Tafsir Al-Kahfi Ayat 81-90: Kisah Dzulqarnain dan Hikmahnya

Pengantar: Surah Al-Kahfi dan Kisah Dzulqarnain

Surah Al-Kahfi, surah ke-18 dalam Al-Qur'an, memiliki kedudukan istimewa dalam tradisi Islam, terutama anjuran membacanya pada hari Jumat. Surah ini mengandung empat kisah utama yang sarat akan pelajaran dan hikmah mendalam: Ashabul Kahfi (Para Penghuni Gua), dua pemilik kebun, Nabi Musa dan Khidir, serta kisah Dzulqarnain. Masing-masing kisah ini menyajikan ujian-ujian keimanan yang berbeda, mulai dari ujian keimanan (Ashabul Kahfi), ujian harta (dua pemilik kebun), ujian ilmu (Musa dan Khidir), hingga ujian kekuasaan (Dzulqarnain).

Kisah Dzulqarnain, yang tercatat mulai ayat 83 hingga 101, adalah narasi tentang seorang raja yang adil dan berkuasa besar, yang melakukan perjalanan ke berbagai penjuru bumi. Artikel ini akan memfokuskan pembahasannya pada ayat-ayat 81 hingga 90, yang mencakup sebagian kecil dari kisah Musa dan Khidir, dan awal mula perjalanan Dzulqarnain serta pertemuannya dengan kaum di ujung barat dan timur bumi.

Kisah Dzulqarnain hadir sebagai respons atas pertanyaan yang diajukan oleh kaum musyrikin Mekah atas dorongan kaum Yahudi, untuk menguji kenabian Muhammad ﷺ. Pertanyaan ini, bersama dengan pertanyaan tentang Ashabul Kahfi dan ruh, adalah ujian yang sulit bagi pengetahuan manusia. Allah ﷻ menurunkan wahyu yang menjawab pertanyaan tersebut, sekaligus memberikan pelajaran berharga tentang kekuasaan, keadilan, hikmah ilahi, dan tanda-tanda akhir zaman.

Melalui kisah ini, Al-Qur'an menggambarkan seorang pemimpin teladan yang dianugerahi kekuasaan dan kemampuan luar biasa, namun tetap rendah hati, bersyukur kepada Allah, dan senantiasa menegakkan keadilan serta membantu yang tertindas. Ini adalah gambaran ideal seorang pemimpin yang menggunakan karunia Allah untuk kebaikan, bukan untuk kesewenang-wenangan atau kesombongan.

Ayat 81: Penutup Kisah Musa dan Khidir

ذَٰلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا
"Itulah penafsiran perbuatan-perbuatan yang engkau tidak sabar terhadapnya."

Ayat 81 ini adalah penutup dari kisah Nabi Musa dan Khidir yang luar biasa, sebuah kisah tentang batas-batas ilmu manusia dan keharusan berserah diri kepada hikmah Ilahi yang lebih tinggi. Setelah Khidir menjelaskan alasan di balik tiga perbuatannya yang tampak aneh dan kejam di mata Musa (melubangi kapal, membunuh anak muda, dan memperbaiki tembok yang hampir roboh), ia mengakhiri penjelasannya dengan kalimat ini. Ini adalah puncak dari seluruh pelajaran yang ingin disampaikan Khidir kepada Musa, dan kepada kita semua.

"Itulah penafsiran perbuatan-perbuatan..." (ذَٰلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا) Kalimat ini secara langsung merujuk pada tiga insiden yang dialami Musa bersama Khidir. Khidir tidak hanya sekadar melakukan tindakan, tetapi ia juga memberikan "ta'wil" atau penafsiran, penjelasan mendalam tentang makna tersembunyi dan konsekuensi jangka panjang dari setiap perbuatannya. Ini menegaskan bahwa setiap kejadian, bahkan yang paling membingungkan sekalipun, memiliki alasan dan tujuan yang tersembunyi, yang mungkin tidak segera tampak oleh mata telanjang atau akal manusia yang terbatas.

"...yang engkau tidak sabar terhadapnya." (مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا) Frasa ini adalah pengingat lembut namun tegas akan keterbatasan kesabaran manusia, terutama ketika dihadapkan pada hal-hal yang tidak sesuai dengan logika atau pemahaman awal kita. Nabi Musa, seorang nabi ulul azmi dengan kesabaran yang luar biasa dalam menghadapi kaumnya, ternyata memiliki batas kesabaran ketika dihadapkan pada misteri takdir dan ilmu gaib yang hanya diketahui oleh Allah dan sebagian kecil hamba-Nya yang Dia kehendaki. Ini menunjukkan bahwa kesabaran bukanlah hanya sekadar menahan diri dari kemarahan atau kegelisahan, melainkan juga menahan diri dari prasangka dan tergesa-gesa dalam menghakimi sesuatu yang belum diketahui secara menyeluruh.

Hikmah dari Ayat 81:

Dengan ayat 81, kisah Musa dan Khidir ditutup dengan pesan yang kuat: ilmu Allah meliputi segala sesuatu, dan kesabaran adalah kunci untuk menerima takdir dan memahami hikmah-Nya, bahkan jika pemahaman itu datang belakangan. Pesan ini juga menjadi jembatan spiritual menuju kisah berikutnya, kisah Dzulqarnain, yang juga akan sarat dengan hikmah tentang kekuasaan dan keadilan ilahi.

Ilustrasi Buku Terbuka dengan Kompas dan Tanda Tanya - Simbol Pengetahuan dan Pencarian Hikmah

Ilustrasi yang menggambarkan pencarian pengetahuan dan hikmah Ilahi.

Ayat 82: Keinginan Mereka dan Karunia Allah

وَيَسْأَلُونَكَ عَن ذِي الْقَرْنَيْنِ ۖ قُلْ سَأَتْلُو عَلَيْكُم مِّنْهُ ذِكْرًا
"Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Zulkarnain. Katakanlah, 'Aku akan bacakan kepadamu sebagian kisahnya.'"

Ayat 82 adalah titik permulaan kisah Dzulqarnain secara resmi dalam Surah Al-Kahfi. Ayat ini berfungsi sebagai pendahuluan yang menjelaskan konteks mengapa kisah ini diceritakan kepada Nabi Muhammad ﷺ dan, melalui beliau, kepada seluruh umat manusia.

"Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Zulkarnain..." (وَيَسْأَلُونَكَ عَن ذِي الْقَرْنَيْنِ) Frasa ini secara eksplisit menyebutkan bahwa pertanyaan mengenai Dzulqarnain datang dari "mereka." Para mufasir sepakat bahwa "mereka" ini merujuk kepada kaum musyrikin Quraisy di Mekah, yang dihasut oleh para rabi Yahudi dari Madinah. Kaum Yahudi yang memiliki pengetahuan tentang Taurat dan kisah-kisah umat terdahulu ingin menguji kenabian Muhammad ﷺ dengan mengajukan pertanyaan yang mereka yakini hanya bisa dijawab oleh seorang nabi sejati. Dzulqarnain (Zulkarnain), yang berarti "pemilik dua tanduk" atau "pemilik dua kurun/zaman," adalah sosok misterius yang disebutkan dalam beberapa tradisi kuno, dan mereka tahu bahwa kisahnya tidak banyak diketahui oleh orang Arab pada umumnya.

Pertanyaan ini bukan sekadar keingintahuan biasa, melainkan sebuah tantangan. Jika Muhammad dapat menjawabnya dengan benar, itu akan menjadi bukti kebenarannya. Namun, jawaban yang datang bukan hanya sekadar narasi, melainkan sebuah pelajaran spiritual yang mendalam, sesuai dengan gaya Al-Qur'an.

"Katakanlah, 'Aku akan bacakan kepadamu sebagian kisahnya.'" (قُلْ سَأَتْلُو عَلَيْكُم مِّنْهُ ذِكْرًا) Ini adalah instruksi langsung dari Allah kepada Nabi Muhammad ﷺ untuk menyampaikan kisah Dzulqarnain. Kata "ذِكْرًا" (dzikra) bisa diartikan sebagai "sebagian kisah," "peringatan," atau "pelajaran." Ini mengindikasikan bahwa Al-Qur'an tidak hanya menceritakan sejarah semata, tetapi juga menekankan aspek peringatan dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Nabi Muhammad diperintahkan untuk membacakan kisah ini, bukan sekadar menceritakan, yang menyiratkan bahwa wahyu ini adalah firman Allah yang harus disampaikan dengan cermat dan tepat. Ungkapan "sebagian kisahnya" juga penting; itu berarti Al-Qur'an hanya menceritakan bagian-bagian yang relevan untuk tujuan pengajaran, bukan biografi lengkap Dzulqarnain.

Hikmah dari Ayat 82:

Dengan demikian, ayat 82 ini mempersiapkan panggung bagi salah satu kisah paling menawan dalam Al-Qur'an, sebuah kisah yang akan mengungkap banyak hal tentang kekuasaan ilahi, keadilan manusia, dan takdir akhir zaman.

Ayat 83: Karunia Kekuasaan dan Ilmu

إِنَّا مَكَّنَّا لَهُ فِي الْأَرْضِ وَآتَيْنَاهُ مِن كُلِّ شَيْءٍ سَبَبًا
"Sungguh, Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu."

Ayat 83 ini adalah pengantar langsung terhadap sosok Dzulqarnain dan menggambarkan inti dari kekuasaan serta kemampuan yang Allah anugerahkan kepadanya. Ayat ini menjelaskan pondasi mengapa Dzulqarnain bisa melakukan perjalanan dan membangun proyek-proyek besar seperti yang akan diceritakan selanjutnya.

"Sungguh, Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di bumi..." (إِنَّا مَكَّنَّا لَهُ فِي الْأَرْضِ) Frasa ini adalah penegasan ilahi ("إِنَّا" - sungguh Kami) yang menunjukkan kebesaran karunia yang diberikan kepada Dzulqarnain. Kata "مَكَّنَّا" (makkanna) berarti "Kami telah memberinya kemampuan," "Kami telah menetapkannya," atau "Kami telah memberinya kekuatan/kekuasaan." Ini bukan sekadar kekuasaan politik atau militer, tetapi juga meliputi kemampuan untuk menaklukkan, mengatur, dan memerintah di berbagai belahan bumi. Kekuasaan ini diberikan oleh Allah, bukan semata-mata karena kecerdasan atau kekuatan Dzulqarnain sendiri. Ini adalah pengingat bahwa semua kekuasaan adalah milik Allah dan Dia memberikannya kepada siapa saja yang Dia kehendaki.

Kekuasaan Dzulqarnain disebutkan meluas di "الأَرْضِ" (al-ardh) yang berarti "bumi." Ini menunjukkan bahwa kekuasaannya tidak terbatas pada satu wilayah kecil, melainkan mencakup wilayah yang sangat luas, dari timur hingga barat, memberikan kepadanya otoritas yang belum pernah dicapai oleh banyak penguasa lain.

"...dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu." (وَآتَيْنَاهُ مِن كُلِّ شَيْءٍ سَبَبًا) Bagian ini sangat penting dalam memahami karakter Dzulqarnain. Kata "سَبَبًا" (sababan) memiliki makna "jalan," "sarana," "penyebab," atau "cara." Artinya, Allah tidak hanya memberinya kekuasaan, tetapi juga melengkapinya dengan segala sarana, pengetahuan, dan hikmah yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuannya. Ini bisa berupa:

Frasa "مِن كُلِّ شَيْءٍ" (min kulli syai'in) menunjukkan cakupan yang universal, bahwa ia diberikan sarana untuk segala sesuatu yang ia butuhkan untuk menjalankan misinya sebagai penguasa yang adil.

Hikmah dari Ayat 83:

Dengan ayat ini, Al-Qur'an mempersiapkan kita untuk memahami bagaimana Dzulqarnain mampu melakukan perjalanan jauh dan menyelesaikan proyek-proyek besar, semuanya karena karunia dan bimbingan Allah ﷻ.

Ilustrasi peta dunia dengan jalan yang terbentang luas - Simbol Kekuasaan dan Perjalanan Dzulqarnain

Ilustrasi yang melambangkan kekuasaan Dzulqarnain yang meliputi berbagai penjuru bumi.

Ayat 84: Perjalanan ke Barat

فَأَتْبَعَ سَبَبًا
"Maka ditempuhnya suatu jalan."

Ayat 84 adalah kelanjutan langsung dari ayat sebelumnya, yang menjelaskan bahwa Dzulqarnain dianugerahi sarana dan kekuasaan untuk mencapai segala sesuatu. Ayat ini menunjukkan langkah pertama Dzulqarnain dalam memanfaatkan karunia tersebut: memulai perjalanan. Ini adalah ayat singkat namun padat makna.

"Maka ditempuhnya suatu jalan." (فَأَتْبَعَ سَبَبًا) Frasa ini adalah inti dari ayat 84. Kata "فَأَتْبَعَ" (fa'atba'a) berarti "maka dia mengikuti" atau "maka dia menempuh." Ini mengindikasikan bahwa Dzulqarnain segera bertindak setelah menerima karunia dari Allah. Dia tidak berdiam diri, tetapi menggunakan "سَبَبًا" (sababan) yang telah diberikan kepadanya. Seperti yang dijelaskan di ayat sebelumnya, "sabab" adalah sarana, jalan, atau cara. Di sini, ia merujuk pada jalan fisik atau arah yang ia tempuh untuk perjalanannya.

Ayat ini secara implisit menunjukkan bahwa Dzulqarnain adalah seorang pemimpin yang proaktif dan visioner. Dia tidak hanya menerima kekuasaan, tetapi juga menggunakannya untuk menjelajahi dan mengelola wilayah yang luas. "Menempuh suatu jalan" bisa berarti dia mempersiapkan pasukannya, perbekalannya, dan rute perjalanannya dengan cermat, memanfaatkan setiap sarana yang Allah berikan kepadanya.

Hikmah dari Ayat 84:

Ayat ini sangat singkat namun menjadi kunci pembuka untuk episode pertama perjalanan Dzulqarnain, menunjukkan bahwa ia adalah pemimpin yang tidak ragu untuk bertindak dan memanfaatkan potensi yang Allah berikan kepadanya.

Ayat 85: Hingga Matahari Terbenam

حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ مَغْرِبَ الشَّمْسِ وَجَدَهَا تَغْرُبُ فِي عَيْنٍ حَمِئَةٍ وَوَجَدَ عِندَهَا قَوْمًا ۗ قُلْنَا يَا ذَا الْقَرْنَيْنِ إِمَّا أَن تُعَذِّبَ وَإِمَّا أَن تَتَّخِذَ فِيهِمْ حُسْنًا
"Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbenam matahari, dia melihatnya (matahari) terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam, dan di sana didapatinya suatu kaum. Kami berfirman, 'Wahai Zulkarnain! Engkau boleh menyiksa atau berbuat kebaikan kepada mereka.'"

Ayat 85 adalah gambaran dramatis dari perjalanan pertama Dzulqarnain ke arah barat, hingga mencapai "tempat terbenam matahari," sebuah metafora untuk ujung barat bumi yang bisa dijangkau. Ayat ini juga memperkenalkan interaksi pertama Dzulqarnain dengan masyarakat yang ditemuinya dan arahan ilahi yang ia terima.

"Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbenam matahari..." (حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ مَغْرِبَ الشَّمْسِ) Ini adalah deskripsi geografis atau fenomenologis. "Tempat terbenam matahari" secara harfiah tidak berarti Dzulqarnain mencapai titik di mana matahari secara fisik masuk ke dalam sesuatu. Dalam konteks bahasa Arab klasik dan pemahaman manusia pada masa itu, ini adalah ungkapan kiasan untuk wilayah terjauh di barat, di mana cakrawala terbentang luas dan matahari tampak menghilang di kejauhan. Ini bisa diartikan sebagai pantai barat yang sangat jauh atau perbatasan dunia yang dikenal pada masanya.

"...dia melihatnya (matahari) terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam..." (وَجَدَهَا تَغْرُبُ فِي عَيْنٍ حَمِئَةٍ) Frasa ini seringkali menjadi titik perdebatan. "عَيْنٍ حَمِئَةٍ" (ainin hami'ah) berarti "mata air berlumpur hitam" atau "rawa berlumpur." Para mufasir menjelaskan bahwa Dzulqarnain tidak melihat matahari secara harfiah masuk ke dalam lumpur. Ini adalah perspektif visual dari seorang pengamat di tepi danau besar, rawa, atau laut. Dari sudut pandang seseorang di daratan, saat matahari terbenam di horison lautan atau danau yang luas, terutama jika airnya keruh atau berlumpur, matahari akan tampak seolah-olah masuk ke dalamnya. Ini adalah gambaran fenomenologis yang akurat dari apa yang dapat dilihat mata manusia, bukan deskripsi ilmiah tentang fisika alam semesta. Ini menunjukkan betapa jauhnya perjalanan Dzulqarnain ke arah barat hingga ia mencapai tempat di mana pengalaman visual tersebut dapat terjadi.

"...dan di sana didapatinya suatu kaum." (وَوَجَدَ عِندَهَا قَوْمًا) Di wilayah ekstrem ini, Dzulqarnain bertemu dengan sebuah kaum. Al-Qur'an tidak merinci identitas, bahasa, atau kebudayaan mereka, namun yang jelas, mereka adalah masyarakat yang hidup di ujung peradaban yang dikenal, mungkin terisolasi dan rentan. Keberadaan kaum ini menjadi titik fokus untuk ujian kepemimpinan Dzulqarnain.

"Kami berfirman, 'Wahai Zulkarnain! Engkau boleh menyiksa atau berbuat kebaikan kepada mereka.'" (قُلْنَا يَا ذَا الْقَرْنَيْنِ إِمَّا أَن تُعَذِّبَ وَإِمَّا أَن تَتَّخِذَ فِيهِمْ حُسْنًا) Ini adalah bagian paling krusial dari ayat ini. Allah secara langsung (melalui ilham atau malaikat) memberikan pilihan kepada Dzulqarnain mengenai bagaimana ia harus memperlakukan kaum yang baru ditemuinya ini. Pilihan tersebut adalah antara "menyiksa" (تُعَذِّبَ) atau "berbuat kebaikan" (تَتَّخِذَ فِيهِمْ حُسْنًا). "Menyiksa" di sini bisa berarti menundukkan mereka dengan kekuatan, menghukum mereka, atau memperlakukan mereka dengan keras karena kejahatan atau kekafiran mereka. Sementara "berbuat kebaikan" berarti memperlakukan mereka dengan adil, membantu mereka, atau membimbing mereka menuju kebaikan. Pilihan ini adalah ujian moral dan etika kepemimpinan yang paling mendasar: bagaimana menggunakan kekuasaan atas orang lain.

Hikmah dari Ayat 85:

Ayat 85 ini adalah titik balik dalam kisah Dzulqarnain, menunjukkan bahwa ia bukan hanya penakluk, tetapi juga seorang pemimpin yang dibimbing oleh prinsip-prinsip moral dan etika dalam penggunaan kekuasaannya.

Ilustrasi matahari terbenam di atas air dengan dua sosok manusia di tepi - Simbol Pertemuan Dzulqarnain dengan Kaum di Barat

Ilustrasi yang menunjukkan Dzulqarnain menyaksikan matahari terbenam dan bertemu dengan sebuah kaum.

Ayat 86: Keadilan Dzulqarnain Terhadap Orang Zalim

قَالَ أَمَّا مَن ظَلَمَ فَسَوْفَ نُعَذِّبُهُ ثُمَّ يُرَدُّ إِلَىٰ رَبِّهِ فَيُعَذِّبُهُ عَذَابًا نُّكْرًا
"Dia (Zulkarnain) berkata, 'Adapun orang yang berbuat zalim, maka akan kami siksa, kemudian dia akan dikembalikan kepada Tuhannya, lalu Dia mengazabnya dengan azab yang sangat pedih.'"

Ayat 86 adalah jawaban Dzulqarnain atas pilihan yang diberikan Allah kepadanya di ayat 85. Jawaban ini menunjukkan prinsip keadilan yang ia pegang teguh sebagai seorang pemimpin. Dia tidak memilih untuk menyiksa semua orang secara semena-mena, juga tidak memilih untuk berbuat baik kepada semua tanpa diskriminasi, melainkan ia membedakan antara yang adil dan yang zalim.

"Dia (Zulkarnain) berkata, 'Adapun orang yang berbuat zalim, maka akan kami siksa..." (قَالَ أَمَّا مَن ظَلَمَ فَسَوْفَ نُعَذِّبُهُ) Dzulqarnain memulai dengan menyatakan sikapnya terhadap orang-orang yang "ظَلَمَ" (zhalama), yaitu orang-orang yang berbuat zalim, menindas, atau melanggar kebenaran. Dalam konteks ini, kezaliman dapat berarti menolak keimanan, melakukan kemaksiatan, atau menindas sesama manusia. Dzulqarnain dengan tegas menyatakan bahwa orang-orang semacam ini "فَسَوْفَ نُعَذِّبُهُ" (fasawfa nu'adzdzibuhu), yaitu "akan kami siksa." Ini menunjukkan bahwa ia tidak akan menoleransi kezaliman dan akan menggunakan kekuasaannya untuk menegakkan keadilan di dunia ini. Siksaan di sini bisa berarti hukuman duniawi yang pantas, seperti penjara, pengasingan, atau bahkan hukuman fisik sesuai hukum yang berlaku, untuk menghentikan kejahatan dan melindungi masyarakat.

Penggunaan kata ganti orang pertama jamak "kami" (نُعَذِّبُهُ) menunjukkan otoritas raja yang berbicara atas nama pemerintahannya atau sebagai seorang penguasa yang memiliki kekuasaan mutlak.

"...kemudian dia akan dikembalikan kepada Tuhannya, lalu Dia mengazabnya dengan azab yang sangat pedih.'" (ثُمَّ يُرَدُّ إِلَىٰ رَبِّهِ فَيُعَذِّبُهُ عَذَابًا نُّكْرًا) Bagian kedua dari jawaban Dzulqarnain ini adalah puncak kebijaksanaannya dan menunjukkan imannya yang kuat. Ia memahami bahwa hukuman duniawi hanya sebagian kecil dari keadilan. Setelah hukuman dunia, orang-orang zalim akan "يُرَدُّ إِلَىٰ رَبِّهِ" (yuraddu ila rabbih), yaitu "dikembalikan kepada Tuhannya." Ini adalah pengakuan akan adanya hari pembalasan dan pertanggungjawaban di akhirat.

Kemudian, Allah lah yang akan "فَيُعَذِّبُهُ عَذَابًا نُّكْرًا" (fayu'adzdzibuhu 'adzaban nukran), yaitu "mengazabnya dengan azab yang sangat pedih" atau "azab yang tidak pernah terpikirkan." Kata "نُّكْرًا" (nukran) menunjukkan sesuatu yang sangat buruk, mengerikan, dan belum pernah dilihat sebelumnya. Ini adalah peringatan keras bahwa hukuman Allah di akhirat jauh lebih berat dan kekal dibandingkan hukuman apapun di dunia. Dzulqarnain tidak mengambil alih peran Tuhan dalam penghakiman akhir, melainkan menegaskan bahwa keadilan ilahi akan sempurna di hari kemudian.

Hikmah dari Ayat 86:

Melalui ayat ini, Dzulqarnain menunjukkan bahwa kekuasaan sejati tidak terletak pada kemampuan untuk menindas, melainkan pada kemampuan untuk menegakkan keadilan dengan tegas di dunia ini, sambil tetap mengakui dan mengingatkan tentang keadilan Allah yang maha sempurna di akhirat.

Ayat 87: Kebaikan Dzulqarnain Terhadap Orang Baik

وَأَمَّا مَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُ جَزَاءً الْحُسْنَىٰ ۖ وَسَنَقُولُ لَهُ مِنْ أَمْرِنَا يُسْرًا
"Adapun orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, maka dia akan mendapat balasan yang terbaik (surga), dan akan kami sampaikan kepadanya perintah kami yang mudah-mudah."

Ayat 87 adalah kelanjutan dari jawaban Dzulqarnain di ayat sebelumnya, menunjukkan sisi lain dari prinsip keadilannya: perlakuan terhadap orang-orang yang beriman dan berbuat baik. Ayat ini menekankan bahwa keadilan tidak hanya tentang menghukum yang jahat, tetapi juga tentang memberi penghargaan kepada yang baik.

"Adapun orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan..." (وَأَمَّا مَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا) Dzulqarnain membedakan dengan jelas kelompok kedua ini: mereka yang "آمَنَ" (amana), yaitu beriman kepada Allah, dan "عَمِلَ صَالِحًا" (wamila shaalihan), yaitu mengerjakan kebajikan atau amal saleh. Ini adalah dua pilar utama dalam Islam yang selalu digandengkan dalam Al-Qur'an: keimanan di hati dan perbuatan baik yang nyata. Ini menunjukkan bahwa Dzulqarnain adalah seorang pemimpin yang mengukur nilai seseorang tidak hanya dari kepatuhan politik, tetapi juga dari keimanan dan akhlak mulia mereka.

"...maka dia akan mendapat balasan yang terbaik (surga)..." (فَلَهُ جَزَاءً الْحُسْنَىٰ) Bagi kelompok ini, Dzulqarnain menjanjikan "جَزَاءً الْحُسْنَىٰ" (jazaa'an al-husna), yaitu "balasan yang terbaik." "Al-Husna" secara umum merujuk pada segala sesuatu yang baik, tetapi dalam konteks Al-Qur'an, ketika disebutkan sebagai balasan di akhirat, ia seringkali diinterpretasikan sebagai surga. Ini menunjukkan bahwa Dzulqarnain tidak hanya berjanji akan memberi kebaikan duniawi, tetapi juga memahami dan mengingatkan tentang janji kebaikan abadi dari Allah di akhirat. Ini menegaskan kembali kedalamannya dalam beriman dan keyakinannya pada hari pembalasan.

"...dan akan kami sampaikan kepadanya perintah kami yang mudah-mudah.'" (وَسَنَقُولُ لَهُ مِنْ أَمْرِنَا يُسْرًا) Bagian ini menjelaskan perlakuan Dzulqarnain terhadap mereka di dunia. "وَسَنَقُولُ لَهُ مِنْ أَمْرِنَا يُسْرًا" (wasanaqulu lahu min amrina yusra) berarti "dan akan kami sampaikan kepadanya perintah kami yang mudah-mudah" atau "akan kami perlakukan dia dengan mudah dan penuh kemudahan dalam urusan kami." Ini bisa diartikan sebagai:

Pernyataan ini melengkapi gambaran kepemimpinan Dzulqarnain sebagai pemimpin yang seimbang, yang tegas terhadap kezaliman namun penuh kasih sayang dan kemudahan bagi orang-orang yang saleh.

Hikmah dari Ayat 87:

Dengan dua ayat ini (86 dan 87), Dzulqarnain telah menunjukkan filosofi kepemimpinannya: keadilan yang tegas terhadap kezaliman dan kebaikan yang tulus terhadap iman dan amal saleh. Ini adalah model kepemimpinan yang adil dan berhikmah.

Ayat 88: Mengikuti Jalan Lain

ثُمَّ أَتْبَعَ سَبَبًا
"Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain)."

Ayat 88 sangat singkat, hanya terdiri dari tiga kata dalam bahasa Arab, namun memiliki fungsi naratif yang penting. Ayat ini menandai berakhirnya episode perjalanan Dzulqarnain ke barat dan menjadi jembatan menuju petualangan berikutnya.

"Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain)." (ثُمَّ أَتْبَعَ سَبَبًا) Kata "ثُمَّ" (tsumma) berarti "kemudian" atau "selanjutnya," menunjukkan urutan waktu setelah episode pertama. Ini mengindikasikan bahwa setelah menyelesaikan urusannya di wilayah barat (mengelola kaum yang ditemuinya dengan prinsip keadilan yang telah ia tegakkan), Dzulqarnain tidak berdiam diri. Ia melanjutkan misinya, menggunakan kembali "سَبَبًا" (sababan) – sarana atau jalan – yang telah Allah anugerahkan kepadanya. Penambahan "suatu jalan (yang lain)" menegaskan bahwa ia tidak kembali ke tempat semula, melainkan melanjutkan ekspedisinya ke arah yang berbeda.

Secara implisit, ini berarti bahwa Dzulqarnain adalah seorang pemimpin yang dinamis dan memiliki misi yang berkelanjutan. Setelah menyelesaikan satu tugas, ia segera bergerak ke tugas berikutnya, menunjukkan ketekunan, perencanaan, dan penggunaan sumber daya yang efisien.

Hikmah dari Ayat 88:

Ayat 88 ini adalah transisi yang mulus, mempersiapkan pembaca untuk mengikuti Dzulqarnain ke perjalanan berikutnya, kali ini menuju ke timur.

Ayat 89: Perjalanan ke Timur

حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ مَطْلِعَ الشَّمْسِ وَجَدَهَا تَطْلُعُ عَلَىٰ قَوْمٍ لَّمْ نَجْعَل لَّهُم مِّن دُونِهَا سِتْرًا
"Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbit matahari (timur), dia mendapatinya (matahari) terbit pada suatu kaum yang tidak Kami buatkan bagi mereka suatu pelindung dari (cahaya)nya."

Ayat 89 ini menggambarkan perjalanan kedua Dzulqarnain, kali ini ke arah timur, ke "tempat terbit matahari," yang melambangkan ujung timur bumi yang dapat ia jangkau. Di sana, ia bertemu dengan kaum yang kehidupannya sangat berbeda dengan masyarakat lainnya.

"Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbit matahari (timur)..." (حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ مَطْلِعَ الشَّمْسِ) Mirip dengan perjalanan ke barat, frasa "مَطْلِعَ الشَّمْسِ" (matli'asy syams) adalah ungkapan kiasan untuk wilayah terjauh di timur. Dzulqarnain mencapai titik di mana matahari pertama kali tampak muncul dari horison yang luas. Ini menunjukkan sejauh mana penjelajahannya, melintasi benua atau wilayah yang sangat luas.

"...dia mendapatinya (matahari) terbit pada suatu kaum yang tidak Kami buatkan bagi mereka suatu pelindung dari (cahaya)nya." (وَجَدَهَا تَطْلُعُ عَلَىٰ قَوْمٍ لَّمْ نَجْعَل لَّهُم مِّن دُونِهَا سِتْرًا) Inilah karakteristik unik dari kaum yang ditemui Dzulqarnain di timur. Mereka adalah kaum yang "لَّمْ نَجْعَل لَّهُم مِّن دُونِهَا سِتْرًا" (lam naj'al lahum min duniha sitra), yang berarti "tidak Kami buatkan bagi mereka suatu pelindung dari (cahaya)nya" atau "mereka tidak memiliki penutup selain matahari."

Para mufasir memberikan beberapa interpretasi mengenai kondisi kaum ini:

  1. Tanpa Pakaian atau Tempat Tinggal: Ini bisa diartikan secara harfiah bahwa mereka adalah kaum primitif yang tidak memiliki pakaian yang cukup untuk melindungi diri dari panas matahari, atau tidak memiliki tempat tinggal permanen (rumah atau tenda) yang bisa menjadi peneduh. Mereka mungkin hidup nomaden atau di gua-gua tanpa struktur yang memadai.
  2. Ketiadaan Pohon atau Bangunan: Wilayah mereka mungkin berupa gurun yang tandus atau dataran terbuka yang luas tanpa pohon, gunung, atau bangunan tinggi yang dapat memberikan naungan dari teriknya matahari.
  3. Tidak Tahu Cara Melindungi Diri: Mungkin mereka secara kultural atau secara pengetahuan belum mencapai tingkat di mana mereka bisa membangun atau membuat pelindung dari panas. Ini menunjukkan tingkat peradaban mereka yang sangat dasar.
  4. Ketiadaan Atap: Beberapa menafsirkan bahwa mereka tidak memiliki atap di atas kepala mereka, artinya mereka hidup di tempat terbuka, langsung di bawah terik matahari.

Intinya, gambaran ini menunjukkan sebuah kaum yang hidup dalam kondisi yang sangat keras dan rentan terhadap elemen alam, khususnya panas matahari yang menyengat. Mereka mungkin miskin, kurang berpengetahuan, atau terisolasi dari peradaban lain yang lebih maju.

Hikmah dari Ayat 89:

Dengan demikian, ayat 89 mempersiapkan kita untuk melihat bagaimana Dzulqarnain akan bertindak terhadap kaum yang rentan ini, dan bagaimana ia akan menggunakan kekuasaannya untuk membawa kebaikan di tempat-tempat yang paling membutuhkan.

Ayat 90: Mengelola Kaum di Timur

كَذَٰلِكَ وَقَدْ أَحَطْنَا بِمَا لَدَيْهِ خُبْرًا
"Demikianlah. Dan sesungguhnya Kami mengetahui semua yang ada padanya."

Ayat 90 adalah penutup dari episode Dzulqarnain di timur dan merupakan sebuah komentar ilahi yang penting. Ayat ini singkat, namun menegaskan bahwa Allah ﷻ senantiasa mengawasi segala tindakan dan pengetahuan Dzulqarnain.

"Demikianlah." (كَذَٰلِكَ) Kata ini (kadzalika) berfungsi sebagai penegasan atau ringkasan dari apa yang telah diceritakan sebelumnya mengenai perlakuan Dzulqarnain terhadap kaum di timur. Meskipun Al-Qur'an tidak secara eksplisit merinci tindakan Dzulqarnain terhadap kaum di timur seperti yang dilakukan di barat (dengan ayat 86 dan 87), penggunaan "kadzalika" mengindikasikan bahwa Dzulqarnain memperlakukan kaum di timur dengan cara yang serupa atau sejalan dengan prinsip keadilannya yang telah ditunjukkan sebelumnya. Ini berarti ia pasti telah melakukan kebaikan kepada mereka, membimbing mereka, atau meringankan penderitaan mereka sesuai dengan prinsip "akan kami sampaikan kepadanya perintah kami yang mudah-mudah" (dari ayat 87).

Implikasinya, Dzulqarnain tidak hanya berjanji, tetapi juga menerapkan keadilannya. Kaum di timur yang hidup tanpa "sitr" (pelindung) mungkin telah diberi bantuan untuk membangun tempat tinggal, diajari cara melindungi diri, atau diberikan pengetahuan dan sumber daya untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Ini sesuai dengan karakter pemimpin yang adil dan berhati mulia yang telah Allah gambarkan.

"Dan sesungguhnya Kami mengetahui semua yang ada padanya." (وَقَدْ أَحَطْنَا بِمَا لَدَيْهِ خُبْرًا) Ini adalah pernyataan tegas dari Allah ﷻ tentang ilmu-Nya yang meliputi segala sesuatu. Frasa "وَقَدْ أَحَطْنَا" (waqad ahatna) berarti "dan sungguh Kami telah meliputi" atau "Kami telah mengepung." Ini menunjukkan bahwa pengetahuan Allah adalah menyeluruh dan tak terbatas. "بِمَا لَدَيْهِ" (bima ladaihi) merujuk pada "segala sesuatu yang ada padanya" atau "segala sesuatu yang berhubungan dengannya." Ini mencakup segala aspek Dzulqarnain:

Kata "خُبْرًا" (khubra) berarti "pengetahuan yang mendalam," "informasi yang menyeluruh," atau "keterangan yang akurat." Ini menegaskan bahwa Allah mengetahui Dzulqarnain dan segala hal tentangnya dengan pengetahuan yang sempurna, tidak ada yang tersembunyi dari-Nya. Ini juga bisa diartikan sebagai pujian tersirat atas tindakan Dzulqarnain di timur, bahwa apa yang ia lakukan adalah sesuai dengan petunjuk Allah dan diketahui serta disetujui oleh-Nya.

Hikmah dari Ayat 90:

Ayat 90 mengakhiri episode kedua perjalanan Dzulqarnain dengan catatan penting tentang omnipresensi dan kemahatahuan Allah, menegaskan bahwa segala sesuatu berada dalam genggaman dan pengawasan-Nya.

Ilustrasi mata yang mengawasi dengan detail-detail kecil - Simbol Pengetahuan Allah yang Maha Menyeluruh

Ilustrasi yang menggambarkan pengetahuan Allah yang Maha Meliputi segala sesuatu.

Analisis Mendalam Kisah Dzulqarnain dalam Ayat 81-90

Identitas Dzulqarnain: Misteri yang Sarat Hikmah

Al-Qur'an tidak secara spesifik menyebutkan identitas sejarah Dzulqarnain. Para ulama dan sejarawan Islam memiliki beberapa teori mengenai siapa sebenarnya sosok ini: sebagian menyebutnya sebagai Cyrus Agung (Raja Persia), sebagian lain mengaitkannya dengan Iskandar Agung (Alexander the Great), dan ada pula yang mengusulkan identitas lain atau bahkan menganggapnya sebagai sosok yang sama sekali berbeda dari tokoh sejarah yang kita kenal. Namun, yang jelas adalah Al-Qur'an memilih untuk tidak merinci identitas historisnya secara eksplisit. Hal ini adalah salah satu hikmah Al-Qur'an.

Dengan tidak menyebutkan nama jelas, Al-Qur'an mengalihkan fokus dari identitas personal Dzulqarnain kepada sifat-sifat dan tindakan kepemimpinannya. Ini menjadikan kisah Dzulqarnain sebagai arketipe pemimpin yang universal, bukan sekadar cerita tentang seorang individu tertentu. Pelajaran tentang keadilan, ketaatan kepada Allah, kebijaksanaan, dan penggunaan kekuasaan untuk kebaikan dapat diambil oleh siapa saja, di mana saja, tanpa terikat pada konteks sejarah atau budaya tertentu.

Penekanan Al-Qur'an adalah pada "fungsi" dan "prinsip" Dzulqarnain sebagai pemimpin yang mukmin dan adil, yang dianugerahi kekuasaan besar namun tetap rendah hati dan patuh kepada Allah. Dengan demikian, setiap muslim dapat merenungkan dan mengambil pelajaran dari kisahnya, terlepas dari perdebatan identitasnya.

Konsep "Sabab" (Sarana) dan Usaha Manusia

Ayat 83 dan 84 menekankan bahwa Allah "memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu" (وَآتَيْنَاهُ مِن كُلِّ شَيْءٍ سَبَبًا) dan kemudian "maka ditempuhnya suatu jalan" (فَأَتْبَعَ سَبَبًا). Konsep "sabab" di sini sangat sentral. Ini mengajarkan bahwa meskipun Allah adalah Pemberi segala karunia, manusia tetap diwajibkan untuk berusaha dan menempuh jalan yang telah disediakan.

Dzulqarnain tidak pasif menunggu keajaiban, melainkan ia aktif merencanakan dan melaksanakan perjalanannya. "Sabab" mencakup berbagai hal: ilmu pengetahuan, teknologi, kekuatan fisik, logistik, strategi militer, hingga diplomasi. Seorang pemimpin yang sukses adalah yang mampu mengidentifikasi dan memanfaatkan "sabab" yang ada di sekelilingnya, yang semuanya berasal dari karunia Allah. Ini adalah pelajaran penting tentang keseimbangan antara tawakal (berserah diri kepada Allah) dan ikhtiar (usaha maksimal).

Dalam konteks modern, "sabab" bisa berarti pendidikan, riset, inovasi teknologi, manajemen yang baik, dan pembangunan infrastruktur. Umat Islam diajarkan untuk tidak hanya berdoa, tetapi juga untuk mengambil langkah-langkah praktis dan ilmiah untuk mencapai tujuan mereka, mengakui bahwa semua kemampuan untuk melakukan itu pada akhirnya berasal dari Allah.

Keadilan sebagai Pilar Utama Kepemimpinan

Kisah Dzulqarnain adalah demonstrasi luar biasa tentang keadilan sebagai fondasi kepemimpinan. Di barat, ia diuji dengan pilihan antara menyiksa atau berbuat baik (Ayat 85). Jawabannya (Ayat 86-87) adalah sebuah mahakarya dalam prinsip keadilan:

Prinsip keadilan Dzulqarnain ini adalah model ideal bagi setiap penguasa: tegakkan hukum, berikan hak kepada yang berhak, lindungi yang lemah, dan dorong masyarakat menuju kebaikan, sembari selalu mengingatkan akan hari pertanggungjawaban di hadapan Tuhan.

Pentingnya Kepedulian terhadap Kaum yang Rentan

Perjalanan Dzulqarnain ke timur menyoroti jenis ujian kepemimpinan yang berbeda: menghadapi kaum yang lemah dan rentan. Kaum yang "tidak Kami buatkan bagi mereka suatu pelindung dari (cahaya)nya" (Ayat 89) adalah representasi dari masyarakat yang tertinggal, miskin, atau kurang berpengetahuan. Mereka membutuhkan bukan hanya keadilan dalam arti tidak ditindas, tetapi juga bantuan untuk meningkatkan kualitas hidup mereka.

Meskipun Al-Qur'an tidak merinci tindakan Dzulqarnain di timur, komentar ilahi di ayat 90 ("Demikianlah. Dan sesungguhnya Kami mengetahui semua yang ada padanya") menyiratkan bahwa ia bertindak dengan bijaksana dan adil, sesuai dengan janji sebelumnya untuk memberikan kemudahan bagi mereka yang baik. Ini bisa berarti Dzulqarnain membantu mereka membangun tempat tinggal, mengajarkan mereka keterampilan, atau menyediakan sumber daya yang mereka butuhkan.

Pelajaran ini sangat relevan. Seorang pemimpin yang sejati harus memiliki kepedulian sosial yang tinggi, terutama terhadap segmen masyarakat yang paling membutuhkan. Ini juga merupakan seruan bagi umat manusia untuk saling membantu dan bergotong royong dalam membangun peradaban yang lebih baik bagi semua.

Kemahatahuan dan Pengawasan Allah

Ayat 90 ("Dan sesungguhnya Kami mengetahui semua yang ada padanya") adalah pengingat yang kuat akan kemahatahuan Allah ﷻ. Pernyataan ini menegaskan bahwa setiap tindakan, niat, dan bahkan pikiran Dzulqarnain (dan setiap manusia) tidak luput dari pengawasan Ilahi. Ini memiliki beberapa implikasi:

Pernyataan ini menggarisbawahi keimanan Dzulqarnain yang mendalam. Meskipun ia adalah penguasa yang sangat berkuasa, ia tidak lupa bahwa ada Penguasa yang lebih tinggi yang mengawasinya.

Keterkaitan dengan Kisah Sebelumnya (Musa dan Khidir)

Kisah Dzulqarnain dalam Al-Kahfi tidak berdiri sendiri. Ia mengikuti langsung kisah Nabi Musa dan Khidir, dan ada benang merah penghubung yang kuat.

  1. Ujian Pengetahuan vs. Hikmah Ilahi: Kisah Musa dan Khidir adalah tentang keterbatasan ilmu manusia dan pentingnya kesabaran dalam menghadapi takdir yang tampak tidak logis, namun mengandung hikmah besar dari Allah. Dzulqarnain sendiri, meskipun diberi "sabab" (sarana dan ilmu), tetap bertindak di bawah bimbingan dan izin Allah. Keputusannya di barat dan timur adalah manifestasi dari hikmah yang Allah ilhamkan kepadanya, menunjukkan bahwa kekuasaan sejati adalah kekuasaan yang dibimbing oleh kearifan ilahi.
  2. Interaksi dengan Kaum yang Berbeda: Baik Musa dan Khidir maupun Dzulqarnain berinteraksi dengan berbagai jenis masyarakat. Musa dan Khidir menunjukkan bagaimana takdir ilahi berlaku pada kelompok yang berbeda (kaum kapal, orang tua anak, kaum kota), sementara Dzulqarnain menunjukkan bagaimana seorang pemimpin harus mengelola dan berinteraksi dengan masyarakat yang berbeda (zalim/mukmin di barat, kaum rentan di timur).
  3. Konsep Takdir dan Kehendak Allah: Kisah Khidir menunjukkan bahwa di balik setiap peristiwa ada kehendak dan takdir Allah yang penuh hikmah. Kisah Dzulqarnain menunjukkan bagaimana seorang hamba Allah yang saleh diberi kekuasaan untuk menjadi "tangan" Allah di muka bumi untuk melaksanakan keadilan dan memperbaiki kondisi, namun tetap dalam kerangka kehendak dan izin-Nya. Kekuasaan Dzulqarnain bukanlah miliknya mutlak, melainkan anugerah yang harus digunakan sesuai petunjuk Ilahi.

Dengan demikian, Al-Qur'an secara indah merangkai kisah-kisah ini untuk memberikan pelajaran yang komprehensif tentang iman, ilmu, kesabaran, kekuasaan, dan keadilan, semuanya bermuara pada pengenalan dan pengagungan akan kebesaran Allah ﷻ.

Pelajaran Universal untuk Umat Muslim dan Umat Manusia

Kisah Dzulqarnain dalam ayat 81-90 Surah Al-Kahfi menyajikan banyak pelajaran yang relevan tidak hanya bagi para pemimpin, tetapi juga bagi setiap individu:

Secara keseluruhan, kisah Dzulqarnain adalah cerminan agung dari bagaimana seorang hamba Allah yang dianugerahi kekuasaan harus menggunakannya untuk menegakkan kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan, semuanya dalam kerangka ketaatan dan kesadaran akan pengawasan Allah ﷻ.

Penutup

Ayat-ayat Al-Kahfi 81-90 membukakan tirai pada salah satu narasi paling inspiratif dalam Al-Qur'an, yaitu kisah Dzulqarnain. Dari penutup kisah Musa dan Khidir yang mengingatkan akan batas ilmu manusia, hingga awal perjalanan Dzulqarnain yang sarat akan manifestasi kekuasaan, keadilan, dan kebijaksanaan ilahi, setiap ayat menyimpan permata hikmah yang tak ternilai.

Kita belajar bahwa kekuasaan sejati bukanlah tentang dominasi, melainkan tentang pelayanan; bukan tentang kesombongan, melainkan tentang kerendahan hati di hadapan Sang Pemberi Kekuasaan. Keadilan, yang digambarkan oleh Dzulqarnain, adalah sebuah keseimbangan sempurna antara ketegasan terhadap kezaliman dan kasih sayang terhadap kebaikan, dengan kesadaran penuh akan hari perhitungan di hadapan Allah.

Kisah ini juga mengingatkan kita tentang pentingnya "sabab" – sarana dan upaya – dalam mencapai tujuan, bahwa karunia Allah harus diikuti dengan ikhtiar maksimal dari hamba-Nya. Dan yang terpenting, ia menanamkan kesadaran akan pengawasan Allah yang Maha Menyeluruh, sebuah kesadaran yang seharusnya menjadi kompas moral bagi setiap langkah dan keputusan kita.

Semoga renungan atas ayat-ayat mulia ini dapat menginspirasi kita semua untuk menjadi pribadi yang lebih adil, bijaksana, proaktif, dan senantiasa berserah diri kepada Allah ﷻ dalam setiap aspek kehidupan kita, mengikuti jejak kepemimpinan Dzulqarnain yang dicontohkan dalam Al-Qur'an.

🏠 Homepage