bagimu apa yang berguna bagi urusanmu" (يَنشُرْ لَكُمْ رَبُّكُم مِّن رَّحْمَتِهِ وَيُهَيِّئْ لَكُم مِّنْ أَمْرِكُم مِّرْفَقًا). Allah akan memberikan rahmat yang luas, perlindungan, dan kemudahan dalam segala urusan mereka. Inilah bukti bahwa barang siapa meninggalkan sesuatu karena Allah, Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik.
Pelajaran dari Ayat 15-16: Ayat-ayat ini mengajarkan pentingnya membela tauhid dengan argumen yang jelas dan tegas. Ketika menghadapi kemungkaran yang tidak dapat diubah, hijrah atau mengasingkan diri demi menjaga agama adalah pilihan yang mulia. Allah akan melimpahkan rahmat dan kemudahan bagi hamba-hamba-Nya yang berjuang di jalan-Nya, yang meninggalkan segala sesuatu demi ketaatan kepada-Nya.
Ayat-ayat ini secara mendetail menggambarkan bagaimana Allah secara luar biasa menjaga Ashabul Kahfi selama tidur panjang mereka di dalam gua, menunjukkan kekuasaan dan rahmat-Nya yang tak terbatas.
وَتَرَى الشَّمْسَ إِذَا طَلَعَت تَّزَاوَرُ عَن كَهْفِهِمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَإِذَا غَرَبَت تَّقْرِضُهُمْ ذَاتَ الشِّمَالِ وَهُمْ فِي فَجْوَةٍ مِّنْهُ ۚ ذَٰلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ۗ مَن يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ ۖ وَمَن يُضْلِلْ فَلَن تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُّرْشِدًا
17. Dan engkau akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan apabila terbenam, ia menjauhi mereka ke sebelah kiri, sedang mereka berada dalam tempat yang luas di dalam (gua) itu. Itulah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barang siapa disesatkan-Nya, maka engkau tidak akan mendapatkan seorang penolong pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.
Ayat ini adalah gambaran yang sangat detail tentang perlindungan Allah terhadap Ashabul Kahfi. Allah menggerakkan matahari sedemikian rupa sehingga: "ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan" (تَّزَاوَرُ عَن كَهْفِهِمْ ذَاتَ الْيَمِينِ), dan "apabila terbenam, ia menjauhi mereka ke sebelah kiri" (تَّقْرِضُهُمْ ذَاتَ الشِّمَالِ). Artinya, sinar matahari tidak langsung menyinari mereka, baik di pagi maupun sore hari. Hal ini penting untuk menjaga suhu tubuh mereka agar tidak terlalu panas atau terlalu dingin, menghindari kerusakan kulit, dan menjaga kondisi gua tetap stabil, yang memungkinkan mereka tertidur sangat lama tanpa terganggu.
Mereka berada "dalam tempat yang luas di dalam (gua) itu" (فِي فَجْوَةٍ مِّنْهُ), menunjukkan bahwa gua itu cukup besar dan lapang, memberikan sirkulasi udara yang memadai dan memungkinkan mereka untuk bergerak sedikit dalam tidurnya. Semua pengaturan ini adalah "sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah" (ذَٰلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ), bukti kekuasaan-Nya yang tak terbatas.
Bagian terakhir ayat ini mengaitkan kisah ini dengan konsep hidayah dan kesesatan: "Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barang siapa disesatkan-Nya, maka engkau tidak akan mendapatkan seorang penolong pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya." Ini menegaskan bahwa kisah Ashabul Kahfi adalah bukti nyata hidayah Allah. Para pemuda itu diberi petunjuk oleh Allah untuk memilih iman dan berlindung, dan Allah melindungi mereka. Sebaliknya, orang-orang kafir yang menolak hidayah akan tersesat dan tidak akan ada yang bisa menolong mereka.
وَتَحْسَبُهُمْ أَيْقَاظًا وَهُمْ رُقُودٌ ۚ وَنُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَذَاتَ الشِّمَالِ ۖ وَكَلْبُهُم بَاسِطٌ ذِرَاعَيْهِ بِالْوَصِيدِ ۚ لَوِ اطَّلَعْتَ عَلَيْهِمْ لَوَلَّيْتَ مِنْهُمْ فِرَارًا وَلَمُلِئْتَ مِنْهُمْ رُعْبًا
18. Dan engkau mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur; dan Kami bolak-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka membentangkan kedua lengannya di ambang pintu gua. Sekiranya kamu melihat mereka, tentu kamu akan lari tunggang-langgang dan akan dipenuhi rasa takut terhadap mereka.
Ayat ini lebih jauh menggambarkan kondisi mereka. "Dan engkau mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur" (وَتَحْسَبُهُمْ أَيْقَاظًا وَهُمْ رُقُودٌ). Penampilan mereka mungkin terlihat seperti orang yang terjaga karena mata mereka terbuka atau posisi tubuh mereka. Ini adalah salah satu bentuk perlindungan Allah agar tidak ada yang mendekati mereka. Siapa pun yang melihat akan mengira mereka terjaga, sehingga tidak ada yang berani mendekat atau mengganggu mereka.
"dan Kami bolak-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri" (وَنُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَذَاتَ الشِّمَالِ). Ini adalah bagian penting dari mukjizat. Membolak-balikkan tubuh selama tidur sangat vital untuk mencegah kerusakan tubuh (seperti dekubitus atau luka baring) akibat tekanan terus-menerus pada satu sisi. Ini menunjukkan betapa sempurna penjagaan Allah terhadap fisik mereka selama tidur panjang.
"sedang anjing mereka membentangkan kedua lengannya di ambang pintu gua" (وَكَلْبُهُم بَاسِطٌ ذِرَاعَيْهِ بِالْوَصِيدِ). Kehadiran anjing ini adalah detail yang menarik. Anjing itu ikut tertidur di pintu gua, seolah-olah menjaga mereka. Posisi anjing yang membentangkan lengannya menambah kesan misterius dan menakutkan bagi siapa pun yang mencoba mendekat. Anjing ini juga menjadi bukti kesetiaan hewan dan bagian dari tanda kebesaran Allah.
Ayat ditutup dengan: "Sekiranya kamu melihat mereka, tentu kamu akan lari tunggang-langgang dan akan dipenuhi rasa takut terhadap mereka" (لَوِ اطَّلَعْتَ عَلَيْهِمْ لَوَلَّيْتَ مِنْهُمْ فِرَارًا وَلَمُلِئْتَ مِنْهُمْ رُعْبًا). Ini menunjukkan bahwa Allah juga menanamkan rasa gentar pada hati siapa pun yang melihat mereka. Bisa jadi karena penampilan mereka yang aneh setelah tidur ratusan tahun, atau karena aura perlindungan ilahi yang mengelilingi mereka. Ini adalah perlindungan berlapis yang Allah berikan kepada Ashabul Kahfi.
Pelajaran dari Ayat 17-18: Ayat-ayat ini adalah bukti nyata kekuasaan dan rahmat Allah yang tak terbatas dalam melindungi hamba-hamba-Nya yang beriman. Dari pengaturan sinar matahari, pembalikan tubuh, hingga keberadaan anjing penjaga, semuanya adalah mukjizat yang menunjukkan bahwa Allah Maha Mampu menjaga siapa pun yang Dia kehendaki. Kisah ini mengajarkan bahwa orang yang mendapat petunjuk Allah akan selalu berada dalam penjagaan-Nya, dan tidak ada kekuatan di bumi yang dapat mencelakakannya tanpa izin Allah.
Setelah tidur panjang yang merupakan mukjizat, Allah membangkitkan Ashabul Kahfi. Ayat-ayat ini mengisahkan momen kebangkitan mereka, kebingungan tentang waktu, dan upaya mereka untuk mendapatkan makanan dengan penuh kewaspadaan.
وَكَذَٰلِكَ بَعَثْنَاهُمْ لِيَتَسَاءَلُوا بَيْنَهُمْ ۚ قَالَ قَائِلٌ مِّنْهُمْ كَمْ لَبِثْتُمْ ۖ قَالُوا لَبِثْنَا يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ ۚ قَالُوا رَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثْتُمْ فَابْعَثُوا أَحَدَكُم بِوَرِقِكُمْ هَٰذِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ فَلْيَنظُرْ أَيُّهَا أَزْكَىٰ طَعَامًا فَلْيَأْتِكُم بِرِزْقٍ مِّنْهُ وَلْيَتَلَطَّفْ وَلَا يُشْعِرَنَّ بِكُمْ أَحَدًا
19. Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Salah seorang di antara mereka berkata, "Sudah berapa lama kamu berada (di sini)?" Mereka menjawab, "Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari." Mereka (yang lain) berkata, "Tuhanmu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia melihat makanan mana yang lebih bersih dan hendaklah dia membawa sebagian makanan itu untukmu, dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan jangan sekali-kali menceritakan halmu kepada siapa pun."
Ayat ini dimulai dengan "Dan demikianlah Kami bangunkan mereka" (وَكَذَٰلِكَ بَعَثْنَاهُمْ), menegaskan bahwa kebangkitan mereka adalah campur tangan langsung dari Allah. Tujuan kebangkitan ini adalah "agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri" (لِيَتَسَاءَلُوا بَيْنَهُمْ). Pertanyaan ini, tentang berapa lama mereka tidur, adalah inti dari pembuktian mukjizat. Jika mereka langsung tahu, hikmahnya akan berkurang.
Seseorang di antara mereka bertanya, "Sudah berapa lama kamu berada (di sini)?" Dan jawaban mereka, "Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari," menunjukkan bahwa mereka tidak merasakan waktu yang berlalu. Tidur pulas mereka membuat mereka merasa seperti baru tidur sesaat. Ini juga bukti sempurna perlindungan Allah, di mana panca indera mereka sama sekali tidak terganggu oleh waktu yang sangat lama.
Namun, yang lain yang lebih bijaksana (kemungkinan pemimpin mereka) berkata, "Tuhanmu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini)." Ini adalah ungkapan tawadhu' dan pengakuan akan keterbatasan ilmu manusia di hadapan ilmu Allah. Daripada berdebat tentang sesuatu yang tidak mereka ketahui pasti, mereka beralih ke masalah yang lebih mendesak: makanan.
Mereka memutuskan untuk "menyuruh salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini" (فَابْعَثُوا أَحَدَكُم بِوَرِقِكُمْ هَٰذِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ). Ini menunjukkan kepraktisan dan kebijaksanaan mereka. Uang perak (dinar atau dirham) yang mereka bawa adalah peninggalan dari zaman sebelum mereka tidur. Ini akan menjadi bukti yang sangat kuat tentang lamanya mereka tidur.
Perintah selanjutnya sangat penting: "dan hendaklah dia melihat makanan mana yang lebih bersih dan hendaklah dia membawa sebagian makanan itu untukmu" (فَلْيَنظُرْ أَيُّهَا أَزْكَىٰ طَعَامًا فَلْيَأْتِكُم بِرِزْقٍ مِّنْهُ). Mereka tidak hanya mencari makanan, tetapi makanan yang "lebih bersih" (أَزْكَىٰ طَعَامًا), yang mungkin berarti makanan yang halal, baik, dan higienis. Ini menunjukkan kesadaran mereka akan pentingnya makanan yang baik dalam Islam.
Dan yang terakhir, mereka berpesan: "dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan jangan sekali-kali menceritakan halmu kepada siapa pun" (وَلْيَتَلَطَّفْ وَلَا يُشْعِرَنَّ بِكُمْ أَحَدًا). Ini adalah pelajaran tentang kehati-hatian dan kebijaksanaan. Mereka tahu bahwa situasi mereka sangat sensitif dan berpotensi berbahaya. "Berlaku lemah lembut" berarti bersikap hati-hati, tidak menarik perhatian, dan tidak menimbulkan kecurigaan. Mereka khawatir jika identitas mereka terungkap, mereka akan kembali dianiaya atau dipaksa kembali pada agama nenek moyang mereka, yang mereka tinggalkan demi iman.
إِنَّهُمْ إِن يَظْهَرُوا عَلَيْكُمْ يَرْجُمُوكُمْ أَوْ يُعِيدُوكُمْ فِي مِلَّتِهِمْ وَلَن تُفْلِحُوا إِذًا أَبَدًا
20. Sesungguhnya jika mereka sampai mengetahui tempatmu, niscaya mereka akan merajam kamu, atau memaksamu kembali kepada agama mereka; dan jika demikian niscaya kamu tidak akan beruntung selama-lamanya.
Ayat ini menjelaskan alasan di balik perintah untuk berlaku lemah lembut dan merahasiakan diri. Para pemuda tahu persis konsekuensi mengerikan jika mereka ketahuan: "niscaya mereka akan merajam kamu" (يَرْجُمُوكُمْ) —yaitu, membunuh dengan lemparan batu, sebuah hukuman yang keji— "atau memaksamu kembali kepada agama mereka" (أَوْ يُعِيدُوكُمْ فِي مِلَّتِهِمْ). Pilihan yang kedua ini, kembali kepada agama syirik, adalah ancaman yang jauh lebih berat bagi iman mereka daripada kematian fisik.
Dan mereka menegaskan, "dan jika demikian niscaya kamu tidak akan beruntung selama-lamanya" (وَلَن تُفْلِحُوا إِذًا أَبَدًا). Keberuntungan sejati bagi mereka adalah menjaga iman dan meraih kebahagiaan akhirat. Kembali kepada kekufuran berarti kehilangan keberuntungan di dunia dan akhirat secara kekal. Ini menunjukkan prioritas mereka yang sangat jelas: iman adalah segala-galanya, dan mereka rela berkorban demi mempertahankannya.
Pelajaran dari Ayat 19-20: Ayat-ayat ini menunjukkan kebijaksanaan dan kewaspadaan Ashabul Kahfi meskipun telah mengalami mukjizat besar. Kebingungan mereka tentang waktu mengingatkan kita akan relatifnya waktu di hadapan Allah dan bukti kebangkitan. Peringatan mereka tentang kehati-hatian mengajarkan pentingnya menjaga diri dan iman dari ancaman eksternal, serta bahwa keberuntungan sejati terletak pada keteguhan iman, bukan pada kenikmatan duniawi.
Ayat ini menceritakan terkuaknya rahasia Ashabul Kahfi kepada masyarakat dan hikmah ilahi di balik peristiwa tersebut: bahwa ini adalah tanda kebesaran Allah tentang hari kebangkitan.
وَكَذَٰلِكَ أَعْثَرْنَا عَلَيْهِمْ لِيَعْلَمُوا أَنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَأَنَّ السَّاعَةَ لَا رَيْبَ فِيهَا إِذْ يَتَنَازَعُونَ بَيْنَهُمْ أَمْرَهُمْ ۖ فَقَالُوا ابْنُوا عَلَيْهِم بُنْيَانًا ۖ رَبُّهُمْ أَعْلَمُ بِهِمْ ۚ قَالَ الَّذِينَ غَلَبُوا عَلَىٰ أَمْرِهِمْ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِم مَّسْجِدًا
21. Dan demikian (pula) Kami memperlihatkan (kepada manusia) keadaan mereka, agar mereka mengetahui, bahwa janji Allah itu benar, dan bahwa hari Kiamat itu tidak ada keraguan padanya. Ketika mereka berselisih tentang urusan mereka, maka mereka berkata, "Dirikanlah sebuah bangunan di atas (gua) mereka, Tuhan mereka lebih mengetahui tentang mereka." Orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata, "Kami pasti akan mendirikan sebuah masjid di atasnya."
Ayat ini menjelaskan bagaimana rahasia Ashabul Kahfi akhirnya terbongkar. "وَكَذَٰلِكَ أَعْثَرْنَا عَلَيْهِمْ" (wa kadzalika a'tsarna 'alaihim) berarti "Dan demikianlah Kami memperlihatkan keadaan mereka (kepada manusia)." Ini adalah takdir Allah. Meskipun para pemuda sangat berhati-hati, Allah memang menghendaki agar kisah mereka terungkap.
Tujuan dari terungkapnya kisah ini sangatlah agung: "agar mereka mengetahui, bahwa janji Allah itu benar, dan bahwa hari Kiamat itu tidak ada keraguan padanya" (لِيَعْلَمُوا أَنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَأَنَّ السَّاعَةَ لَا رَيْبَ فِيهَا). Pada masa Ashabul Kahfi dibangkitkan, mungkin ada perdebatan tentang kebangkitan dan hari kiamat. Kisah ini menjadi bukti nyata bahwa Allah Maha Mampu menidurkan dan membangunkan manusia setelah ratusan tahun, yang merupakan analogi sempurna untuk kebangkitan seluruh manusia di Hari Kiamat. Jika Allah bisa melakukan ini pada sekelompok kecil pemuda, Dia pasti bisa melakukannya pada seluruh umat manusia.
"Ketika mereka berselisih tentang urusan mereka" (إِذْ يَتَنَازَعُونَ بَيْنَهُمْ أَمْرَهُمْ) menunjukkan bahwa setelah penemuan Ashabul Kahfi, ada perdebatan di antara orang-orang pada masa itu mengenai bagaimana memperlakukan mereka atau apa yang harus dilakukan dengan gua tersebut. "Maka mereka berkata, 'Dirikanlah sebuah bangunan di atas (gua) mereka, Tuhan mereka lebih mengetahui tentang mereka.'" Ini adalah usulan dari sebagian orang.
Namun, "Orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata, 'Kami pasti akan mendirikan sebuah masjid di atasnya.'" (قَالَ الَّذِينَ غَلَبُوا عَلَىٰ أَمْرِهِمْ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِم مَّسْجِدًا). Ini bisa berarti penguasa saat itu (yang kemungkinan sudah beriman) atau kelompok mayoritas yang memiliki kekuatan. Keputusan untuk membangun masjid di atas gua mereka adalah bentuk penghormatan dan pengakuan akan kesucian tempat dan kisah mereka. Namun, dari perspektif Islam, membangun tempat ibadah di atas kuburan atau tempat tidur orang saleh adalah tindakan yang dilarang, untuk mencegah praktik syirik dan pengkultusan. Ayat ini menceritakan apa yang dilakukan oleh kaum tersebut, bukan apa yang disyariatkan dalam Islam. Penafsiran yang lebih dalam menunjukkan bahwa hal ini menjadi titik perdebatan bagi umat-umat terdahulu dan Rasulullah ﷺ memperingatkan umatnya untuk tidak mengikuti jejak itu.
Pelajaran dari Ayat 21: Ayat ini menegaskan bahwa kisah Ashabul Kahfi adalah tanda kebesaran Allah yang ditujukan untuk membuktikan kebenaran janji-Nya tentang hari kebangkitan. Ini adalah bukti nyata bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, termasuk mengembalikan kehidupan setelah kematian. Kisah ini juga menunjukkan bagaimana manusia cenderung untuk berselisih dalam urusan agama, dan pentingnya berpegang pada petunjuk Allah agar tidak terjerumus pada praktik-praktik yang menyimpang.
Ayat ini membahas perdebatan mengenai jumlah Ashabul Kahfi, dan Al-Quran memberikan jawaban tegas bahwa hanya Allah yang Maha Tahu akan detail tersebut, serta menyalahkan spekulasi tanpa dasar ilmu.
سَيَقُولُونَ ثَلَاثَةٌ رَّابِعُهُمْ كَلْبُهُمْ وَيَقُولُونَ خَمْسَةٌ سَادِسُهُمْ كَلْبُهُمْ رَجْمًا بِالْغَيْبِ ۖ وَيَقُولُونَ سَبْعَةٌ وَثَامِنُهُمْ كَلْبُهُمْ ۚ قُل رَّبِّي أَعْلَمُ بِعِدَّتِهِم مَّا يَعْلَمُهُمْ إِلَّا قَلِيلٌ ۗ فَلَا تُمَارِ فِيهِمْ إِلَّا مِرَاءً ظَاهِرًا وَلَا تَسْتَفْتِ فِيهِم مِّنْهُمْ أَحَدًا
22. Nanti (ada orang yang akan) mengatakan, "(Jumlah mereka) tiga orang, yang keempat adalah anjingnya," dan (yang lain) mengatakan, "Lima orang, yang keenam adalah anjingnya," sebagai terkaan terhadap yang gaib; dan (yang lain lagi) mengatakan, "Tujuh orang, yang kedelapan adalah anjingnya." Katakanlah (Muhammad), "Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada yang mengetahui (jumlah mereka) kecuali sedikit." Karena itu janganlah engkau (Muhammad) bertengkar tentang hal mereka, kecuali perdebatan lahiriah saja, dan jangan engkau menanyakan tentang mereka (kepada seorang pun) di antara mereka (Ahli Kitab).
Ayat ini mengantisipasi perdebatan yang akan muncul mengenai detail kisah Ashabul Kahfi, khususnya tentang jumlah mereka. Al-Quran menyebutkan tiga versi yang populer saat itu:
Kemudian, Allah memberikan jawaban pasti kepada Nabi Muhammad ﷺ dan umatnya: "Katakanlah (Muhammad), 'Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada yang mengetahui (jumlah mereka) kecuali sedikit.'" (قُل رَّبِّي أَعْلَمُ بِعِدَّتِهِم مَّا يَعْلَمُهُمْ إِلَّا قَلِيلٌ). Pengetahuan detail tentang hal-hal gaib adalah hak Allah semata. Frasa "kecuali sedikit" mungkin merujuk pada beberapa ulama yang mendalami kisah ini dengan ilmu, atau bahkan kepada Allah dan para malaikat-Nya.
Allah selanjutnya memberi nasihat kepada Nabi: "Karena itu janganlah engkau (Muhammad) bertengkar tentang hal mereka, kecuali perdebatan lahiriah saja" (فَلَا تُمَارِ فِيهِمْ إِلَّا مِرَاءً ظَاهِرًا). Ini berarti Nabi tidak perlu terlibat dalam perdebatan yang mendalam dan tidak perlu tentang detail-detail yang tidak fundamental. Perdebatan "lahiriah" (ظَاهِرًا) adalah perdebatan yang cukup dengan menyampaikan apa yang diwahyukan Allah dalam Al-Quran tanpa harus memperdebatkan rincian yang tidak jelas.
Dan terakhir, "dan jangan engkau menanyakan tentang mereka (kepada seorang pun) di antara mereka (Ahli Kitab)" (وَلَا تَسْتَفْتِ فِيهِم مِّنْهُمْ أَحَدًا). Ini adalah larangan untuk mencari informasi lebih lanjut dari Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) karena kisah mereka mungkin sudah bercampur aduk dengan mitos atau distorsi. Sumber terbaik dan satu-satunya yang terpercaya adalah wahyu dari Allah dalam Al-Quran.
Pelajaran dari Ayat 22: Ayat ini mengajarkan pentingnya membatasi diri pada apa yang telah diwahyukan oleh Allah dalam hal-hal gaib. Berspekulasi tanpa ilmu adalah perbuatan tercela. Pengetahuan yang sempurna hanya milik Allah. Muslim diajarkan untuk tidak terjebak dalam perdebatan tak berdasar tentang detail-detail yang tidak esensial dalam agama, dan untuk selalu menjadikan Al-Quran dan Sunah sebagai sumber utama pengetahuan.
Ayat-ayat ini beralih dari kisah Ashabul Kahfi ke sebuah pelajaran universal yang sangat penting dalam etika Muslim: pentingnya mengucapkan "Insya Allah" (jika Allah menghendaki) ketika berencana melakukan sesuatu di masa depan.
وَلَا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَٰلِكَ غَدًا
23. Dan jangan sekali-kali engkau mengucapkan terhadap sesuatu, "Sesungguhnya aku akan mengerjakannya besok,"
Ayat ini adalah perintah langsung kepada Nabi Muhammad ﷺ (dan melalui beliau, kepada seluruh umat Islam) agar tidak mengucapkan "Aku akan mengerjakan itu besok" atau semacamnya tanpa menyertakan pengecualian kepada kehendak Allah. Ini adalah larangan untuk menyatakan niat atau rencana masa depan dengan keyakinan penuh pada kemampuan diri sendiri semata. Manusia sangat terbatas, dan segala sesuatu terjadi atas kehendak dan takdir Allah.
Latar belakang turunnya ayat ini disebutkan dalam riwayat. Ketika Nabi Muhammad ﷺ ditanya oleh kaum Quraisy tentang Ashabul Kahfi, kisah Dzulqarnain, dan Ruh, beliau berjanji akan menjawabnya besok, tanpa mengucapkan "Insya Allah." Akibatnya, wahyu terputus selama beberapa waktu (ada yang mengatakan 15 hari, ada yang mengatakan lebih lama), dan kaum musyrikin mengejek beliau. Ini adalah pelajaran dari Allah kepada Nabi-Nya dan kepada kita semua.
إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ ۚ وَاذْكُر رَّبَّكَ إِذَا نَسِيتَ وَقُلْ عَسَىٰ أَن يَهْدِيَنِ رَبِّي لِأَقْرَبَ مِنْ هَٰذَا رَشَدًا
24. Kecuali (dengan mengucapkan), "Insya Allah." Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika engkau lupa, dan katakanlah, "Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari ini."
Ayat ini melanjutkan dengan memberikan pengecualian dan solusi: "Kecuali (dengan mengucapkan), 'Insya Allah.'" (إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ). Mengucapkan "Insya Allah" adalah pengakuan akan kekuasaan Allah dan ketergantungan manusia pada kehendak-Nya. Ini adalah bentuk tawadhu' dan tawakal, bahwa kita hanya bisa merencanakan, tetapi Allah-lah yang menentukan.
"Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika engkau lupa" (وَاذْكُر رَّبَّكَ إِذَا نَسِيتَ). Jika seseorang lupa mengucapkan "Insya Allah" saat berjanji atau merencanakan sesuatu, maka ia diperintahkan untuk segera mengingat Allah dan mengucapkannya saat ia teringat, meskipun sudah terlambat. Ini menunjukkan betapa pentingnya kebiasaan berzikir dan mengaitkan segala urusan dengan Allah.
Bagian terakhir ayat ini memberikan doa yang baik: "dan katakanlah, 'Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari ini.'" (وَقُلْ عَسَىٰ أَن يَهْدِيَنِ رَبِّي لِأَقْرَبَ مِنْ هَٰذَا رَشَدًا). Doa ini adalah permohonan agar Allah senantiasa memberikan petunjuk yang lebih baik dan lebih benar dalam setiap urusan, tidak hanya dalam menjawab pertanyaan, tetapi juga dalam menjalani hidup secara umum. Ini adalah sikap seorang Muslim yang selalu mencari kebenaran dan kesempurnaan dalam petunjuk Allah.
Pelajaran dari Ayat 23-24: Ayat-ayat ini mengajarkan adab yang sangat penting dalam Islam, yaitu mengucapkan "Insya Allah" ketika berbicara tentang rencana masa depan. Ini adalah ekspresi tawakal, pengakuan akan kekuasaan Allah, dan bentuk kerendahan hati. Ayat ini juga mengajarkan pentingnya berzikir dan mengingat Allah, bahkan ketika kita lupa, serta senantiasa memohon petunjuk yang terbaik dari-Nya dalam segala urusan.
Ayat terakhir dari segmen ini memberikan informasi konkret mengenai berapa lama Ashabul Kahfi tertidur, mengakhiri perdebatan yang mungkin muncul dan menegaskan kekuasaan Allah atas waktu.
وَلَبِثُوا فِي كَهْفِهِمْ ثَلَاثَ مِائَةٍ سِنِينَ وَازْدَادُوا تِسْعًا
25. Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun.
Ayat ini secara eksplisit mengungkapkan durasi tidur Ashabul Kahfi: "ثَلَاثَ مِائَةٍ سِنِينَ وَازْدَادُوا تِسْعًا" (tsalatsa mi'atin sinina wazdadū tis'an). Artinya, mereka tidur selama "tiga ratus tahun" dan "ditambah sembilan tahun," sehingga totalnya menjadi 309 tahun. Angka ini merupakan penutup perdebatan tentang berapa lama mereka tertidur, sebagaimana yang sempat mereka perdebatkan sendiri di ayat 19.
Mengapa Al-Quran menyebutkan "tiga ratus tahun" dan kemudian "ditambah sembilan tahun" daripada langsung menyebut 309 tahun? Ada beberapa penafsiran:
Ayat ini menutup bagian awal kisah Ashabul Kahfi dengan sebuah fakta yang mengejutkan, sekaligus menguatkan iman bahwa Allah adalah Maha Kuasa atas segala sesuatu, termasuk mengendalikan waktu dan kehidupan. Ini juga menjadi penekanan bahwa janji Allah tentang hari kebangkitan adalah sebuah kebenaran, karena jika Allah mampu menidurkan dan menghidupkan kembali sekelompok manusia setelah lebih dari tiga abad, maka membangkitkan seluruh manusia di Hari Kiamat bukanlah hal yang mustahil bagi-Nya.
Pelajaran dari Ayat 25: Ayat ini memberikan informasi konkret tentang durasi tidur Ashabul Kahfi, mengakhiri spekulasi. Ini adalah bukti tambahan tentang kekuasaan Allah yang tak terbatas atas waktu dan kehidupan, serta penguat keyakinan akan kebenaran hari kebangkitan. Ini juga menunjukkan bahwa Al-Quran memberikan detail yang diperlukan untuk memahami hikmah suatu kisah, tanpa terjebak dalam perdebatan detail yang tidak esensial.
Kisah Ashabul Kahfi dalam ayat 1-25 Surah Al-Kahfi adalah samudra hikmah yang tak pernah kering. Dari setiap penggalan ayat, kita bisa memetik pelajaran berharga yang relevan untuk setiap zaman, termasuk di era modern ini. Berikut adalah beberapa poin penting:
Inti dari kisah Ashabul Kahfi adalah tauhid. Para pemuda ini beriman kepada Allah Yang Maha Esa di tengah masyarakat dan penguasa yang syirik. Mereka berani menentang arus, menyatakan kebenaran, dan menolak berhala. Ini mengajarkan kita untuk selalu menjaga kemurnian akidah, tidak berkompromi dengan kesyirikan, dan berani bersuara untuk kebenaran meskipun harus menghadapi tekanan sosial atau politik. Dalam dunia yang penuh dengan ideologi dan kepercayaan yang saling bersaing, keteguhan tauhid adalah benteng terakhir seorang Muslim.
Kisah ini adalah bukti nyata bagaimana Allah melindungi hamba-hamba-Nya yang teguh dalam iman. Dari pengaturan sinar matahari, pembalikan tubuh mereka di gua, hingga keberadaan anjing penjaga, semua adalah bentuk penjagaan ilahi yang luar biasa. Ini memberikan harapan dan keyakinan bahwa jika kita berjuang di jalan Allah dan bertawakal kepada-Nya, Allah tidak akan pernah meninggalkan kita. Dalam setiap kesulitan, ada pertolongan Allah yang mungkin datang dari arah yang tidak kita duga.
Ashabul Kahfi menghadapi "fitnah agama," yaitu ujian berat yang mengancam iman mereka. Mereka dihadapkan pada pilihan: melepaskan iman atau mati syahid/melarikan diri. Mereka memilih opsi ketiga yang ajaib, yaitu berlindung. Kisah ini mengajarkan bahwa fitnah agama akan selalu ada, dan penting bagi seorang mukmin untuk memiliki keteguhan hati, kesabaran, dan keberanian untuk mempertahankan imannya. Di zaman ini, fitnah agama mungkin tidak selalu berupa penganiayaan fisik, tetapi bisa juga berupa godaan ideologi, keraguan, atau tekanan sosial untuk meninggalkan nilai-nilai Islam.
Tidur panjang 309 tahun dan kebangkitan mereka adalah mukjizat yang paling mencolok. Ini adalah bukti konkret kekuasaan Allah untuk menidurkan dan menghidupkan kembali makhluk-Nya, yang secara langsung menjadi analogi dan bukti nyata bagi Hari Kebangkitan (Kiamat). Bagi mereka yang meragukan hari akhir, kisah ini adalah argumen tak terbantahkan bahwa Allah Maha Mampu untuk membangkitkan seluruh manusia dari kubur mereka. Waktu bagi Allah adalah relatif; Dia mengaturnya sesuai kehendak-Nya.
Doa Ashabul Kahfi di ayat 10, "Ya Tuhan kami. Berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami," adalah teladan doa yang penuh tawakal dan kepasrahan. Mereka tidak meminta jalan keluar instan, tetapi meminta rahmat dan petunjuk. Ini mengajarkan kita untuk selalu bergantung pada Allah dalam setiap urusan, memohon bimbingan-Nya, dan meyakini bahwa hanya Dia yang dapat memberikan solusi terbaik.
Ayat 7-8 mengingatkan kita bahwa dunia beserta segala perhiasannya adalah ujian. Semua kemewahan dan kenikmatan duniawi pada akhirnya akan lenyap dan menjadi tanah yang tandus. Pelajaran ini sangat relevan di tengah masyarakat yang sering kali terobsesi dengan materi dan pencapaian duniawi. Kisah ini mengajarkan kita untuk tidak terlalu terpaut pada dunia, melainkan menjadikannya sebagai ladang amal untuk bekal di akhirat yang abadi.
Ashabul Kahfi adalah "fityah" atau pemuda. Ini menunjukkan bahwa usia muda bukanlah halangan untuk beriman teguh dan berjuang di jalan Allah. Justru, pemuda seringkali memiliki semangat dan keberanian yang tinggi untuk menegakkan kebenaran. Kisah ini adalah inspirasi bagi generasi muda Muslim untuk menjadi garda terdepan dalam menjaga dan menyebarkan ajaran Islam, berani berbeda, dan berdiri di atas prinsip yang benar.
Ayat 23-24 mengajarkan adab yang sangat fundamental dalam Islam, yaitu mengucapkan "Insya Allah" (jika Allah menghendaki) saat merencanakan atau berjanji untuk melakukan sesuatu di masa depan. Ini adalah pengakuan akan keterbatasan manusia dan kekuasaan mutlak Allah. Lupa mengucapkannya dapat berakibat pada penundaan atau kegagalan rencana, sebagai pengingat dari Allah. Ini mengajarkan kita kerendahan hati, tawakal, dan selalu mengaitkan segala urusan dengan kehendak Ilahi.
Ayat 22 tentang jumlah Ashabul Kahfi mengajarkan agar kita tidak terjebak dalam perdebatan dan spekulasi tentang hal-hal gaib yang tidak ada dasarnya dari Al-Quran dan Sunah. Pengetahuan yang pasti hanya milik Allah. Islam mendorong kita untuk mencari ilmu yang bermanfaat, namun juga mengajarkan batas-batas pengetahuan manusia dan pentingnya menyerahkan hal-hal gaib kepada Allah. Ini relevan dalam menghindari berbagai khurafat dan cerita tak berdasar yang bisa mengaburkan kebenaran.
Perintah para pemuda kepada utusan mereka di ayat 19 untuk berlaku "lemah lembut" (walyatalattaf) dan "jangan sekali-kali menceritakan halmu kepada siapa pun" adalah pelajaran tentang kebijaksanaan dan kehati-hatian dalam menghadapi situasi berbahaya. Mereka menyadari risiko yang ada dan berusaha meminimalkan bahaya. Ini mengajarkan pentingnya strategi dan perencanaan dalam menjaga diri dan agama, bukan hanya keberanian semata.
Secara keseluruhan, 25 ayat pertama Surah Al-Kahfi adalah cerminan sempurna dari prinsip-prinsip iman, tawakal, keberanian, kebijaksanaan, dan kepasrahan kepada Allah. Kisah Ashabul Kahfi adalah bukti nyata bahwa Allah senantiasa bersama hamba-Nya yang teguh dalam kebenaran, melindungi mereka dari fitnah dunia, dan memberikan petunjuk menuju jalan yang lurus.