Al Kahfi Ayat 39 dan Artinya: Pelajaran Taqwa dan Bersyukur

Ilustrasi kebun yang subur dengan matahari bersinar, melambangkan karunia Allah dan pentingnya bersyukur dengan ucapan 'MasyaAllah'.

Surah Al-Kahfi, yang berarti "Gua", adalah salah satu surah yang sangat agung dalam Al-Qur'an. Surah ini mengandung berbagai kisah penuh hikmah yang menjadi pelajaran berharga bagi umat manusia sepanjang masa. Dari kisah Ashabul Kahfi, dua pemilik kebun, Nabi Musa dan Khidir, hingga Dzulqarnain, setiap narasi menyimpan mutiara kebijaksanaan yang mendalam. Di antara kisah-kisah tersebut, cerita dua pemilik kebun menyoroti perbedaan antara kesombongan yang dilahirkan oleh kekayaan materi dan ketakwaan yang berakar pada kesadaran akan kekuasaan Allah SWT.

Ayat ke-39 dari surah ini adalah intisari dari nasihat yang diberikan oleh seorang sahabat yang miskin namun bertakwa kepada sahabatnya yang kaya raya namun sombong. Ayat ini bukan hanya sekadar teguran, melainkan sebuah pengingat fundamental tentang hakikat segala nikmat dan kekuasaan di alam semesta ini. Mari kita selami lebih dalam makna, konteks, serta pelajaran berharga yang terkandung dalam Al Kahfi ayat 39.

Teks Arab, Transliterasi, dan Terjemahan Al Kahfi Ayat 39

وَلَوْلَا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاءَ اللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ ۚ إِنْ تَرَنِ أَنَا أَقَلَّ مِنْكَ مَالًا وَوَلَدًا

"Walawlā iż dakhalta jannataka qulta mā syā`allāhu lā quwwata illā billāh, in tarani anā aqalla mingka mālaw wa waladā."

"Mengapa ketika engkau memasuki kebunmu tidak mengucapkan, “Ma sya Allah, la quwwata illa billah” (Sungguh, atas kehendak Allah, semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan [pertolongan] Allah). Sekiranya engkau menganggap aku lebih sedikit harta dan keturunan daripada engkau,"

Ayat ini adalah perkataan seorang sahabat yang miskin dan beriman kepada sahabatnya yang kaya raya tetapi sombong. Ini adalah teguran yang penuh hikmah dan sarat makna, mengingatkan bahwa segala sesuatu yang dimiliki adalah semata-mata karunia dan kekuasaan Allah SWT.

Konteks Kisah Dua Pemilik Kebun

Untuk memahami kedalaman ayat 39, kita harus terlebih dahulu menyelami kisah dua pemilik kebun yang mendahuluinya. Kisah ini diceritakan mulai dari ayat 32 hingga 44 dalam Surah Al-Kahfi. Ini adalah perumpamaan yang luar biasa tentang ujian kekayaan dan pentingnya kesyukuran serta tawakal.

Latar Belakang Kisah

Al-Qur'an mengisahkan tentang dua orang laki-laki, yang satu dianugerahi Allah dua kebun anggur yang indah, dikelilingi pohon kurma, dan di antaranya mengalir sungai. Kebunnya menghasilkan buah-buahan yang melimpah ruah tanpa henti. Laki-laki ini memiliki harta benda yang banyak dan keturunan yang tidak sedikit. Dia hidup dalam kemewahan dan kelimpahan.

Adapun sahabatnya, ia adalah seorang yang hidup dalam kekurangan materi. Ia tidak memiliki kekayaan berlimpah seperti temannya, namun ia dianugerahi iman dan ketakwaan yang kokoh. Kontras antara keduanya sangat mencolok: satu kaya raya dan sombong, satu lagi miskin namun beriman teguh.

Dialog antara Dua Sahabat

Laki-laki yang kaya raya ini, karena kekayaannya yang melimpah, menjadi sombong dan angkuh. Ia seringkali berbangga diri di hadapan sahabatnya yang miskin. Dengan penuh kesombongan, ia berkata kepada sahabatnya:

أَنَا أَكْثَرُ مِنْكَ مَالًا وَأَعَزُّ نَفَرًا

"Anā akṡaru mingka mālaw wa a'azzu nafarā."

"Hartaku lebih banyak daripada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat." (Q.S. Al-Kahfi: 34)

Kesombongan sang pemilik kebun tidak berhenti di situ. Ia bahkan masuk ke kebunnya dengan sikap yang zalim terhadap dirinya sendiri (yakni, dengan kekufuran), seraya berkata, "Aku tidak yakin kebun ini akan binasa selama-lamanya, dan aku tidak yakin hari Kiamat itu akan datang. Sekiranya pun aku dikembalikan kepada Tuhanku (pada hari Kiamat), pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebun ini." (Q.S. Al-Kahfi: 35-36).

Inilah puncak kesombongan dan kekufuran nikmat. Ia mengira kekayaannya adalah hasil usahanya semata, kekal, dan bahkan berani meragukan hari Kiamat serta berprasangka buruk kepada Allah bahwa ia akan mendapatkan yang lebih baik di akhirat.

Mendengar perkataan temannya yang sombong dan kufur nikmat itu, sahabatnya yang miskin namun bertakwa memberikan nasihat yang penuh hikmah, sebagaimana tercantum dalam ayat 37-38. Dia mengingatkan temannya tentang asal-usul penciptaan manusia dari tanah, kemudian menjadi nutfah, lalu disempurnakan menjadi seorang laki-laki. Ia juga menegaskan keimanannya: "Tetapi aku (percaya bahwa), Dialah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan Tuhanku dengan sesuatu pun." (Q.S. Al-Kahfi: 38).

Puncak Nasihat: Ayat 39

Setelah pengakuan keimanan, muncullah nasihat inti yang terkandung dalam ayat 39 ini. Ini adalah teguran langsung terhadap kelalaian si kaya untuk bersyukur dan mengakui kekuasaan Allah.

Tafsir dan Makna Mendalam Ayat 39

Mari kita bedah ayat 39 perkata untuk memahami makna yang terkandung di dalamnya:

1. وَلَوْلَا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ (Walawlā iż dakhalta jannataka) - "Mengapa ketika engkau memasuki kebunmu tidak mengucapkan..."

Bagian ini adalah teguran dan penyesalan dari sahabat yang miskin. "Walawlā" di sini berarti "mengapa tidak" atau "alangkah baiknya jika". Ini menunjukkan bahwa ada hal yang sangat pantas untuk dilakukan oleh si kaya, namun ia justru mengabaikannya. Ketika seseorang melihat nikmat atau memasuki tempat di mana ia merasakan kemewahan atau keberlimpahan, sepatutnya ia tidak lalai untuk mengingat Allah, sang Pemberi nikmat.

2. قُلْتَ مَا شَاءَ اللَّهُ (Qulta mā syā`allāh) - "Mengucapkan, 'Ma sya Allah'"

Kalimat "Ma sya Allah" (مَا شَاءَ اللَّهُ) secara harfiah berarti "Apa yang dikehendaki Allah". Ini adalah ungkapan pengakuan dan persaksian bahwa segala sesuatu yang terlihat indah, menakjubkan, dan melimpah ruah itu terjadi semata-mata atas kehendak dan izin Allah SWT. Ini adalah bentuk rasa syukur dan tawadhu (rendah hati) seorang hamba di hadapan Rabb-nya.

Mengucapkan "Ma sya Allah" saat melihat nikmat adalah cara seorang mukmin menepis godaan kesombongan. Ini juga menjadi benteng dari rasa 'ain (pandangan dengki) yang bisa datang dari orang lain maupun dari diri sendiri. Dengan mengucapkan ini, seseorang mengembalikan segala kebaikan kepada Sang Pencipta, bukan kepada usaha atau kemampuannya sendiri.

3. لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ (Lā quwwata illā billāh) - "Tiada kekuatan kecuali dengan [pertolongan] Allah"

Kalimat ini adalah kelanjutan dan penguat dari "Ma sya Allah". "Lā quwwata illā billāh" (لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ) berarti "Tidak ada daya (untuk melakukan sesuatu) dan tidak ada kekuatan (untuk meninggalkan sesuatu) kecuali dengan pertolongan Allah". Ini adalah pengakuan mutlak akan kelemahan diri di hadapan kekuasaan Allah yang Maha Kuat.

Apapun yang kita miliki, sekecil atau sebesar apapun itu, tidak akan pernah terwujud tanpa kekuatan dan izin dari Allah. Kesehatan, harta, ilmu, kedudukan, bahkan sekadar mengedipkan mata atau bernapas, semua adalah anugerah yang hanya bisa terjadi dengan izin dan kekuatan-Nya. Mengucapkan kalimat ini adalah pengakuan atas ketergantungan total seorang hamba kepada Rabb-nya, serta penolakan terhadap segala bentuk kekuatan selain kekuatan Allah.

Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Adzkar-nya menjelaskan bahwa kalimat ini, bersama "Ma sya Allah", sangat dianjurkan untuk diucapkan ketika seseorang melihat sesuatu yang indah, menakjubkan, atau mendapatkan nikmat, agar terhindar dari sifat ujub (kagum pada diri sendiri) dan agar nikmat itu tidak dicabut.

4. إِنْ تَرَنِ أَنَا أَقَلَّ مِنْكَ مَالًا وَوَلَدًا (In tarani anā aqalla mingka mālaw wa waladā) - "Sekiranya engkau menganggap aku lebih sedikit harta dan keturunan daripada engkau"

Bagian ini menunjukkan bahwa nasihat tersebut tidak datang dari posisi yang setara, melainkan dari seorang yang secara lahiriah dipandang lebih rendah secara materi. Ini menambah bobot nasihat tersebut. Meskipun ia miskin di mata dunia, ia kaya iman. Ia tidak iri terhadap kekayaan temannya, melainkan justru mengkhawatirkan temannya yang sombong akan kekayaan itu.

Ayat ini juga menyoroti ironi bahwa terkadang orang yang kurang beruntung secara materi justru memiliki kebijaksanaan dan keimanan yang lebih dalam, sementara orang yang berlimpah harta bisa terjerumus ke dalam kesombongan dan kekufuran.

Pelajaran Penting dari Al Kahfi Ayat 39

Ayat 39 bukan hanya sekadar teguran, melainkan sebuah panduan komprehensif tentang bagaimana seorang Muslim seharusnya menyikapi nikmat Allah, baik itu berupa harta, kekuasaan, ilmu, kesehatan, maupun keturunan.

1. Urgensi Bersyukur dan Mengakui Kekuasaan Allah

Pelajaran paling fundamental dari ayat ini adalah pentingnya bersyukur (syukur) dan mengakui bahwa segala sesuatu yang baik berasal dari Allah SWT. Kesombongan dan pengingkaran terhadap asal-usul nikmat adalah dosa besar. Dengan mengucapkan "Ma sya Allah, la quwwata illa billah", seorang hamba menyatakan bahwa ia adalah penerima pasif dari karunia Allah, dan bahwa semua kekuatan untuk mempertahankan atau mengembangkan nikmat itu juga berasal dari-Nya.

2. Menghindari Kesombongan (Takabur) dan Ujub (Bangga Diri)

Kisah ini dengan jelas menggambarkan bahaya kesombongan. Laki-laki pemilik kebun yang kaya raya terperangkap dalam ujub dan takabur. Ia melihat kebunnya yang subur dan hasil yang melimpah, lalu mengaitkan semua itu dengan dirinya sendiri, bahkan meremehkan kekuasaan Allah dan hari Kiamat. Akibatnya sangat fatal.

Kesombongan bukan hanya tercela, tetapi juga merupakan sifat iblis yang menyebabkan ia diusir dari surga. Allah SWT membenci orang-orang yang sombong. Mengucapkan "Ma sya Allah, la quwwata illa billah" adalah obat mujarab untuk penyakit kesombongan. Ia mengingatkan kita bahwa kita hanyalah hamba yang lemah, tidak memiliki daya upaya sedikit pun tanpa karunia dan pertolongan Allah.

3. Harta dan Anak sebagai Ujian

Ayat ini juga menegaskan bahwa harta, anak, dan segala bentuk kemewahan duniawi adalah ujian dari Allah. Bagi sebagian orang, kekayaan bisa menjadi tangga menuju surga jika digunakan di jalan Allah dan disikapi dengan syukur dan tawadhu. Namun, bagi sebagian lainnya, kekayaan bisa menjadi jurang kehancuran jika menyebabkan kesombongan, kefasikan, dan kelalaian dari Allah.

إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ

"Innamā amwālukum wa awlādukum fitnah."

"Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu)." (Q.S. At-Taghabun: 15)

Ayat ini mengingatkan kita untuk tidak terpedaya oleh gemerlap dunia, melainkan menjadikannya sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan tujuan akhir.

4. Pentingnya Nasihat dan Amar Ma'ruf Nahi Munkar

Sahabat yang miskin dalam kisah ini menunjukkan keberanian dan kebijaksanaan dalam memberikan nasihat kepada temannya yang sombong. Meskipun ia secara materi lebih rendah, ia tidak takut untuk menyampaikan kebenaran. Ini adalah teladan bagi umat Muslim untuk tidak berdiam diri ketika melihat kemungkaran atau kekufuran nikmat, melainkan berusaha untuk memberikan nasihat dengan cara yang hikmah dan baik.

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

"Waltakun minkum ummatuy yad'ụna ilal-khairi wa ya`murụna bil-ma'rụfi wa yan-hauna 'anil-mungkar, wa ulā`ika humul-mufliḥụn."

"Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." (Q.S. Ali 'Imran: 104)

5. Konsep Tawakkal (Berserah Diri)

Melalui ungkapan "La quwwata illa billah", ayat ini mengajarkan kita tentang tawakal yang hakiki. Tawakal bukanlah berarti pasrah tanpa usaha, melainkan berusaha semaksimal mungkin, lalu menyerahkan hasilnya sepenuhnya kepada Allah, disertai keyakinan bahwa kekuatan dan keberhasilan sejati hanya datang dari-Nya. Ini membebaskan hati dari ketergantungan pada sebab-sebab duniawi semata dan mengarahkannya hanya kepada Allah.

Ketika seseorang bertawakal, ia tidak akan sombong saat berhasil, dan tidak akan putus asa saat menghadapi kegagalan, karena ia tahu bahwa segala sesuatu adalah ketetapan Allah.

Keutamaan Mengucapkan "Ma Sya Allah La Quwwata Illa Billah"

Dzikir ini memiliki keutamaan yang besar dalam Islam. Ia adalah bentuk pengakuan tauhid yang murni dan permohonan perlindungan kepada Allah. Beberapa ulama dan hadis menyebutkan keutamaan dzikir ini:

Para ulama tafsir seperti Ibnu Katsir dan Al-Qurtubi menekankan pentingnya dzikir ini sebagai pengingat akan kekuasaan Allah atas segala sesuatu. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan bahwa sebagian ulama salaf mengatakan, siapa yang takut akan 'ain dari dirinya sendiri atau orang lain, maka hendaklah ia mengucapkan "Ma sya Allah la quwwata illa billah" saat melihat sesuatu yang menakjubkan.

Keterkaitan dengan Ayat dan Hadis Lain

Pelajaran dari Al Kahfi ayat 39 juga diperkuat oleh banyak ayat Al-Qur'an dan hadis Nabi Muhammad SAW:

1. Larangan Kesombongan

Al-Qur'an berulang kali melarang kesombongan:

إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا

"Innallāha lā yuḥibbu mang kāna mukhtālan fakhụrā."

"Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri." (Q.S. An-Nisa: 36)

Hadis juga menegaskan:

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ

"Lā yadkhulul jannata man kāna fī qalbihi mitṣqālu żarratin min kibrin."

"Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan seberat biji sawi." (HR. Muslim)

2. Hakikat Kekuasaan Allah

Konsep bahwa semua kekuatan berasal dari Allah adalah pilar utama iman:

لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

"Lillāhi mā fis-samāwāti wa mā fil-arḍ, innallāha 'alā kulli syai`ing qadīr."

"Milik Allahlah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu." (Q.S. Ali 'Imran: 189)

Dan juga dzikir terkenal:

لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ

"Lā hawla wa lā quwwata illā billāh."

"Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah." (HR. Bukhari dan Muslim)

Kedua kalimat ini, baik yang ada dalam Al Kahfi ayat 39 maupun yang sering disebut dalam hadis, memiliki inti makna yang sama: penyerahan total dan pengakuan bahwa segala kekuatan dan kemampuan hanya bersumber dari Allah SWT.

3. Bersyukur Atas Nikmat

Syukur adalah perintah ilahi dan kunci penambahan nikmat:

لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

"La`in syakartum la`azīdannakum, wa la`ing kafartum inna 'ażābī lasyadīd."

"Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: 'Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.'" (Q.S. Ibrahim: 7)

Kisah dua pemilik kebun ini adalah ilustrasi nyata dari ancaman di akhir ayat Ibrahim ini.

Implementasi Pelajaran Al Kahfi Ayat 39 dalam Kehidupan Sehari-hari

Bagaimana kita bisa menerapkan pelajaran berharga dari ayat ini dalam kehidupan modern kita yang serba cepat dan seringkali kompetitif?

1. Dalam Kesuksesan dan Pencapaian

Ketika meraih kesuksesan, baik dalam pendidikan, karier, bisnis, atau proyek pribadi, sangat mudah bagi ego untuk merasa bangga dan mengklaim semua keberhasilan itu sebagai hasil jerih payah sendiri. Saat itulah kita perlu mengingat: "Ma sya Allah, la quwwata illa billah."

2. Dalam Menghadapi Nikmat Materi (Harta, Kendaraan, Rumah)

Ketika kita memiliki harta benda yang berlimpah, kendaraan mewah, atau rumah yang indah, ini semua adalah ujian. Al Kahfi ayat 39 mengingatkan kita untuk tidak terbuai dan melupakan sumber sebenarnya dari semua itu.

3. Dalam Hubungan Keluarga dan Keturunan

Anak-anak adalah perhiasan dunia dan amanah dari Allah. Ketika kita dikaruniai anak yang saleh, cerdas, atau berbakti, seringkali kita merasa bangga. Kebanggaan ini harus diimbangi dengan pengakuan bahwa semua itu adalah karunia Allah.

4. Dalam Menghadapi Musibah dan Kegagalan

Meskipun ayat ini menyoroti sikap saat mendapat nikmat, pelajaran tentang tawakal dan kekuasaan Allah juga relevan saat menghadapi kesulitan. Jika semua kekuatan berasal dari Allah, maka hanya Dia-lah tempat kita berharap saat musibah datang. Kegagalan seharusnya tidak membuat kita putus asa, melainkan menyadarkan kita akan keterbatasan diri dan mendorong kita untuk lebih berserah diri kepada Allah.

5. Dalam Konteks Sosial dan Ukhuwah

Ayat ini mengajarkan untuk tidak meremehkan orang lain hanya karena status sosial atau kekayaan mereka. Sahabat yang miskin justru menjadi pemberi nasihat yang lebih bijaksana. Ini mengingatkan kita untuk menghargai setiap individu berdasarkan ketakwaan dan akhlaknya, bukan berdasarkan kekayaan duniawinya.

Pelajaran Lebih Luas dari Surah Al-Kahfi

Kisah dua pemilik kebun hanyalah salah satu dari empat kisah utama dalam Surah Al-Kahfi, yang kesemuanya mengandung pelajaran tentang ujian dalam hidup:

  1. Kisah Ashabul Kahfi (Pemuda Gua): Ujian iman. Mereka lari dari penguasa zalim untuk mempertahankan akidah mereka.
  2. Kisah Dua Pemilik Kebun: Ujian harta. Kisah ini mengajarkan tentang bahaya kesombongan dan kekufuran nikmat.
  3. Kisah Nabi Musa dan Khidir: Ujian ilmu. Mengajarkan bahwa ada ilmu di atas ilmu, dan manusia harus tawadhu dalam mencari pengetahuan.
  4. Kisah Dzulqarnain: Ujian kekuasaan. Mengajarkan tentang penggunaan kekuasaan untuk kemaslahatan umat dan ketaatan kepada Allah, serta bahwa semua kekuasaan akan berakhir.

Semua kisah ini berujung pada satu pesan sentral: dunia ini hanyalah cobaan, dan kembalinya segala sesuatu adalah kepada Allah. Manusia harus selalu menyadari keterbatasannya, berserah diri kepada Sang Pencipta, dan tidak terpedaya oleh gemerlap dunia.

Kisah dua pemilik kebun ini secara khusus menyoroti bagaimana aset duniawi dapat menjadi sumber kehancuran jika tidak disikapi dengan benar. Pemilik kebun yang sombong kehilangan segalanya, bukan hanya harta bendanya, tetapi juga ketenangan jiwanya dan mungkin akhiratnya jika tidak bertaubat. Allah berfirman setelah kebinasaan kebunnya:

وَأُحِيطَ بِثَمَرِهِ فَأَصْبَحَ يُقَلِّبُ كَفَّيْهِ عَلَىٰ مَا أَنْفَقَ فِيهَا وَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلَىٰ عُرُوشِهَا وَيَقُولُ يَا لَيْتَنِي لَمْ أُشْرِكْ بِرَبِّي أَحَدًا

"Wa uḥīṭa biṡamarihī fa`aṣbaḥa yuqallibu kaffaihi 'alā mā anfaqa fīhā wa hiya khāwiyatun 'alā 'urụsyihā wa yaqụlu yā laitahī lam usyrik birabbī aḥadā."

"Dan harta kekayaannya dibinasakan, lalu dia membolak-balikkan kedua telapak tangannya (menyesali) apa yang telah dia belanjakan untuk itu, sedang pohon anggur itu roboh bersama para-paranya, lalu dia berkata, “Aduhai, kiranya dahulu aku tidak mempersekutukan Tuhanku dengan sesuatu pun.” (Q.S. Al-Kahfi: 42)

Penyesalan datang terlambat. Ini adalah peringatan keras bagi siapa pun yang terbuai dengan kekayaan dan melupakan Allah.

Penutup

Al Kahfi ayat 39 adalah mutiara hikmah yang sangat relevan untuk setiap individu di setiap zaman. Ia mengajarkan kita pentingnya syukur, tawadhu, dan tawakal kepada Allah SWT. Mengucapkan "Ma sya Allah, la quwwata illa billah" bukan hanya sekadar dzikir lisan, melainkan sebuah filosofi hidup yang harus meresap ke dalam hati dan terefleksi dalam setiap tindakan kita.

Semoga kita semua dapat mengambil pelajaran berharga dari kisah dua pemilik kebun ini, senantiasa bersyukur atas segala nikmat yang Allah anugerahkan, menjauhkan diri dari kesombongan, dan selalu mengingat bahwa segala kekuatan dan kekuasaan hanyalah milik Allah semata. Dengan demikian, kita akan menjadi hamba yang beruntung di dunia dan di akhirat.

Semoga artikel ini memberikan pemahaman yang mendalam dan bermanfaat bagi para pembaca sekalian.

🏠 Homepage