Hikmah Surah Al-Kahfi (Surah 18): Petunjuk Menghadapi Fitnah

Gambar Gua dan Kitab Suci Ilustrasi sebuah gua yang tenang di bawah cahaya matahari terbit, dengan sebuah kitab suci yang terbuka di pintu masuknya, melambangkan Surah Al-Kahfi. AL-KAHFI

Surah Al-Kahfi (bahasa Arab: الكهف, al-Kahf, "Gua") adalah surah ke-18 dalam Al-Qur'an, terdiri dari 110 ayat. Surah yang tergolong dalam kelompok Makkiyah ini memiliki posisi istimewa dalam tradisi Islam, tidak hanya karena kisah-kisah menakjubkan yang terkandung di dalamnya, tetapi juga karena pesan-pesan mendalamnya yang relevan sepanjang masa. Dari pemuda yang bersembunyi di gua hingga perjalanan seorang raja bijaksana, setiap narasi dalam Surah Al-Kahfi menawarkan petunjuk berharga tentang bagaimana menghadapi berbagai bentuk fitnah atau ujian kehidupan yang seringkali menyesatkan.

Al-Kahfi seringkali disebut sebagai 'penawar' atau 'pelindung' dari fitnah Dajjal, sosok anti-Kristus yang akan muncul di akhir zaman sebagai ujian terbesar bagi umat manusia. Rasulullah ﷺ menganjurkan umatnya untuk membaca surah ini pada hari Jumat, menekankan manfaat spiritual dan perlindungan yang akan diperoleh dari membaca dan merenungkan ayat-ayatnya. Dengan memahami inti dari setiap kisah dan hikmah di baliknya, kita dapat membentengi diri dari godaan dunia, kekayaan, kekuasaan, dan bahkan kerancuan ilmu yang menyesatkan.

Artikel ini akan mengupas tuntas empat kisah utama dalam Surah Al-Kahfi, menganalisis pesan-pesan moral dan spiritualnya, serta relevansinya dalam kehidupan modern. Kita akan menyelami kisah Ashabul Kahfi, pemilik dua kebun, perjalanan Nabi Musa bersama Khidir, dan kisah Dzulqarnain, untuk menemukan peta jalan menuju keimanan yang teguh di tengah badai fitnah.

Pengantar Mengenai Surah Al-Kahfi dan Kedudukannya

Surah Al-Kahfi adalah salah satu surah yang paling banyak dibaca dan direnungkan dalam Al-Qur'an. Posisi istimewanya tidak hanya ditentukan oleh keindahan bahasanya atau kekuatan narasi yang disajikannya, tetapi juga oleh pesan sentralnya: perlindungan dari fitnah dan ujian. Dalam konteks keimanan, fitnah bukanlah sekadar cobaan biasa, melainkan ujian yang berpotensi menggoyahkan akidah, meruntuhkan moral, dan menjauhkan seseorang dari jalan kebenaran.

Surah ini dibuka dengan pujian kepada Allah SWT yang telah menurunkan Al-Qur'an, sebuah kitab yang lurus tanpa bengkok, sebagai peringatan dan kabar gembira. Ia menekankan bahwa tidak ada celah bagi keraguan dalam firman-Nya, dan bahwa tujuan utama Al-Qur'an adalah membimbing manusia kepada tauhid yang murni. Ini adalah fondasi yang kokoh sebelum memasuki inti cerita-cerita yang penuh hikmah.

Salah satu anjuran paling terkenal terkait Surah Al-Kahfi adalah membacanya pada hari Jumat. Rasulullah ﷺ bersabda, "Barang siapa membaca Surah Al-Kahfi pada hari Jumat, ia akan diterangi cahaya antara dua Jumat." (HR. Al-Hakim). Hadis lain menyebutkan perlindungannya dari Dajjal, "Barang siapa yang menghafal sepuluh ayat pertama dari Surah Al-Kahfi, ia akan terlindungi dari Dajjal." (HR. Muslim). Anjuran-anjuran ini bukan sekadar ritual tanpa makna, melainkan dorongan untuk merenungkan, memahami, dan menginternalisasi ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya.

Kisah-kisah dalam Al-Kahfi berfungsi sebagai studi kasus tentang bagaimana individu dan kelompok menghadapi berbagai jenis fitnah:

Melalui narasi-narasi ini, Surah Al-Kahfi membimbing kita untuk selalu berpegang pada tauhid, bersabar dalam cobaan, rendah hati dalam berilmu, bersyukur atas nikmat, dan adil dalam setiap tindakan. Semua ini adalah kunci untuk menghadapi fitnah dunia, termasuk fitnah terbesar di akhir zaman, yaitu Dajjal.

Kisah Pertama: Ashabul Kahfi – Fitnah Agama dan Keimanan

Kisah Ashabul Kahfi, atau pemuda-pemuda penghuni gua, adalah narasi pembuka yang paling terkenal dalam Surah Al-Kahfi. Kisah ini diceritakan secara mendalam dari ayat 9 hingga 26, menjadi inti dari surah ini dan sumber inspirasi bagi banyak Muslim. Kisah ini adalah representasi paling jelas dari fitnah agama, yaitu ujian terhadap keimanan dan akidah di tengah lingkungan yang menentang.

Latar Belakang Kisah Ashabul Kahfi

Kisah ini bermula di sebuah kota, yang sebagian besar ulama meyakini sebagai Efesus, di bawah kekuasaan seorang raja zalim bernama Decius (Daqyanus dalam tradisi Islam) yang memaksa rakyatnya menyembah berhala dan menganiaya orang-orang yang beriman kepada Allah Yang Maha Esa. Di tengah tirani ini, muncullah beberapa pemuda yang gagah berani, menolak untuk menukar keimanan mereka dengan kekuasaan atau kenyamanan duniawi.

Para pemuda ini, jumlahnya disebutkan oleh Al-Qur'an sebagai "beberapa orang" (ayat 22 menyebutkan kemungkinan tiga, lima, atau tujuh orang, ditambah anjing mereka), adalah teladan keberanian dan keteguhan. Mereka adalah bangsawan atau orang-orang terpandang di masyarakatnya, namun memilih untuk meninggalkan segala kemewahan dan status demi mempertahankan tauhid. Mereka tidak ingin menuruti perintah raja untuk menyembah selain Allah, dan menyadari bahwa berdiam diri di kota itu hanya akan membawa mereka pada kehancuran iman.

"Kami ceritakan kepadamu (Muhammad) kisah mereka dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk." (QS. Al-Kahfi: 13)

Mencari Perlindungan di Gua

Ketika situasi semakin tidak kondusif dan ancaman terhadap nyawa mereka semakin besar, para pemuda ini memutuskan untuk mengasingkan diri dari masyarakat yang sesat. Mereka bersepakat untuk mencari perlindungan kepada Allah dan memohon petunjuk-Nya. Mereka berkata, "Ya Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)." (QS. Al-Kahfi: 10).

Mereka menemukan sebuah gua di gunung, tempat yang ideal untuk bersembunyi. Di sana, mereka berbaring untuk beristirahat, dan Allah menidurkan mereka dengan tidur yang sangat panjang, mencakup kurun waktu 309 tahun. Ini adalah mukjizat besar yang menunjukkan kekuasaan Allah dan perlindungan-Nya terhadap hamba-hamba yang setia.

Al-Qur'an menggambarkan kondisi mereka di dalam gua dengan detail yang menunjukkan perlindungan ilahi: "Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur; dan Kami bolak-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka membentangkan kedua lengannya di ambang pintu." (QS. Al-Kahfi: 18). Ini memastikan tubuh mereka tetap terpelihara dari kerusakan selama masa tidur yang panjang itu. Matahari juga tidak menimpa mereka secara langsung, baik saat terbit maupun terbenam.

Bangun dari Tidur Panjang dan Kebingungan

Setelah 309 tahun berlalu, Allah membangunkan mereka. Mereka mengira hanya tertidur selama sehari atau sebagian hari. Rasa lapar mendorong salah satu dari mereka, yang bernama Yamlikha, untuk pergi ke kota untuk membeli makanan, dengan sangat hati-hati agar tidak dikenali.

Ketika Yamlikha tiba di kota, ia mendapati bahwa segala sesuatu telah berubah drastis. Kota yang dulu dikenalnya telah berkembang, arsitekturnya berbeda, dan orang-orangnya pun asing. Lebih mengejutkan lagi, mata uang yang ia bawa adalah mata uang dari zaman raja yang telah lama tiada, raja Decius. Para pedagang tidak mengenalinya, dan mengira ia telah menemukan harta karun kuno.

Berita tentang pemuda yang membawa koin kuno ini akhirnya sampai kepada raja yang berkuasa saat itu, seorang raja Muslim yang saleh. Raja tersebut, bersama rakyatnya, terheran-heran dan melihat ini sebagai tanda kebesaran Allah. Mereka menyadari bahwa para pemuda ini adalah Ashabul Kahfi yang kisahnya telah lama menjadi legenda di kalangan umat beriman. Ini adalah bukti nyata tentang kebangkitan setelah kematian, sebuah konsep yang sering menjadi perdebatan pada zaman itu.

Hikmah dari Kisah Ashabul Kahfi

Kisah Ashabul Kahfi mengandung banyak pelajaran dan hikmah yang mendalam:

  1. Keteguhan Iman dan Hijrah Demi Agama: Para pemuda ini menunjukkan bahwa mempertahankan iman adalah prioritas utama, bahkan jika itu berarti harus meninggalkan segala kenyamanan duniawi, keluarga, dan status sosial. Mereka rela berhijrah secara fisik dan mental dari lingkungan yang toxic demi menjaga tauhid. Ini mengajarkan pentingnya memisahkan diri dari keburukan jika tidak mampu mengubahnya.
  2. Pertolongan Allah dalam Keadaan Terdesak: Ketika seseorang bersandar sepenuhnya kepada Allah dan berjuang di jalan-Nya, Allah akan memberikan pertolongan dari arah yang tidak disangka-sangka. Tidur 309 tahun adalah mukjizat yang tidak terbayangkan oleh akal manusia biasa, menunjukkan bahwa kekuasaan Allah melampaui segala batas.
  3. Perlindungan dari Fitnah Agama: Kisah ini adalah simbol perlindungan dari fitnah agama, di mana tekanan dari penguasa atau masyarakat dapat menggoyahkan iman. Allah melindungi mereka dari kekejaman penguasa dan dari kerusakan iman, bahkan menjaga tubuh mereka dari kerusakan waktu.
  4. Bukti Kebangkitan Setelah Kematian: Salah satu tujuan utama pengungkapan kisah ini adalah untuk membuktikan kepada orang-orang bahwa kebangkitan setelah kematian adalah hal yang mungkin bagi Allah. Sama seperti Allah mampu menidurkan dan membangunkan kembali para pemuda setelah berabad-abad, Dia juga mampu membangkitkan seluruh umat manusia di Hari Kiamat.
  5. Pentingnya Doa dan Tawakal: Sebelum masuk gua, para pemuda ini berdoa memohon rahmat dan petunjuk lurus dari Allah. Ini mengajarkan bahwa dalam menghadapi ujian, kita harus selalu berserah diri dan memohon pertolongan kepada Allah.
  6. Anjing sebagai Penjaga Setia: Kehadiran anjing dalam kisah ini, yang juga ikut tertidur dan terjaga, menunjukkan bahwa kadang-kadang makhluk yang dianggap 'rendah' pun bisa memiliki peran penting dalam rencana ilahi, dan bahwa rahmat Allah meliputi segala sesuatu.
  7. Meminta Nasihat dari Ahli Ilmu: Ketika Yamlikha kebingungan dengan perubahan zaman, ia mencari ahli ilmu atau orang bijak di kota untuk memahami apa yang terjadi. Ini menunjukkan pentingnya mencari ilmu dan bertanya kepada mereka yang memiliki pengetahuan ketika dihadapkan pada situasi yang tidak diketahui.
  8. Kerahasiaan Jumlah: Al-Qur'an secara sengaja tidak merinci jumlah pasti Ashabul Kahfi, bahkan menyebutkan perdebatan mengenainya, dengan tujuan untuk menunjukkan bahwa yang terpenting bukanlah jumlahnya, melainkan inti kisahnya dan pelajaran yang bisa diambil. Ini juga mengajarkan untuk tidak terlalu fokus pada detail yang tidak esensial.

Kisah Ashabul Kahfi memberikan harapan dan kekuatan bagi setiap Muslim yang merasa terasingkan atau tertekan karena keimanannya. Ia menegaskan bahwa Allah tidak akan pernah meninggalkan hamba-Nya yang berjuang di jalan-Nya, dan bahwa janji-Nya adalah kebenaran yang pasti.

Kisah Kedua: Pemilik Dua Kebun – Fitnah Harta dan Kesombongan

Setelah kisah Ashabul Kahfi yang menekankan fitnah agama, Surah Al-Kahfi beralih ke narasi lain yang menyentuh sisi lain dari ujian kehidupan: fitnah harta dan kesombongan. Kisah ini, yang diceritakan dalam ayat 32 hingga 44, mengisahkan tentang dua orang laki-laki dengan kondisi ekonomi yang sangat kontras, dan bagaimana salah satu dari mereka gagal dalam ujian kekayaan.

Perbandingan Dua Individu

Allah memaparkan perumpamaan tentang dua orang laki-laki. Salah satunya adalah seorang yang sangat kaya raya, pemilik dua kebun anggur yang subur, dikelilingi pohon kurma, dan di tengah-tengahnya mengalir sungai. Kebunnya menghasilkan buah yang melimpah ruah, jauh melebihi kebutuhan. Segala kemewahan dan hasil bumi yang melimpah ruah ini didapatkan berkat karunia Allah.

Laki-laki yang satunya lagi adalah sahabatnya yang miskin, yang tidak memiliki harta benda sebanyak dirinya. Namun, ia adalah seorang yang beriman dan menyadari bahwa segala sesuatu adalah pemberian Allah.

Kesesatan Akibat Kekayaan

Pemilik dua kebun tersebut, karena kekayaannya yang melimpah, mulai dilanda kesombongan dan keangkuhan. Ia lupa akan asal-usul nikmat tersebut dan mulai menganggap semua itu adalah hasil kerja kerasnya semata, atau karena ia memang pantas mendapatkannya. Ia berkata kepada sahabatnya:

"Hartaku lebih banyak daripada hartamu, dan pengikutku lebih kuat." (QS. Al-Kahfi: 34)

Tidak hanya itu, ia juga meremehkan akhirat dan meragukan adanya Hari Kiamat. Ia merasa bahwa kehidupannya yang sejahtera di dunia ini akan terus berlanjut, dan bahkan jika ada kehidupan setelah mati, ia yakin akan mendapatkan yang lebih baik lagi di sana. Ini menunjukkan puncak dari kesombongan dan kekufuran terhadap nikmat Allah:

"Dan ia memasuki kebunnya sedang ia zalim terhadap dirinya sendiri; ia berkata: 'Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan memperoleh tempat kembali yang lebih baik daripada kebun itu.'" (QS. Al-Kahfi: 35-36)

Sahabatnya yang miskin namun beriman mencoba menasihatinya dengan lembut. Ia mengingatkan tentang asal-usul penciptaan manusia dari tanah, kemudian menjadi setetes air mani, lalu disempurnakan menjadi seorang laki-laki. Ia juga mengingatkan tentang kekuasaan Allah dan pentingnya bersyukur. Ia berpesan:

"Mengapa kamu kafir kepada Tuhan yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna? Tetapi aku (percaya bahwa) Dialah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan seorang pun dengan Tuhanku." (QS. Al-Kahfi: 37-38)

Sahabatnya juga menyarankan agar ia mengucapkan "Masya Allah la quwwata illa billah" (apa yang dikehendaki Allah, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah) ketika melihat kebunnya yang indah, sebagai bentuk pengakuan bahwa semua itu adalah karunia Allah.

Azab yang Menimpa

Namun, nasihat itu tidak diindahkan oleh pemilik kebun yang sombong. Akhirnya, azab Allah datang. Seluruh kebunnya, dengan segala kemewahan dan kesuburannya, dihancurkan. Harta bendanya musnah seketika.

"Dan diliputi (kebun itu) dengan azab dari Tuhannya pada malam hari, maka jadilah ia kering kerontang, seolah-olah belum pernah ada buahnya." (QS. Al-Kahfi: 42)

Pemilik kebun tersebut akhirnya menyesal dengan penyesalan yang mendalam. Ia mulai memukuli kedua telapak tangannya karena menyesali semua biaya yang telah ia keluarkan untuk kebunnya yang kini telah hancur. Penyesalan itu datang terlambat. Pada saat itu, tidak ada lagi pihak yang bisa menolongnya selain Allah, dan ia sendiri tidak memiliki kekuatan untuk mengembalikan apa yang telah hilang.

Hikmah dari Kisah Pemilik Dua Kebun

Kisah ini, meskipun singkat, sarat dengan pelajaran berharga, terutama mengenai fitnah harta:

  1. Ujian Kekayaan: Harta kekayaan bukanlah tanda kemuliaan di sisi Allah, melainkan ujian. Allah memberikan kekayaan kepada siapa pun yang Dia kehendaki, baik untuk menguji kesyukuran mereka atau untuk menghinakan mereka karena kesombongan.
  2. Bahaya Kesombongan dan Keangkuhan: Kesombongan adalah dosa besar yang dapat menghancurkan iman seseorang. Merasa bahwa kekayaan atau kesuksesan adalah semata-mata hasil usaha sendiri tanpa mengakui karunia Allah adalah bentuk kesombongan yang mengarah pada kekufuran.
  3. Melupakan Asal-Usul dan Akhirat: Laki-laki kaya ini melupakan bahwa ia diciptakan dari tanah dan akan kembali kepada Allah. Ia meremehkan hari akhirat, yang merupakan kesalahan fatal. Mengingat asal-usul dan tujuan akhir kehidupan dapat membantu seseorang tetap rendah hati.
  4. Pentingnya Bersyukur dan Mengingat Allah: Sahabatnya yang miskin mengingatkan untuk mengucapkan "Masya Allah la quwwata illa billah" sebagai bentuk pengakuan bahwa segala kekuatan dan nikmat berasal dari Allah. Bersyukur adalah kunci untuk mempertahankan nikmat dan menghindari kesombongan.
  5. Nasihat yang Tulus dari Sahabat: Kisah ini menunjukkan pentingnya memiliki sahabat yang saleh dan berani memberikan nasihat kebenaran, bahkan kepada orang yang lebih kaya atau berkuasa.
  6. Konsekuensi Kufur Nikmat: Azab yang menimpa kebun menunjukkan konsekuensi dari kekufuran terhadap nikmat Allah. Harta yang tidak disyukuri dan menjadi sumber kesombongan dapat diambil kembali oleh Allah kapan saja.
  7. Penyesalan yang Terlambat: Penyesalan pemilik kebun datang setelah semua musnah. Ini mengajarkan bahwa beriman dan beramal saleh harus dilakukan di masa lapang, bukan setelah musibah menimpa.
  8. Kekuatan Duniawi Bersifat Fana: Kebun yang begitu subur, sungai yang mengalir, dan pengikut yang banyak – semua itu musnah dalam sekejap. Ini menegaskan bahwa segala sesuatu di dunia ini bersifat sementara dan tidak kekal.
  9. Perumpamaan Kehidupan Dunia: Kisah ini juga menjadi perumpamaan tentang kehidupan dunia secara umum, yang keindahannya dapat memukau, namun pada akhirnya akan sirna dan kembali kepada Allah.

Kisah pemilik dua kebun ini menjadi peringatan keras bagi kita semua, terutama di zaman modern ini di mana kekayaan dan materi seringkali menjadi standar kesuksesan. Ia mengingatkan bahwa keberkahan sejati bukan terletak pada seberapa banyak yang kita miliki, melainkan pada bagaimana kita mensyukuri dan memanfaatkan karunia tersebut di jalan Allah, serta menjaga hati dari kesombongan dan melupakan akhirat.

Kisah Ketiga: Nabi Musa dan Khidir – Fitnah Ilmu dan Kesabaran

Kisah perjalanan Nabi Musa AS bersama seorang hamba Allah yang saleh bernama Khidir (atau Khaḍir) adalah salah satu bagian paling mendalam dan sarat makna dalam Surah Al-Kahfi, tercatat dari ayat 60 hingga 82. Kisah ini adalah representasi utama dari fitnah ilmu dan kesabaran, menantang persepsi manusia tentang keadilan, hikmah ilahi, dan batas-batas pengetahuan.

Pencarian Ilmu dan Pertemuan dengan Khidir

Kisah ini dimulai ketika Nabi Musa, salah satu nabi Ulul Azmi yang dikaruniai Taurat dan mukjizat yang besar, menyampaikan ceramah kepada kaumnya. Ketika ditanya siapa orang yang paling berilmu di bumi, Musa menjawab, "Saya." Kemudian Allah menegurnya, menunjukkan bahwa ada hamba-Nya yang lebih berilmu dari dirinya.

Musa kemudian diberi petunjuk untuk mencari hamba Allah tersebut di pertemuan dua laut (Majma'ul Bahrain), dengan tanda hilangnya ikan yang telah mereka bawa. Dengan ditemani oleh muridnya, Yusya' bin Nun, Nabi Musa memulai perjalanan panjang yang penuh tantangan. Mereka membawa bekal ikan yang telah diasinkan. Di tempat yang ditentukan, ikan tersebut hidup kembali dan melompat ke laut, menjadi tanda bahwa mereka telah sampai di tujuan.

Di sana, Musa bertemu dengan Khidir, seorang hamba Allah yang telah dianugerahi rahmat dan ilmu langsung dari sisi-Nya. Khidir bukanlah seorang nabi menurut mayoritas ulama, melainkan seorang wali atau hamba saleh yang memiliki ilmu ladunni (ilmu yang diberikan langsung oleh Allah tanpa perantara).

Syarat Perjalanan dan Ujian Kesabaran

Nabi Musa, dengan kerendahan hati seorang pencari ilmu, memohon kepada Khidir agar ia diizinkan untuk mengikutinya dan belajar darinya. Khidir memperingatkan Musa bahwa ia tidak akan sanggup bersabar dengan tindakan-tindakan yang akan ia saksikan, karena Musa hanya akan menilai berdasarkan ilmu lahiriah, sementara Khidir bertindak berdasarkan ilmu batiniah yang diwahyukan kepadanya oleh Allah.

"Bagaimana kamu akan sabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentangnya?" (QS. Al-Kahfi: 68)

Musa berjanji akan bersabar dan tidak akan bertanya sampai Khidir sendiri yang menjelaskannya. Khidir setuju, dengan satu syarat: Musa tidak boleh bertanya tentang apa pun yang dilihatnya sampai Khidir sendiri yang memberitahukannya.

Tiga Peristiwa Aneh

Selama perjalanan mereka, Khidir melakukan tiga tindakan yang secara lahiriah tampak aneh, bahkan kejam atau tidak adil, yang membuat Musa tidak sanggup menahan pertanyaannya:

  1. Melubangi Perahu: Ketika mereka menumpang perahu, Khidir melubangi perahu tersebut. Musa tidak bisa menahan diri dan bertanya, "Mengapa engkau melubangi perahu itu, yang akibatnya menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya engkau telah melakukan sesuatu yang keji!" (QS. Al-Kahfi: 71). Khidir mengingatkan janji Musa.
  2. Membunuh Seorang Anak Laki-laki: Setelah melanjutkan perjalanan, mereka bertemu dengan seorang anak laki-laki. Khidir kemudian membunuh anak itu tanpa sebab yang jelas bagi Musa. Musa kembali bertanya, "Mengapa engkau membunuh jiwa yang suci, padahal dia tidak membunuh orang lain? Sesungguhnya engkau telah melakukan sesuatu yang sangat mungkar!" (QS. Al-Kahfi: 74). Khidir kembali mengingatkan janji Musa.
  3. Memperbaiki Dinding yang Runtuh: Mereka tiba di sebuah desa yang pelit, yang penduduknya menolak untuk menjamu mereka. Meski demikian, Khidir justru memperbaiki dinding yang hampir roboh tanpa meminta upah. Musa kembali bertanya, "Jikalau engkau mau, niscaya engkau mengambil upah untuk itu." (QS. Al-Kahfi: 77). Pada titik ini, Khidir menyatakan bahwa perpisahan mereka telah tiba.

Penjelasan di Balik Tindakan Khidir

Sebelum berpisah, Khidir menjelaskan hikmah di balik setiap tindakannya, mengungkapkan ilmu batiniah yang ia miliki:

  1. Perahu: Perahu itu milik orang-orang miskin yang bekerja di laut. Di belakang mereka ada seorang raja yang zalim yang merampas setiap perahu yang baik. Dengan melubangi perahu itu, Khidir membuatnya tampak rusak sehingga raja tidak akan merampasnya. Setelah raja berlalu, perahu itu dapat diperbaiki kembali, sehingga pemiliknya yang miskin tidak kehilangan mata pencarian.
  2. Anak Laki-laki: Anak itu adalah seorang kafir dan calon durhaka yang kelak akan menyusahkan kedua orang tuanya yang mukmin, bahkan mendorong mereka pada kekafiran karena kasih sayang yang berlebihan. Allah berkehendak menggantinya dengan anak yang lebih baik, lebih saleh, dan lebih berbakti.
  3. Dinding: Dinding yang diperbaiki itu milik dua anak yatim di kota tersebut, dan di bawahnya terdapat harta karun yang diwarisi dari ayah mereka yang saleh. Jika dinding itu roboh sebelum mereka dewasa, harta itu mungkin akan terbongkar dan diambil orang. Dengan memperbaikinya, Khidir memastikan harta itu tetap tersembunyi hingga kedua anak yatim itu dewasa dan bisa mengambilnya sendiri, sebagai rahmat dari Allah atas kesalehan ayah mereka.

"Dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Itulah keterangan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak sabar terhadapnya." (QS. Al-Kahfi: 82)

Hikmah dari Kisah Musa dan Khidir

Kisah ini adalah sumber hikmah yang tak terbatas, terutama dalam konteks fitnah ilmu dan kesabaran:

  1. Kerendahan Hati dalam Ilmu: Bahkan seorang nabi sekaliber Musa pun harus belajar untuk rendah hati dan mengakui bahwa selalu ada yang lebih berilmu. Ilmu Allah itu luas tak terbatas, dan apa yang kita ketahui hanyalah sedikit.
  2. Keterbatasan Pengetahuan Manusia: Manusia seringkali menilai sesuatu berdasarkan apa yang terlihat di permukaan. Kisah ini mengajarkan bahwa ada hikmah yang lebih dalam di balik setiap peristiwa yang terjadi, yang mungkin tidak dapat dijangkau oleh akal manusia biasa.
  3. Pentingnya Kesabaran: Kesabaran adalah kunci dalam menghadapi ujian hidup dan dalam menuntut ilmu. Tanpa kesabaran, kita akan terburu-buru menghakimi dan tidak mampu memahami rencana Allah yang lebih besar.
  4. Rencana Allah yang Maha Sempurna: Tindakan Khidir yang secara lahiriah tampak buruk ternyata mengandung kebaikan dan keadilan yang lebih besar dalam jangka panjang. Ini mengajarkan bahwa Allah adalah sebaik-baik perencana, dan segala sesuatu yang terjadi berada dalam pengetahuan dan hikmah-Nya.
  5. Ilmu Ladunni dan Ilmu Syariat: Kisah ini membedakan antara ilmu syariat (yang dipahami Musa dan menjadi dasar hukum) dan ilmu ladunni (ilmu batiniah yang langsung dari Allah, yang menjadi dasar tindakan Khidir). Keduanya adalah kebenaran, namun memiliki sumber dan aplikasi yang berbeda.
  6. Tidak Tergesa-gesa Menghakimi: Kita diajari untuk tidak tergesa-gesa menghakimi suatu peristiwa atau tindakan tanpa mengetahui seluruh konteks dan hikmah di baliknya. Seringkali, apa yang kita anggap buruk bisa jadi menyimpan kebaikan yang besar.
  7. Pertolongan Allah untuk Hamba yang Saleh: Allah melindungi harta anak yatim karena kesalehan ayah mereka, menunjukkan bahwa kebaikan seorang hamba dapat membawa manfaat bagi keturunannya.
  8. Kasih Sayang Allah yang Lebih Luas: Pembunuhan anak kecil tersebut, meskipun tampak kejam, sebenarnya adalah bentuk kasih sayang Allah kepada kedua orang tuanya, menyelamatkan iman mereka di masa depan dan menggantinya dengan yang lebih baik.
  9. Ujian bagi Seorang Guru dan Murid: Khidir menguji kesabaran Musa, dan Musa menunjukkan kerendahan hati untuk belajar. Ini adalah pelajaran bagi setiap guru dan murid.

Kisah Musa dan Khidir mengingatkan kita bahwa tidak semua peristiwa di dunia ini dapat dijelaskan oleh logika atau ilmu pengetahuan manusia semata. Ada dimensi lain yang bekerja, yaitu kehendak dan hikmah Allah yang Maha Luas. Dengan menerima keterbatasan diri dan bersabar, kita akan mampu melihat kebesaran dan keadilan ilahi dalam setiap takdir.

Kisah Keempat: Dzulqarnain – Fitnah Kekuasaan dan Keadilan

Kisah terakhir dalam Surah Al-Kahfi adalah tentang Dzulqarnain, seorang raja perkasa yang berkeliling dunia. Kisah ini, yang terdapat dalam ayat 83 hingga 98, membahas fitnah kekuasaan dan bagaimana seorang pemimpin harus bersikap adil dan bertanggung jawab. Dzulqarnain adalah teladan pemimpin yang menggunakan kekuasaannya untuk kebaikan, bukan untuk kezaliman.

Raja yang Mendapatkan Kekuasaan dan Ilmu

Al-Qur'an menceritakan bahwa Dzulqarnain adalah seorang yang telah diberi kekuatan dan sarana (ilmu dan kemampuan) untuk melakukan perjalanan ke berbagai penjuru bumi. Nama "Dzulqarnain" sendiri berarti "Pemilik Dua Tanduk" atau "Dua Masa/Generasi," yang sebagian menafsirkannya sebagai kekuasaan yang meliputi timur dan barat, atau masa lalu dan masa depan. Meskipun ada perdebatan tentang identitas aslinya (apakah dia adalah Cyrus Agung, Alexander Agung, atau tokoh lain), yang terpenting adalah pelajaran dari sifat dan tindakannya.

"Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di muka bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu." (QS. Al-Kahfi: 84)

Ini adalah pengakuan bahwa segala kekuasaan dan sarana yang dimilikinya berasal dari Allah, bukan semata-mata dari usahanya sendiri. Sikap ini adalah kunci dari keadilannya.

Tiga Perjalanan Dzulqarnain

Dzulqarnain melakukan tiga perjalanan penting, masing-masing dengan hikmahnya sendiri:

  1. Perjalanan ke Barat (Tempat Terbenamnya Matahari): Dzulqarnain mencapai tempat terbenamnya matahari, di mana ia melihat matahari terbenam seolah-olah di dalam lumpur hitam. Di sana, ia bertemu dengan suatu kaum. Allah memberinya pilihan: apakah ia akan menghukum mereka atau berlaku baik kepada mereka. Dzulqarnain memilih jalan keadilan: ia akan menghukum orang-orang yang zalim, dan memberi pahala bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh.
  2. Perjalanan ke Timur (Tempat Terbitnya Matahari): Kemudian ia melanjutkan perjalanannya ke timur, tempat matahari terbit. Di sana, ia bertemu dengan suatu kaum yang tidak memiliki pelindung dari sengatan matahari. Dzulqarnain tidak disebutkan melakukan tindakan khusus di sini, namun ini menunjukkan luasnya wilayah kekuasaannya dan kepeduliannya terhadap setiap kaum.
  3. Perjalanan ke Tengah (Antara Dua Gunung): Perjalanan yang paling signifikan adalah ketika ia sampai di antara dua gunung. Di sana, ia bertemu dengan suatu kaum yang hampir tidak memahami perkataan karena perbedaan bahasa. Kaum ini mengeluh kepadanya tentang Ya'juj dan Ma'juj (Gog dan Magog), dua kaum perusak yang selalu membuat kerusakan di bumi.

Membangun Tembok Penahan Ya'juj dan Ma'juj

Kaum tersebut meminta Dzulqarnain untuk membangunkan tembok atau bendungan sebagai penghalang antara mereka dan Ya'juj Ma'juj, dan mereka bersedia membayar upah. Dzulqarnain menolak upah, menyatakan bahwa karunia Allah sudah lebih baik. Ia hanya meminta mereka membantu dengan tenaga. Ia memerintahkan untuk membawa potongan-potongan besi dan melelehkannya dengan api, kemudian menuangkan tembaga cair di atasnya, menciptakan tembok yang sangat kokoh.

"Berilah aku potongan-potongan besi. Hingga apabila besi itu telah sama (tinggi) dengan kedua puncak gunung itu, berkatalah Dzulqarnain: 'Tiuplah (api itu).' Hingga apabila besi itu sudah menjadi merah seperti api, dia pun berkata: 'Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar kutuangkan ke atas besi panas itu.'" (QS. Al-Kahfi: 96)

Tembok ini begitu kuat sehingga Ya'juj dan Ma'juj tidak dapat memanjatnya atau melubanginya. Dzulqarnain kemudian berkata, "Ini adalah rahmat dari Tuhanku. Apabila janji Tuhanku tiba, Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Tuhanku itu adalah benar." (QS. Al-Kahfi: 98). Ini menunjukkan kesadarannya bahwa kekuasaan dan keberhasilannya adalah anugerah Allah, dan bahwa segala sesuatu akan berakhir sesuai kehendak-Nya.

Hikmah dari Kisah Dzulqarnain

Kisah Dzulqarnain memberikan pelajaran berharga tentang fitnah kekuasaan dan kepemimpinan yang adil:

  1. Kekuasaan sebagai Amanah dari Allah: Dzulqarnain menyadari bahwa kekuasaannya adalah anugerah dari Allah, bukan karena kekuatan atau kecerdasannya semata. Ini membentuk dasar kepemimpinannya yang adil dan bertanggung jawab.
  2. Keadilan dalam Memerintah: Ia menunjukkan keadilan dalam mengambil keputusan, menghukum orang zalim dan memberi ganjaran kepada orang saleh. Seorang pemimpin harus berlaku adil kepada semua rakyatnya tanpa pandang bulu.
  3. Rendah Hati dan Tidak Gila Pujian: Ketika ditawari upah untuk membangun tembok, Dzulqarnain menolak, menyatakan bahwa karunia Allah sudah cukup. Ini menunjukkan kerendahan hati dan ketidakcintaan pada materi atau pujian manusia.
  4. Memanfaatkan Kekuatan untuk Kebaikan: Dzulqarnain menggunakan kekuatan dan kemampuannya untuk membantu kaum yang tertindas, melindungi mereka dari Ya'juj dan Ma'juj yang merusak. Kekuasaan harus digunakan untuk menciptakan kemaslahatan, bukan kerusakan.
  5. Inovasi dan Kemajuan: Pembangunan tembok dengan teknologi canggih pada masanya (peleburan besi dan tembaga) menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus berpikir inovatif untuk menyelesaikan masalah rakyatnya.
  6. Perencanaan dan Kerja Sama: Dzulqarnain tidak bekerja sendiri, melainkan meminta bantuan dan tenaga dari kaum yang meminta pertolongan. Ini menunjukkan pentingnya kerja sama dan pemanfaatan sumber daya yang ada.
  7. Mengingat Hari Akhir dan Janji Allah: Meskipun ia membangun tembok yang sangat kokoh, Dzulqarnain tahu bahwa pada akhirnya tembok itu akan hancur dan Ya'juj Ma'juj akan keluar pada waktu yang telah Allah tentukan. Ini mengajarkan pentingnya tidak terikat pada pencapaian duniawi dan selalu mengingat janji Allah tentang akhir zaman.
  8. Ujian Kekuasaan: Kekuasaan adalah ujian besar. Ia bisa menjadi jalan menuju kebaikan yang tak terhingga atau kehancuran yang tak terukur. Dzulqarnain adalah teladan bagaimana kekuasaan dapat digunakan secara positif.
  9. Perlindungan dari Kejahatan: Dzulqarnain menjadi alat Allah untuk melindungi kaum yang lemah dari kekuatan perusak, menunjukkan bahwa Allah akan selalu menyediakan cara untuk melindungi hamba-hamba-Nya yang beriman.

Kisah Dzulqarnain adalah pelajaran penting bagi setiap pemimpin, penguasa, atau bahkan individu yang memiliki pengaruh. Ia mengajarkan bahwa kekuatan sejati terletak pada penggunaan kekuasaan untuk menegakkan keadilan, menolong yang lemah, dan senantiasa bersandar pada Allah, sambil mengingat bahwa segala sesuatu di dunia ini adalah fana dan hanya sementara.

Pesan Utama dan Relevansi Surah Al-Kahfi di Era Modern

Setelah mengupas empat kisah inti, menjadi jelas bahwa Surah Al-Kahfi (Surah 18) adalah sebuah manual spiritual yang komprehensif untuk menghadapi berbagai tantangan kehidupan. Meskipun kisah-kisah ini terjadi di masa lalu, pesan-pesannya tetap abadi dan sangat relevan untuk manusia di era modern yang penuh dengan gejolak dan fitnah.

Empat Fitnah Utama dalam Kehidupan

Surah Al-Kahfi secara elegan menyajikan empat jenis fitnah atau ujian yang paling sering dihadapi manusia:

  1. Fitnah Agama/Iman (Ashabul Kahfi): Di zaman modern, fitnah ini tidak selalu datang dalam bentuk penganiayaan fisik oleh penguasa zalim, tetapi bisa berupa tekanan ideologi, relativisme moral, skeptisisme ilmiah yang ekstrem, atau bahkan godaan untuk menukar prinsip agama dengan popularitas atau keuntungan duniawi. Lingkungan sosial yang permisif, budaya sekuler, dan media massa yang bias dapat menjadi 'raja zalim' modern yang menguji keteguhan iman seseorang. Kisah Ashabul Kahfi mengajarkan keberanian untuk berbeda, berhijrah (secara fisik atau mental) dari lingkungan yang merusak iman, dan bersandar sepenuhnya kepada Allah sebagai satu-satunya Pelindung.
  2. Fitnah Harta (Pemilik Dua Kebun): Era globalisasi dan kapitalisme telah memperparah fitnah harta. Manusia diukur dari kekayaan, jabatan, dan kepemilikan material. Sifat konsumtif, kesombongan atas pencapaian duniawi, dan lupa akan hakikat penciptaan serta akhirat, adalah manifestasi modern dari fitnah ini. Kisah pemilik dua kebun mengingatkan kita bahwa harta adalah amanah dan ujian, bukan tujuan akhir. Ia dapat diambil kapan saja oleh Allah, dan kesombongan serta kekufuran nikmat akan berujung pada kehancuran. Pentingnya bersyukur ("Masya Allah la quwwata illa billah") dan menyadari bahwa semua berasal dari Allah adalah penawar fitnah ini.
  3. Fitnah Ilmu (Musa dan Khidir): Di zaman informasi yang melimpah ruah, fitnah ilmu sangat relevan. Manusia cenderung sombong dengan pengetahuannya, merasa diri paling benar, dan enggan mengakui keterbatasan. Ilmu pengetahuan yang tidak diimbangi dengan hikmah dan kerendahan hati dapat menyesatkan, menimbulkan ateisme, atau arogansi intelektual. Kisah Musa dan Khidir mengajarkan kerendahan hati dalam mencari ilmu, kesabaran dalam menghadapi apa yang tidak kita pahami, dan pengakuan bahwa ada dimensi pengetahuan yang lebih tinggi yang di luar jangkauan akal manusia. Ini menuntut kita untuk selalu berpikir kritis namun juga terbuka terhadap misteri ilahi.
  4. Fitnah Kekuasaan (Dzulqarnain): Kekuasaan, baik dalam skala besar (kepala negara) maupun kecil (manajer, orang tua, influencer), adalah ujian yang berat. Godaan untuk zalim, korupsi, menyalahgunakan wewenang, atau mendominasi orang lain selalu ada. Kisah Dzulqarnain menunjukkan teladan pemimpin yang adil, rendah hati, tidak tamak, dan menggunakan kekuasaannya untuk menolong yang lemah serta menciptakan kebaikan di muka bumi, sambil selalu mengingat bahwa kekuasaan sejati ada pada Allah dan segala sesuatu akan berakhir.

Keterkaitan dengan Dajjal

Salah satu aspek paling penting dari Surah Al-Kahfi adalah hubungannya dengan perlindungan dari fitnah Dajjal. Dajjal akan datang dengan empat fitnah utama yang mencerminkan kisah-kisah dalam Al-Kahfi:

Dengan merenungkan dan memahami Al-Kahfi, seorang Muslim dipersiapkan secara spiritual dan mental untuk mengenali dan melawan tipuan Dajjal. Membaca surah ini pada hari Jumat menjadi amalan yang sangat dianjurkan karena ia berfungsi sebagai 'vaksin' spiritual terhadap fitnah terbesar di akhir zaman.

Pelajaran Umum Lainnya

Kesimpulan

Surah Al-Kahfi (Surah 18) adalah permata di antara surah-surah Al-Qur'an, sebuah bimbingan yang tak ternilai bagi umat manusia dalam menavigasi lautan fitnah kehidupan. Ia mengajarkan kita untuk menjaga akidah, rendah hati terhadap harta, sabar dalam menuntut ilmu, dan adil dalam kekuasaan. Dengan membaca, merenungkan, dan mengamalkan pesan-pesannya, kita tidak hanya akan terlindungi dari fitnah Dajjal, tetapi juga akan menemukan kedamaian, petunjuk, dan kekuatan untuk menghadapi setiap ujian yang Allah berikan.

Mari kita jadikan Surah Al-Kahfi sebagai cahaya penerang dalam kegelapan fitnah, membimbing langkah kita menuju jalan yang lurus dan diridhai Allah SWT. Dengan menghayati setiap ayat dan mengambil pelajaran dari setiap kisah, kita dapat membangun benteng keimanan yang kokoh, tidak tergoyahkan oleh godaan dunia yang fana.

🏠 Homepage