Surat Al-Kahfi, yang berarti "Gua", adalah salah satu surat paling istimewa dalam Al-Qur'an. Dengan 110 ayat, surat ini membentangkan empat kisah utama yang sarat makna dan pelajaran universal: kisah Ashabul Kahfi (penghuni gua), kisah dua pemilik kebun, kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir, serta kisah Dzulqarnain. Masing-masing kisah ini merupakan metafora dan pengajaran mendalam tentang ujian keimanan, godaan dunia, pentingnya ilmu, dan kekuatan serta keadilan Ilahi. Di antara kisah-kisah agung tersebut, kisah Dzulqarnain, seorang penguasa adil yang melakukan perjalanan ke berbagai penjuru bumi, memiliki daya tarik tersendiri, terutama karena kaitannya dengan misteri Yakjuj dan Makjuj.
Artikel ini akan memfokuskan perhatian kita pada satu ayat krusial dalam kisah Dzulqarnain, yaitu Surat Al-Kahfi Ayat 93. Ayat ini adalah puncak dari narasi perjalanannya menuju "dua gunung", di mana ia bertemu dengan suatu kaum yang meminta perlindungan dari kerusakan yang dilakukan oleh Yakjuj dan Makjuj. Ayat ini bukan hanya sekadar potongan cerita, melainkan jembatan yang menghubungkan berbagai dimensi pemahaman: sejarah, geografi, eskatologi, etika kepemimpinan, dan keimanan. Melalui penelusuran mendalam terhadap ayat ini, kita akan berusaha mengungkap pesan-pesan tersembunyi, menelaah berbagai perspektif tafsir, dan mengambil pelajaran berharga yang relevan untuk kehidupan kita di era modern.
Mari kita selami bersama keagungan firman Allah ini, menggali setiap kata dan frasa untuk memahami konteksnya, tafsirnya, serta implikasinya yang luas bagi individu maupun umat manusia secara keseluruhan.
Konteks Surat Al-Kahfi dan Kisah Dzulqarnain
Pengantar Surat Al-Kahfi
Surat Al-Kahfi adalah surat ke-18 dalam Al-Qur'an dan termasuk golongan surat Makkiyah, yang berarti diturunkan di Mekah sebelum hijrahnya Nabi Muhammad ﷺ ke Madinah. Surat ini memiliki keutamaan yang sangat besar, salah satunya adalah anjuran untuk membacanya setiap hari Jumat, yang diyakini dapat melindungi pembacanya dari fitnah Dajjal.
Secara tematik, Al-Kahfi berpusat pada empat ujian besar yang sering dihadapi manusia:
- Ujian Keimanan: Diwakili oleh kisah Ashabul Kahfi yang gigih mempertahankan akidah mereka di tengah tekanan penguasa zalim.
- Ujian Harta: Diilustrasikan melalui kisah dua pemilik kebun, salah satunya sombong dengan kekayaannya dan ingkar kepada Tuhan.
- Ujian Ilmu: Tercermin dalam kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir, yang menunjukkan bahwa ilmu Allah jauh melampaui pemahaman manusia, dan ada hikmah di balik setiap kejadian yang mungkin tampak ganjil di mata kita.
- Ujian Kekuasaan: Dinarasikan melalui kisah Dzulqarnain, seorang raja yang diberi kekuasaan besar namun tetap rendah hati dan menjunjung keadilan.
Keempat kisah ini, meskipun memiliki plot dan karakter yang berbeda, saling berjalin untuk menyampaikan pesan inti tentang pentingnya kesabaran, kerendahan hati, ketergantungan kepada Allah, dan kewaspadaan terhadap godaan dunia.
Latar Belakang Kisah Dzulqarnain
Kisah Dzulqarnain dalam Surat Al-Kahfi dimulai dari ayat 83 hingga 101. Kisah ini diturunkan sebagai jawaban atas pertanyaan kaum Quraisy kepada Nabi Muhammad ﷺ, yang diilhami oleh para rabi Yahudi. Mereka bertanya tentang roh, Ashabul Kahfi, dan Dzulqarnain, untuk menguji kenabian Muhammad. Dengan pertolongan Allah, Nabi Muhammad ﷺ mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, termasuk kisah Dzulqarnain yang merupakan narasi tentang seorang raja yang saleh dan bijaksana, yang melakukan perjalanan ke tiga arah mata angin: barat, timur, dan kemudian ke suatu tempat di antara dua gunung.
Allah memberikan Dzulqarnain kekuasaan dan sarana (kemampuan dan pengetahuan) untuk mencapai tujuannya. Dalam setiap perjalanannya, Dzulqarnain selalu bertindak adil, menolong yang tertindas, dan menyebarkan kebaikan. Ia adalah contoh pemimpin ideal yang menggunakan kekuasaannya bukan untuk penindasan atau kesombongan, melainkan untuk menegakkan kebenaran dan kesejahteraan umat manusia.
Surat Al-Kahfi Ayat 93: Teks Arab, Transliterasi, dan Terjemahan
Mari kita mulai dengan menelaah ayat yang menjadi fokus utama kita, yaitu Surat Al-Kahfi Ayat 93. Memahami teks aslinya adalah langkah pertama untuk menggali makna yang lebih dalam.
حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغَ بَيْنَ السَّدَّيْنِ وَجَدَ مِن دُونِهِمَا قَوْمًا لَّا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ قَوْلًا
Hattā iżā balaga bainas-saddaini wajada min dūnihimā qaumal lā yakādūna yafqahūna qaulā
"Hingga apabila dia telah sampai di antara dua gunung, dia mendapati di hadapan kedua (gunung) itu suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan."
Terjemahan Alternatif dan Perbandingan
Meskipun terjemahan di atas sudah cukup representatif, ada beberapa nuansa yang bisa ditemukan dalam terjemahan lain dari para ulama dan lembaga Al-Qur'an. Perbedaan kecil ini seringkali memberikan perspektif tambahan:
- Quraish Shihab: "Hingga ketika ia sampai di antara dua buah bendungan gunung, ia dapati di hadapan keduanya, suatu kaum yang nyaris tak mengerti apa-apa dari perkataan."
- Kemenag RI: "Hingga ketika dia sampai di antara dua gunung, dia mendapati di hadapan keduanya (gunung) suatu kaum yang hampir tidak mengerti perkataan."
- Lain-lain: Ada yang menerjemahkan "dua gunung" sebagai "dua bukit", atau "dua tembok alam", mencerminkan sedikit variasi interpretasi terhadap kata "سَّدَّيْنِ" (as-saddain). Kata "سَدٌّ" (sadd) sendiri bisa berarti penghalang, tembok, atau gunung, dan dalam konteks ini merujuk pada formasi geografis yang berfungsi sebagai penghalang alami.
Perbedaan ini, walaupun minor, menunjukkan kekayaan bahasa Arab dan interpretasi yang mungkin. Namun, inti maknanya tetap sama: Dzulqarnain tiba di lokasi geografis tertentu, yaitu "dua gunung" atau "dua penghalang alami", dan bertemu dengan penduduk lokal yang memiliki kendala komunikasi.
Tafsir Ayat 93 Secara Mendalam
Mari kita bedah setiap frasa dalam ayat 93 untuk mengungkap makna dan pelajaran yang terkandung di dalamnya.
1. "حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغَ بَيْنَ السَّدَّيْنِ" (Hattā iżā balaga bainas-saddaini)
Arti: "Hingga apabila dia telah sampai di antara dua gunung..."
- "حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغَ" (Hattā iżā balaga): Frasa ini menunjukkan kelanjutan perjalanan Dzulqarnain setelah perjalanannya ke barat (tempat terbenamnya matahari) dan ke timur (tempat terbitnya matahari). Ini menandakan bahwa ia terus melaju, didorong oleh hikmah dan tugas yang diberikan Allah, menuju suatu lokasi yang spesifik. Kata "balaga" (sampai) menyiratkan bahwa ini adalah tujuan akhir dari segmen perjalanan ini, atau setidaknya titik penting yang menjadi fokus cerita.
- "بَيْنَ السَّدَّيْنِ" (bainas-saddaini): Ini adalah inti geografis dari ayat ini. "As-saddain" secara harfiah berarti "dua penghalang" atau "dua tembok". Para mufassir (ahli tafsir) berbeda pendapat mengenai apa sebenarnya "as-saddain" ini.
- Pendapat Mayoritas: Merujuk pada dua gunung besar yang saling berdekatan, membentuk celah atau lembah di antaranya. Gunung-gunung ini bisa jadi merupakan penghalang alami yang sulit dilewati.
- Pendapat Lain: Ada yang menafsirkan bahwa "as-saddain" adalah dua bukit, dua tembok alam, atau bahkan dua ujung dari sebuah jurang. Yang jelas, ini adalah sebuah formasi geografis yang memisahkan atau menghalangi akses antara dua wilayah. Lokasinya sendiri menjadi objek spekulasi historis, dengan dugaan-dugaan yang mengarah ke Kaukasus, Asia Tengah, atau bahkan bagian utara Asia.
Implikasi dari "as-saddain" ini adalah adanya sebuah celah yang memerlukan tindakan khusus untuk dilindungi. Ini menunjukkan keahlian Dzulqarnain dalam navigasi dan kemampuannya untuk mencapai lokasi-lokasi terpencil di dunia.
2. "وَجَدَ مِن دُونِهِمَا قَوْمًا" (wajada min dūnihimā qaumā)
Arti: "dia mendapati di hadapan kedua (gunung) itu suatu kaum..."
- "وَجَدَ" (wajada): Kata ini berarti "menemukan" atau "mendapati". Ini mengindikasikan bahwa pertemuannya dengan kaum ini adalah bagian dari takdir Ilahi dalam perjalanannya.
- "مِن دُونِهِمَا" (min dūnihimā): Frasa ini bisa diterjemahkan sebagai "di hadapan keduanya", "di balik keduanya", atau "di dekat keduanya". Dalam konteks ini, berarti Dzulqarnain menemukan suatu kaum yang tinggal di wilayah yang dipisahkan atau dilindungi oleh "as-saddain" tersebut, atau mungkin di sisi lain dari penghalang tersebut.
- "قَوْمًا" (qaumā): "Suatu kaum" atau "sekumpulan manusia". Al-Qur'an tidak memberikan nama spesifik untuk kaum ini, namun penggambaran selanjutnya menunjukkan mereka adalah orang-orang yang menghadapi ancaman besar. Mereka adalah kaum yang lemah, tidak memiliki kekuatan untuk melindungi diri dari musuh, sehingga mereka mencari pertolongan dari penguasa yang kuat seperti Dzulqarnain.
3. "لَّا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ قَوْلًا" (lā yakādūna yafqahūna qaulā)
Arti: "yang hampir tidak mengerti pembicaraan."
- "لَّا يَكَادُونَ" (lā yakādūna): Ini adalah bentuk penegasan negatif, yang berarti "hampir tidak" atau "sangat sulit".
- "يَفْقَهُونَ قَوْلًا" (yafqaūna qaulā): "Memahami perkataan" atau "mengerti ucapan".
- Makna Keseluruhan: Kaum ini memiliki kendala komunikasi yang serius. Para ulama tafsir menafsirkan frasa ini dalam beberapa cara:
- Kendala Bahasa: Mereka berbicara bahasa yang sangat berbeda dengan bahasa Dzulqarnain, sehingga sulit bagi Dzulqarnain untuk memahami mereka atau sebaliknya. Dzulqarnain mungkin memiliki penerjemah, atau ia diberi kemampuan khusus oleh Allah untuk memahami mereka, setidaknya untuk tujuan komunikasi penting.
- Kendala Intelektual/Kecerdasan: Sebagian ulama menafsirkan bahwa mereka adalah kaum yang kurang cerdas atau lambat dalam memahami sesuatu, bukan hanya masalah bahasa. Namun, interpretasi ini kurang populer karena Al-Qur'an biasanya menggambarkan manusia sebagai makhluk yang berakal.
- Kendala Ekspresi: Mereka mungkin memiliki bahasa yang primitif, kurang ekspresif, atau cara bicara yang tidak jelas, sehingga Dzulqarnain dan rombongannya kesulitan menangkap maksud mereka sepenuhnya.
Terlepas dari interpretasi spesifiknya, poin pentingnya adalah adanya hambatan dalam komunikasi. Meskipun demikian, Dzulqarnain, dengan kebijaksanaan dan karunia Allah, mampu memahami inti permasalahan mereka, yaitu ancaman dari Yakjuj dan Makjuj. Hal ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin yang baik harus mampu mengatasi hambatan komunikasi dan memahami kebutuhan rakyatnya, bahkan dalam kondisi yang sulit sekalipun.
Pelajaran dan Hikmah dari Ayat 93
Ayat 93 ini, meskipun singkat, mengandung banyak pelajaran dan hikmah yang berharga.
1. Pentingnya Perjalanan dan Eksplorasi
Kisah Dzulqarnain secara umum, dan ayat 93 secara khusus, menekankan pentingnya melakukan perjalanan dan eksplorasi. Dzulqarnain tidak hanya berdiam diri di kerajaannya, tetapi ia pergi jauh untuk melihat kondisi umat manusia, menegakkan keadilan, dan menolong yang membutuhkan. Ini adalah dorongan bagi umat Muslim untuk tidak terpaku pada satu tempat, melainkan untuk menjelajahi bumi, belajar dari berbagai peradaban, dan menyebarkan kebaikan.
Dalam konteks modern, ini bisa diartikan sebagai dorongan untuk mencari ilmu, berinteraksi dengan budaya lain, atau bahkan melakukan penelitian dan inovasi untuk memecahkan masalah global. Eksplorasi ini bukan sekadar untuk kesenangan pribadi, melainkan untuk tujuan yang lebih besar, yaitu membangun bumi sesuai kehendak Allah.
2. Keterbatasan Manusia dan Karunia Allah
Kondisi "kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan" menunjukkan keterbatasan manusia dalam berkomunikasi dan memahami. Namun, Dzulqarnain, yang diberkahi oleh Allah, mampu mengatasi hambatan ini. Ini mengingatkan kita bahwa meskipun kita memiliki keterbatasan, dengan kehendak dan karunia Allah, banyak hal bisa diatasi.
Dzulqarnain adalah contoh bagaimana Allah memberikan kemudahan kepada hamba-Nya yang saleh untuk menjalankan misi-Nya. Kemampuan untuk memahami dan ditranslasi, atau bahkan ilham langsung dari Allah, adalah bagian dari karunia ini. Ini menggarisbawahi pentingnya berserah diri dan memohon pertolongan kepada Allah dalam setiap kesulitan.
3. Peran Kepemimpinan yang Adil dan Solutif
Dzulqarnain datang ke suatu kaum yang tidak bisa berkomunikasi dengan baik, namun ia tetap mendengarkan dan berusaha memahami masalah mereka. Ini adalah ciri pemimpin yang ideal: peduli terhadap rakyatnya, bersedia turun tangan membantu, dan tidak sombong meskipun memiliki kekuasaan besar. Ia tidak memanfaatkan kelemahan kaum tersebut, melainkan menawarkan solusi.
Pelajaran ini sangat relevan bagi pemimpin di segala tingkatan, baik di tingkat negara, organisasi, maupun keluarga. Kepemimpinan yang sejati adalah tentang melayani, bukan dilayani; tentang memecahkan masalah, bukan menciptakan masalah; dan tentang mendengarkan suara-suara yang mungkin sulit didengar.
4. Ancaman dan Kebutuhan Akan Perlindungan
Ayat ini secara implisit memperkenalkan adanya ancaman besar, yaitu Yakjuj dan Makjuj, yang detailnya akan dijelaskan di ayat-ayat berikutnya. Kaum yang ditemui Dzulqarnain sangat membutuhkan perlindungan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kehidupan ini, akan selalu ada kekuatan atau entitas yang mengancam kedamaian dan kesejahteraan, dan manusia membutuhkan perlindungan, baik dari Allah maupun melalui sarana yang diberikan Allah.
Ini juga mengajarkan pentingnya solidaritas dan saling membantu. Kaum tersebut tidak berdaya sendiri, mereka mencari bantuan, dan Dzulqarnain memenuhi panggilan mereka. Dalam masyarakat, kita seringkali menemukan kelompok-kelompok yang rentan dan membutuhkan uluran tangan, dan kisah ini adalah pengingat untuk tidak mengabaikan mereka.
Keterkaitan Ayat 93 dengan Ayat-ayat Setelahnya
Ayat 93 tidak berdiri sendiri. Ia adalah permulaan dari segmen yang lebih besar dalam kisah Dzulqarnain yang menjelaskan tindakan heroiknya dalam membangun tembok.
Permintaan Kaum kepada Dzulqarnain (Ayat 94)
قَالُوا۟ يَٰذَا ٱلْقَرْنَيْنِ إِنَّ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ مُفْسِدُونَ فِى ٱلْأَرْضِ فَهَلْ نَجْعَلُ لَكَ خَرْجًا عَلَىٰٓ أَن تَجْعَلَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ سَدًّۭا
Qālū yā żal-qarnaini inna ya`jūja wa ma`jūja mufsidūna fil-arḍi fa hal naj'alu laka kharjan 'alā an taj'ala bainanā wa bainahum saddā
"Mereka berkata, 'Wahai Dzulqarnain! Sesungguhnya Yakjuj dan Makjuj selalu berbuat kerusakan di bumi. Maka bolehkah kami memberimu imbalan agar engkau membuatkan dinding penghalang antara kami dan mereka?'"
Ayat ini adalah kelanjutan langsung dari ayat 93. Setelah Dzulqarnain berhasil mengatasi hambatan komunikasi, kaum tersebut langsung menyampaikan inti permasalahan mereka: Yakjuj dan Makjuj yang berbuat kerusakan di bumi. Mereka bahkan menawarkan imbalan (kharjan) kepada Dzulqarnain untuk membangun penghalang. Ini menunjukkan betapa putus asanya mereka menghadapi ancaman tersebut dan betapa besar harapan mereka kepada Dzulqarnain.
Jawaban Dzulqarnain dan Pembangun Tembok (Ayat 95-97)
قَالَ مَا مَكَّنِّى فِيهِ رَبِّى خَيْرٌ فَأَعِينُونِى بِقُوَّةٍ أَجْعَلْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ رَدْمًۭا
Qāla mā makkanī fīhi rabbī khairun fa a'īnūnī biquwwatin aj'al bainakum wa bainahum radmā
"Dia (Dzulqarnain) berkata, 'Apa yang telah dikaruniakan Rabbku kepadaku lebih baik (daripada imbalanmu), maka bantulah aku dengan kekuatan (tenaga), agar aku dapat membuatkan dinding penghalang antara kamu dan mereka.'"
Ayat 95 menunjukkan kebesaran jiwa Dzulqarnain. Ia menolak imbalan materi, menyatakan bahwa karunia Allah kepadanya sudah lebih dari cukup. Ia hanya meminta bantuan tenaga (bi quwwatin) dari mereka. Ini adalah manifestasi dari kepemimpinan yang tulus, tidak berorientasi pada keuntungan pribadi, melainkan pada kebaikan dan keadilan. Ia ingin kaum itu berpartisipasi dalam pembangunan, memberi mereka rasa kepemilikan dan tanggung jawab.
Ayat-ayat berikutnya (96-97) menjelaskan proses pembangunan tembok yang monumental:
ءَاتُونِى زُبَرَ ٱلْحَدِيدِ ۖ حَتَّىٰٓ إِذَا سَاوَىٰ بَيْنَ ٱلصَّدَفَيْنِ قَالَ ٱنفُخُوا۟ ۖ حَتَّىٰٓ إِذَا جَعَلَهُۥ نَارًۭا قَالَ ءَاتُونِىٓ أُفْرِغْ عَلَيْهِ قِطْرًۭا
Ātūnī zubara al-ḥadīdi ḥattā iżā sāwā bainas-ṣadafaini qāla unfukhū ḥattā iżā ja'alahū nāran qāla ātūnī ufrigh 'alaihi qiṭrā
"Berilah aku potongan-potongan besi. Hingga apabila (potongan) besi itu telah (terkumpul dan) rata dengan kedua (puncak) gunung itu, dia (Dzulqarnain) berkata, 'Tiuplah (api itu).' Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, dia berkata, 'Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar kutuangkan ke atasnya.'"
Dzulqarnain memerintahkan untuk mengumpulkan potongan-potongan besi (zubara al-ḥadīdi) dan menumpuknya hingga rata dengan puncak kedua gunung. Kemudian, ia memerintahkan untuk meniup api sehingga besi itu menjadi merah membara seperti api. Setelah itu, ia menuangkan tembaga cair (qiṭrā) ke atasnya, yang akan mengikat dan memperkuat struktur besi, menjadikannya tembok yang sangat kokoh dan tidak dapat ditembus.
Hasil dan Penutup (Ayat 98-101)
Setelah tembok itu selesai dibangun, Dzulqarnain berkata:
قَالَ هَٰذَا رَحْمَةٌۭ مِّن رَّبِّى ۖ فَإِذَا جَآءَ وَعْدُ رَبِّى جَعَلَهُۥ دَكَّآءَ ۖ وَكَانَ وَعْدُ رَبِّى حَقًّۭا
Qāla hāżā raḥmatum mir rabbī fa iżā jā`a wa'du rabbī ja'alahū sakkā`a wa kāna wa'du rabbī ḥaqqā
"Dia (Dzulqarnain) berkata, 'Ini adalah rahmat dari Tuhanku. Maka apabila janji Tuhanku tiba, Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Tuhanku itu benar.'"
Dzulqarnain tidak mengklaim kesuksesan pembangunan tembok itu sebagai hasil dari kekuatannya sendiri, melainkan sebagai rahmat dari Allah. Ini menunjukkan puncak kerendahan hati seorang pemimpin besar. Ia juga mengingatkan bahwa tembok itu tidak akan bertahan selamanya; akan ada saatnya janji Allah tiba, di mana tembok itu akan hancur luluh. Ini adalah isyarat tentang kemunculan Yakjuj dan Makjuj di akhir zaman, dan sekaligus penekanan bahwa kekuasaan Allah melebihi segala sesuatu, termasuk bangunan terkokoh sekalipun.
Siapakah Yakjuj dan Makjuj?
Pertanyaan tentang Yakjuj dan Makjuj (Gog dan Magog dalam tradisi Yahudi-Kristen) adalah salah satu misteri besar dalam Islam, yang disebutkan di dua tempat dalam Al-Qur'an: Surat Al-Kahfi dan Surat Al-Anbiya. Ayat 93 menjadi gerbang pembuka menuju pemahaman tentang entitas ini.
1. Asal Usul dan Sifat Mereka
Hadis-hadis Nabi Muhammad ﷺ dan tafsir ulama menyebutkan bahwa Yakjuj dan Makjuj adalah bagian dari keturunan Nabi Adam. Mereka adalah bagian dari manusia, bukan makhluk mitologi atau jin. Mereka adalah keturunan Yafits bin Nuh, sebagaimana kebanyakan manusia di wilayah timur. Namun, mereka memiliki sifat-sifat khusus yang sangat merusak:
- Perusak: Mereka digambarkan sebagai "mufsiduna fil-ardh" (pembuat kerusakan di bumi). Ini mencakup perampasan harta, pembunuhan, penindasan, dan segala bentuk kekacauan.
- Jumlah Besar: Hadis-hadis mengisyaratkan bahwa jumlah mereka sangat banyak, bahkan perbandingan mereka dengan umat manusia lainnya digambarkan sebagai 999 banding 1 untuk Yakjuj dan Makjuj yang masuk neraka.
- Karakteristik Fisik: Ada berbagai riwayat, beberapa di antaranya bersifat hadis dhaif (lemah) atau israiliyat (kisah-kisah Yahudi), yang menggambarkan fisik mereka seperti bertubuh pendek, telinga lebar, atau wajah datar. Namun, yang paling sahih adalah bahwa mereka adalah manusia biasa, namun dengan sifat-sifat agresif dan merusak yang ekstrem.
2. Kemunculan di Akhir Zaman
Al-Qur'an dan hadis Nabi Muhammad ﷺ secara jelas menyatakan bahwa Yakjuj dan Makjuj akan muncul kembali sebagai salah satu tanda besar hari kiamat. Tembok yang dibangun Dzulqarnain akan tetap kokoh hingga waktu yang ditentukan Allah. Ketika janji Allah tiba, tembok itu akan hancur, dan Yakjuj dan Makjuj akan keluar berhamburan dari tempat terkurung mereka.
Mereka akan menyebar di muka bumi, meminum habis air danau, dan menciptakan kerusakan yang sangat luas. Nabi Isa AS (Yesus) dan para pengikutnya akan berlindung di sebuah gunung, dan kemudian Allah akan membinasakan Yakjuj dan Makjuj dengan mengirimkan ulat-ulat di tengkuk mereka, yang akan menyebabkan kematian massal. Setelah itu, bumi akan kembali damai dan subur.
3. Perdebatan Mengenai Lokasi dan Keberadaan Mereka
Sepanjang sejarah, banyak spekulasi tentang lokasi tembok Dzulqarnain dan keberadaan Yakjuj dan Makjuj. Beberapa tempat yang pernah diduga adalah:
- Pegunungan Kaukasus: Celah Darial atau Derbent di Georgia dan Rusia.
- Asia Tengah: Tembok di sekitar Samarkand, Uzbekistan, yang disebut "Gerbang Besi".
- Tembok Besar Tiongkok: Meskipun secara historis tidak cocok dengan deskripsi Al-Qur'an.
Namun, para ulama modern cenderung berpendapat bahwa lokasi pastinya adalah ilmu Allah semata. Yang lebih penting dari lokasi geografis adalah pesan eskatologisnya: bahwa ada kekuatan perusak yang tersembunyi dan akan muncul di akhir zaman, dan manusia harus selalu waspada dan bersiap menghadapi fitnah besar.
Ada juga tafsir kontemporer yang menafsirkan Yakjuj dan Makjuj secara simbolis sebagai kekuatan-kekuatan destruktif dalam masyarakat modern, seperti ideologi ekstrem, keserakahan yang merusak lingkungan, atau invasi budaya yang menghancurkan moral. Namun, mayoritas ulama tetap memegang penafsiran bahwa mereka adalah entitas fisik yang akan muncul di akhir zaman.
Siapakah Dzulqarnain? Misteri dan Identitasnya
Ayat 93 adalah bagian dari kisah Dzulqarnain, seorang tokoh yang namanya sendiri berarti "pemilik dua tanduk" atau "pemilik dua kurun/zaman". Identitas Dzulqarnain telah menjadi subjek perdebatan dan penelitian historis yang intens di kalangan ulama dan sejarawan.
1. Mengapa Al-Qur'an Tidak Memberikan Nama Jelas?
Al-Qur'an jarang sekali menyebutkan nama-nama historis secara eksplisit kecuali jika nama tersebut sangat relevan dengan inti pesan. Yang ditekankan oleh Al-Qur'an bukanlah identitas personal Dzulqarnain, melainkan sifat-sifatnya (kekuasaan, keadilan, kebijaksanaan, kesalehan) dan pelajaran yang bisa diambil dari tindakannya. Ini konsisten dengan pendekatan Al-Qur'an yang fokus pada narasi moral dan spiritual, bukan catatan sejarah murni.
2. Kandidat Historis Populer
Beberapa tokoh sejarah yang diusulkan sebagai Dzulqarnain adalah:
- Iskandar Agung (Alexander the Great): Ini adalah pandangan yang paling populer di Barat dan beberapa kalangan Muslim di masa lalu. Kesamaannya terletak pada penaklukannya yang luas ke timur dan barat. Namun, Iskandar Agung adalah seorang pagan dan dikenal sebagai penakluk yang ambisius, yang tidak cocok dengan gambaran Dzulqarnain yang saleh dan rendah hati dalam Al-Qur'an.
- Koresh Agung (Cyrus the Great): Raja Persia dari Kekaisaran Akhemeniyah (sekitar 590-529 SM). Ia dikenal sebagai raja yang adil, pembebas Bani Israil dari Babel, dan membangun kerajaan yang luas. Karakteristiknya lebih sesuai dengan gambaran Dzulqarnain yang saleh. Sebagian ulama dan sejarawan modern cenderung mendukung pandangan ini.
- Seorang Raja Himyar dari Yaman: Beberapa riwayat pra-Islam dan tafsir ulama Yaman menyebutkan adanya raja-raja Himyar yang melakukan ekspedisi besar dan membangun tembok. Namun, bukti historisnya masih terbatas.
Penting untuk diingat bahwa tidak ada konsensus mutlak mengenai identitas Dzulqarnain. Yang terpenting adalah mengambil pelajaran dari karakternya, bukan terfokus pada nama historisnya.
3. Sifat-sifat Dzulqarnain sebagai Model Pemimpin
Terlepas dari identitas historisnya, Al-Qur'an menggambarkan Dzulqarnain dengan sifat-sifat luhur yang menjadikannya model pemimpin ideal:
- Kekuasaan yang Diberkahi Allah: Ia memiliki kekuatan dan sarana untuk melakukan perjalanan dan membangun proyek besar. Kekuasaannya adalah anugerah, bukan hasil usaha semata.
- Keadilan: Ia memutuskan perkara dengan adil, menghukum yang zalim dan memberi balasan yang baik kepada yang berbuat kebajikan.
- Rendah Hati: Ia tidak sombong dengan kekuasaannya dan mengembalikan segala pujian kepada Allah. Ia mengakui bahwa tembok yang dibangunnya adalah rahmat dari Tuhannya.
- Bijaksana dan Berilmu: Ia tahu bagaimana memanfaatkan sumber daya (besi, tembaga) dan tenaga kerja untuk membangun sesuatu yang kuat. Ia juga memiliki pengetahuan tentang kondisi dunia.
- Penyelamat: Ia datang menolong kaum yang tertindas tanpa meminta imbalan, murni karena kebaikan.
- Beriman dan Bertakwa: Setiap tindakannya diwarnai oleh keimanan kepada Allah dan ketaatan pada perintah-Nya.
Dzulqarnain mengajarkan kita bahwa kekuasaan, jika digunakan dengan benar dan atas dasar ketakwaan, dapat menjadi alat yang ampuh untuk menyebarkan kebaikan dan menegakkan keadilan di muka bumi.
Relevansi Surat Al-Kahfi Ayat 93 di Era Modern
Meskipun kisah Dzulqarnain dan Yakjuj Makjuj berasal dari ribuan tahun yang lalu, pelajaran dari Surat Al-Kahfi ayat 93 dan kisah-kisah terkait tetap sangat relevan bagi kehidupan kita di era modern.
1. Tantangan Komunikasi dan Empati
Frasa "kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan" dapat diinterpretasikan sebagai metafora untuk tantangan komunikasi yang kita hadapi saat ini. Dalam masyarakat global yang semakin terhubung, kita seringkali menemukan "kaum" atau kelompok-kelompok yang sulit kita pahami, baik karena perbedaan bahasa, budaya, latar belakang, maupun ideologi. Ada banyak "tembok" komunikasi yang memisahkan kita.
Pelajaran dari Dzulqarnain adalah pentingnya empati dan kesabaran untuk mencoba memahami orang lain, bahkan jika bahasa mereka berbeda atau cara berpikir mereka asing. Seorang pemimpin, atau bahkan individu biasa, harus berusaha untuk menembus batasan-batasan ini, mencari titik temu, dan membangun jembatan komunikasi demi kebaikan bersama. Tanpa pemahaman, solusi tidak akan pernah tercapai, dan konflik akan terus berlanjut.
2. Ancaman "Yakjuj dan Makjuj" Modern
Jika kita menafsirkan Yakjuj dan Makjuj secara simbolis sebagai kekuatan-kekuatan destruktif, maka kita bisa melihat manifestasinya di dunia kontemporer:
- Ideologi Ekstremisme: Kelompok-kelompok radikal yang menyebarkan kebencian, kekerasan, dan intoleransi dapat dianggap sebagai "Yakjuj dan Makjuj" yang merusak perdamaian dan kerukunan sosial. Mereka merusak tatanan masyarakat dan mengancam kehidupan orang yang tidak bersalah.
- Eksploitasi Lingkungan: Keserakahan manusia yang menyebabkan deforestasi, polusi, dan perubahan iklim adalah bentuk "kerusakan di bumi" yang mengancam keberlangsungan hidup seluruh umat manusia. Ini adalah kerusakan berskala besar yang membutuhkan "tembok" perlindungan yang kokoh.
- Teknologi Tanpa Etika: Perkembangan teknologi yang pesat tanpa diimbangi etika dan nilai-nilai moral dapat menjadi kekuatan perusak. Misinformasi, penyalahgunaan data, dan pengembangan senjata otonom adalah contoh "Yakjuj dan Makjuj" di era digital yang dapat mengancam peradaban.
- Kesombongan dan Kesenjangan Sosial: Kesenjangan antara si kaya dan si miskin, serta arogansi kekuasaan, dapat memicu ketidakadilan dan ketidakstabilan sosial yang merusak struktur masyarakat. Ini adalah bentuk kerusakan internal yang perlu diatasi.
Ayat 93 mengajarkan kita untuk waspada terhadap segala bentuk kerusakan ini dan mencari "Dzulqarnain" (pemimpin atau solusi) yang dapat membangun "tembok" perlindungan, baik secara fisik maupun moral-spiritual.
3. Kepemimpinan yang Adil dan Berorientasi Solusi
Dzulqarnain menolak imbalan materi dan meminta bantuan tenaga dari kaum yang meminta perlindungan. Ini adalah teladan kepemimpinan yang berintegritas, tidak korup, dan berorientasi pada solusi nyata. Di era di mana korupsi dan kepentingan pribadi seringkali menggerogoti institusi, teladan Dzulqarnain menjadi sangat relevan.
Pemimpin modern perlu belajar untuk fokus pada pemecahan masalah rakyatnya, melibatkan mereka dalam proses, dan tidak tergoda oleh kekayaan atau kekuasaan. Mengakui bahwa semua kekuatan dan kemampuan berasal dari Allah adalah kunci untuk kepemimpinan yang rendah hati dan efektif.
4. Pentingnya Kolaborasi dan Penggunaan Sumber Daya
Dzulqarnain meminta "kekuatan (tenaga)" dan "potongan-potongan besi" serta "tembaga" dari kaum tersebut. Ini menunjukkan pentingnya kolaborasi antara pemimpin dan rakyat, serta penggunaan sumber daya lokal secara cerdas dan efisien. Pembangunan tembok raksasa ini adalah proyek kolosal yang tidak bisa dilakukan sendirian. Dibutuhkan kerja sama, keahlian, dan sumber daya yang terkoordinasi.
Di dunia modern, tantangan besar seperti perubahan iklim, kemiskinan, atau pandemi membutuhkan solusi global yang melibatkan kolaborasi antarnegara, lembaga, dan individu, serta penggunaan teknologi dan sumber daya secara bijaksana.
5. Kerendahan Hati dan Kesadaran akan Akhir Zaman
Pernyataan Dzulqarnain bahwa tembok itu adalah "rahmat dari Tuhanku" dan bahwa "apabila janji Tuhanku tiba, Dia akan menjadikannya hancur luluh" adalah pengingat akan kerendahan hati dan fana-nya segala pencapaian manusia. Sekuat apa pun "tembok" yang kita bangun, baik fisik maupun sosial, ia tidak akan abadi. Semua akan kembali kepada Allah.
Ini adalah pelajaran tentang eskatologi, tentang tanda-tanda hari kiamat, dan tentang pentingnya mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat. Pencapaian duniawi seharusnya tidak membuat kita lupa akan tujuan utama penciptaan kita. Kita harus membangun dan berbuat baik, tetapi dengan kesadaran bahwa segala sesuatu adalah pinjaman dan akan berakhir.
Analisis Linguistik dan Gaya Bahasa Al-Qur'an
Keindahan Al-Qur'an juga terletak pada struktur linguistik dan gaya bahasanya yang memukau. Ayat 93 adalah contoh sempurna dari bagaimana Al-Qur'an menyampaikan makna yang dalam dengan kata-kata yang padat dan presisi.
1. Penggunaan Kata "Saddain" (Dua Gunung/Penghalang)
Pemilihan kata "as-saddain" (السَّدَّيْنِ) sangat tepat. Kata ini dalam bahasa Arab bisa merujuk pada penghalang alami (seperti gunung) atau penghalang buatan (seperti tembok). Dalam konteks ini, ia mempersiapkan pembaca untuk kedua makna tersebut. Awalnya adalah formasi alami (dua gunung), yang kemudian akan diperkuat dengan "radm" (ردم) yaitu tembok buatan. Ini menunjukkan keajaiban Al-Qur'an dalam memilih kata yang memiliki cakupan makna luas dan relevan dengan narasi yang sedang dibangun.
2. Frasa "Lā Yakādūna Yafqahūna Qaulan" (Hampir Tidak Mengerti Pembicaraan)
Struktur gramatikal "لا يكادون يفقهون قولا" (lā yakādūna yafqahūna qaulā) adalah bentuk penegasan negatif yang kuat. Kata "yakādūna" (yakāda) secara harfiah berarti "hampir" atau "nyaris". Ketika digabungkan dengan negasi "lā", ia berarti "hampir tidak", menunjukkan tingkat kesulitan yang sangat tinggi. Frasa ini tidak mengatakan bahwa mereka *sama sekali* tidak mengerti, tetapi bahwa kemampuan mereka untuk memahami sangatlah terbatas. Ini memberikan gambaran yang jelas tentang kendala yang dihadapi Dzulqarnain dan menunjukkan mengapa ia harus bersikap proaktif dalam memahami masalah mereka.
3. Kepadatan Makna dalam Kalimat Singkat
Seluruh ayat ini hanya terdiri dari beberapa kata, namun berhasil menyampaikan informasi penting tentang lokasi, pertemuan dengan kaum baru, dan tantangan komunikasi. Ini adalah ciri khas gaya bahasa Al-Qur'an yang sangat efisien dan retoris, di mana setiap kata dipilih dengan cermat untuk memberikan dampak maksimal.
4. Konsistensi Kisah
Ayat 93 menjadi jembatan yang mulus antara perjalanan Dzulqarnain dan pertemuannya dengan masalah Yakjuj dan Makjuj. Al-Qur'an menceritakan kisah ini dengan urutan logis, membangun narasi selangkah demi selangkah, yang memudahkan pembaca untuk mengikuti dan memahami alur ceritanya. Ini menunjukkan keharmonisan dan keselarasan dalam seluruh narasi Al-Qur'an.
Penutup
Surat Al-Kahfi Ayat 93, meskipun hanya satu dari ratusan ayat Al-Qur'an, adalah pintu gerbang menuju pemahaman yang mendalam tentang kisah Dzulqarnain, ancaman Yakjuj dan Makjuj, serta prinsip-prinsip kepemimpinan yang adil dan bijaksana. Ayat ini mengundang kita untuk merenungkan berbagai dimensi kehidupan: tantangan komunikasi, pentingnya eksplorasi dan pencarian ilmu, peran pemimpin dalam mengatasi krisis, serta fana-nya segala pencapaian duniawi di hadapan kekuasaan Allah.
Dari Dzulqarnain, kita belajar tentang bagaimana mengelola kekuasaan dengan kerendahan hati, bagaimana merespons panggilan untuk membantu yang lemah, dan bagaimana memanfaatkan sumber daya yang ada untuk kebaikan bersama. Dari kaum yang ditemuinya, kita belajar tentang kerentanan manusia di hadapan kekuatan perusak dan pentingnya mencari perlindungan.
Ancaman Yakjuj dan Makjuj, baik dalam tafsir harfiah maupun simbolis, mengingatkan kita bahwa kejahatan dan kerusakan akan selalu ada di muka bumi, dan bahwa kita harus selalu waspada dan mempersiapkan diri, baik secara spiritual maupun material, untuk menghadapinya. Tembok yang dibangun Dzulqarnain adalah simbol perlindungan dan ketahanan, namun juga pengingat bahwa hanya Allah yang Maha Kekal dan segala sesuatu yang kita bangun akan kembali kepada-Nya.
Semoga dengan merenungkan ayat ini, kita dapat mengambil pelajaran berharga untuk menjadi individu yang lebih baik, pemimpin yang lebih adil, dan umat yang lebih siap menghadapi tantangan zaman, senantiasa berpegang teguh pada petunjuk Al-Qur'an dan sunnah Nabi Muhammad ﷺ. Kisah Dzulqarnain dalam Al-Kahfi, terutama ayat 93, tetap menjadi mercusuar hikmah yang tak lekang oleh waktu, menerangi jalan bagi kita semua.