Surah Al-Kahfi adalah salah satu surah yang memiliki posisi istimewa dalam Al-Qur'an. Dikenal dengan sebutan 'Cahaya di Hari Jumat', surah ini sarat dengan hikmah dan pelajaran berharga yang relevan sepanjang masa. Salah satu kisah utama yang termuat di dalamnya adalah perjalanan epik Dhul Qarnayn, seorang raja bijaksana dan penakluk yang diberi kekuasaan besar oleh Allah SWT. Kisahnya terangkum dalam beberapa ayat, dan ayat 85 menjadi titik sentral yang menjelaskan metode dan etos yang ia gunakan dalam setiap ekspedisinya.
Ayat ke-85 dari Surah Al-Kahfi berbunyi: "فَأَتْبَعَ سَبَبًا" (Fa atba'a sababa). Sebuah frasa yang ringkas namun mengandung makna yang sangat mendalam dan universal. Secara harfiah, frasa ini dapat diterjemahkan menjadi "Maka dia pun menempuh suatu jalan (sebab)" atau "Maka dia mengikuti suatu jalan (cara)". Namun, di balik kesederhanaan terjemahan ini, tersembunyi konsep penting tentang ikhtiar, usaha, perencanaan, dan pemanfaatan segala sarana yang tersedia dalam mencapai suatu tujuan, semuanya dalam kerangka keyakinan kepada kehendak ilahi.
1. Memahami Konteks Surah Al-Kahfi dan Kisah Dhul Qarnayn
Sebelum menyelami makna ayat 85, penting untuk memahami posisi kisah Dhul Qarnayn dalam keseluruhan Surah Al-Kahfi. Surah ini mengandung empat kisah utama yang saling terkait dan memberikan pelajaran tentang iman, kesabaran, ilmu, dan kekuasaan:
- Kisah Ashabul Kahfi (Para Pemuda Gua): Mengajarkan tentang keteguhan iman di tengah fitnah dan penganiayaan, serta kekuasaan Allah dalam menjaga hamba-Nya.
- Kisah Nabi Musa dan Khidir: Menggambarkan keterbatasan ilmu manusia dan pentingnya kesabaran dalam menghadapi takdir Allah yang terkadang tampak tidak masuk akal bagi akal dangkal.
- Kisah Dhul Qarnayn: Menjelaskan tentang kekuasaan duniawi yang diberikan Allah kepada seorang hamba yang saleh, serta bagaimana kekuasaan itu digunakan untuk kebaikan, keadilan, dan mengatasi kezaliman.
- Kisah Ya'juj dan Ma'juj: Meski bagian dari kisah Dhul Qarnayn, ini merupakan penanda besar akhir zaman, menunjukkan skala kekuasaan Allah dan janji-Nya tentang hari kiamat.
Kisah Dhul Qarnayn hadir sebagai respons terhadap pertanyaan kaum musyrikin Mekah kepada Nabi Muhammad SAW atas saran kaum Yahudi. Mereka bertanya tentang 'roh', 'pemuda gua', dan 'seorang pengembara besar yang mencapai ujung timur dan barat'. Kisah Dhul Qarnayn adalah jawaban atas pertanyaan terakhir, menggambarkan seorang raja yang bukan seorang nabi, namun dianugerahi kekuatan, hikmah, dan kemampuan untuk menjelajahi dunia serta menegakkan keadilan.
Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Kahfi ayat 83: "وَيَسْأَلُونَكَ عَن ذِي الْقَرْنَيْنِ قُلْ سَأَتْلُو عَلَيْكُم مِّنْهُ ذِكْرًا" (Dan mereka bertanya kepadamu tentang Dhul Qarnayn. Katakanlah: "Aku akan bacakan kepadamu sebagian dari kisahnya"). Dari ayat ini, kita tahu bahwa Dhul Qarnayn adalah sosok misterius namun penting yang kisahnya layak untuk direnungi.
Ayat-ayat berikutnya menjelaskan bahwa Allah telah memberinya kekuasaan di bumi dan memberinya "sebab" (jalan/sarana) untuk mencapai segala sesuatu. Inilah yang menjadi fondasi bagi pemahaman ayat 85. Allah memberinya sarana, tetapi Dhul Qarnaynlah yang aktif menggunakannya.
2. Teks Arab, Transliterasi, dan Terjemahan Ayat 85
Untuk memahami inti dari pelajaran ini, mari kita lihat kembali ayat 85 dalam bentuk aslinya:
Transliterasi: Fa atba'a sababa.
Terjemahan Bahasa Indonesia:
- Kementerian Agama RI: "Maka dia pun menempuh suatu jalan."
- Hamka (Tafsir Al-Azhar): "Maka ditempuhnyalah jalan."
- Quraish Shihab (Tafsir Al-Misbah): "Maka ia pun menempuh suatu jalan."
Meskipun terjemahan tampak sangat singkat dan sederhana, kata "sababa" (سَبَبًا) adalah kuncinya. Akar kata س-ب-ب (s-b-b) memiliki beragam makna yang dalam bahasa Arab bisa merujuk pada "tali", "jalan", "cara", "sarana", "penghubung", atau "sebab". Dalam konteks ini, "sabab" berarti segala sesuatu yang dapat dijadikan sarana atau jalan untuk mencapai suatu tujuan.
3. Analisis Mendalam Frasa "Fa Atba'a Sababa"
Frasa "Fa atba'a sababa" adalah inti dari etos kerja Dhul Qarnayn dan pelajaran moral bagi umat manusia. Mari kita bedah setiap komponennya:
3.1. "Fa" (فَـ): Makna Konsekuensi dan Kecepatan
Huruf "fa" (فَـ) dalam bahasa Arab seringkali berfungsi sebagai "maka" yang menunjukkan urutan dan konsekuensi. Ia menyiratkan bahwa setelah Dhul Qarnayn diberi kekuasaan dan sarana oleh Allah (seperti yang disebutkan di ayat sebelumnya, "إِنَّا مَكَّنَّا لَهُ فِي الْأَرْضِ وَآتَيْنَاهُ مِن كُلِّ شَيْءٍ سَبَبًا" - Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di muka bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan untuk mencapai segala sesuatu - Al-Kahfi: 84), maka ia segera mengambil tindakan. Ini bukan kekuasaan yang pasif, melainkan kekuasaan yang harus diaktifkan melalui usaha. Ini menunjukkan urgensi dan responsibilitas.
3.2. "Atba'a" (أَتْبَعَ): Tindakan Mengikuti dan Mengejar
Kata kerja "atba'a" (أَتْبَعَ) berarti "mengikuti", "menempuh", "mengejar", atau "menyusul". Ini bukan sekadar 'berjalan', melainkan 'menjalani' atau 'mengejar' dengan sungguh-sungguh. Ini menyiratkan:
- Keaktifan: Dhul Qarnayn tidak menunggu kesempatan datang, tetapi ia proaktif mencari dan menempuhnya.
- Ketekunan: Ia tidak hanya memulai, tetapi mengikuti jalan itu sampai tuntas.
- Fokus: Ada arah dan tujuan yang jelas dalam setiap langkahnya.
- Kesungguhan: Tindakan yang dilakukan bukan setengah-setengah, melainkan dengan segenap daya upaya.
Tindakan "atba'a" ini merupakan manifestasi dari "ikhtiar" atau usaha maksimal dari seorang hamba. Allah telah menyediakan potensi, tetapi manusia harus mengaktualisasikannya.
3.3. "Sababa" (سَبَبًا): Jalan, Sarana, atau Cara
Inilah kata kunci yang paling kaya makna dalam ayat ini. "Sababa" secara umum merujuk pada:
- Jalan Fisik: Rute geografis yang ia tempuh dalam perjalanannya ke barat, timur, dan di antara dua gunung.
- Sarana Material: Kekuatan militer, logistik, harta, dan teknologi yang ia miliki sebagai seorang raja besar.
- Ilmu Pengetahuan: Pengetahuan tentang geografi, strategi, arsitektur, metalurgi (dalam kasus Ya'juj dan Ma'juj), dan ilmu-ilmu lain yang memungkinkannya berlayar, membangun, dan menaklukkan.
- Kecerdasan dan Kebijaksanaan: Kemampuan untuk merencanakan, menganalisis situasi, mengambil keputusan yang tepat, dan berkomunikasi dengan berbagai bangsa.
- Kebijakan dan Strategi: Pendekatan yang ia ambil dalam menghadapi masyarakat yang ia temui, baik yang berbuat zalim maupun yang berbuat baik.
- Bantuan Ilahi: Meskipun Dhul Qarnayn berikhtiar, ia selalu menyadari bahwa keberhasilannya adalah berkat karunia dan pertolongan dari Allah SWT. Sarana terbesar adalah petunjuk dan taufik dari Tuhan.
Para mufassir seperti Imam Al-Qurtubi, Ibn Katsir, dan At-Tabari menegaskan bahwa "sabab" di sini mencakup segala bentuk kekuatan, ilmu, dan sarana yang memungkinkan Dhul Qarnayn melaksanakan misi keadilannya. Ini termasuk kemampuan membangun, mengelola, serta menaklukkan.
Prof. Dr. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menjelaskan bahwa "sabab" adalah "segala sesuatu yang dapat mengantar kepada tujuan, baik berupa pengetahuan, alat, maupun kekuatan." Ini menunjukkan bahwa untuk mencapai suatu tujuan, diperlukan perencanaan yang matang, persiapan yang komprehensif, dan pelaksanaan yang gigih.
4. Perjalanan Dhul Qarnayn sebagai Contoh "Atba'a Sababa"
Kisah Dhul Qarnayn dalam Al-Kahfi adalah manifestasi nyata dari "Fa atba'a sababa". Allah memberikan kekuatan, tetapi Dhul Qarnayn menggunakannya dengan penuh tanggung jawab dan usaha.
4.1. Perjalanan ke Barat (Ayat 86)
Ketika ia sampai ke tempat matahari terbenam, ia mendapati matahari itu terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam, dan di sana ia dapati suatu kaum. Allah berfirman, "Hai Dhul Qarnayn, kamu boleh menyiksa atau berbuat kebaikan terhadap mereka."
- Sabab yang digunakan: Pengetahuan navigasi, kekuatan militer, kemampuan diplomasi.
- Tindakan: Ia melakukan perjalanan jauh ke barat, bukan sekadar melihat, tetapi berinteraksi dengan kaum di sana. Ia menegakkan keadilan, menghukum yang zalim, dan berbuat baik kepada yang beriman. Ini menunjukkan pemanfaatan kekuasaan dan kebijaksanaan.
4.2. Perjalanan ke Timur (Ayat 90)
Kemudian ia melanjutkan perjalanan ke arah timur. Ketika sampai di tempat terbit matahari, ia mendapati matahari itu menyinari suatu kaum yang tidak Kami sediakan bagi mereka pelindung dari (cahaya) matahari.
- Sabab yang digunakan: Lagi-lagi, kemampuan menempuh perjalanan jauh, beradaptasi dengan kondisi geografis dan sosial yang berbeda.
- Tindakan: Ia mengamati kondisi masyarakat, berinteraksi dengan mereka, dan mungkin memberikan bimbingan atau dukungan. Ayat ini juga menunjukkan bahwa setiap kaum memiliki kondisi dan tantangan unik, dan Dhul Qarnayn harus menggunakan "sabab" yang sesuai untuk setiap situasi.
4.3. Perjalanan di Antara Dua Gunung (Ayat 93-98)
Ini adalah perjalanan yang paling detail. Ia sampai di antara dua gunung, dan di sana ia dapati suatu kaum yang hampir tidak memahami pembicaraan.
- Sabab yang digunakan:
- Komunikasi: Ia berusaha memahami dan berkomunikasi dengan kaum tersebut meskipun ada hambatan bahasa. Ini menunjukkan pentingnya berusaha memahami dan menjalin dialog.
- Sumber Daya Alam dan Teknik: Ketika kaum itu meminta bantuan untuk membangun penghalang dari Ya'juj dan Ma'juj, Dhul Qarnayn tidak hanya menggunakan kekuatannya, tetapi juga meminta mereka untuk berpartisipasi dan menyediakan bahan (besi dan tembaga). Ia menerapkan ilmu metalurgi dan teknik pembangunan yang canggih pada masanya.
- Manajemen Proyek: Ia memimpin proyek besar, mengumpulkan material, mengawasi pengerjaan, dan memastikan kualitas. Ini adalah contoh nyata "atba'a sababa" dalam skala besar.
- Keadilan dan Tanpa Pamrih: Ia menolak upah, hanya meminta bantuan tenaga, karena tujuannya adalah kebaikan dan melindungi manusia dari kejahatan.
- Tindakan: Ia membangun dinding besar dari besi dan tembaga, melindungi mereka dari Ya'juj dan Ma'juj. Tindakan ini merupakan puncak dari penerapan "sabab" dalam arti luas: ilmu, teknologi, kepemimpinan, dan keadilan.
5. Pelajaran dan Hikmah dari "Fa Atba'a Sababa"
Ayat "Fa atba'a sababa" mengandung banyak pelajaran fundamental yang sangat relevan bagi kehidupan individu maupun masyarakat:
5.1. Pentingnya Ikhtiar dan Usaha Maksimal
Pelajaran utama adalah bahwa kesuksesan, baik di dunia maupun akhirat, memerlukan usaha yang sungguh-sungguh. Dhul Qarnayn diberi kekuasaan dan sarana oleh Allah, tetapi ia tidak pasif. Ia aktif "menempuh jalan", yang berarti ia bekerja keras, merencanakan, dan bertindak. Ini menolak fatalisme, yaitu anggapan bahwa segala sesuatu sudah ditentukan sehingga usaha menjadi tidak perlu. Islam mengajarkan keseimbangan antara takdir (ketentuan Allah) dan ikhtiar (usaha manusia). Kita diperintahkan untuk berusaha semaksimal mungkin, dan hasilnya diserahkan kepada Allah.
Dalam konteks modern, ini berarti bahwa untuk mencapai tujuan seperti pendidikan yang tinggi, karier yang sukses, atau bahkan kehidupan rumah tangga yang harmonis, seseorang harus berinvestasi waktu, tenaga, dan pikiran. Tidak ada kesuksesan yang datang begitu saja tanpa perjuangan dan pengorbanan. Seorang pelajar harus belajar, seorang pebisnis harus berinovasi, seorang pekerja harus rajin, dan seorang pemimpin harus memimpin dengan aktif.
5.2. Perencanaan, Strategi, dan Pemanfaatan Sumber Daya
Dhul Qarnayn tidak hanya sekadar berjalan, tetapi ia "menempuh suatu jalan." Ini menyiratkan adanya perencanaan yang matang dan strategi yang jelas. Untuk mencapai tujuannya, ia memanfaatkan berbagai "sabab" atau sarana yang Allah anugerahkan kepadanya: kekuatan fisik, kecerdasan, pengetahuan geografis, keterampilan teknis, dan kemampuan kepemimpinan.
Ini mengajarkan kepada kita pentingnya merencanakan setiap langkah. Dalam bisnis, diperlukan studi kelayakan dan strategi pemasaran. Dalam pembangunan, dibutuhkan cetak biru dan manajemen proyek. Dalam kehidupan pribadi, diperlukan tujuan yang jelas dan langkah-langkah untuk mencapainya. Pemanfaatan sumber daya secara efisien – baik waktu, tenaga, uang, maupun pengetahuan – adalah kunci.
5.3. Ketergantungan kepada Allah (Tawakkul) Setelah Ikhtiar
Meskipun Dhul Qarnayn adalah sosok yang sangat proaktif dan gigih dalam usahanya, ia tidak pernah melupakan bahwa semua kekuasaan dan sarana yang ia miliki berasal dari Allah. Setiap kali ia menyelesaikan misinya, ia selalu berkata, "Ini adalah rahmat dari Tuhanku" (Al-Kahfi: 98). Ini menunjukkan keseimbangan sempurna antara ikhtiar dan tawakkul.
Tawakkul bukanlah berdiam diri menunggu pertolongan, melainkan berserah diri setelah berusaha semaksimal mungkin. Kita mengerahkan seluruh kemampuan, namun hasil akhirnya diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan Allah. Sikap ini menghindarkan kita dari kesombongan jika berhasil, dan dari keputusasaan jika menghadapi kegagalan. Karena kita tahu bahwa Allah-lah yang Maha Mengatur segala sesuatu.
5.4. Kepemimpinan yang Adil, Bijaksana, dan Bertanggung Jawab
Dhul Qarnayn adalah teladan pemimpin yang ideal. Ia menggunakan kekuasaannya bukan untuk memperkaya diri atau menindas, melainkan untuk menegakkan keadilan, membantu kaum yang lemah, dan mencegah kezaliman. Ia adalah pemimpin yang menjelajahi wilayahnya, memahami kondisi rakyatnya, dan merespons kebutuhan mereka.
Ayat 85 ini, dalam konteks kisah Dhul Qarnayn secara keseluruhan, menekankan bahwa seorang pemimpin yang sejati adalah dia yang tidak hanya memiliki visi, tetapi juga memiliki inisiatif dan kemampuan untuk melaksanakan visinya demi kemaslahatan umat. Ia tidak takut menghadapi tantangan, bahkan yang paling terpencil sekalipun.
5.5. Pentingnya Ilmu Pengetahuan dan Keterampilan
Frasa "sababa" juga secara kuat mengacu pada ilmu dan keterampilan. Dhul Qarnayn menggunakan pengetahuan geografis untuk berlayar, pengetahuan militer untuk menaklukkan, dan pengetahuan metalurgi untuk membangun. Tanpa ilmu, "sabab" tidak akan dapat dimanfaatkan secara optimal.
Ini adalah dorongan bagi umat Islam untuk senantiasa mencari ilmu dan menguasai berbagai disiplin pengetahuan. Baik itu ilmu agama maupun ilmu dunia. Ilmu adalah alat paling ampuh untuk "menempuh jalan" dan memecahkan berbagai masalah kehidupan. Keterampilan teknis, manajerial, dan sosial adalah bagian integral dari "sabab" yang harus dimiliki oleh individu dan masyarakat yang ingin maju.
5.6. Adaptabilitas dan Fleksibilitas
Dhul Qarnayn menghadapi berbagai kondisi dan kaum yang berbeda di setiap perjalanannya. Ia beradaptasi dengan situasi, menggunakan pendekatan yang berbeda, baik dalam hukum (menghukum zalim, memberi kebaikan kepada yang beriman) maupun dalam teknik (membangun dinding raksasa). Ini menunjukkan pentingnya fleksibilitas dan adaptabilitas dalam menghadapi tantangan hidup.
Dunia terus berubah, dan "sabab" yang efektif di satu masa atau tempat mungkin tidak berlaku di tempat lain. Oleh karena itu, kemampuan untuk belajar, berinovasi, dan menyesuaikan diri adalah sangat penting.
6. Relevansi "Fa Atba'a Sababa" dalam Kehidupan Modern
Di era modern ini, pesan dari "Fa atba'a sababa" menjadi semakin relevan dan aplikatif:
6.1. Pengembangan Diri dan Profesionalisme
Dalam dunia kerja yang kompetitif, individu didorong untuk terus "menempuh jalan" pengembangan diri. Ini berarti tidak hanya menguasai satu keahlian, tetapi juga terus belajar, beradaptasi dengan teknologi baru, dan meningkatkan kompetensi. Memiliki etos "atba'a sababa" berarti proaktif mencari peluang, menghadapi tantangan, dan tidak mudah menyerah.
Seorang profesional yang sukses adalah dia yang selalu mencari "sabab" untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan kualitas pekerjaannya. Ini bisa berupa pendidikan lanjutan, pelatihan, membaca buku, atau bahkan belajar dari pengalaman orang lain.
6.2. Inovasi dan Kewirausahaan
Konsep "sabab" sangat cocok dengan semangat inovasi dan kewirausahaan. Seorang inovator atau wirausahawan adalah seseorang yang melihat masalah, lalu "menempuh jalan" untuk menemukan solusi dan menciptakan nilai baru. Mereka tidak menunggu keadaan berubah, melainkan aktif mencari "sabab" untuk menciptakan perubahan.
Membangun bisnis dari nol memerlukan serangkaian "sabab": ide yang kuat, modal, tim yang solid, strategi pemasaran, dan kemampuan beradaptasi dengan pasar. Semua ini adalah manifestasi dari ayat 85.
6.3. Penyelesaian Masalah Sosial dan Lingkungan
Di tingkat yang lebih luas, ayat ini menginspirasi kita untuk mengatasi masalah-masalah kompleks seperti kemiskinan, ketidakadilan, atau krisis lingkungan. Diperlukan "sabab" berupa penelitian, kebijakan yang tepat, teknologi hijau, pendidikan, dan kolaborasi global untuk menemukan solusi yang efektif.
Dhul Qarnayn tidak hanya peduli pada kekuasaannya sendiri, tetapi juga pada kesejahteraan kaum yang ia temui. Ini mengajarkan kita bahwa kekuasaan, ilmu, dan sumber daya harus digunakan untuk kebaikan bersama.
6.4. Perjuangan Dakwah dan Pendidikan
Bagi para da'i dan pendidik, "Fa atba'a sababa" berarti harus aktif mencari berbagai metode dan pendekatan yang efektif untuk menyampaikan pesan kebenaran. Ini bisa berarti menguasai media digital, memahami psikologi audiens, atau mengembangkan kurikulum yang relevan. Tidak cukup hanya dengan niat, tetapi harus ada usaha konkret dan inovatif dalam berdakwah dan mendidik.
Pendidikan yang berkualitas tidak akan tercipta hanya dengan berharap, tetapi melalui perencanaan kurikulum yang matang, pelatihan guru yang memadai, penyediaan fasilitas yang layak, dan evaluasi berkelanjutan. Semua ini adalah "sabab" yang harus ditempuh.
7. Kesalahpahaman tentang "Sabab" dan Takdir
Terkadang, ada kesalahpahaman di kalangan sebagian umat yang menganggap bahwa jika segala sesuatu telah ditakdirkan oleh Allah, maka usaha menjadi tidak relevan. Ayat 85 ini secara tegas membantah pandangan fatalistik tersebut.
Konsep takdir dalam Islam tidak meniadakan ikhtiar. Justru, ikhtiar adalah bagian dari takdir itu sendiri. Allah menakdirkan seseorang sukses melalui usahanya, dan menakdirkan seseorang gagal melalui kelalaiannya. Allah memberikan Dhul Qarnayn kekuasaan dan "sabab" (potensi, alat), tetapi hasil dari "sabab" itu terwujud karena Dhul Qarnayn aktif "atba'a" (menempuhnya).
Hubungan antara takdir dan ikhtiar dapat dianalogikan dengan seorang petani. Takdir Allah adalah bahwa biji akan tumbuh jika ditanam, disiram, dan dirawat. Namun, tugas petani adalah menanam biji itu, menyiramnya, dan merawatnya. Jika petani hanya berdoa tanpa menanam, bijinya tidak akan tumbuh. Sebaliknya, jika ia telah berusaha maksimal, namun gagal karena faktor di luar kendalinya (misalnya, bencana alam), maka ia telah memenuhi kewajibannya dan bertawakkal kepada Allah.
Dengan demikian, "Fa atba'a sababa" adalah penegasan bahwa setiap karunia atau potensi yang diberikan Allah harus disambut dengan aksi dan usaha. Karunia tidak akan berbuah tanpa digarap. Kekuatan tidak akan berdaya tanpa digunakan. Ilmu tidak akan bermanfaat tanpa diamalkan. Ini adalah prinsip universal yang berlaku bagi setiap pencapaian dalam hidup.
8. Refleksi Spiritual dari Ayat 85
Lebih dari sekadar petunjuk praktis, ayat 85 juga mengandung refleksi spiritual yang dalam:
- Penghargaan terhadap Kerja Keras: Allah menghargai upaya dan perjuangan hamba-Nya. Kisah Dhul Qarnayn menunjukkan bahwa Allah mendukung mereka yang berusaha dengan sungguh-sungguh di jalan kebaikan.
- Tanggung Jawab atas Karunia: Kekuasaan, kekayaan, dan ilmu adalah amanah. Ayat ini mengingatkan kita untuk menggunakan karunia tersebut dengan bertanggung jawab, "menempuh jalan" yang diridhai Allah.
- Optimisme dan Harapan: Pesan "atba'a sababa" adalah pesan optimisme. Selama ada "jalan" atau "sarana", ada harapan untuk mencapai tujuan. Ini mendorong manusia untuk tidak putus asa dalam menghadapi kesulitan, melainkan mencari dan menempuh setiap "sabab" yang mungkin.
- Konsistensi dalam Berbuat Baik: Dhul Qarnayn secara konsisten menggunakan kekuasaannya untuk kebaikan. Ini mengajarkan pentingnya istiqamah dalam beramal saleh, tidak hanya sesekali, tetapi secara terus-menerus menempuh jalan kebaikan.
- Kesadaran akan Keterbatasan Manusia: Meskipun Dhul Qarnayn adalah penguasa besar, ia tetap manusia yang membutuhkan "sabab" dan pertolongan Allah. Ini membumikan kita, mengingatkan bahwa kekuatan sejati hanyalah milik Allah, dan kita hanyalah hamba yang diberi kesempatan untuk berikhtiar.
Dalam setiap langkah hidup kita, baik itu dalam menuntut ilmu, mencari rezeki, membangun keluarga, atau berjuang untuk kebaikan umat, kita selalu dihadapkan pada pilihan: apakah kita akan pasif menunggu takdir, ataukah kita akan "Fa atba'a sababa" – menempuh setiap jalan dan sarana yang tersedia dengan penuh semangat dan keyakinan, seraya bertawakkal kepada Allah SWT. Al-Qur'an melalui kisah Dhul Qarnayn dengan jelas mengajarkan pilihan kedua.
9. Peran "Sabab" dalam Membangun Peradaban
Jika kita melihat sejarah peradaban Islam, banyak pencapaian besar yang diraih karena umat Islam pada masa kejayaannya memahami dan mengamalkan prinsip "Fa atba'a sababa". Mereka tidak hanya mengandalkan doa, tetapi juga aktif dalam mencari ilmu pengetahuan, mengembangkan teknologi, membangun infrastruktur, dan merencanakan sistem sosial yang adil.
Ilmuwan Muslim di berbagai bidang seperti astronomi, kedokteran, matematika, dan filsafat adalah contoh nyata bagaimana mereka "menempuh jalan" ilmu pengetahuan dengan gigih. Mereka menerjemahkan karya-karya kuno, mengembangkannya, dan menciptakan inovasi baru yang menjadi fondasi bagi kemajuan ilmu pengetahuan modern. Mereka tidak menunggu ilmu datang, melainkan aktif mencarinya di seluruh pelosok dunia yang terjangkau.
Arsitek Muslim membangun masjid-masjid megah, kota-kota yang terencana baik, dan sistem irigasi yang canggih. Ini adalah "sabab" fisik dan teknis yang mereka tempuh untuk membangun peradaban yang makmur dan indah. Para penguasa muslim yang adil juga "menempuh jalan" pemerintahan yang bijaksana, menciptakan stabilitas dan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Pelajaran dari ayat ini adalah bahwa kejayaan sebuah peradaban tidak datang dari mimpi atau harapan kosong, melainkan dari kerja keras kolektif, perencanaan yang matang, pemanfaatan sumber daya manusia dan alam secara optimal, serta semangat untuk terus belajar dan berinovasi. Semua ini harus diiringi dengan pondasi iman dan tawakkal kepada Allah.
10. Mengimplementasikan Prinsip "Sabab" dalam Kehidupan Sehari-hari
Bagaimana kita dapat mengimplementasikan prinsip "Fa atba'a sababa" dalam keseharian kita? Berikut adalah beberapa contoh praktis:
- Dalam Pendidikan: Tidak cukup hanya mendaftar sekolah atau universitas. Kita harus aktif belajar, membaca buku, bertanya kepada guru, mengerjakan tugas, dan mencari sumber daya tambahan. "Sabab" di sini adalah buku, guru, waktu belajar, teknologi internet, dan lingkungan yang kondusif.
- Dalam Pekerjaan: Untuk mencapai karier yang cemerlang, seseorang harus bekerja keras, menunjukkan inisiatif, terus mengasah keterampilan, membangun jaringan, dan beradaptasi dengan perubahan. "Sabab"nya adalah keterampilan teknis, kemampuan komunikasi, etos kerja, dan relasi.
- Dalam Kesehatan: Untuk hidup sehat, kita tidak bisa hanya berharap. Kita harus "menempuh jalan" dengan makan makanan bergizi, berolahraga secara teratur, cukup istirahat, dan berkonsultasi dengan tenaga medis jika sakit. "Sabab" adalah pola hidup sehat dan akses ke layanan kesehatan.
- Dalam Hubungan Sosial: Untuk membangun hubungan yang baik, kita harus aktif berkomunikasi, mendengarkan, menunjukkan empati, memaafkan, dan meluangkan waktu. "Sabab" adalah interaksi yang positif dan usaha untuk memahami orang lain.
- Dalam Ibadah: Bahkan dalam ibadah sekalipun, kita perlu "menempuh jalan". Untuk shalat yang khusyuk, kita perlu mempelajari tata caranya, memahami maknanya, dan mempersiapkan diri dengan baik. Untuk haji, kita perlu mengumpulkan dana, mengurus dokumen, dan menyiapkan fisik. Semua ini adalah "sabab" untuk mencapai ridha Allah.
Prinsip ini mengajarkan kita bahwa Allah telah menciptakan dunia ini dengan hukum sebab-akibat. Meskipun Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, Dia juga menetapkan bahwa sebagian besar hasil diperoleh melalui usaha dan tindakan manusia. Dengan demikian, "Fa atba'a sababa" adalah panggilan untuk bertindak, untuk berjuang, dan untuk tidak pernah berhenti mencari jalan menuju kebaikan dan keberhasilan, selalu dengan kesadaran bahwa segala kekuatan dan petunjuk berasal dari-Nya.
11. Dhul Qarnayn: Model Manusia Unggul
Kisah Dhul Qarnayn, dengan puncaknya pada ayat "Fa atba'a sababa", menghadirkan gambaran model manusia unggul. Ia bukan seorang nabi yang menerima wahyu langsung, namun ia adalah seorang raja yang saleh yang menggunakan akal, kekuatan, dan sarana yang Allah berikan dengan sebaik-baiknya. Karakteristiknya dapat dirangkum sebagai berikut:
- Visioner: Ia memiliki visi yang jelas untuk menjelajahi dunia dan menegakkan keadilan.
- Pragmatis dan Realistis: Ia tidak hanya bermimpi, tetapi memahami dan menggunakan "sabab" (alat dan cara) yang nyata untuk mencapai tujuannya.
- Adil dan Berempati: Keputusannya selalu berlandaskan keadilan dan kepedulian terhadap rakyatnya, termasuk kaum yang lemah dan terzalimi.
- Teknis dan Intelektual: Ia memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk berbagai tantangan, mulai dari navigasi hingga metalurgi.
- Tawadhu' (Rendah Hati): Meskipun memiliki kekuasaan besar, ia selalu mengembalikan segala keberhasilan kepada Allah.
Model ini mengajarkan kita bahwa keunggulan sejati tidak hanya terletak pada kekayaan atau kekuasaan, tetapi pada bagaimana kita menggunakan karunia tersebut untuk tujuan yang lebih tinggi, yaitu mencari ridha Allah dan membawa kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. "Fa atba'a sababa" adalah jembatan antara potensi ilahi yang diberikan kepada kita dan aktualisasi potensi tersebut melalui usaha manusiawi.
Dengan mendalami makna ayat 85 Surah Al-Kahfi ini, kita diajak untuk merefleksikan kembali setiap aspek kehidupan kita. Apakah kita sudah menjadi pribadi yang proaktif dalam "menempuh jalan" kebaikan, ilmu, dan keadilan? Apakah kita sudah menggunakan setiap "sabab" atau sarana yang Allah berikan kepada kita dengan maksimal dan bertanggung jawab? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan membentuk kualitas ikhtiar dan tawakkal kita, serta menentukan sejauh mana kita mampu mewujudkan potensi yang ada dalam diri kita.