Mendalami Hakikat Keridhaan Ilahi: Eksplorasi Ayat ke-21 Surat Al-Lail

"Mencari Keridhaan Allah Yang Mahatinggi"

Pendahuluan: Cahaya Petunjuk dari Al-Quran

Al-Quran adalah kitab suci yang menerangi setiap aspek kehidupan manusia, membimbing menuju kebaikan dan menjauhkan dari keburukan. Di antara sekian banyak surat dan ayatnya, Surah Al-Lail menonjol dengan pesannya yang kuat mengenai dua jalan hidup yang kontras: jalan menuju kemudahan dan jalan menuju kesulitan. Surat ini, yang termasuk dalam golongan Makkiyah, menggambarkan secara gamblang konsekuensi dari pilihan-pilihan yang kita ambil, terutama dalam hal kedermawanan dan ketakwaan.

Pada puncaknya, Surah Al-Lail menghadirkan ayat ke-21 sebagai sebuah penutup yang sarat makna, merangkum esensi motivasi tertinggi seorang mukmin. Ayat ini berbunyi: "إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَىٰ" (Illābtighā'a wajhi Rabbihil-A'lā) yang berarti, "kecuali (demi) mencari keridaan Tuhannya Yang Mahatinggi." Ayat yang singkat ini, namun padat dengan hikmah, bukan hanya sebuah janji, melainkan sebuah deklarasi prinsip fundamental dalam Islam: keikhlasan total dalam setiap amal perbuatan, semata-mata mengharapkan wajah (ridha) Allah SWT.

Artikel ini akan membawa kita dalam sebuah perjalanan mendalam untuk menggali setiap dimensi dari ayat ke-21 Surah Al-Lail. Kita akan menguraikan konteks surat secara keseluruhan, menelaah setiap kata dalam ayat ini, serta mengeksplorasi pilar-pilar penting yang terkandung di dalamnya seperti ikhlas, takwa, infak, dan rida Allah. Lebih lanjut, kita akan membahas relevansi ajaran ini dalam kehidupan kontemporer, tantangan yang dihadapi, dan bagaimana kita dapat mengaplikasikannya untuk mencapai kepuasan ilahi yang dijanjikan. Semoga pembahasan ini dapat memperkaya pemahaman kita dan memotivasi kita untuk senantiasa menjadikan keridhaan Allah sebagai tujuan utama dalam setiap langkah.

Bagian 1: Konteks Surah Al-Lail Secara Keseluruhan

Untuk memahami kedalaman ayat ke-21, penting bagi kita untuk meninjau konteks Surah Al-Lail secara menyeluruh. Surah ini terdiri dari 21 ayat dan diawali dengan sumpah Allah SWT atas berbagai fenomena alam yang menandakan dualitas dan keteraturan dalam ciptaan-Nya. Dualitas ini kemudian menjadi landasan untuk menjelaskan dua golongan manusia dan dua jalan hidup yang berbeda.

1.1 Sumpah Allah dan Tanda-tanda Kebesaran (Ayat 1-4)

وَالَّيْلِ إِذَا يَغْشَىٰ

1. Demi malam apabila menutupi (cahaya siang),

وَالنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّىٰ

2. demi siang apabila terang benderang,

وَمَا خَلَقَ الذَّكَرَ وَالْأُنثَىٰ

3. dan demi penciptaan laki-laki dan perempuan,

إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّىٰ

4. sungguh, usaha kamu beraneka macam.

Surah ini dibuka dengan tiga sumpah yang mengagumkan: demi malam saat meliputi bumi, demi siang saat menampakkan diri, dan demi penciptaan laki-laki dan perempuan. Sumpah-sumpah ini menegaskan kebesaran dan kekuasaan Allah sebagai Pencipta. Malam dan siang adalah dua sisi waktu yang saling melengkapi dan tak terpisahkan, demikian pula laki-laki dan perempuan adalah dua entitas yang saling melengkapi dalam kehidupan manusia. Melalui sumpah ini, Allah ingin menarik perhatian manusia pada realitas bahwa segala sesuatu memiliki pasangannya, termasuk amal perbuatan dan akibatnya.

Ayat ke-4 kemudian menjadi inti dari sumpah-sumpah ini: "إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّىٰ" (Inna sa‘yakum lashattā - sungguh, usaha kamu beraneka macam). Ini adalah sebuah penegasan bahwa manusia di muka bumi ini memiliki tujuan, motivasi, dan hasil usaha yang berbeda-beda. Ada yang berusaha untuk kebaikan, ada pula yang berusaha untuk keburukan. Ada yang mencari akhirat, ada pula yang terpikat dunia. Keragaman usaha ini akan menentukan nasib dan balasan mereka di kemudian hari.

1.2 Dua Jalan Utama: Jalan Ketaatan dan Jalan Kedurhakaan (Ayat 5-11)

Setelah menegaskan adanya keragaman usaha, surat ini kemudian mengkategorikan manusia ke dalam dua golongan besar berdasarkan usaha dan motivasi mereka. Ini adalah inti dari pesan Surah Al-Lail.

فَأَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَاتَّقَىٰ

5. Maka barang siapa memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa,

وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَىٰ

6. dan membenarkan (adanya pahala) yang terbaik (surga),

فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَىٰ

7. maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kemudahan (kebahagiaan).

وَأَمَّا مَن بَخِلَ وَاسْتَغْنَىٰ

8. Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak perlu pertolongan Allah),

وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَىٰ

9. serta mendustakan (pahala) yang terbaik,

فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَىٰ

10. maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kesukaran (kesengsaraan).

وَمَا يُغْنِي عَنْهُ مَالُهُ إِذَا تَرَدَّىٰ

11. Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila dia telah binasa.

Ayat 5-7 menjelaskan ciri-ciri golongan pertama: mereka yang memberikan hartanya (berinfak) di jalan Allah, bertakwa, dan membenarkan janji surga (pahala terbaik). Bagi mereka, Allah menjanjikan kemudahan dalam segala urusan, kemudahan dalam beribadah, dan akhirnya kemudahan menuju surga. Ini menunjukkan bahwa kedermawanan yang dilandasi takwa dan keyakinan akan akhirat adalah kunci menuju kemudahan hidup, baik di dunia maupun di akhirat.

Sebaliknya, ayat 8-11 menggambarkan golongan kedua: mereka yang kikir (bakhil), merasa cukup tanpa Allah (istaghna), dan mendustakan pahala terbaik. Bagi golongan ini, Allah akan memudahkan jalan menuju kesukaran dan kesengsaraan. Kekayaan yang mereka kumpulkan tidak akan sedikit pun bermanfaat ketika mereka menghadapi kehancuran atau kematian. Ini adalah peringatan keras bahwa harta benda, tanpa takwa dan keikhlasan, tidak memiliki nilai abadi dan tidak dapat menyelamatkan seseorang dari azab Allah.

1.3 Peringatan Keras bagi Golongan yang Kikir dan Mendustakan (Ayat 12-16)

Setelah menggambarkan dua jalan, surat ini melanjutkan dengan penekanan pada ancaman bagi mereka yang memilih jalan kesukaran.

إِنَّ عَلَيْنَا لَلْهُدَىٰ

12. Sesungguhnya kewajiban Kamilah memberi petunjuk,

وَإِنَّ لَنَا لَلْآخِرَةَ وَالْأُولَىٰ

13. dan sesungguhnya milik Kamilah akhirat dan dunia.

فَأَنذَرْتُكُمْ نَارًا تَلَظَّىٰ

14. Maka Aku memperingatkan kamu dengan neraka yang menyala-nyala,

لَا يَصْلَاهَا إِلَّا الْأَشْقَى

15. tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka,

الَّذِي كَذَّبَ وَتَوَلَّىٰ

16. yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari iman).

Ayat-ayat ini mengingatkan bahwa Allah adalah satu-satunya sumber petunjuk dan bahwa Dialah yang memiliki segala sesuatu di dunia dan akhirat. Kemudian, Allah memperingatkan tentang neraka yang menyala-nyala, yang hanya akan dimasuki oleh "orang yang paling celaka" (al-ashqa). Siapakah mereka? Mereka adalah orang-orang yang mendustakan kebenaran (yaitu, ajaran Islam dan janji-janji Allah) dan berpaling darinya, lebih memilih kehidupan dunia dan kekikiran. Ini adalah kontras langsung dengan golongan pertama yang membenarkan pahala terbaik dan berinfak.

1.4 Ciri-ciri Orang yang Paling Bertakwa: Infak Tanpa Mengharapkan Balasan (Ayat 17-20)

Setelah ancaman bagi yang celaka, surat ini kembali fokus pada golongan yang bertakwa, menguraikan ciri-ciri mereka dengan lebih rinci.

وَسَيُجَنَّبُهَا الْأَتْقَى

17. Dan akan dijauhkan darinya (neraka) orang yang paling bertakwa,

الَّذِي يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّىٰ

18. yang menginfakkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan dirinya,

وَمَا لِأَحَدٍ عِندَهُ مِن نِّعْمَةٍ تُجْزَىٰ

19. padahal tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya,

إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَىٰ

20. melainkan (dia memberikan itu) hanya mencari keridaan Tuhannya Yang Mahatinggi.

Di sinilah kita mendekati ayat ke-21. Ayat 17 menyatakan bahwa neraka yang menyala-nyala akan dijauhkan dari "orang yang paling bertakwa" (al-atqa). Siapakah mereka? Ayat 18-20 memberikan jawabannya. Mereka adalah orang-orang yang:

  1. Menginfakkan hartanya untuk membersihkan dirinya (yatazakka): Ini bukan sekadar memberi, tapi memberi dengan niat mensucikan jiwa dari sifat kikir, dari dosa, dan dari keterikatan dunia. Infak ini adalah sarana penyucian diri.
  2. Tidak ada seorang pun yang memberikan nikmat kepadanya yang harus dibalasnya: Ini adalah poin krusial. Infak mereka bukan karena membalas budi, bukan karena ingin mendapatkan pujian atau pengakuan dari manusia, dan bukan pula karena ada hutang budi yang harus dilunasi. Ini murni tindakan tanpa pamrih dari sisi manusia.
  3. Melainkan (dia memberikan itu) hanya mencari keridaan Tuhannya Yang Mahatinggi.: Ini adalah poin puncak yang akan dieksplorasi secara mendalam. Motivasi tunggal di balik infak dan ketakwaan mereka adalah untuk meraih wajah atau keridhaan Allah SWT semata.

Ayat 20 ini, yang merupakan pendahulu langsung ayat 21, sudah menyiratkan sepenuhnya hakikat keikhlasan. Ini menggambarkan bahwa puncak ketakwaan dan kedermawanan adalah ketika seluruh amal dilakukan tanpa mengharapkan balasan dari manusia, melainkan semata-mata mencari keridhaan Allah Yang Mahatinggi. Pemahaman ini sangat penting sebagai jembatan untuk menyelami ayat ke-21.

Bagian 2: Ayat ke-21 Surat Al-Lail – Sebuah Puncak Keikhlasan

Setelah memahami konteks luas Surah Al-Lail, kini kita berfokus pada puncak dari pesan tersebut, yaitu ayat ke-21, yang merupakan janji balasan bagi orang yang paling bertakwa.

2.1 Pembacaan dan Terjemahan Ayat 21

وَلَسَوْفَ يَرْضَىٰ

21. Dan kelak dia pasti akan puas (ridha).

Ayat ini adalah penutup yang indah dan penuh janji. Setelah menggambarkan motivasi murni (ikhlas) dari orang yang paling bertakwa dalam berinfak, Allah kemudian memberikan jaminan yang pasti. Kata "وَلَسَوْفَ يَرْضَىٰ" (Walasawfa yardā) mengandung penekanan yang kuat dan kepastian mutlak. Mari kita bedah lebih lanjut.

2.2 Analisis Lafziyah dan Tafsiran Singkat

Kata "وَ" (wa) adalah huruf athaf (penghubung) yang berarti "dan". Kata "لَسَوْفَ" (lasawfa) terdiri dari dua partikel:

Kata "يَرْضَىٰ" (yardā) berasal dari kata dasar radhiya-yardhā, yang berarti "puas," "senang," "ridha," atau "merasa cukup." Ini adalah bentuk fi'il mudhari' (kata kerja masa kini/mendatang) yang subjeknya adalah dia (kembali kepada orang yang paling bertakwa).

Jadi, secara harfiah, ayat ini berarti: "Dan sungguh, kelak dia pasti akan puas/ridha." Ini adalah jaminan langsung dari Allah kepada orang yang berinfak semata-mata mencari wajah-Nya. Kepuasan atau keridhaan yang dijanjikan di sini bersifat komprehensif, meliputi kepuasan di dunia dan akhirat.

2.3 Makna Ayat 21 secara Mendalam: Puncak Keridhaan Ilahi

Ayat 21 ini adalah janji pamungkas. Seseorang yang hidupnya didasari oleh motivasi ikhlas, yang memberikan hartanya bukan untuk balasan duniawi atau pujian manusia, melainkan semata-mata demi keridhaan Tuhannya Yang Mahatinggi, maka ia akan memperoleh balasan yang tak terhingga: kepuasan dan keridhaan dari Allah SWT itu sendiri. Ini adalah puncak dari segala pencarian spiritual, melebihi segala bentuk kenikmatan duniawi.

2.3.1 Kaitan dengan Ayat 20: Motivasi dan Balasan

Ayat 20 dan 21 tidak dapat dipisahkan. Ayat 20 menjelaskan *mengapa* orang bertakwa melakukan amal kebaikan (motivasi: ibtighā'a wajhi Rabbihil-A'lā), sedangkan ayat 21 menjelaskan *apa yang akan mereka peroleh* sebagai hasilnya (balasan: walasawfa yardā). Ini menunjukkan hukum sebab-akibat ilahiah: keikhlasan total mengantarkan kepada kepuasan total.

Motivasi "mencari wajah Tuhannya Yang Mahatinggi" adalah ekspresi terdalam dari ikhlas. "Wajah Allah" (Wajhillah) dalam konteks ini secara umum diartikan sebagai "Keridhaan Allah," "Dzat Allah," atau "Kehormatan Allah." Ini adalah tujuan yang melampaui segala tujuan duniawi. Ketika seseorang beramal dengan niat ini, ia melepaskan diri dari segala bentuk keterikatan pada makhluk, pada hasil, dan bahkan pada egonya sendiri.

2.3.2 Arti Kepuasan (Rida) yang Dijanjikan

Kepuasan atau keridhaan yang dijanjikan dalam ayat ini bukan sekadar kepuasan material atau emosional biasa. Ini adalah kepuasan yang datang dari Allah, bersifat abadi, dan mencakup beberapa aspek:

  1. Kepuasan Batin di Dunia: Orang yang ikhlas akan merasakan ketenangan jiwa, kedamaian hati, dan rasa syukur yang mendalam, terlepas dari kondisi eksternal. Mereka tidak terganggu oleh celaan atau pujian manusia, karena tujuan mereka hanya Allah. Ini adalah kepuasan yang sejati, yang tidak dapat dibeli dengan harta.
  2. Penerimaan Amal oleh Allah: Kepuasan ini juga berarti bahwa amal mereka diterima di sisi Allah. Tidak ada kepuasan yang lebih besar bagi seorang mukmin selain mengetahui bahwa usahanya dihargai dan diterima oleh Sang Pencipta.
  3. Keridhaan Allah kepada Hamba-Nya: Puncak dari kepuasan ini adalah Allah SWT sendiri yang ridha kepada hamba tersebut. Ketika Allah ridha, semua pintu kebaikan terbuka, dan segala kesulitan akan dipermudah. Inilah balasan terbesar, sebagaimana disebutkan dalam Surah At-Taubah ayat 72: "وَرِضْوَانٌ مِّنَ اللَّهِ أَكْبَرُ" (waridwanum minallahi akbar - dan keridaan Allah itu lebih besar). Keridhaan Allah adalah nikmat terbesar di surga.
  4. Kepuasan di Akhirat: Di akhirat, kepuasan ini akan terwujud dalam bentuk balasan surga yang abadi, kenikmatan yang tiada tara, dan yang terpenting, melihat Wajah Allah, yang merupakan puncak dari segala kenikmatan. Allah akan membuat mereka ridha dengan karunia-Nya, dan mereka pun ridha dengan takdir Allah.

Ayat ini menegaskan bahwa segala sesuatu yang dikeluarkan di jalan Allah dengan niat yang murni tidak akan sia-sia, melainkan akan kembali kepada pelakunya dalam bentuk kepuasan dan keridhaan abadi, yang nilainya jauh melampaui setiap harta dan nikmat dunia.

Bagian 3: Pilar-Pilar Penting yang Terkandung dalam Ayat 21

Ayat ke-21 dari Surah Al-Lail adalah muara dari beberapa prinsip fundamental dalam Islam. Untuk memahami sepenuhnya janji keridhaan ilahi, kita perlu menggali lebih dalam pilar-pilar ini: Ikhlas, Taqwa, Infak, dan Rida Allah.

3.1 Ikhlas: Ruh Amal Saleh

Kata kunci dalam ayat 20 dan 21 adalah ikhlas. Ikhlas secara harfiah berarti memurnikan, membersihkan, atau menjadikan sesuatu murni dari campuran. Dalam konteks ibadah dan amal shaleh, ikhlas berarti memurnikan niat semata-mata hanya untuk Allah SWT, tanpa sedikit pun dicampuri oleh tujuan duniawi, pujian manusia, atau riya' (pamer).

3.1.1 Definisi dan Pentingnya Ikhlas

Ikhlas adalah ruh dari setiap amal. Amal tanpa ikhlas ibarat jasad tanpa ruh; ia terlihat sempurna namun tidak bernyawa, tidak memiliki nilai di sisi Allah. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya setiap amalan itu tergantung niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan." (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini menekankan bahwa kualitas dan penerimaan suatu amal sangat bergantung pada niat di baliknya. Jika niatnya murni untuk Allah, maka amal tersebut akan diterima dan diberkahi.

Ikhlas bukan hanya syarat diterimanya amal, tetapi juga merupakan inti dari tauhid, yaitu mengesakan Allah dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam beribadah dan beramal. Orang yang ikhlas adalah orang yang telah membebaskan dirinya dari perbudakan makhluk, dari keinginan untuk dipuji, dan dari ketakutan akan celaan.

3.1.2 Ikhlas dalam Al-Quran dan Hadits

Banyak ayat Al-Quran dan hadits Nabi yang menekankan pentingnya ikhlas:

Ayat-ayat ini secara eksplisit memerintahkan agar ibadah dan ketaatan dilakukan dengan ikhlas. Tanpa ikhlas, amal sebesar apa pun bisa menjadi debu yang beterbangan, tidak memiliki bobot di sisi Allah.

3.1.3 Tantangan dalam Mencapai Ikhlas: Ria' dan Sum'ah

Mencapai ikhlas bukanlah hal yang mudah. Manusia cenderung ingin diakui dan dipuji. Dua penyakit hati yang menjadi musuh utama ikhlas adalah riya' (pamer) dan sum'ah (mencari popularitas atau pujian dengan memperdengarkan amal).

Rasulullah SAW sangat mewanti-wanti umatnya dari riya'. Beliau bersabda, "Hal yang paling aku khawatirkan menimpa kalian adalah syirik kecil." Para sahabat bertanya, "Apa itu syirik kecil, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Riya'." (HR. Ahmad). Ini menunjukkan betapa seriusnya bahaya riya' bagi keikhlasan amal.

3.1.4 Manfaat Ikhlas di Dunia dan Akhirat

Orang yang ikhlas akan merasakan banyak manfaat:

Oleh karena itu, ayat 21 Surah Al-Lail mengingatkan kita bahwa balasan tertinggi (keridhaan Allah) hanya akan diraih oleh mereka yang mampu mencapai tingkat keikhlasan tertinggi, yaitu beramal semata-mata mencari wajah Allah Yang Mahatinggi.

3.2 Taqwa: Fondasi Keimanan

Dalam Surah Al-Lail ayat 17, Allah menyebutkan "orang yang paling bertakwa" (al-atqa) sebagai mereka yang akan dijauhkan dari neraka. Taqwa adalah fondasi yang kokoh bagi keimanan, yang mendorong seorang hamba untuk beramal dengan ikhlas.

3.2.1 Hubungan Taqwa dengan Ayat 17 (`الْأَتْقَى`)

Taqwa secara etimologi berarti menjaga diri dari sesuatu yang ditakuti. Dalam syariat, taqwa berarti menjaga diri dari azab Allah dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, karena takut kepada-Nya. Orang yang paling bertakwa adalah mereka yang paling berhati-hati dalam setiap tindakan, perkataan, dan niatnya, selalu berusaha agar tidak melanggar batasan-batasan Allah.

Ayat 17-20 secara jelas menghubungkan antara sifat "paling bertakwa" dengan tindakan berinfak yang dilandasi niat murni mencari wajah Allah. Ini menunjukkan bahwa infak yang ikhlas adalah salah satu manifestasi tertinggi dari taqwa. Taqwa bukanlah sekadar perasaan takut, tetapi ia adalah dorongan untuk beramal saleh.

3.2.2 Definisi dan Manifestasi Taqwa

Taqwa adalah sebuah konsep menyeluruh yang mencakup aspek hati, pikiran, dan tindakan. Ia melibatkan:

Orang yang bertakwa senantiasa menyadari kehadiran Allah (muraqabatullah) dalam setiap detik kehidupannya, sehingga ia akan selalu berusaha untuk berbuat yang terbaik dan menjauhi keburukan.

3.2.3 Bagaimana Taqwa Mendorong Infak dan Amal Saleh

Taqwa adalah mesin pendorong di balik infak yang ikhlas. Mengapa seseorang mau mengorbankan sebagian hartanya, padahal harta adalah sesuatu yang dicintai manusia?

Dengan demikian, taqwa adalah fondasi yang kuat yang membuat seseorang mampu mengimplementasikan keikhlasan dalam berinfak, sebagaimana yang digambarkan dalam Surah Al-Lail ayat 17-20.

3.3 Infak Fi Sabilillah: Wujud Ketakwaan dan Keikhlasan

Ayat 18 Surah Al-Lail secara spesifik menyebutkan tentang infak: "الَّذِي يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّىٰ" (alladī yu'tī mālahū yatazakkā - yang menginfakkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan dirinya). Infak adalah pengeluaran harta di jalan Allah, baik yang wajib (seperti zakat) maupun yang sunah (sedekah).

3.3.1 Jenis-jenis Infak

Infak memiliki cakupan yang luas, meliputi:

Semua bentuk infak ini, jika dilakukan dengan niat ikhlas dan sesuai syariat, akan mendatangkan pahala yang besar di sisi Allah.

3.3.2 Syarat Infak yang Diterima

Untuk memastikan infak diterima oleh Allah dan menghasilkan balasan keridhaan-Nya, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi:

  1. Ikhlas karena Allah: Ini adalah syarat terpenting, sebagaimana ditekankan dalam Surah Al-Lail ayat 20. Tanpa ikhlas, amal infak bisa sia-sia.
  2. Dari Harta yang Halal: Harta yang diinfakkan harus diperoleh dari jalan yang halal. Allah itu baik dan hanya menerima yang baik.
  3. Tidak Diiringi Ujaran Menyakitkan atau Ria': Allah berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 264, "يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ" (Yā ayyuhallażīna āmanū lā tubṭilū ṣadaqātiku bil-manni wal-ażā - Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima)).
  4. Mengutamakan Kualitas Terbaik: Sebagaimana Surah Al-Baqarah ayat 267: "وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنفِقُونَ" (Wa lā tayammamul-khabīṡa minhu tunfiqūna - Dan janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu nafkahkan).

Infak bukan sekadar transfer harta, melainkan transfer niat dan ketulusan hati. Infak yang paling tinggi adalah infak yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, menghindari riya', dan hanya mengharapkan balasan dari Allah.

3.3.3 Keutamaan Infak dalam Islam

Al-Quran dan Hadits banyak menjelaskan keutamaan infak:

Surah Al-Lail ayat 19-20 secara spesifik menekankan bahwa infak yang paling mulia adalah infak yang tidak mengharapkan balasan dari manusia, melainkan semata-mata mencari wajah Allah. Ini adalah infak yang dilakukan oleh "orang yang paling bertakwa" dan akan diganjar dengan kepuasan abadi.

3.4 Rida Allah: Tujuan Utama Hamba

Puncak dari segala amal saleh, keikhlasan, ketakwaan, dan infak adalah mencapai Rida Allah (keridhaan Allah). Ayat ke-21 dari Surah Al-Lail menjanjikan bahwa orang yang paling bertakwa dan berinfak dengan ikhlas akan "puas" atau "ridha." Ini adalah balasan tertinggi.

3.4.1 Apa itu Rida Allah?

Rida Allah adalah kondisi di mana Allah SWT berkenan dan senang dengan hamba-Nya. Ini adalah tanda penerimaan amal, keberkahan hidup, dan jaminan keselamatan di akhirat. Rida Allah bukan sekadar persetujuan, melainkan rasa suka, cinta, dan penerimaan yang sempurna dari Tuhan kepada makhluk-Nya.

Ketika Allah ridha kepada seorang hamba, berarti hamba tersebut telah berhasil melewati ujian kehidupan dengan baik, menjalankan perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya dengan tulus ikhlas. Ini adalah capaian spiritual tertinggi yang dapat diraih seorang mukmin.

3.4.2 Tanda-tanda Hamba yang Diridai Allah

Meskipun rida Allah adalah rahasia antara hamba dan Tuhannya, ada beberapa tanda atau indikasi yang dapat kita amati pada orang yang (insya Allah) diridai Allah:

3.4.3 Keridhaan Allah sebagai Balasan Tertinggi

Al-Quran dan Hadits berulang kali menyebutkan bahwa keridhaan Allah adalah balasan yang paling agung, bahkan lebih besar dari surga itu sendiri.

Janji "وَلَسَوْفَ يَرْضَىٰ" (dan kelak dia pasti akan puas/ridha) dalam Surah Al-Lail ayat 21 adalah jaminan dari Allah bahwa orang yang mengamalkan prinsip ikhlas dan takwa akan meraih keridhaan-Nya. Kepuasan ini mencakup kepuasan jiwa di dunia, penerimaan amal, dan yang terpenting, keridhaan Allah yang abadi di akhirat, yang merupakan kenikmatan tertinggi yang tidak dapat digambarkan dengan kata-kata.

Bagian 4: Relevansi Ayat 21 dalam Kehidupan Kontemporer

Di era modern yang serba cepat dan penuh dengan informasi, prinsip-prinsip yang terkandung dalam Surah Al-Lail ayat 21 menjadi semakin relevan dan menantang untuk diterapkan. Lingkungan sosial dan digital saat ini seringkali mendorong manusia untuk mencari pengakuan dan validasi dari luar, yang secara langsung bertentangan dengan esensi ikhlas.

4.1 Ujian Keikhlasan di Era Media Sosial dan Digital

Media sosial telah mengubah cara kita berinteraksi, berbagi, dan bahkan beramal. Melakukan kebaikan, berinfak, atau beribadah seringkali diiringi dengan keinginan untuk mempublikasikan atau mendokumentasikannya. Hal ini menimbulkan ujian keikhlasan yang besar:

Oleh karena itu, pesan dari Surah Al-Lail ayat 21, yang menekankan amal semata-mata mencari wajah Allah Yang Mahatinggi tanpa mengharapkan balasan dari siapapun, adalah pengingat yang sangat vital. Ini mengajarkan kita untuk memeriksa niat kita secara konsisten sebelum, selama, dan setelah beramal.

4.2 Pentingnya Niat dalam Setiap Amalan

Ayat ini menegaskan kembali bahwa niat adalah penentu utama nilai suatu amal di sisi Allah. Dalam kehidupan sehari-hari, setiap tindakan kita – bekerja, belajar, berinteraksi dengan keluarga, membantu sesama – dapat menjadi ibadah jika dilandasi niat yang benar.

Penting untuk selalu memperbarui dan meluruskan niat kita. Setiap pagi, sebelum memulai aktivitas, kita bisa meluangkan waktu sejenak untuk menata niat, menjadikan keridhaan Allah sebagai tujuan utama dari segala yang akan kita lakukan.

4.3 Membangun Komunitas Berbasis Keikhlasan dan Kedermawanan

Pelajaran dari Surah Al-Lail ayat 21 juga memiliki implikasi besar dalam membangun masyarakat yang lebih baik. Jika setiap individu termotivasi untuk beramal dengan ikhlas, tanpa mengharapkan balasan atau pengakuan dari manusia, maka akan tercipta komunitas yang solid, saling tolong-menolong, dan penuh keberkahan.

Konsep ini sangat fundamental dalam menciptakan ukhuwah islamiyah (persaudaraan Islam) yang sejati, di mana setiap anggota masyarakat merasa aman dan terbantu oleh sesamanya, dengan harapan balasan datang dari Allah semata.

4.4 Menghindari Ria' (Pamer) dan Sum'ah (Mencari Pujian)

Dalam konteks modern, menjauhi riya' dan sum'ah menjadi lebih menantang. Namun, ayat 21 Al-Lail adalah kompas yang jelas. Untuk menghindarinya, kita perlu:

Pelajaran dari Al-Lail 21 mengajarkan kita untuk menjadi pribadi yang teguh dalam prinsip, tidak goyah oleh pandangan dan penilaian manusia, karena satu-satunya pandangan yang bernilai adalah pandangan Allah SWT.

4.5 Membentuk Karakter Muslim Sejati

Pengamalan nilai-nilai dari Surah Al-Lail ayat 21 akan membentuk karakter seorang Muslim sejati, yang memiliki sifat-sifat mulia:

Karakteristik ini tidak hanya membawa kebaikan bagi individu, tetapi juga menciptakan masyarakat yang harmonis dan penuh berkah. Ayat 21 adalah fondasi untuk mencapai tingkat spiritualitas yang tinggi, di mana kehidupan dipandu oleh tujuan yang paling mulia: meraih keridhaan Allah Yang Mahatinggi.

Bagian 5: Mendalami Janji Keridhaan dan Kepuasan Ilahi

Ayat ke-21 Surah Al-Lail, "وَلَسَوْفَ يَرْضَىٰ" (Walasawfa yardā - Dan kelak dia pasti akan puas/ridha), adalah janji ilahi yang penuh kepastian dan harapan. Ini adalah puncak dari seluruh narasi Surah Al-Lail yang membandingkan dua golongan manusia.

5.1 Sifat Janji Allah: Pasti dan Tak Terbantahkan

Ketika Allah SWT membuat sebuah janji, itu adalah janji yang pasti akan terpenuhi. Tidak ada keraguan sedikit pun akan kebenarannya. Penggunaan partikel "لَ" (taukid/penegas) dan "سَوْفَ" (masa depan yang pasti terjadi) dalam "لَسَوْفَ" semakin menguatkan kepastian janji ini. Ini bukan sekadar kemungkinan atau harapan, melainkan sebuah kepastian mutlak yang datang dari Zat Yang Maha Kuasa dan Maha Benar.

Janji ini ditujukan kepada "orang yang paling bertakwa" (al-atqa) yang menginfakkan hartanya semata-mata mencari wajah Tuhannya Yang Mahatinggi. Mereka tidak beramal untuk balasan duniawi yang fana, dan Allah menjamin bahwa mereka akan mendapatkan balasan yang jauh lebih besar dan abadi: kepuasan dan keridhaan yang datang langsung dari-Nya.

5.2 Keridhaan sebagai Kenikmatan Batin dan Kebahagiaan Sejati

Kepuasan yang dijanjikan dalam ayat ini melampaui segala bentuk kepuasan material. Ini adalah kenikmatan batin, kebahagiaan sejati yang tidak dapat digambarkan dengan kata-kata. Seorang hamba yang diridai Allah akan merasakan:

Ini adalah kondisi puncak kebahagiaan yang dapat dicapai seorang manusia, suatu keadaan hati yang tidak dapat digoyahkan oleh cobaan dunia. Kepuasan ini adalah manifestasi awal dari keridhaan Allah di dunia.

5.3 Keridhaan di Dunia dan Akhirat

Janji "dia pasti akan puas/ridha" mencakup kehidupan di dunia dan akhirat:

Ayat 21 ini memberikan harapan besar bagi setiap Muslim yang berjuang di jalan Allah dengan tulus. Ini adalah motivasi terkuat untuk senantiasa meluruskan niat, memurnikan amal, dan menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan dalam setiap langkah kehidupan.

5.4 Bagaimana Meraih Janji Kepuasan Ini?

Untuk meraih janji kepuasan dan keridhaan ilahi ini, langkah-langkah yang perlu kita tempuh sudah jelas digambarkan dalam Surah Al-Lail itu sendiri, yaitu dengan menjadi "orang yang paling bertakwa" (al-atqa) dan berinfak dengan motivasi "mencari wajah Tuhannya Yang Mahatinggi." Ini memerlukan:

  1. Peningkatan Kualitas Taqwa: Senantiasa menjaga diri dari dosa, melaksanakan perintah Allah, dan menjauhi larangan-Nya.
  2. Konsistensi dalam Berinfak: Berbagi rezeki secara rutin, tidak menunggu kaya, dan tidak merasa rugi.
  3. Memurnikan Niat (Ikhlas): Terus-menerus melatih hati untuk hanya mengharapkan balasan dari Allah, menjauhi riya' dan sum'ah.
  4. Membenarkan Janji Allah: Percaya sepenuhnya bahwa janji Allah itu benar dan pasti akan terwujud.

Dengan mengamalkan prinsip-prinsip ini secara konsisten, seorang hamba akan bergerak menuju derajat orang-orang yang ikhlas dan bertakwa, dan pada akhirnya, akan menjadi bagian dari mereka yang dijamin kepuasan dan keridhaan abadi oleh Allah SWT.

Kesimpulan: Kunci Kebahagiaan Abadi

Surah Al-Lail, dengan segala keindahan dan kedalamannya, puncaknya terangkum dalam ayat ke-21 yang menjadi penutupnya. Ayat "وَلَسَوْفَ يَرْضَىٰ" (Dan kelak dia pasti akan puas/ridha) adalah sebuah janji agung dari Allah SWT bagi hamba-hamba-Nya yang paling bertakwa. Janji ini bukan sekadar sebuah kalimat, melainkan deklarasi prinsip hidup yang membimbing menuju kebahagiaan sejati dan abadi.

Kita telah menyelami bagaimana Surah Al-Lail secara keseluruhan menggambarkan dualitas kehidupan, dua golongan manusia, dan dua jalan yang berbeda: jalan kemudahan bagi mereka yang berinfak dan bertakwa, serta jalan kesukaran bagi mereka yang kikir dan mendustakan. Ayat 17-20 kemudian menguraikan ciri-ciri "orang yang paling bertakwa" sebagai mereka yang menginfakkan hartanya bukan untuk mencari balasan dari manusia, melainkan semata-mata demi mencari keridhaan Allah Yang Mahatinggi.

Inti dari pesan ini adalah ikhlas – memurnikan niat hanya untuk Allah SWT dalam setiap amal perbuatan. Ikhlas adalah ruh yang menghidupkan amal saleh, fondasi yang kokoh bagi taqwa, dan syarat mutlak bagi penerimaan infak. Ketika amal dilakukan dengan motivasi murni ini, Allah menjamin bahwa hamba tersebut akan meraih keridhaan-Nya, sebuah kepuasan yang melampaui segala kenikmatan duniawi dan merupakan nikmat tertinggi di akhirat.

Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern dan godaan pengakuan di era digital, ajaran dari Surah Al-Lail ayat 21 ini menjadi pengingat yang sangat berharga. Ia memanggil kita untuk senantiasa introspeksi diri, meluruskan niat, dan menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan dalam setiap langkah dan perbuatan. Dengan begitu, kita dapat menanggulangi penyakit hati seperti riya' dan sum'ah, serta membentuk karakter Muslim yang tulus, dermawan, rendah hati, dan berorientasi akhirat.

Janji kepuasan dan keridhaan ilahi adalah motivasi terkuat bagi setiap Muslim untuk berjuang di jalan kebaikan. Ini adalah jaminan bahwa setiap pengorbanan, setiap kebaikan, dan setiap tetesan keringat yang dilandasi keikhlasan tidak akan sia-sia di sisi Allah. Sebaliknya, ia akan berbuah kepuasan batin di dunia dan kebahagiaan abadi di surga, puncaknya adalah keridhaan Allah Yang Maha Agung.

Marilah kita jadikan ayat ke-21 Surah Al-Lail ini sebagai lentera penerang dalam perjalanan hidup kita, membimbing kita untuk senantiasa beramal dengan hati yang tulus, semata-mata mencari wajah Allah Yang Mahatinggi, demi meraih janji kepuasan dan keridhaan abadi dari-Nya.

🏠 Homepage