Surah Al-Kahfi, surah ke-18 dalam Al-Qur'an, adalah salah satu surah yang memiliki kedudukan istimewa dan seringkali direkomendasikan untuk dibaca setiap hari Jumat. Surah ini kaya akan pelajaran moral, spiritual, dan kisah-kisah penuh hikmah yang relevan sepanjang masa. Di dalamnya, Allah SWT mengisahkan beberapa cerita yang mengajarkan kita tentang iman, kesabaran, kekuasaan-Nya, dan hakikat kehidupan dunia. Salah satu kisah yang paling menonjol, dan menjadi inti pembahasan kita, adalah kisah dua orang pemilik kebun yang terkandung dalam ayat 32 hingga 44. Lebih spesifik lagi, ayat 37 adalah puncak dari kesombongan seorang pemilik kebun yang kaya, yang kemudian menjadi titik balik dalam narasi ini.
Ayat 37 Surah Al-Kahfi berbunyi:
Ayat ini, meskipun singkat, menggemakan inti dari sifat manusia yang cenderung lalai dan sombong ketika dihadapkan pada kekayaan dan kekuasaan. Ini adalah cerminan dari hati yang telah diselimuti oleh kecintaan dunia hingga melupakan Penciptanya. Melalui kisah ini, Allah SWT ingin menyampaikan pesan-pesan universal tentang hakikat kekayaan, bahaya kesombongan, pentingnya bersyukur, dan ujian keimanan.
Kisah Dua Kebun: Sebuah Ujian Hidup
Kisah ini bermula dengan perkenalan dua orang laki-laki, yang satu adalah seorang yang sangat kaya raya, pemilik dua buah kebun anggur yang luar biasa subur dan makmur. Kebun-kebunnya dikelilingi oleh pohon kurma dan di antara keduanya mengalir sungai yang jernih, mengairi seluruh tanaman sehingga senantiasa menghasilkan buah-buahan melimpah. Kekayaan ini tidak hanya berupa hasil kebun, tetapi juga harta benda lain dan keturunan yang banyak, menjadikannya seorang yang disegani dan berkuasa di mata masyarakat.
Di sisi lain, ada temannya yang miskin, namun memiliki keimanan yang teguh dan hati yang bersih. Ia tidak memiliki harta benda yang melimpah seperti temannya, namun ia kaya akan tawakal dan keyakinan kepada Allah SWT. Kontras antara kedua sahabat ini menjadi latar belakang yang kuat untuk menyampaikan pesan-pesan ilahi.
Kesesatan Pemilik Kebun yang Kaya
Kekayaan dan kekuasaan yang dimiliki oleh laki-laki kaya itu ternyata tidak mendekatkannya kepada Allah, melainkan justru menjerumuskannya ke dalam lembah kesombongan dan kekufuran. Ia lupa bahwa semua nikmat yang ia miliki adalah anugerah dari Allah, bukan semata-mata hasil kerja kerasnya sendiri. Dalam dialognya dengan temannya yang miskin, ia dengan pongahnya berkata, "Aku lebih banyak hartanya daripada kamu dan lebih kuat pengikut-pengikutku." (QS. Al-Kahfi: 37). Kata-kata ini adalah manifestasi langsung dari egonya yang membengkak, menunjukkan bahwa ia merasa superior berdasarkan kekayaan materi dan jumlah keturunannya. Ia tidak hanya membanggakan diri, tetapi juga merendahkan temannya yang tidak seberuntung dirinya secara finansial.
Kesombongannya semakin menjadi-jadi ketika ia masuk ke kebunnya sendiri. Ia tidak hanya takjub dengan keindahan dan kesuburan kebunnya, tetapi juga meragukan keberadaan hari kiamat dan kekuasaan Allah. Ia berkata, "Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, dan aku tidak yakin hari kiamat itu akan datang. Sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebun ini." (QS. Al-Kahfi: 35-36). Pernyataan ini menunjukkan dua tingkat kekufuran: pertama, ia merasa kebunnya akan kekal abadi, menafikan kekuasaan Allah yang bisa menghancurkan apa pun dalam sekejap; kedua, ia meragukan hari kiamat, yang merupakan salah satu pilar keimanan dalam Islam. Bahkan jika kiamat itu benar, ia sombong dengan berpikir akan mendapatkan yang lebih baik di sisi Allah, seolah-olah amalnya di dunia sudah cukup untuk menjamin hal tersebut, padahal ia telah kufur nikmat.
Nasihat dari Sahabat Beriman
Mendengar kesombongan dan kekufuran temannya, sahabat yang miskin itu tidak tinggal diam. Dengan penuh hikmah dan kesabaran, ia berusaha meluruskan pandangan temannya. Ia mengingatkan temannya tentang asal-usul penciptaan manusia dari tanah, kemudian menjadi setetes mani, lalu disempurnakan menjadi seorang laki-laki. Ini adalah pengingat bahwa semua kekayaan dan kekuasaan adalah sementara dan bahwa manusia itu lemah di hadapan Penciptanya. Ia mengingatkan bahwa kekayaan yang dimiliki adalah titipan semata dan bisa lenyap kapan saja.
Sahabat yang beriman itu berkata, "Mengapa kamu kafir kepada Tuhan yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna? Tetapi aku (percaya bahwa) Dialah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan seorang pun dengan Tuhanku." (QS. Al-Kahfi: 37-38). Ia kemudian memberikan nasihat yang sangat mendalam dan penuh kebijaksanaan: "Mengapa waktu kamu memasuki kebunmu tidak mengucapkan, 'Maa shaa Allah laa quwwata illaa billaah' (Sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah)? Sekiranya kamu menganggap aku lebih sedikit harta dan keturunan daripadamu, maka mudah-mudahan Tuhanku, akan memberiku (kebun) yang lebih baik dari kebunmu (ini); dan Dia akan mengirimkan badai dari langit kepada kebunmu, sehingga (kebun itu) menjadi tanah yang licin; atau airnya menjadi surut ke dalam tanah, sehingga kamu tidak sekali-kali dapat menemukannya lagi." (QS. Al-Kahfi: 39-41).
Nasihat ini bukan hanya teguran, tetapi juga doa dan peringatan. Ia mengingatkan temannya tentang pentingnya bersyukur dan mengakui bahwa semua nikmat datang dari Allah. Kalimat "Ma sha Allah la quwwata illa billah" adalah pengakuan atas kekuasaan Allah semata dan penolakan terhadap keyakinan bahwa kekuatan berasal dari diri sendiri atau dari harta benda. Ini adalah dzikir yang sangat dianjurkan untuk diucapkan ketika melihat sesuatu yang menakjubkan, baik milik sendiri maupun milik orang lain, sebagai bentuk pengakuan atas kebesaran Allah dan untuk memohon perlindungan dari sifat iri dan kesombongan.
Tafsir Mendalam Al-Kahfi Ayat 37
Untuk memahami lebih dalam pesan Al-Kahfi ayat 37, mari kita bedah setiap frasa yang terkandung di dalamnya:
Kata "ثَمَرٌ" (tsamarun) dalam bahasa Arab bisa berarti buah-buahan, hasil panen, atau bahkan kekayaan secara umum. Dalam konteks ini, ia mengacu pada hasil kebun yang berlimpah ruah, yang menjadi sumber utama kekayaannya. Penekanan pada "ثَمَرٌ" menunjukkan betapa besar nikmat duniawi yang telah dianugerahkan kepadanya, namun justru menjadi ujian berat bagi keimanannya.
Frasa "لِصَاحِبِهِ" (lishahibihi) menunjukkan bahwa orang yang kaya ini memiliki seorang teman akrab. Ini menekankan bahwa meskipun ia memiliki teman yang saleh dan beriman, yang seharusnya bisa menjadi pengingat, ia tetap memilih jalannya sendiri. Kata "يُحَاوِرُهُ" (yuhawiruhu) berarti berdialog atau bercakap-cakap. Ini bukan sekadar percakapan biasa, melainkan sebuah pertukaran pandangan yang mendalam, di mana sang kaya mengungkapkan kesombongannya dan sang miskin memberikan nasihat.
Ini adalah inti dari kesombongan materi. Ia secara terang-terangan membandingkan dirinya dengan temannya dan menganggap dirinya superior karena memiliki lebih banyak "مَالًا" (malaan) atau harta benda. Ini menunjukkan bahwa ia mengukur nilai seseorang berdasarkan kekayaan materi, sebuah pandangan yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang menekankan ketakwaan sebagai standar kemuliaan.
Frasa "أَعَزُّ نَفَرًا" (a'azzu nafaran) merujuk pada kekuatan atau pengaruh yang didapat dari jumlah pengikut, keturunan, atau kaum kerabat. Ini menunjukkan bahwa ia juga membanggakan kekuatan sosial dan kekuasaannya. Ia merasa memiliki "banyak orang" yang melindunginya atau mendukungnya, yang secara tidak langsung berarti ia merasa aman dan tidak memerlukan pertolongan Allah. Ini adalah bentuk lain dari kesombongan, yaitu kesombongan kekuatan dan pengaruh.
Keseluruhan ayat ini menggambarkan puncak keangkuhan seorang manusia yang terlena oleh dunia. Ia lupa bahwa kekayaan dan kekuatan adalah amanah dari Allah, yang seharusnya digunakan untuk mendekatkan diri kepada-Nya, bukan untuk berbangga diri dan menindas orang lain atau bahkan mengingkari eksistensi-Nya.
Pelajaran dan Hikmah dari Kisah Ini
Kisah dua kebun, khususnya yang dipuncaki oleh Al-Kahfi ayat 37, mengandung banyak pelajaran berharga yang relevan bagi kehidupan kita di setiap zaman:
1. Bahaya Kesombongan dan Kekufuran Nikmat
Pelajaran paling mencolok dari kisah ini adalah betapa berbahayanya kesombongan dan kekufuran nikmat. Pemilik kebun yang kaya raya itu tidak hanya sombong dengan hartanya, tetapi juga kufur nikmat dengan mengira bahwa semua itu adalah hasil usahanya semata dan akan kekal abadi. Kesombongan ini membuatnya meragukan kekuasaan Allah dan bahkan hari akhir. Al-Qur'an berulang kali mengingatkan kita akan akibat buruk kesombongan, yang merupakan sifat iblis pertama kali menolak sujud kepada Adam. Kesombongan adalah hijab yang menghalangi seseorang dari kebenaran dan dari mengakui kebesaran Allah.
Ketika seseorang merasa semua keberhasilannya adalah murni karena kehebatannya sendiri, ia telah menutup pintu untuk bersyukur kepada Allah. Akhirnya, ketika nikmat itu dicabut, penyesalan yang mendalam pun datang. Hal ini menggarisbawahi pentingnya kerendahan hati dalam menghadapi setiap anugerah dari Allah.
2. Pentingnya Bersyukur dan Mengakui Kekuasaan Allah
Nasihat dari sahabat yang beriman, yaitu mengucapkan "Ma sha Allah la quwwata illa billah," adalah inti dari pelajaran syukur dan pengakuan akan kekuasaan Allah. Setiap kali kita melihat nikmat, baik pada diri sendiri maupun orang lain, kita harus segera mengaitkannya dengan kehendak dan kekuasaan Allah. Ini adalah bentuk dzikir yang melindungi hati dari kesombongan, iri hati, dan kekufuran.
Mengucapkan kalimat ini bukan hanya sekadar lisan, tetapi harus diikuti dengan keyakinan hati bahwa tiada daya dan upaya melainkan dari Allah semata. Ini mengingatkan kita bahwa semua yang kita miliki, baik harta, kedudukan, kesehatan, maupun keluarga, adalah titipan dari Allah yang bisa diambil kapan saja sesuai kehendak-Nya.
3. Keterbatasan Harta Dunia
Kisah ini dengan sangat jelas menunjukkan bahwa harta dunia adalah fana dan tidak ada yang kekal abadi. Kebun yang begitu subur dan diyakini akan kekal oleh pemiliknya, dalam sekejap mata hancur lebur oleh badai yang dikirimkan Allah. Ini adalah pengingat keras bagi manusia bahwa ketergantungan pada harta benda adalah sebuah ilusi.
Harta benda tidak dapat memberikan jaminan keamanan sejati, tidak dapat mencegah takdir, dan tidak dapat membawa kebahagiaan abadi. Kebahagiaan sejati terletak pada ketenangan hati dan kedekatan dengan Allah, yang tidak bisa dibeli dengan kekayaan sebesar apapun. Pelajaran ini relevan di era modern yang sangat materialistis, di mana banyak orang mengejar kekayaan sebagai tujuan utama hidup, seringkali dengan mengorbankan nilai-nilai moral dan spiritual.
4. Peran Sahabat Sejati dan Nasihat yang Tulus
Sahabat yang miskin dalam kisah ini menunjukkan betapa berharganya memiliki teman yang saleh dan berani memberikan nasihat kebenaran, meskipun nasihat itu mungkin tidak populer atau bahkan menyakitkan bagi pihak yang dinasihati. Ia tidak iri dengan kekayaan temannya, melainkan justru mengkhawatirkan kesesatan temannya. Ia mengingatkan dengan cara yang lembut namun tegas, menunjukkan kasih sayangnya yang tulus.
Kisah ini mengajarkan kita untuk menjadi teman yang baik, yang peduli dengan keimanan dan keselamatan akhirat sahabat kita. Juga, mengajarkan kita untuk lapang dada dalam menerima nasihat, karena nasihat yang tulus adalah cerminan cinta dan harapan akan kebaikan kita.
5. Ujian Kekayaan dan Kemiskinan
Kisah ini juga menunjukkan bahwa baik kekayaan maupun kemiskinan adalah bentuk ujian dari Allah. Pemilik kebun diuji dengan kekayaannya, dan ia gagal. Sementara itu, sahabatnya diuji dengan kemiskinannya, dan ia berhasil mempertahankan keimanannya, bahkan menjadi penasihat kebenaran. Ini menegaskan bahwa Allah menguji hamba-Nya dengan berbagai cara, dan yang terpenting adalah bagaimana kita merespons ujian tersebut.
Kekayaan dapat menjadi alat untuk berbuat kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah, namun juga bisa menjadi sumber kesombongan dan kekufuran. Sebaliknya, kemiskinan bisa menjadi ujian kesabaran dan tawakal, namun juga bisa menjadi penyebab frustrasi dan kekufuran jika tidak diiringi iman yang kuat.
6. Kekuasaan Allah yang Mutlak
Penghancuran kebun yang tiba-tiba dan total adalah demonstrasi yang jelas tentang kekuasaan Allah yang mutlak. Tidak ada yang dapat menentang kehendak-Nya. Apa yang dibangun manusia dengan susah payah, bisa dihancurkan-Nya dalam sekejap mata. Ini adalah pengingat bahwa manusia itu lemah dan sangat bergantung pada-Nya. Kita tidak bisa mengandalkan harta atau kekuatan kita sendiri untuk mengamankan masa depan, karena segala sesuatu berada dalam genggaman kekuasaan Allah.
Relevansi Kontemporer: Kisah Dua Kebun di Zaman Modern
Meskipun kisah dua kebun ini terjadi di masa lampau, pelajaran yang terkandung di dalamnya sangat relevan dengan kehidupan kita di era modern. Sifat-sifat manusia yang digambarkan dalam kisah ini – kesombongan, kecintaan pada dunia, kekufuran nikmat – masih terus kita jumpai dalam berbagai bentuk.
1. Materialisme dan Konsumerisme
Dunia modern sangat didominasi oleh materialisme dan konsumerisme. Nilai seseorang seringkali diukur dari seberapa banyak harta yang ia miliki, jenis mobil yang dikendarai, merek pakaian yang dikenakan, atau luasnya rumah. Kita hidup di tengah budaya "flexing" atau pamer kekayaan di media sosial, di mana orang-orang berlomba menunjukkan gaya hidup mewah mereka.
Fenomena ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh pemilik kebun yang kaya, yang membanggakan hartanya di depan temannya. Banyak orang merasa tertekan untuk memiliki lebih banyak, tanpa menyadari bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada akumulasi materi. Ketika fokus hidup hanya pada harta, kita cenderung melupakan nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan.
2. Kesombongan di Media Sosial
Media sosial telah menjadi platform utama bagi banyak orang untuk menunjukkan "kebun" mereka. Foto-foto liburan mewah, gadget terbaru, makanan mahal, atau pencapaian karier seringkali diunggah dengan tujuan untuk mendapatkan pengakuan dan kekaguman. Ini bisa menjadi bentuk kesombongan modern yang serupa dengan klaim pemilik kebun bahwa ia "lebih banyak hartanya daripadamu dan lebih kuat pengikut-pengikutku."
Ironisnya, di balik "kebun" digital yang tampak indah itu, seringkali tersembunyi perasaan kosong, ketidakamanan, atau bahkan kesepian. Media sosial dapat mendorong perbandingan yang tidak sehat dan menumbuhkan rasa iri hati, baik pada diri sendiri maupun pada orang lain. Pesan "Ma sha Allah la quwwata illa billah" menjadi sangat penting di era ini, sebagai pengingat untuk tidak mudah terbuai oleh gemerlap dunia maya dan selalu mengembalikan segala pujian dan syukur kepada Allah.
3. Ilusi Keamanan dan Kekuatan
Di zaman sekarang, banyak orang menaruh kepercayaan penuh pada asuransi, investasi, rekening bank yang besar, atau jaringan sosial yang kuat untuk menjamin keamanan dan masa depan mereka. Meskipun upaya-upaya ini tidak salah, kesalahannya terletak pada penempatan kepercayaan yang mutlak pada hal-hal tersebut, seraya melupakan Allah sebagai sumber keamanan dan kekuatan sejati.
Kisah ini mengingatkan kita bahwa semua jaminan duniawi bisa lenyap dalam sekejap. Ekonomi bisa runtuh, investasi bisa hilang, jaringan sosial bisa putus, dan kesehatan bisa merosot. Hanya Allah yang Maha Kuasa dan Maha Melindungi. Ketergantungan yang berlebihan pada hal-hal duniawi akan membawa kekecewaan yang mendalam ketika Allah menghendaki sebaliknya.
4. Krisis Lingkungan dan Kerusakan Alam
Secara lebih luas, kisah ini juga dapat dilihat sebagai peringatan tentang bagaimana manusia seringkali memperlakukan bumi dan sumber dayanya. Pemilik kebun menikmati hasil buminya tanpa rasa syukur, tanpa mengakui Penciptanya. Dalam konteks modern, eksploitasi berlebihan terhadap alam, deforestasi, polusi, dan perubahan iklim adalah bukti bagaimana manusia cenderung mengabaikan amanah Allah sebagai khalifah di bumi.
Ketika manusia bertindak dengan kesombongan, seolah-olah bumi adalah miliknya sepenuhnya untuk dieksploitasi tanpa batas, maka bencana alam (badai, banjir, kekeringan) yang merusak "kebun" peradaban modern bisa menjadi konsekuensi. Ini adalah pengingat bahwa alam adalah ciptaan Allah, dan kita bertanggung jawab untuk menjaga serta memeliharanya, bukan merusaknya demi keuntungan sesaat.
Surah Al-Kahfi Secara Umum dan Keutamaannya
Kisah dua kebun ini hanyalah salah satu dari beberapa kisah luar biasa yang terdapat dalam Surah Al-Kahfi. Surah ini juga menceritakan kisah Ashabul Kahfi (penghuni gua) yang melarikan diri dari kekejaman penguasa, kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir yang mengajarkan tentang hikmah di balik peristiwa yang tampak aneh, serta kisah Dzulqarnain yang melakukan perjalanan besar untuk menyebarkan keadilan.
Keempat kisah ini saling terkait dan memiliki benang merah yang sama: ujian iman, pentingnya kesabaran, kerendahan hati di hadapan ilmu Allah, dan kekuasaan Allah yang tak terbatas. Membaca Surah Al-Kahfi pada hari Jumat memiliki banyak keutamaan, salah satunya adalah sebagai perlindungan dari fitnah Dajjal. Pelajaran dari kisah dua kebun ini, khususnya tentang bahaya kesombongan dan kekufuran nikmat, adalah benteng spiritual yang kuat untuk menghadapi godaan materi dan kekuasaan yang menjadi bagian dari fitnah akhir zaman.
Kesimpulan
Al-Kahfi ayat 37, meskipun singkat, adalah sebuah ayat yang penuh dengan makna mendalam dan pelajaran abadi. Melalui kisah dua kebun, Allah SWT memperingatkan kita tentang bahaya kesombongan yang lahir dari kekayaan dan kekuasaan yang tidak disyukuri. Ia menunjukkan bahwa semua nikmat duniawi adalah fana, dan hanya keimanan serta ketakwaan yang akan kekal dan memberikan manfaat di dunia maupun di akhirat.
Kisah ini mengajarkan kita untuk senantiasa rendah hati, bersyukur atas segala nikmat, dan mengakui bahwa segala kekuatan dan kekuasaan hanyalah milik Allah semata. Ia juga menekankan pentingnya memiliki sahabat yang saleh yang berani menegakkan kebenaran dan memberikan nasihat yang tulus. Di tengah hiruk pikuk dunia modern yang serba materialistis, pesan-pesan dari Al-Kahfi ayat 37 ini menjadi semakin relevan dan fundamental. Semoga kita semua dapat mengambil hikmah dari kisah ini dan mengaplikasikannya dalam setiap aspek kehidupan kita, demi meraih kebahagiaan yang hakiki di sisi Allah SWT.
Marilah kita renungkan selalu bahwa kekayaan sejati bukanlah pada apa yang kita miliki di dunia ini, tetapi pada seberapa kuat iman kita, seberapa tulus syukur kita, dan seberapa banyak kebaikan yang kita tebarkan. Karena pada akhirnya, semua yang ada di bumi ini akan musnah, kecuali wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan.
Semoga Allah senantiasa membimbing kita untuk menjadi hamba-Nya yang bersyukur, rendah hati, dan senantiasa istiqamah di jalan kebenaran.