Ilustrasi Dzulqarnain dan Tembok Ya'juj Ma'juj yang dibangun di antara dua gunung.
Surah Al-Kahf, salah satu permata Al-Quran, adalah sebuah mahakarya ilahi yang sarat akan hikmah dan pelajaran bagi umat manusia. Diturunkan di Makkah, surah ke-18 ini dikenal karena mengandung empat kisah utama yang memberikan petunjuk fundamental dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan: kisah Ashabul Kahfi (Penghuni Gua), kisah dua pemilik kebun, kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir, serta kisah Dzulqarnain.
Di antara keempat kisah yang menakjubkan ini, kisah Dzulqarnain memiliki daya tarik tersendiri, terutama karena kaitannya dengan tanda-tanda akhir zaman dan misteri keberadaan Ya'juj dan Ma'juj. Inti dari kisah Dzulqarnain, yang menjadi sorotan utama artikel ini, terangkum dalam ayat-ayat yang menceritakan perjalanannya menuju berbagai penjuru dunia, termasuk pertemuannya dengan kaum yang terancam oleh Ya'juj dan Ma'juj, serta pembangunan tembok raksasa yang mengurung mereka.
Ayat ke-90 dari Surah Al-Kahf, sebagaimana yang akan kita bahas secara mendalam, merupakan bagian integral dari narasi perjalanan ketiga Dzulqarnain, sebuah perjalanan yang membawanya ke suatu tempat yang misterius, di antara dua gunung. Ayat ini menjadi jembatan menuju puncak kisah pembangunan tembok yang fenomenal, sebuah proyek monumental yang menandai intervensi ilahi melalui seorang pemimpin yang saleh untuk melindungi umat manusia dari ancaman besar.
Artikel ini akan mengupas tuntas Surah Al-Kahf ayat 90 dan ayat-ayat selanjutnya yang berkaitan, menyelami konteks historis dan tafsirnya, menggali detail tentang Dzulqarnain, Ya'juj dan Ma'juj, serta menyingkap berbagai hikmah dan pelajaran yang terkandung di dalamnya. Lebih dari sekadar cerita masa lalu, kisah ini adalah peta jalan spiritual dan moral bagi kita semua, yang mengajarkan tentang kepemimpinan yang adil, pentingnya ketaatan kepada Allah, serta kesabaran dalam menghadapi takdir.
Surah Al-Kahf adalah surah yang sangat dianjurkan untuk dibaca, terutama pada hari Jumat. Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa membaca Surah Al-Kahf pada hari Jumat, ia akan diterangi cahaya antara dia dan Ka'bah." (HR. Al-Hakim). Keutamaan ini tidak lain karena surah ini mengandung pelajaran-pelajaran mendalam yang relevan untuk setiap muslim, terutama dalam menghadapi fitnah (cobaan) akhir zaman: fitnah agama (kisah Ashabul Kahfi), fitnah harta (kisah dua pemilik kebun), fitnah ilmu (kisah Musa dan Khidir), dan fitnah kekuasaan (kisah Dzulqarnain). Kisah Dzulqarnain, secara khusus, membahas tentang fitnah kekuasaan dan bagaimana kekuasaan seharusnya digunakan untuk kebaikan umat.
Dzulqarnain, yang namanya berarti "Pemilik Dua Tanduk" atau "Pemilik Dua Zaman/Kekuasaan," adalah sosok misterius yang disebutkan dalam Al-Quran. Para ulama tafsir berbeda pendapat mengenai identitasnya. Ada yang berpendapat bahwa ia adalah Alexander Agung dari Makedonia, ada pula yang mengidentifikasinya dengan seorang raja dari Himyar di Yaman, atau bahkan dengan seorang nabi. Namun, pandangan yang lebih kuat di kalangan ulama adalah bahwa ia adalah seorang raja yang saleh, yang dianugerahi kekuasaan besar oleh Allah, dan bukan seorang nabi.
Al-Quran tidak memberikan detail spesifik tentang identitasnya, melainkan lebih fokus pada sifat-sifat kepemimpinannya dan tindakan-tindakannya yang mencerminkan keadilan, kebijaksanaan, dan ketaatan kepada Allah. Allah berfirman dalam Surah Al-Kahf ayat 84, "Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di muka bumi, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu." Ayat ini menunjukkan bahwa Dzulqarnain adalah seorang pemimpin yang diberkahi dengan kekuatan, sumber daya, dan pengetahuan yang luas, memungkinkannya untuk melakukan perjalanan dan menaklukkan berbagai wilayah.
Kisah Dzulqarnain dalam Al-Quran dibagi menjadi tiga perjalanan besar: perjalanan ke barat, perjalanan ke timur, dan perjalanan ke suatu tempat di antara dua gunung. Setiap perjalanan memiliki tujuan dan pelajaran tersendiri. Perjalanan ke barat membawanya ke tempat terbenamnya matahari, di mana ia menemukan kaum yang zalim dan diberi pilihan untuk menghukum atau memperlakukan mereka dengan baik. Ia memilih untuk menghukum yang zalim dan memberi balasan baik kepada yang beriman dan beramal saleh.
Perjalanan kedua membawanya ke timur, ke tempat terbitnya matahari. Di sana, ia menemukan kaum yang tidak memiliki pelindung dari teriknya matahari. Dzulqarnain memberikan pertolongan dan keadilan kepada mereka, menunjukkan bahwa kekuasaannya digunakan untuk kemaslahatan umat, bukan hanya untuk penaklukan.
Perjalanan ketiga Dzulqarnain inilah yang menjadi fokus utama dalam konteks Al-Kahf ayat 90. Setelah perjalanan ke timur, Al-Quran melanjutkan kisahnya: "Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain)." (QS. Al-Kahf: 89). Perjalanan ini membawanya ke sebuah lokasi geografis yang unik dan penuh tantangan. Ia sampai di suatu tempat yang terletak "di antara dua gunung," sebuah celah sempit yang menjadi gerbang bagi sebuah kaum yang nyaris tidak memahami perkataan. Kaum ini adalah kaum yang lemah, terbelakang, dan sangat menderita akibat ulah Ya'juj dan Ma'juj.
Penjelasan mengenai perjalanan ketiga ini dimulai dari ayat 89, dan ayat 90 menjadi titik penting yang menggambarkan kedatangan Dzulqarnain di lokasi krusial ini. Ini adalah persiapan untuk interaksi berikutnya dengan kaum yang meminta perlindungan.
Mari kita selami lebih dalam ayat yang menjadi inti pembahasan kita:
Terjemahan: "Hingga ketika dia sampai di antara dua gunung, dia mendapati di hadapan kedua gunung itu suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan." (QS. Al-Kahf: 90)
Ayat 90 ini dengan jelas menggambarkan sebuah pemandangan yang terpencil dan terisolasi, di mana Dzulqarnain menemukan sebuah komunitas yang hidup dalam kondisi yang sulit, tidak hanya karena lingkungan geografisnya tetapi juga karena keterbatasan komunikasi. Kondisi ini menyiapkan panggung untuk pengungkapan masalah utama yang dihadapi kaum tersebut: ancaman dari Ya'juj dan Ma'juj.
Setelah Dzulqarnain tiba di lokasi tersebut dan bertemu dengan kaum yang sulit memahami perkataan, mereka kemudian berhasil menyampaikan keluhan mereka kepadanya. Keluhan ini terangkum dalam ayat 94:
Terjemahan: "Mereka berkata: "Wahai Dzulqarnain, sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka bolehkah kami memberimu upah agar engkau membuatkan dinding (penghalang) antara kami dan mereka?" (QS. Al-Kahf: 94)
Dari ayat ini, kita memahami bahwa masalah utama kaum tersebut adalah Ya'juj dan Ma'juj, yang digambarkan sebagai "orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi" (mufsiduna fil ardh). Ini bukan sekadar ancaman kecil, melainkan kekuatan perusak yang sistematis dan meresahkan. Untuk memahami mengapa pembangunan tembok ini begitu penting, kita perlu memahami siapa Ya'juj dan Ma'juj.
Ya'juj dan Ma'juj (Gog dan Magog dalam tradisi Barat) adalah dua suku atau bangsa yang disebutkan dalam Al-Quran dan hadis Nabi Muhammad SAW. Mereka adalah makhluk dari keturunan Adam, tetapi memiliki karakteristik yang berbeda dan sifat yang sangat merusak. Meskipun Al-Quran tidak memberikan deskripsi fisik yang rinci, hadis-hadis mengisyaratkan bahwa mereka adalah bangsa yang sangat banyak, kuat, dan kejam.
Dalam sejarah Islam dan keyakinan eskatologis, Ya'juj dan Ma'juj dianggap sebagai salah satu tanda besar hari kiamat. Kemunculan mereka, setelah Dajjal, akan menjadi bencana besar bagi umat manusia, di mana mereka akan menyebar ke seluruh bumi, merusak, dan membinasakan segala sesuatu yang mereka temui.
Sebelum kemunculan akhir zaman, mereka dikurung di balik sebuah tembok kokoh yang dibangun oleh Dzulqarnain. Tembok inilah yang menahan mereka selama berabad-abad, menjaga mereka agar tidak menyebarkan kerusakan mereka kepada dunia.
Keberadaan Ya'juj dan Ma'juj dalam kisah Dzulqarnain menegaskan bahwa ada kekuatan-kekuatan perusak yang bisa muncul dan mengancam kehidupan manusia. Tugas Dzulqarnain, dengan pertolongan Allah, adalah menahan kekuatan ini demi keamanan dan kesejahteraan umat manusia.
Menanggapi permohonan kaum yang terancam oleh Ya'juj dan Ma'juj, Dzulqarnain menunjukkan karakter kepemimpinan yang mulia. Ia tidak meminta imbalan materi, melainkan hanya meminta bantuan tenaga dan alat. Ini tercermin dalam ayat 95:
Terjemahan: "Dzulqarnain berkata: "Apa yang telah dikurniakan oleh Tuhanku kepadaku lebih baik (daripada upah kamu), oleh itu bantulah daku dengan kekuatan (tenaga manusia dan alat-alat), supaya aku dapat membuat tembok (penghalang) antara kamu dan mereka." (QS. Al-Kahf: 95)
Respon ini adalah salah satu pelajaran terpenting dari kisah Dzulqarnain. Ia menolak harta benda, menunjukkan bahwa tujuan utamanya adalah melayani Allah dan membantu makhluk-Nya, bukan memperkaya diri. Ini adalah contoh sempurna dari pemimpin yang adil dan zuhud, yang memahami bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan kesempatan untuk keuntungan pribadi. Ia mengakui bahwa semua kekuasaan dan kekayaan yang ia miliki adalah anugerah dari Tuhannya, dan anugerah itu sudah cukup baginya.
Dzulqarnain kemudian memerintahkan mereka untuk membawa potongan-potongan besi. Proses pembangunan dijelaskan dalam ayat 96-97:
Terjemahan: "Berilah aku potongan-potongan besi." Hingga apabila (potongan-potongan besi) itu telah (menumpuk) sama tinggi dengan kedua (puncak) gunung, dia berkata: "Tiuplah (api itu)." Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, dia pun berkata: "Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar kutuangkan ke atasnya." Maka mereka (Ya'juj dan Ma'juj) tidak dapat mendakinya dan tidak dapat (pula) melobanginya." (QS. Al-Kahf: 96-97)
Ayat-ayat ini memberikan gambaran yang sangat jelas tentang kecanggihan teknik pembangunan yang digunakan oleh Dzulqarnain:
Hasil dari proses ini adalah sebuah tembok yang begitu kokoh sehingga Ya'juj dan Ma'juj tidak mampu mendakinya ("fama ista'au an yazharuhu") dan tidak pula dapat melubanginya ("wamaa istathaa'u lahu naqbaa"). Ini adalah bukti kehebatan Dzulqarnain dalam memanfaatkan teknologi dan sumber daya yang ada pada masanya, tentu saja dengan izin dan bimbingan Allah.
Setelah menyelesaikan pembangunan tembok, Dzulqarnain tidak mengklaim kesuksesan itu sebagai hasil usahanya semata. Sebaliknya, ia mengakui bahwa itu adalah rahmat dari Tuhannya, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat 98:
Terjemahan: "Dzulqarnain berkata: "Ini (tembok) adalah rahmat dari Tuhanku, maka apabila sudah datang janji Tuhanku, Dia akan menjadikannya rata (hancur lebur); dan janji Tuhanku itu adalah benar." (QS. Al-Kahf: 98)
Pernyataan ini adalah puncak dari kepribadian Dzulqarnain sebagai pemimpin yang tawadhu' (rendah hati) dan bersyukur. Ia tidak sombong dengan pencapaian besarnya, melainkan mengembalikan segala pujian kepada Allah. Ia juga mengungkapkan pengetahuan tentang masa depan tembok tersebut: suatu saat nanti, pada waktu yang telah ditentukan oleh Allah ("janji Tuhanku"), tembok itu akan hancur lebur ("ja'alahu dakkaa'"). Ini adalah referensi jelas tentang kemunculan Ya'juj dan Ma'juj di akhir zaman, di mana tembok ini akan runtuh dan mereka akan dilepaskan ke muka bumi.
Pernyataan "dan janji Tuhanku itu adalah benar" menegaskan kebenaran firman Allah dan kepastian terjadinya peristiwa akhir zaman. Ini adalah pesan penting bagi umat manusia untuk selalu mengingat kekuasaan Allah dan mempersiapkan diri menghadapi hari perhitungan.
Kisah Dzulqarnain, khususnya bagian yang melibatkan ayat 90 hingga 98, sarat dengan pelajaran berharga yang relevan untuk setiap individu dan masyarakat, dari berbagai aspek kehidupan.
Dzulqarnain adalah contoh teladan pemimpin yang adil. Ia tidak menggunakan kekuasaannya untuk menindas atau memperkaya diri, melainkan untuk melayani rakyat, melindungi yang lemah, dan menegakkan keadilan. Ketika dihadapkan pada penderitaan kaum yang terancam Ya'juj dan Ma'juj, ia tidak ragu untuk bertindak. Penolakannya terhadap upah (kharaj) dan permintaannya hanya akan bantuan tenaga menunjukkan integritas dan ketulusannya. Ini mengajarkan bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang mengutamakan kepentingan umat di atas kepentingan pribadi, yang menggunakan kekuasaan sebagai sarana untuk mencapai kebaikan dan kemaslahatan bersama.
Keadilan Dzulqarnain juga terlihat dari caranya memperlakukan kaum yang ia temui. Ia membedakan antara yang beriman dan beramal saleh dengan yang zalim, memberikan balasan yang sesuai bagi masing-masing. Ini adalah prinsip dasar keadilan dalam Islam.
Setiap tindakan Dzulqarnain selalu dikaitkan dengan kehendak dan kekuasaan Allah. Ia berkata, "Ini adalah rahmat dari Tuhanku," dan "Apa yang telah dikurniakan oleh Tuhanku kepadaku lebih baik." Ungkapan-ungkapan ini menunjukkan keimanannya yang teguh bahwa segala kekuatan, kemampuan, dan kesuksesan datang dari Allah semata. Ia tidak menyombongkan diri atas kehebatannya dalam membangun tembok, tetapi justru merujuknya sebagai rahmat Allah. Pelajaran ini mengingatkan kita untuk selalu mengaitkan setiap keberhasilan dengan karunia Allah, menjauhkan diri dari kesombongan, dan menanamkan rasa syukur yang mendalam.
Kisah ini menunjukkan bagaimana Dzulqarnain memanfaatkan ilmu dan teknologi yang ada pada masanya untuk tujuan yang baik. Penggunaan besi dan tembaga cair untuk membangun tembok adalah sebuah inovasi teknik yang luar biasa untuk masanya. Ini menggarisbawahi pentingnya mencari ilmu pengetahuan, mengembangkan teknologi, dan memanfaatkannya untuk kemajuan dan perlindungan umat manusia. Islam mendorong umatnya untuk terus belajar dan berinovasi, asalkan tujuan akhirnya adalah untuk kemaslahatan dan sesuai dengan syariat.
Tembok Dzulqarnain adalah bukti konkret dari kekuatan ilmu dan teknologi ketika digabungkan dengan kepemimpinan yang saleh dan visi yang jelas. Ini juga menginspirasi kita untuk berpikir di luar batas dan mencari solusi kreatif untuk masalah yang dihadapi masyarakat.
Meskipun Dzulqarnain adalah pemimpin yang berkuasa, ia tetap meminta bantuan dari kaum yang ia lindungi. Ia tidak berkata, "Saya akan membangunnya sendiri," melainkan, "Bantulah daku dengan kekuatan (tenaga manusia dan alat-alat)." Ini menunjukkan pentingnya kolaborasi dan gotong royong antara pemimpin dan rakyat. Proyek besar tidak dapat diselesaikan tanpa partisipasi aktif dari semua pihak. Rakyat memberikan tenaga dan bahan mentah, sementara pemimpin memberikan visi, kepemimpinan, dan keahlian teknis. Ini adalah model ideal dari masyarakat yang bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama.
Keberadaan Ya'juj dan Ma'juj sebagai "perusak di muka bumi" adalah pengingat bahwa kekuatan kejahatan dan kerusakan selalu ada di dunia ini. Kisah ini mengajarkan pentingnya untuk melindungi diri dan masyarakat dari ancaman tersebut, baik itu ancaman fisik, moral, maupun spiritual. Dzulqarnain membangun tembok fisik, tetapi dalam konteks yang lebih luas, kita juga perlu membangun "tembok" perlindungan melalui pendidikan, penegakan hukum, keadilan sosial, dan penguatan iman untuk melawan segala bentuk kerusakan di masyarakat.
Ini juga mengajarkan bahwa perlindungan bukan hanya tugas pemimpin, tetapi juga tugas setiap individu untuk berkontribusi dalam menjaga keamanan dan kesejahteraan komunitasnya.
Pembangunan tembok sebesar itu tentu membutuhkan kesabaran dan ketekunan yang luar biasa. Mengumpulkan besi, menumpuknya setinggi gunung, menyalakan api yang besar, dan menuangkan tembaga cair, semuanya adalah proses yang memakan waktu dan tenaga. Kisah ini mengajarkan bahwa untuk mencapai tujuan besar, kita harus sabar dalam menghadapi kesulitan dan tekun dalam berusaha. Hasil yang monumental seringkali merupakan buah dari proses yang panjang dan melelahkan.
Pernyataan Dzulqarnain bahwa tembok itu akan hancur pada "janji Tuhanku" adalah pengingat akan kebenaran hari akhir dan tanda-tandanya. Keberadaan Ya'juj dan Ma'juj yang terkurung di balik tembok adalah salah satu tanda besar kiamat. Kisah ini menegaskan bahwa segala sesuatu di dunia ini bersifat sementara dan akan berakhir. Hanya kekuasaan Allah yang abadi. Ini mendorong umat Islam untuk senantiasa mengingat akhirat, mempersiapkan diri, dan tidak terlalu terikat pada dunia fana.
Pengetahuan tentang kemunculan Ya'juj dan Ma'juj di akhir zaman juga meningkatkan kesadaran akan urgensi untuk selalu berada di jalan kebenaran dan kebaikan, karena zaman akan semakin mendekat pada masa-masa penuh fitnah.
Penolakan Dzulqarnain terhadap upah materi, dengan berkata "Apa yang telah dikurniakan oleh Tuhanku kepadaku lebih baik," adalah manifestasi dari sifat qana'ah (merasa cukup dengan apa yang Allah berikan) dan menjauhi keserakahan. Ia adalah pemimpin yang kaya dan berkuasa, tetapi hatinya tidak terpaut pada harta dunia. Ini adalah pelajaran penting bagi kita semua, terutama di era modern yang seringkali didominasi oleh materialisme. Kekayaan sejati adalah kekayaan hati dan kepuasan spiritual, bukan tumpukan harta.
Dzulqarnain menunjukkan bahwa penggunaan kekuasaan dan kekayaan seharusnya diarahkan untuk kemaslahatan umum dan mencari keridhaan Allah, bukan untuk memenuhi nafsu pribadi.
Seluruh kisah Dzulqarnain adalah demonstrasi dari kehendak dan rencana Allah. Allah-lah yang memberinya kekuasaan, membimbing perjalanannya, dan memungkinkannya membangun tembok. Ini mengajarkan bahwa dalam setiap usaha, kita harus bertawakal kepada Allah dan percaya pada rencana-Nya. Manusia hanya bisa berusaha, namun hasil akhirnya ada di tangan Allah. Bahkan kehancuran tembok di akhir zaman pun adalah bagian dari rencana ilahi yang lebih besar.
Kepercayaan ini memberikan kedamaian batin dan kekuatan untuk menghadapi ketidakpastian masa depan, mengetahui bahwa segala sesuatu berada dalam kendali Sang Pencipta.
Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit dalam ayat-ayat ini, tidak diragukan lagi bahwa Dzulqarnain pasti memohon pertolongan dan bimbingan dari Allah dalam setiap langkahnya. Pembangunan tembok yang begitu rumit dan besar hanya bisa terwujud dengan bantuan ilahi. Ini mengajarkan pentingnya doa dan bersandar kepada Allah dalam menghadapi setiap tantangan, baik kecil maupun besar. Kekuatan manusia terbatas, tetapi kekuatan Allah tak terbatas.
Kisah ini mengukuhkan keyakinan bahwa jika seseorang memiliki niat yang tulus untuk melakukan kebaikan dan mencari keridhaan Allah, maka Allah akan membukakan jalan dan memberikan pertolongan dari arah yang tidak disangka-sangka.
Pernyataan Dzulqarnain di ayat 98, "maka apabila sudah datang janji Tuhanku, Dia akan menjadikannya rata (hancur lebur)," adalah petunjuk jelas tentang kemunculan Ya'juj dan Ma'juj di akhir zaman sebagai salah satu tanda besar Hari Kiamat. Ini adalah salah satu aspek eskatologis (ilmu tentang akhir zaman) yang paling sering dibicarakan dalam Islam.
Menurut hadis-hadis Nabi Muhammad SAW, Ya'juj dan Ma'juj akan muncul setelah turunnya Nabi Isa AS dan terbunuhnya Dajjal. Setelah Dajjal musnah, umat Islam akan mengalami masa damai yang singkat. Namun, kedamaian ini akan segera digantikan oleh fitnah baru yang jauh lebih dahsyat, yaitu kemunculan Ya'juj dan Ma'juj.
Mereka akan keluar dari celah tembok yang telah dijanjikan Allah untuk hancur. Setiap hari, mereka berusaha melubangi tembok tersebut, namun setiap kali mereka hampir berhasil, mereka berkata, "Besok kita akan lanjutkan," dan Allah mengembalikan tembok itu seperti semula. Hingga suatu hari, atas kehendak Allah, salah satu dari mereka akan berkata, "Insya Allah, kita akan lanjutkan besok," dan pada hari itulah tembok itu akan tetap berlubang, memungkinkan mereka keluar.
Setelah keluar, mereka akan menyebar ke seluruh penjuru bumi dengan kecepatan luar biasa. Mereka akan berjumlah sangat banyak sehingga tidak ada yang bisa melawan mereka. Mereka akan meminum habis air danau Tabariyah (Laut Galilea) di Palestina, melewati berbagai negeri, dan melakukan kerusakan yang tak terbayangkan. Nabi Isa AS dan kaum mukminin akan berlindung di bukit Thur, dan Allah akan mengirimkan ulat-ulat yang akan membinasakan Ya'juj dan Ma'juj, membersihkan bumi dari mereka.
Kisah Ya'juj dan Ma'juj ini memiliki implikasi mendalam bagi pemahaman umat Islam tentang akhir zaman:
Pertanyaan tentang lokasi fisik tembok Dzulqarnain dan apakah ia masih eksis hingga kini sering menjadi perdebatan. Beberapa ulama dan penjelajah di masa lalu telah mencoba mengidentifikasi lokasinya, seringkali dikaitkan dengan pegunungan Kaukasus atau daerah Asia Tengah. Namun, tidak ada bukti definitif yang bisa memastikan lokasinya secara mutlak.
Di era modern, sebagian orang cenderung melihat kisah tembok Dzulqarnain dan Ya'juj dan Ma'juj sebagai metafora. Namun, mayoritas ulama tafsir kontemporer dan klasik berpendapat bahwa ini adalah kisah faktual dengan peristiwa fisik yang sebenarnya, termasuk pembangunan tembok material yang nyata. Mengingat detail yang sangat spesifik dalam Al-Quran mengenai material dan proses pembangunannya (besi, tembaga cair), sangat sulit untuk menafsirkan tembok tersebut sebagai metaforis sepenuhnya.
Mungkin saja lokasi tembok itu berada di daerah yang sangat terpencil dan belum sepenuhnya terjangkau oleh eksplorasi modern, atau mungkin perubahan geologis telah mengubah lanskapnya. Yang jelas, keberadaannya tetap menjadi salah satu misteri yang diyakini akan terungkap sepenuhnya menjelang akhir zaman.
Terlepas dari interpretasi literal atau metaforis, kisah ini tetap memberikan pelajaran penting bagi masyarakat modern:
Keindahan dan ketepatan bahasa Arab dalam Al-Quran juga patut diulas, bahkan dalam ayat 90. Frasa "بَيْنَ السَّدَّيْنِ" (bainas saddaini) sangatlah deskriptif. Kata "sadd" (سد) berarti penghalang atau bendungan. Bentuk ganda "saddaini" secara khusus merujuk pada dua penghalang yang berhadapan, yang dalam konteks ini sangat pas menggambarkan dua gunung tinggi yang membentuk celah atau lembah sempit.
Kemudian, frasa "لَّا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ قَوْلًا" (la yakadoona yafqahoona qawlaa) juga sangat ekspresif. Kata "yakadoona" (يكادون) berasal dari akar kata yang berarti "hampir" atau "nyaris". Penggunaan negasi "laa" (لا) di depannya menghasilkan makna "hampir tidak". Ini bukan berarti mereka sama sekali tidak mengerti, tetapi pemahaman mereka sangat terbatas atau sangat sulit. Ini menunjukkan tingkat isolasi dan keterbelakangan yang ekstrem, menciptakan citra yang jelas tentang tantangan komunikasi yang dihadapi Dzulqarnain dan, secara lebih luas, tentang kondisi kaum tersebut.
Pilihan kata-kata ini bukan hanya untuk keindahan sastra, tetapi juga untuk menyampaikan makna yang presisi dan mendalam, memperkaya narasi dan pelajaran yang terkandung di dalamnya.
Surah Al-Kahf ayat 90, meskipun hanya satu ayat, adalah pintu gerbang menuju salah satu kisah paling menarik dan penuh pelajaran dalam Al-Quran. Kisah Dzulqarnain, Ya'juj dan Ma'juj, serta pembangunan tembok raksasa bukan sekadar cerita lama, melainkan sebuah panduan komprehensif yang mengajarkan kita tentang kepemimpinan yang saleh, pentingnya ketaatan kepada Allah, pemanfaatan ilmu dan teknologi untuk kebaikan, serta persiapan menghadapi tanda-tanda akhir zaman.
Dari Dzulqarnain, kita belajar menjadi pemimpin yang adil, rendah hati, dan berorientasi pada kemaslahatan umat. Kita melihat bagaimana kekuasaan dapat digunakan sebagai alat untuk melindungi yang lemah dan membangun peradaban. Kita diingatkan akan pentingnya kolaborasi dan kerja keras dalam mencapai tujuan besar.
Dari kisah Ya'juj dan Ma'juj, kita diingatkan tentang keberadaan kekuatan-kekuatan perusak di dunia dan pentingnya untuk selalu waspada serta mencari perlindungan dari Allah. Kisah ini juga menguatkan keimanan kita akan kebenaran hari kiamat dan janji-janji Allah yang pasti terjadi.
Pada akhirnya, kisah di balik Al-Kahfi ayat 90 adalah seruan untuk refleksi diri, untuk menguatkan iman, dan untuk berperan aktif dalam membangun kebaikan di muka bumi. Ia adalah pengingat bahwa meskipun tantangan dan ancaman selalu ada, dengan bimbingan Allah dan usaha yang sungguh-sungguh, kita dapat mengatasi kesulitan dan mencapai kesuksesan, baik di dunia maupun di akhirat. Semoga kita semua dapat mengambil hikmah dan pelajaran berharga dari kisah agung ini untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan berkontribusi positif bagi umat.
Kisah ini, dengan segala detailnya, mengajak kita untuk merenungkan makna kekuasaan, keadilan, dan pertolongan ilahi. Ia mengukuhkan keyakinan bahwa setiap anugerah dari Allah harus digunakan di jalan-Nya, dan setiap keberhasilan sejatinya adalah manifestasi dari rahmat-Nya. Kita harus selalu bersikap tawadhu', berterima kasih atas setiap karunia, dan tidak pernah melupakan bahwa semua yang kita miliki adalah pinjaman dari Sang Pencipta.
Dalam konteks menghadapi tantangan global saat ini, kisah Dzulqarnain menjadi lebih relevan. Dunia membutuhkan pemimpin-pemimpin yang memiliki visi, integritas, dan keberanian untuk mengatasi masalah-masalah kompleks, mulai dari konflik geopolitik hingga krisis lingkungan. Pemimpin yang mampu menyatukan berbagai pihak, menggunakan sumber daya secara bijaksana, dan yang paling penting, selalu mengacu pada prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran ilahi.
Ayat 90 Surah Al-Kahf adalah titik awal dari sebuah narasi epik yang melampaui batas waktu dan ruang, menawarkan pelajaran universal bagi siapa saja yang bersedia mendalami dan merenungkannya. Ia bukan hanya sekedar cerita tentang masa lalu, melainkan cerminan dari prinsip-prinsip abadi yang membentuk tatanan moral dan spiritual umat manusia. Mari kita jadikan kisah ini sebagai sumber inspirasi untuk menjalani hidup dengan penuh tujuan, keimanan, dan kebermanfaatan.
Melalui lensa Surah Al-Kahf ayat 90 dan kelanjutannya, kita diingatkan bahwa sejarah adalah siklus yang mengajarkan, dan bahwa pelajaran dari masa lalu adalah bekal berharga untuk menavigasi masa kini dan mempersiapkan masa depan. Kekuatan untuk membangun, kebijaksanaan untuk memimpin, dan ketulusan untuk melayani adalah nilai-nilai yang terus-menerus digemakan oleh Al-Quran melalui kisah Dzulqarnain. Semoga kita termasuk golongan yang senantiasa mengambil iktibar dari setiap ayat-Nya.
Pesan utama yang dapat ditarik dari pembahasan tentang Al-Kahf ayat 90 dan kisah Dzulqarnain secara keseluruhan adalah tentang urgensi pembangunan, baik fisik maupun spiritual, untuk melindungi diri dan masyarakat dari segala bentuk kerusakan. Pembangunan tembok fisik oleh Dzulqarnain adalah metafora kuat untuk membangun benteng moral, etika, dan keimanan dalam diri kita sendiri dan komunitas kita. Benteng ini akan menjadi pertahanan utama kita melawan godaan, fitnah, dan kekuatan perusak yang senantiasa mengancam keberlangsungan hidup yang harmonis.
Setiap detail dalam kisah ini, mulai dari cara Dzulqarnain menanggapi permohonan kaum yang teraniaya, pilihannya untuk menolak upah, hingga metode konstruksi yang inovatif, semuanya adalah lapisan-lapisan hikmah yang memperkaya pemahaman kita tentang kepemimpinan yang ideal dan ketaatan kepada Allah. Ia adalah contoh nyata bagaimana kekuasaan, ketika berada di tangan yang benar dan dijiwai oleh iman, dapat menjadi instrumen untuk mewujudkan kebaikan yang masif.
Oleh karena itu, marilah kita senantiasa membaca, merenungkan, dan mengamalkan pelajaran-pelajaran dari Surah Al-Kahf, khususnya kisah Dzulqarnain, agar kita dapat menjadi individu yang lebih bijaksana, pemimpin yang lebih adil (dalam skala apapun), dan anggota masyarakat yang lebih bertanggung jawab. Dengan demikian, kita dapat berkontribusi dalam membangun 'tembok' kebaikan di dunia ini, yang akan menjadi bekal kita di hadapan Allah SWT.
Keberadaan Ya'juj dan Ma'juj yang tersembunyi di balik tembok megah itu juga merupakan simbol dari kekuatan-kekuatan gelap yang mungkin tidak terlihat, namun memiliki potensi merusak yang luar biasa. Kisah ini mengajarkan kita untuk tidak pernah meremehkan ancaman tersembunyi, dan untuk selalu siap siaga, baik secara fisik maupun spiritual, untuk menghadapinya. Ini adalah panggilan untuk selalu mencari ilmu, memahami dunia di sekitar kita, dan mengembangkan solusi yang efektif untuk tantangan yang ada, dengan keyakinan penuh pada pertolongan Allah.
Puncak dari kisah ini, yaitu pengakuan Dzulqarnain bahwa tembok itu adalah rahmat dari Tuhannya dan akan hancur pada janji-Nya, memberikan perspektif eskatologis yang mendalam. Ini adalah pengingat bahwa semua usaha manusia, sekuat apapun, akan tunduk pada kehendak ilahi. Ia menanamkan rasa rendah hati dan tawakal, mengajarkan bahwa hanya Allah yang memiliki kekuasaan mutlak atas segala sesuatu, dan bahwa akhir dari segala urusan adalah kembali kepada-Nya.
Sebagai umat Islam, pemahaman tentang Al-Kahf ayat 90 dan konteksnya bukan hanya menambah wawasan keagamaan, tetapi juga membekali kita dengan kerangka pemikiran yang kokoh untuk menghadapi berbagai fitnah zaman. Ini adalah cahaya penerang di tengah kegelapan, petunjuk jalan di tengah kebingungan, dan sumber kekuatan di tengah kelemahan. Semoga Allah senantiasa membimbing kita untuk memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran-Nya dengan sebaik-baiknya.
Kisah ini juga merupakan inspirasi untuk tidak berputus asa dalam menghadapi masalah yang tampaknya tak terpecahkan. Kaum yang terancam Ya'juj dan Ma'juj mungkin merasa tak berdaya, tetapi kedatangan Dzulqarnain dengan izin Allah membawa harapan dan solusi. Ini mengajarkan bahwa pertolongan Allah bisa datang dari arah yang tidak disangka-sangka, asalkan kita memiliki keimanan, kesabaran, dan terus berusaha. Ketidakmampuan kaum tersebut untuk mengerti bahasa Dzulqarnain tidak menghalangi niat baik Dzulqarnain untuk membantu mereka. Hal ini menekankan bahwa empati dan keinginan untuk membantu sesama harus melampaui batasan bahasa, budaya, atau ras.
Pada akhirnya, pesan Al-Kahf ayat 90 dan keseluruhan narasi Dzulqarnain adalah tentang harapan yang tak terbatas pada rahmat Allah, tentang kekuatan iman yang dapat memindahkan gunung (atau membangun tembok sebesar gunung), dan tentang pentingnya menjalani hidup dengan tujuan yang luhur dan pengabdian yang tulus kepada Sang Pencipta. Semoga setiap pembaca dapat mengambil inspirasi dan petunjuk dari kisah yang agung ini.