Mengungkap Hikmah: Surah An-Nas hingga Al-Lahab

Penjelajahan Mendalam Makna dan Pelajaran dari 11 Surah Terakhir dalam Al-Qur'an

Al-Qur'an, kalamullah yang abadi, adalah sumber petunjuk dan cahaya bagi umat manusia. Setiap surah, bahkan ayat-ayat terpendek sekalipun, mengandung hikmah yang tak terhingga, pelajaran yang mendalam, serta panduan hidup yang komprehensif. Dalam artikel ini, kita akan melakukan penjelajahan spiritual dan intelektual, mengkaji makna, konteks, dan pelajaran yang terkandung dalam sebelas surah terakhir Al-Qur'an, yaitu dari Surah An-Nas (Surah ke-114) hingga Surah Al-Lahab (Surah ke-111, nama lain Al-Masad), ditambah Surah Al-Ma'un hingga Al-Humazah (Surah ke-104), yang secara kolektif sering disebut sebagai 'Surah-Surah Pendek' atau 'Juz Amma'. Meskipun singkat, surah-surah ini sarat dengan pesan-pesan fundamental tentang tauhid, perlindungan, moralitas, sejarah, dan konsekuensi perbuatan.

Kita akan menguraikan setiap surah dengan pendekatan yang holistik, dimulai dengan pengantar, teks Arab, terjemahan dalam Bahasa Indonesia, asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya), tafsir (penjelasan) secara garis besar, pelajaran yang dapat dipetik, serta relevansinya dalam kehidupan modern. Tujuan dari penjelajahan ini adalah untuk memperkaya pemahaman kita tentang firman Allah, mendekatkan diri pada esensi ajaran Islam, dan menginspirasi kita untuk mengamalkannya dalam setiap aspek kehidupan.

Mari kita memulai perjalanan suci ini, menyelami lautan hikmah yang tersembunyi dalam setiap kata-Nya, dari Surah An-Nas, yang mengajarkan kita tentang perlindungan sempurna dari Allah, hingga Surah Al-Humazah, yang memperingatkan kita tentang bahaya lisan dan kekayaan yang melalaikan. Semoga perjalanan ini membawa kita pada pencerahan dan ketenangan jiwa.

Surah An-Nas (Manusia)

Surah An-Nas adalah surah terakhir dalam Al-Qur'an, menempati urutan ke-114. Surah ini termasuk golongan surah Makkiyah, yang berarti diturunkan di Mekkah sebelum hijrah Nabi Muhammad ﷺ ke Madinah. Meskipun demikian, ada riwayat yang menyebutkan bahwa surah ini, bersama Al-Falaq, diturunkan di Madinah terkait peristiwa sihir yang menimpa Rasulullah ﷺ. Surah ini, bersama Al-Falaq, dikenal sebagai "Al-Mu'awwidhatain" (dua surah perlindungan), karena keduanya mengajarkan umat Islam untuk memohon perlindungan kepada Allah dari berbagai kejahatan.

Ilustrasi perlindungan dan doa, merefleksikan inti Surah An-Nas.

Teks Arab dan Terjemahan

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ ﴿١﴾

1. Katakanlah (Muhammad), “Aku berlindung kepada Tuhan seluruh manusia,

مَلِكِ النَّاسِ ﴿٢﴾

2. Raja seluruh manusia,

إِلَٰهِ النَّاسِ ﴿٣﴾

3. Sembahan seluruh manusia,

مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ ﴿٤﴾

4. dari kejahatan (bisikan) setan yang bersembunyi,

الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ ﴿٥﴾

5. yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia,

مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ ﴿٦﴾

6. dari (golongan) jin dan manusia.”

Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya)

Salah satu riwayat paling terkenal mengenai asbabun nuzul Surah An-Nas dan Al-Falaq adalah tentang peristiwa sihir yang dilakukan oleh seorang Yahudi bernama Labid bin A'sam terhadap Nabi Muhammad ﷺ. Akibat sihir tersebut, Nabi ﷺ merasa sakit dan bingung, seolah-olah beliau telah melakukan sesuatu padahal tidak. Jibril kemudian datang kepada beliau dan mengabarkan tentang sihir itu, serta menunjukkan letak sihir tersebut yang disembunyikan dalam sebuah sumur. Setelah sihir itu ditemukan dan dilenyapkan, turunlah kedua surah ini sebagai penawar dan pelindung.

Tafsir dan Pelajaran

Surah An-Nas adalah surah perlindungan yang sempurna, mengajarkan kita untuk berlindung hanya kepada Allah dari segala bentuk kejahatan. Surah ini menekankan tiga sifat utama Allah sebagai landasan permohonan perlindungan:

  1. Rabb An-Nas (Tuhan Manusia): Allah adalah pengatur, pemelihara, pencipta, dan pemilik segala sesuatu yang terkait dengan manusia. Perlindungan-Nya mencakup semua aspek kehidupan.
  2. Malik An-Nas (Raja Manusia): Allah adalah penguasa mutlak, yang tidak ada satu pun kekuatan di langit dan di bumi yang dapat melawan kehendak-Nya. Perlindungan dari seorang Raja adalah perlindungan yang paling kuat.
  3. Ilah An-Nas (Sembahan Manusia): Allah adalah satu-satunya yang berhak disembah, tujuan akhir dari segala ibadah dan ketaatan. Hanya kepada-Nyalah manusia seharusnya bergantung dan meminta pertolongan.

Setelah menegaskan siapa yang patut dimintai perlindungan, surah ini menyebutkan dari kejahatan apa kita harus berlindung: "min syarril waswaasil khannas". "Al-Waswas" berarti bisikan jahat, dan "Al-Khannas" berarti yang bersembunyi atau menarik diri. Ini merujuk pada setan yang selalu berusaha membisikkan kejahatan ke dalam hati manusia. Kata "khannas" menggambarkan sifat setan yang suka bersembunyi atau mundur ketika seseorang mengingat Allah, namun akan kembali membisikkan kejahatan ketika manusia lalai.

Bisikan setan ini bersifat halus, sulit dikenali, dan menyusup ke dalam hati dan pikiran, mendorong pada keburukan, keraguan, dan kemaksiatan. Puncaknya, surah ini menjelaskan bahwa pembisik kejahatan ini bisa berasal "minal jinnati wan nas", yaitu dari golongan jin (setan dari bangsa jin) dan juga dari golongan manusia (setan dari bangsa manusia). Setan dari kalangan manusia adalah orang-orang yang mengajak kepada kemaksiatan, menyesatkan, atau menghalangi kebaikan.

Pelajaran yang Dapat Dipetik:

Membaca Surah An-Nas secara rutin, terutama sebelum tidur, setelah shalat, dan di pagi hari, adalah praktik sunnah yang sangat dianjurkan untuk memohon perlindungan dari Allah SWT.

Surah Al-Falaq (Waktu Subuh)

Surah Al-Falaq adalah surah ke-113 dalam Al-Qur'an dan juga termasuk dalam golongan surah Makkiyah, atau bisa juga Madaniyah sebagaimana disebutkan dalam riwayat asbabun nuzulnya. Bersama Surah An-Nas, ia dikenal sebagai "Al-Mu'awwidhatain" yang sangat dianjurkan untuk dibaca sebagai benteng perlindungan diri dari segala kejahatan.

Ilustrasi matahari terbit, melambangkan subuh dan perlindungan dari kegelapan.

Teks Arab dan Terjemahan

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ ﴿١﴾

1. Katakanlah (Muhammad), “Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh (waktu fajar),

مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ ﴿٢﴾

2. dari kejahatan (makhluk yang) Dia ciptakan,

وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ ﴿٣﴾

3. dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita,

وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ ﴿٤﴾

4. dan dari kejahatan perempuan-perempuan penyihir yang meniup pada buhul-buhul (talinya),

وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ ﴿٥﴾

5. dan dari kejahatan orang yang dengki apabila dia dengki.”

Asbabun Nuzul

Asbabun nuzul Surah Al-Falaq, sebagaimana Surah An-Nas, sering dikaitkan dengan peristiwa sihir yang menimpa Nabi Muhammad ﷺ oleh Labid bin A'sam. Ketika Rasulullah ﷺ merasa sakit dan tidak enak badan, Allah menurunkan kedua surah ini sebagai penawar dan perlindungan. Peristiwa ini menunjukkan betapa besar perhatian Allah kepada hamba-Nya yang terpilih, dan betapa pentingnya bagi umat Islam untuk senantiasa memohon perlindungan dari-Nya.

Tafsir dan Pelajaran

Surah Al-Falaq adalah permohonan perlindungan kepada Allah dari berbagai kejahatan di dunia ini. Dimulai dengan "Qul a'udzu birabbil falaq" (Katakanlah: Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh).

Kata "Al-Falaq" secara harfiah berarti "memecah" atau "membelah". Dari sinilah muncul makna "waktu subuh", karena cahaya subuh membelah kegelapan malam. Ini juga bisa diartikan sebagai segala sesuatu yang Allah "belah" atau ciptakan, seperti benih yang membelah tanah untuk tumbuh, atau air yang membelah tanah untuk memancar. Memohon perlindungan kepada "Rabb Al-Falaq" berarti memohon kepada Yang Maha Kuasa untuk membawa keluar dari kegelapan ke cahaya, dari kesulitan ke kemudahan.

Kemudian, surah ini merinci jenis-jenis kejahatan yang perlu dimintai perlindungan:

  1. "Min syarri ma khalaq" (Dari kejahatan makhluk yang Dia ciptakan): Ini adalah permohonan perlindungan yang umum dari semua kejahatan yang ada di alam semesta, baik yang kita ketahui maupun tidak, baik dari manusia, jin, binatang buas, bencana alam, maupun hal-hal lain yang dapat membahayakan. Ini menunjukkan bahwa meskipun semua makhluk diciptakan oleh Allah, sebagian dari mereka dapat menjadi sumber kejahatan bagi yang lain, dan hanya Allah yang mampu melindunginya.
  2. "Wa min syarri ghasikin iza waqab" (Dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita): Malam hari seringkali menjadi waktu bagi kejahatan untuk beraksi. Binatang buas keluar, serangga berbisa aktif, pencuri beraksi, dan bisikan setan lebih mudah menyusup dalam kesunyian dan kegelapan. Kekuatan jahat, baik fisik maupun spiritual, seringkali meningkat saat kegelapan meliputi.
  3. "Wa min syarrin naffatsati fil ‘uqad" (Dan dari kejahatan perempuan-perempuan penyihir yang meniup pada buhul-buhul): Ayat ini secara spesifik menyebut tentang praktik sihir, yang pada masa Nabi Muhammad ﷺ dan hingga kini masih ada. Para penyihir seringkali mengikat buhul-buhul tali dan meniupkannya sambil membaca mantra untuk melancarkan sihir mereka. Ini menegaskan bahwa sihir adalah kejahatan nyata dan umat Islam harus berlindung kepada Allah darinya.
  4. "Wa min syarri hasidin iza hasad" (Dan dari kejahatan orang yang dengki apabila dia dengki): Kedengkian adalah penyakit hati yang sangat berbahaya. Orang yang dengki tidak hanya menderita sendiri, tetapi juga bisa melampiaskan kedengkiannya dalam bentuk tindakan jahat, baik secara langsung maupun melalui mata jahat (ain) atau sihir. Kedengkian bisa merusak kebahagiaan dan keberkahan orang lain tanpa disadari.

Pelajaran yang Dapat Dipetik:

Membaca kedua surah Al-Mu'awwidhatain (Al-Falaq dan An-Nas) secara bersamaan, terutama di pagi dan sore hari, serta sebelum tidur, adalah amalan yang sangat dianjurkan oleh Nabi Muhammad ﷺ.

Surah Al-Ikhlas (Memurnikan Keesaan Allah)

Surah Al-Ikhlas adalah surah ke-112 dalam Al-Qur'an dan termasuk golongan surah Makkiyah. Meskipun pendek, surah ini memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam karena inti ajarannya adalah tentang tauhid (keesaan Allah), yaitu prinsip paling mendasar dalam agama ini. Rasulullah ﷺ bahkan bersabda bahwa membaca Surah Al-Ikhlas itu setara dengan sepertiga Al-Qur'an.

Ilustrasi lingkaran tunggal dengan titik pusat, melambangkan keesaan dan ketunggalan Allah.

Teks Arab dan Terjemahan

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ﴿١﴾

1. Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha Esa.

اللَّهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾

2. Allah tempat meminta segala sesuatu.

لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾

3. (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.

وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ ﴿٤﴾

4. Dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia.”

Asbabun Nuzul

Surah Al-Ikhlas diturunkan sebagai jawaban atas pertanyaan kaum musyrikin Mekkah kepada Nabi Muhammad ﷺ tentang silsilah atau sifat-sifat Tuhan yang beliau sembah. Mereka bertanya, "Jelaskan kepada kami tentang Tuhanmu itu, dari emas atau perak? Atau, apakah Dia memiliki keturunan, atau siapa yang mewarisi-Nya?" Sebagai respons terhadap pertanyaan-pertanyaan yang mencerminkan pemahaman politeistik dan antropomorfis mereka tentang Tuhan, Allah menurunkan Surah Al-Ikhlas untuk menjelaskan hakikat keesaan dan kemahasempurnaan-Nya yang tidak menyerupai apapun.

Tafsir dan Pelajaran

Surah Al-Ikhlas adalah deklarasi murni tentang tauhid, menegaskan bahwa Allah itu satu, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan Dia berbeda dari semua makhluk ciptaan-Nya. Surah ini secara tegas menolak segala bentuk syirik dan konsep ketuhanan yang keliru.

  1. "Qul Huwallahu Ahad" (Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa): Ayat pertama ini adalah inti dari tauhid. Kata "Ahad" (Esa) lebih kuat maknanya daripada "Wahid" (Satu). "Ahad" berarti satu yang tidak ada duanya, tidak bisa dibagi, dan tidak ada komponen di dalamnya. Ini menolak konsep trinitas atau tuhan-tuhan lain yang disembah selain Allah. Allah adalah satu-satunya Tuhan yang memiliki segala sifat kesempurnaan dan jauh dari segala sifat kekurangan.
  2. "Allahush Shamad" (Allah tempat meminta segala sesuatu): "Ash-Shamad" adalah salah satu nama Allah yang agung, memiliki banyak makna:
    • Allah adalah Yang Maha Dibutuhkan oleh semua makhluk, sedangkan Dia tidak membutuhkan apapun.
    • Dia adalah Dzat yang tidak memiliki rongga, tidak makan, tidak minum, tidak tidur.
    • Dia adalah Dzat yang sempurna dalam segala sifat-Nya, tidak ada cacat atau kekurangan pada-Nya.
    • Dia adalah penguasa yang Maha Agung, yang kepadanya segala urusan kembali.
    Ayat ini menegaskan bahwa segala hajat, kebutuhan, dan permohonan hanya patut diajukan kepada Allah semata.
  3. "Lam yalid walam yulad" (Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan): Ayat ini secara tegas membantah keyakinan bahwa Allah memiliki anak (seperti keyakinan Kristen tentang Yesus sebagai Anak Allah atau keyakinan Yahudi tentang Uzair sebagai anak Allah, atau keyakinan kaum musyrikin bahwa malaikat adalah anak perempuan Allah). Juga menolak anggapan bahwa Allah memiliki orang tua atau berasal dari sesuatu, karena itu akan menunjukkan bahwa Dia memiliki permulaan, yang bertentangan dengan keabadian-Nya. Allah adalah Pencipta, bukan diciptakan, dan Dia tidak memerlukan keturunan untuk mewarisi kekuasaan-Nya.
  4. "Walam yakun lahu kufuwan ahad" (Dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia): Ayat penutup ini merangkum semua ayat sebelumnya. Tidak ada sesuatu pun yang serupa, setara, sebanding, atau sepadan dengan Allah dalam Dzat, sifat, perbuatan, atau kekuasaan-Nya. Dia Maha Agung dan unik dalam segala hal. Ayat ini menghancurkan segala bentuk penyamaan Allah dengan makhluk, baik dalam rupa, bentuk, fungsi, maupun sifat.

Pelajaran yang Dapat Dipetik:

Surah Al-Ikhlas mengajarkan kemurnian iman dan menjadi landasan bagi setiap Muslim untuk mengenal Tuhannya dengan benar, membebaskan diri dari belenggu khurafat dan kesyirikan.

Surah Al-Masad (Gejolak Api) - Dikenal Juga Surah Al-Lahab (Api yang Bergelojak)

Surah Al-Masad adalah surah ke-111 dalam Al-Qur'an dan termasuk golongan surah Makkiyah. Surah ini secara langsung mengutuk Abu Lahab, paman Nabi Muhammad ﷺ, dan istrinya, Ummu Jamil, karena permusuhan mereka yang ekstrem terhadap Rasulullah dan agama Islam. Ini adalah salah satu dari sedikit surah dalam Al-Qur'an yang secara spesifik menyebut nama seseorang yang dikutuk, menunjukkan betapa parahnya kejahatan dan penentangan yang mereka lakukan.

Ilustrasi kobaran api, melambangkan azab yang disebutkan dalam Surah Al-Lahab.

Teks Arab dan Terjemahan

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ ﴿١﴾

1. Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.

مَا أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ ﴿٢﴾

2. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan.

سَيَصْلَىٰ نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ ﴿٣﴾

3. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (neraka).

وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ ﴿٤﴾

4. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar.

فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِنْ مَسَدٍ ﴿٥﴾

5. Yang di lehernya ada tali dari sabut.

Asbabun Nuzul

Surah ini diturunkan sebagai respons langsung terhadap permusuhan terang-terangan Abu Lahab terhadap dakwah Nabi Muhammad ﷺ. Ketika Nabi ﷺ pertama kali diutus untuk menyeru kerabat-kerabatnya ke Islam, beliau naik ke bukit Safa dan memanggil kaum Quraisy untuk berkumpul. Setelah mereka berkumpul, Nabi bertanya, "Jika aku beritahu kalian bahwa ada pasukan berkuda di balik bukit ini yang akan menyerang kalian, apakah kalian akan mempercayaiku?" Mereka menjawab, "Tentu saja!" Lalu Nabi bersabda, "Sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan bagi kalian dari azab yang pedih."

Pada saat itulah, Abu Lahab berdiri dan berkata, "Celakalah engkau! Untuk inikah engkau mengumpulkan kami?" Sebagai jawaban atas kekasarannya dan penentangannya, turunlah Surah Al-Masad ini. Istrinya, Ummu Jamil, juga sangat membenci Nabi ﷺ, sering menyebarkan duri dan kotoran di jalan yang dilewati Nabi untuk menyakitinya. Oleh karena itu, ia juga disebutkan dalam surah ini.

Tafsir dan Pelajaran

Surah Al-Masad adalah peringatan keras tentang konsekuensi penentangan terhadap kebenaran dan permusuhan terhadap para pembawa risalah Allah.

  1. "Tabbat yada Abi Lahabin watabb" (Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa): Ungkapan "tabbat yada" (binasalah kedua tangannya) adalah metafora untuk kehancuran total, kegagalan, dan kerugian atas segala usahanya. Kata "watabb" (dan sesungguhnya dia akan binasa) mengulangi dan menegaskan bahwa kebinasaan itu pasti dan menyeluruh, baik di dunia maupun di akhirat. Prediksi ini terbukti, karena Abu Lahab meninggal dalam keadaan hina, tidak lama setelah Pertempuran Badar, penuh dengan penyakit menular yang membuat orang menjauhinya.
  2. "Ma aghna 'anhu maluhu wama kasab" (Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan): Abu Lahab adalah orang kaya dan memiliki status sosial yang tinggi. Namun, surah ini menegaskan bahwa kekayaan dan kekuasaan tidak akan sedikit pun menyelamatkannya dari azab Allah jika ia memilih jalan kekufuran dan permusuhan terhadap kebenaran. Harta yang dikumpulkannya, anak-anaknya (yang disebut "ma kasab" - apa yang ia usahakan/peroleh), tidak akan menolongnya.
  3. "Sayashla naran dzata lahab" (Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (neraka)): Ini adalah janji azab akhirat baginya. Nama "Abu Lahab" sendiri berarti "bapak api yang bergejolak" atau "berwajah merah menyala" (karena kemarahannya), dan ia akan masuk ke dalam neraka yang sifatnya persis seperti namanya, penuh dengan api yang bergejolak.
  4. "Wamra'atuhu hammalatal hathab" (Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar): Istri Abu Lahab, Ummu Jamil, adalah saudara perempuan Abu Sufyan (sebelum masuk Islam). Ia juga dikenal karena permusuhannya yang sangat keras terhadap Nabi Muhammad ﷺ. "Pembawa kayu bakar" memiliki beberapa tafsir:
    • Secara harfiah, ia sering mengumpulkan duri dan kayu untuk disebar di jalan Nabi ﷺ agar menyakiti beliau.
    • Metaforis, ia adalah penyebar fitnah dan gosip busuk tentang Nabi ﷺ, membakar permusuhan di antara kaum. Jadi, ia "membawa kayu bakar" untuk api fitnah.
    • Di akhirat kelak, ia akan menjadi "pembawa kayu bakar" yang dipanggulnya sendiri untuk membakar dirinya di neraka.
  5. "Fi jidiha hablum mim masad" (Yang di lehernya ada tali dari sabut): "Masad" berarti sabut dari serat pohon kurma yang kasar. Ayat ini menggambarkan hukuman istrinya di neraka, yaitu dengan belenggu tali sabut yang kasar melilit lehernya. Ini juga bisa diartikan sebagai cerminan dari perbuatannya di dunia yang suka mengikat duri dengan tali untuk disebarkan di jalan Nabi.

Pelajaran yang Dapat Dipetik:

Surah Al-Masad adalah pengingat yang kuat akan pentingnya mendukung kebenaran dan bahaya menentangnya, serta menunjukkan bahwa tidak ada seorang pun yang kebal dari keadilan ilahi.

Surah An-Nasr (Pertolongan)

Surah An-Nasr adalah surah ke-110 dalam Al-Qur'an, termasuk golongan surah Madaniyah, dan sering dianggap sebagai salah satu surah terakhir yang diturunkan secara lengkap. Surah ini merupakan kabar gembira dan juga sebuah isyarat bagi Rasulullah ﷺ tentang dekatnya ajal beliau.

Ilustrasi gerbang kemenangan atau panji yang berkibar, melambangkan pertolongan Allah.

Teks Arab dan Terjemahan

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ ﴿١﴾

1. Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,

وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا ﴿٢﴾

2. dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah,

فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا ﴿٣﴾

3. maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima Tobat.

Asbabun Nuzul

Surah An-Nasr diturunkan setelah Perjanjian Hudaibiyah, menjelang Fathu Makkah (Pembebasan Mekkah) pada tahun ke-8 Hijriah. Perjanjian Hudaibiyah yang awalnya terlihat merugikan umat Islam, justru membuka jalan bagi kemenangan besar. Dengan pembebasan Mekkah, pusat agama politeisme di Semenanjung Arab, banyak suku Arab yang sebelumnya enggan masuk Islam karena masih terikat pada Quraisy, akhirnya berbondong-bondong memeluk Islam. Surah ini diturunkan untuk memberitahukan kemenangan besar itu kepada Nabi Muhammad ﷺ dan mengisyaratkan bahwa tugas beliau di dunia akan segera berakhir.

Tafsir dan Pelajaran

Surah An-Nasr adalah surah yang penuh dengan janji Allah, kabar gembira, dan petunjuk bagi kaum mukminin saat meraih kemenangan.

  1. "Idza jaa'a nashrullahi wal fath" (Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan): Pertolongan Allah (nashrullah) di sini merujuk pada bantuan ilahi yang memungkinkan kaum Muslimin mengalahkan musuh-musuh mereka. "Al-Fath" (kemenangan) secara khusus merujuk pada Fathu Makkah, pembebasan kota Mekkah dari tangan kaum musyrikin tanpa pertumpahan darah yang berarti. Kemenangan ini adalah titik balik penting dalam sejarah Islam, menandai akhir dari penindasan dan permusuhan terang-terangan yang dialami Nabi ﷺ dan para sahabat selama bertahun-tahun.
  2. "Wa ra'aitan nasa yadkhuluna fi dinillahi afwaja" (Dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah): Setelah Mekkah ditaklukkan, banyak kabilah-kabilah Arab yang sebelumnya menunggu hasil konflik antara Nabi ﷺ dan Quraisy, kini menyaksikan kebenaran janji Allah. Mereka berduyun-duyun, "afwaja" (berkelompok-kelompok atau berbondong-bondong), menyatakan keislaman mereka. Ini menunjukkan bahwa keberhasilan dakwah tidak hanya diukur dari jumlah pengikut, tetapi juga dari keikhlasan dan kesungguhan dalam menerima kebenaran.
  3. "Fasabbih bihamdi rabbika wastaghfirhu innahu kana tawwaba" (Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima Tobat): Ayat ini adalah inti pesan surah. Ketika kemenangan dan keberhasilan datang, manusia seringkali cenderung sombong, lalai, atau mengklaim hasil itu murni karena usaha mereka. Namun, Allah memerintahkan Nabi-Nya dan umatnya untuk:
    • Bertasbih (subhanallah): Mengagungkan Allah, menyucikan-Nya dari segala kekurangan, dan mengakui bahwa kemenangan itu murni dari-Nya, bukan karena kekuatan manusia.
    • Memuji (alhamdulillah): Mensyukuri nikmat kemenangan dan pertolongan yang diberikan Allah.
    • Memohon ampun (istighfar): Memohon ampun kepada Allah atas segala khilaf, dosa, atau kekurangan yang mungkin terjadi selama perjuangan, atau sebagai tanda kerendahan hati di hadapan keagungan Allah. Bahkan seorang Nabi pun diperintahkan untuk beristighfar, menunjukkan betapa pentingnya kerendahan hati dan pengakuan akan keterbatasan diri di hadapan Allah.
    Penutup ayat, "innahu kana tawwaba" (Sungguh, Dia Maha Penerima Tobat), menegaskan bahwa Allah senantiasa Maha Pengampun dan Maha Menerima tobat hamba-Nya yang kembali kepada-Nya dengan rendah hati.

Pelajaran yang Dapat Dipetik:

Surah An-Nasr adalah pengingat bahwa tujuan hidup Muslim bukan hanya meraih kemenangan duniawi, tetapi juga untuk senantiasa kembali kepada Allah dalam syukur, tasbih, dan istighfar, sebagai persiapan untuk pertemuan dengan-Nya.

Surah Al-Kafirun (Orang-orang Kafir)

Surah Al-Kafirun adalah surah ke-109 dalam Al-Qur'an dan termasuk golongan surah Makkiyah. Surah ini merupakan deklarasi tegas tentang pemisahan yang jelas antara agama Islam dan praktik-praktik kekufuran, khususnya dalam hal keyakinan dan peribadatan.

Ilustrasi dua jalan yang berbeda dan tidak menyatu, merepresentasikan perbedaan prinsip dalam agama.

Teks Arab dan Terjemahan

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ ﴿١﴾

1. Katakanlah (Muhammad), “Wahai orang-orang kafir!

لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ ﴿٢﴾

2. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.

وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ ﴿٣﴾

3. Dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah.

وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ ﴿٤﴾

4. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,

وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ ﴿٥﴾

5. dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah.

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ ﴿٦﴾

6. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.”

Asbabun Nuzul

Surah Al-Kafirun diturunkan pada masa-masa awal dakwah Nabi Muhammad ﷺ di Mekkah, ketika tekanan dan penawaran dari kaum musyrikin sangat intens. Kaum musyrikin Mekkah mencoba berbagai cara untuk menghentikan dakwah Nabi, termasuk dengan kompromi. Mereka pernah menawarkan kepada Nabi ﷺ untuk menyembah berhala-berhala mereka selama setahun, dan kemudian mereka akan menyembah Allah selama setahun. Atau, mereka menawarkan untuk menyembah tuhan Nabi ﷺ di suatu hari, dan Nabi ﷺ menyembah tuhan mereka di hari lain.

Tawaran ini adalah upaya sinkretisme (penggabungan) agama. Sebagai tanggapan tegas terhadap tawaran kompromi yang akan mencampuradukkan tauhid dengan syirik ini, Allah menurunkan Surah Al-Kafirun, memberikan jawaban yang jelas dan tidak ambigu.

Tafsir dan Pelajaran

Surah Al-Kafirun secara tegas membedakan antara keimanan tauhid dan kekufuran syirik, menetapkan garis pemisah yang tidak dapat dilintasi dalam masalah akidah dan ibadah.

  1. "Qul yaa ayyuhal kaafirun" (Katakanlah: Wahai orang-orang kafir!): Ayat pembuka ini adalah perintah langsung kepada Nabi untuk berbicara kepada kaum kafir dengan identifikasi yang jelas. Ini bukan penghinaan, melainkan penegasan status mereka berdasarkan pilihan keyakinan.
  2. "Laa a'budu maa ta'buduun" (Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah): Ini adalah penolakan tegas terhadap ibadah kepada berhala atau tuhan selain Allah. Nabi ﷺ dan umat Islam tidak akan pernah menyembah sesembahan kaum kafir.
  3. "Wa laa antum 'aabiduna maa a'bud" (Dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah): Ayat ini menegaskan bahwa kaum kafir, dengan keyakinan syirik mereka, pada hakikatnya tidak menyembah Allah dengan cara yang benar atau ikhlas. Meskipun mereka mungkin mengaku menyembah "Tuhan", namun dengan menyekutukan-Nya, ibadah mereka tidak sah dalam pandangan Islam. Mereka tidak menyembah Allah dengan tauhid yang murni.
  4. "Wa laa ana 'aabidum maa 'abattum" (Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah): Ini adalah pengulangan dan penegasan. Beberapa ulama menafsirkan pengulangan ini untuk menunjukkan penolakan di masa lalu, masa kini, dan masa depan. Nabi tidak pernah, tidak akan, dan tidak mungkin menyembah berhala-berhala mereka.
  5. "Wa laa antum 'aabiduna maa a'bud" (Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah): Pengulangan ini juga dapat diartikan sebagai penegasan bahwa mereka tidak akan pernah menyembah Allah dengan keimanan yang tulus dan murni, seperti yang Nabi ﷺ lakukan. Ini adalah penegasan mutlak bahwa tidak akan ada kompromi dalam akidah.
  6. "Lakum diinukum wa liya diin" (Untukmu agamamu, dan untukku agamaku): Ayat penutup ini adalah pernyataan prinsip toleransi dalam Islam, tetapi dalam konteks yang benar. Toleransi di sini berarti menghargai hak orang lain untuk memeluk dan menjalankan agamanya masing-masing, tanpa paksaan atau gangguan. Namun, toleransi ini tidak berarti mencampuradukkan atau mengkompromikan prinsip-prinsip akidah. Dalam masalah keyakinan dan peribadatan, ada pemisahan yang jelas. Islam mengakui keberadaan agama lain, tetapi tidak mengizinkan sinkretisme.

Pelajaran yang Dapat Dipetik:

Surah Al-Kafirun adalah benteng pertahanan bagi akidah Muslim, memastikan bahwa keimanan kepada Allah tetap murni dan tidak ternoda oleh pengaruh luar.

Surah Al-Kawthar (Nikmat yang Banyak)

Surah Al-Kawthar adalah surah ke-108 dalam Al-Qur'an, dan merupakan surah terpendek dalam Al-Qur'an, hanya terdiri dari tiga ayat. Surah ini termasuk golongan surah Makkiyah. Meskipun singkat, kandungannya sangat padat, penuh dengan kabar gembira dan penghiburan bagi Nabi Muhammad ﷺ di tengah-tengah kesedihan dan penindasan yang beliau alami.

Ilustrasi sungai atau sumber air melimpah, merepresentasikan Al-Kawthar sebagai nikmat yang banyak.

Teks Arab dan Terjemahan

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ ﴿١﴾

1. Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) Al-Kausar.

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ ﴿٢﴾

2. Maka laksanakanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah).

إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ ﴿٣﴾

3. Sungguh, orang-orang yang membencimu dialah yang terputus (dari rahmat Allah).

Asbabun Nuzul

Surah Al-Kawthar diturunkan pada masa-masa sulit dakwah Nabi Muhammad ﷺ di Mekkah. Pada waktu itu, Nabi ﷺ menghadapi tekanan berat dari kaum musyrikin Quraisy. Beliau baru saja kehilangan putra-putranya (Qasim dan Abdullah) yang meninggal dunia di usia muda. Kaum musyrikin, khususnya Al-Aas bin Wa'il, mencemooh beliau dengan sebutan "al-abtar", yang berarti "orang yang terputus keturunannya" atau "terputus dari segala kebaikan", karena beliau tidak memiliki keturunan laki-laki yang hidup. Mereka mengira bahwa dengan terputusnya keturunan laki-laki, nama Nabi ﷺ juga akan terputus dan dilupakan setelah kematiannya. Surah ini turun sebagai penghiburan langsung dari Allah, sekaligus bantahan keras terhadap ejekan mereka.

Tafsir dan Pelajaran

Surah Al-Kawthar adalah janji Allah akan karunia yang melimpah ruah bagi Nabi-Nya, dan penegasan bahwa musuh-musuh beliaulah yang akan mendapatkan kerugian sejati.

  1. "Inna a'thainaakal kautsar" (Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) Al-Kausar): "Al-Kawthar" secara bahasa berarti "kebaikan yang banyak dan melimpah". Para mufasir memiliki banyak penafsiran tentang apa yang dimaksud dengan Al-Kawthar, di antaranya:
    • Sungai di surga: Ini adalah penafsiran yang paling populer dan sahih. Al-Kawthar adalah sebuah sungai di surga yang airnya lebih putih dari susu, lebih manis dari madu, dan bejananya sebanyak bintang di langit. Nabi ﷺ akan memberikan minum kepada umatnya dari sungai ini di hari kiamat.
    • Kenabian dan Al-Qur'an: Nikmat terbesar yang diberikan kepada Nabi ﷺ adalah kenabian dan diturunkannya Al-Qur'an, yang membawa hidayah bagi seluruh alam.
    • Banyaknya umat dan pengikut: Meskipun diejek "abtar", Nabi ﷺ akan memiliki umat yang sangat banyak hingga akhir zaman.
    • Kebaikan dunia dan akhirat yang tak terhingga: Mencakup segala bentuk kebaikan, kemuliaan, dan kemuliaan bagi Nabi ﷺ dan umatnya.
    Ayat ini adalah kabar gembira dan penegasan bahwa Allah memberikan karunia yang tak terhingga kepada Nabi-Nya, mengabaikan ejekan musuh.
  2. "Fasalli lirabbika wanhar" (Maka laksanakanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah): Sebagai bentuk syukur atas karunia Al-Kawthar yang melimpah, Allah memerintahkan Nabi ﷺ untuk:
    • Salat (shalat): Melaksanakan salat dengan ikhlas hanya untuk Allah. Ini adalah ibadah terpenting yang menghubungkan hamba dengan Tuhannya.
    • Berkurban (wanhar): Menyembelih hewan kurban. Ini bisa merujuk pada kurban Idul Adha, atau kurban secara umum sebagai bentuk mendekatkan diri kepada Allah. Perintah ini juga menegaskan perbedaan dari kaum musyrikin yang berkurban untuk berhala-berhala mereka.
    Ayat ini mengajarkan bahwa nikmat yang besar harus direspon dengan ibadah yang tulus dan pengorbanan kepada Allah.
  3. "Inna syani'aka huwal abtar" (Sungguh, orang-orang yang membencimu dialah yang terputus (dari rahmat Allah)): Ayat terakhir ini adalah balasan atas ejekan kaum musyrikin. Bukan Nabi ﷺ yang terputus, melainkan orang yang membenci beliau dan dakwahnya, dialah "al-abtar" yang sebenarnya. Mereka terputus dari:
    • Kebaikan di dunia.
    • Kebaikan di akhirat.
    • Rahmat dan pertolongan Allah.
    • Disebutkan dengan baik.
    • Keturunan yang beriman dan mengingat Allah (karena keturunan mereka mengikuti jejak kekafiran).
    Ini adalah janji Allah bahwa musuh-musuh Nabi akan celaka dan nama mereka akan dilupakan atau diingat dengan keburukan, sedangkan nama Nabi ﷺ akan senantiasa dimuliakan dan dikenang di seluruh dunia hingga akhir zaman.

Pelajaran yang Dapat Dipetik:

Surah Al-Kawthar adalah pengingat akan kemurahan Allah dan keadilan-Nya, serta motivasi bagi setiap Muslim untuk senantiasa bersyukur dan beribadah dengan ikhlas.

Surah Al-Ma'un (Barang-barang yang Berguna)

Surah Al-Ma'un adalah surah ke-107 dalam Al-Qur'an dan termasuk golongan surah Makkiyah. Surah ini memberikan gambaran tentang karakter orang-orang yang mendustakan agama, menyoroti kemunafikan, kelalaian dalam ibadah, dan kurangnya kepedulian sosial mereka.

Ilustrasi timbangan miring, melambangkan keadilan yang tidak ditegakkan dan hak orang miskin yang diabaikan.

Teks Arab dan Terjemahan

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ ﴿١﴾

1. Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?

فَذَٰلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ ﴿٢﴾

2. Maka itulah orang yang menghardik anak yatim,

وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ الْمِسْكِينِ ﴿٣﴾

3. dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ ﴿٤﴾

4. Maka celakalah orang-orang yang salat,

الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ ﴿٥﴾

5. (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya,

الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ ﴿٦﴾

6. orang-orang yang berbuat riya,

وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ ﴿٧﴾

7. dan enggan (menolong dengan) barang berguna.

Asbabun Nuzul

Surah Al-Ma'un diturunkan di Mekkah, ketika Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabat menghadapi penentangan dari kaum musyrikin Quraisy. Konon, surah ini menyoroti karakteristik orang-orang munafik atau orang-orang kafir yang memiliki sedikit atau bahkan tidak ada kebaikan dalam diri mereka, meskipun secara lahiriah mungkin terlihat beragama. Beberapa riwayat menyebutkan surah ini merujuk kepada Al-Aas bin Wa'il atau Abu Jahl, yang suka menghardik anak yatim dan menolak memberi makan orang miskin.

Tafsir dan Pelajaran

Surah Al-Ma'un mengungkapkan ciri-ciri orang yang sebenarnya mendustakan agama, bukan hanya melalui perkataan, tetapi juga melalui tindakan dan kelalaian mereka.

  1. "Ara'aital ladzi yukadzdzibu bid diin?" (Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?): Pertanyaan retoris ini menarik perhatian pendengar pada tipe orang yang akan dijelaskan selanjutnya. Mendustakan agama berarti tidak percaya pada hari kiamat, hari perhitungan, pahala, dan azab. Ketidakpercayaan ini termanifestasi dalam perilaku buruk.
  2. "Fadzalikalladzi yadu'ul yatiim" (Maka itulah orang yang menghardik anak yatim): Anak yatim adalah golongan yang paling rentan dan membutuhkan kasih sayang serta perlindungan. Menghardik, menolak, atau berlaku kasar kepada anak yatim menunjukkan kekerasan hati dan ketiadaan empati, yang merupakan ciri pendusta agama. Mereka tidak peduli pada hak-hak orang lemah.
  3. "Wa laa yahudhdhu 'alaa tha'aamil miskin" (Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin): Tidak hanya tidak memberi makan sendiri, mereka bahkan tidak mendorong orang lain untuk melakukannya. Ini menunjukkan sifat kikir, tidak peduli terhadap sesama, dan tidak mengakui hak fakir miskin atas sebagian harta. Ini adalah kontras dengan ajaran Islam yang sangat menekankan kepedulian sosial.
  4. "Fawailul lil mushallin" (Maka celakalah orang-orang yang salat): Ayat ini memberikan peringatan keras. Celaka bukan karena mereka salat, tetapi karena sifat salat mereka. Ini mengarah pada kelompok munafik atau orang yang salat hanya untuk dilihat.
  5. "Alladzina hum 'an shalaatihim saahuun" ((Yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya): Kelalaian di sini bukan berarti tidak salat sama sekali, tetapi:
    • Menunda salat hingga lewat waktunya.
    • Melaksanakan salat tanpa khusyuk, tanpa memahami maknanya, hanya sekadar gerakan.
    • Tidak peduli terhadap kewajiban salat.
    • Melakukan salat tidak lengkap (misalnya tidak memenuhi rukunnya).
    Kelalaian ini menunjukkan bahwa salat mereka tidak memiliki pengaruh positif dalam hati dan perilaku mereka.
  6. "Alladzina hum yuraa'uun" (Orang-orang yang berbuat riya): Mereka salat atau melakukan amal kebaikan lainnya bukan karena Allah, melainkan untuk pamer, mencari pujian manusia, atau menjaga reputasi. Riya adalah syirik kecil yang membatalkan pahala amal. Ini menunjukkan tidak adanya keikhlasan dalam beribadah.
  7. "Wa yamna'unal maa'uun" (Dan enggan (menolong dengan) barang berguna): "Al-Ma'un" secara umum berarti barang-barang kecil dan sepele yang biasa dipinjamkan atau diberikan sebagai pertolongan sehari-hari, seperti garam, korek api, kapak, panci, atau bantuan kecil lainnya. Mengingkari pemberian barang-barang kecil ini menunjukkan kekikiran yang ekstrem dan tidak adanya semangat tolong-menolong. Ini adalah puncak dari egoisme dan tidak adanya rasa kemanusiaan.

Pelajaran yang Dapat Dipetik:

Surah Al-Ma'un adalah cermin bagi setiap Muslim untuk mengevaluasi kualitas iman dan amalnya, apakah sudah selaras antara hubungan dengan Allah dan hubungan dengan sesama manusia.

Surah Quraisy (Suku Quraisy)

Surah Quraisy adalah surah ke-106 dalam Al-Qur'an dan termasuk golongan surah Makkiyah. Surah ini merupakan kelanjutan dari Surah Al-Fil dan membahas tentang nikmat-nikmat besar yang Allah karuniakan kepada suku Quraisy, dan bagaimana seharusnya mereka merespons nikmat tersebut.

Ilustrasi karavan dagang yang aman di bawah perlindungan Ka'bah, merepresentasikan nikmat Allah kepada Quraisy.

Teks Arab dan Terjemahan

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

لِإِيلَافِ قُرَيْشٍ ﴿١﴾

1. Karena kebiasaan orang-orang Quraisy,

إِيلَافِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاءِ وَالصَّيْفِ ﴿٢﴾

2. (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas.

فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَٰذَا الْبَيْتِ ﴿٣﴾

3. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka'bah).

الَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ وَآمَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ ﴿٤﴾

4. Yang telah memberi makan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.

Asbabun Nuzul

Surah Quraisy sangat erat kaitannya dengan Surah Al-Fil. Setelah Allah menghancurkan pasukan bergajah yang ingin meruntuhkan Ka'bah, status dan martabat kaum Quraisy, penjaga Ka'bah, menjadi sangat terangkat di mata suku-suku Arab lainnya. Mereka dipandang sebagai "Ahlullah" (keluarga Allah) dan wilayah Mekkah menjadi sangat aman. Keamanan ini memungkinkan mereka untuk melakukan perjalanan dagang yang menguntungkan tanpa gangguan, baik di musim dingin ke Yaman maupun di musim panas ke Syam. Surah ini diturunkan untuk mengingatkan Quraisy akan nikmat-nikmat tersebut dan kewajiban mereka untuk menyembah Allah yang telah memberikannya.

Tafsir dan Pelajaran

Surah Quraisy adalah panggilan kepada kaum Quraisy untuk bersyukur atas nikmat-nikmat besar yang telah Allah anugerahkan kepada mereka, terutama keamanan dan kemakmuran, dan untuk meresponsnya dengan menyembah Allah semata.

  1. "Li iilaafi Quraisy" (Karena kebiasaan orang-orang Quraisy): Kata "iilaaf" berarti kebiasaan, ikatan, atau perjanjian. Ini merujuk pada kebiasaan atau ikatan perdagangan yang telah terbentuk dengan suku-suku lain, atau perjanjian damai yang mereka miliki yang memungkinkan perdagangan. Ayat ini juga sering ditafsirkan sebagai bentuk penghargaan Allah kepada kaum Quraisy atas peran mereka sebagai penjaga Ka'bah.
  2. "Iilaafihim rihlatasy syitaa'i wash shaiif" ((Yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas): Kaum Quraisy terkenal sebagai pedagang ulung. Mereka memiliki dua perjalanan dagang utama:
    • Rihlatasy Syita' (Perjalanan musim dingin): Menuju Yaman yang lebih hangat.
    • Wash Shaif (Musim panas): Menuju Syam (Suriah, Yordania, Palestina) yang lebih sejuk.
    Perjalanan-perjalanan ini sangat menguntungkan dan menjadi tulang punggung perekonomian Mekkah. Kelancaran dan keamanan perjalanan ini adalah nikmat besar dari Allah, terutama setelah peristiwa Abrahah, di mana reputasi Quraisy sebagai penjaga Ka'bah semakin kuat, membuat mereka dihormati dan tidak diganggu dalam perjalanan mereka.
  3. "Falyabudu rabba hadzal bait" (Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka'bah)): Ini adalah perintah utama surah ini. Setelah mengingatkan mereka akan nikmat keamanan dan kemakmuran yang memungkinkan perjalanan dagang mereka, Allah memerintahkan mereka untuk hanya menyembah Dia, Tuhan yang memiliki dan melindungi Ka'bah (Baitullah). Mereka adalah penjaga rumah-Nya, seharusnya mereka menjadi yang terdepan dalam menyembah-Nya, bukan menyekutukan-Nya dengan berhala.
  4. "Alladzi ath'amahum min ju'in wa aamanahum min khauf" (Yang telah memberi makan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan): Ayat ini merinci dua nikmat fundamental yang telah Allah berikan kepada mereka:
    • "Ath'amahum min ju'in" (Memberi makan dari kelaparan): Allah menyediakan rezeki bagi mereka melalui perdagangan yang subur, mengatasi potensi kelaparan di padang pasir yang tandus.
    • "Wa aamanahum min khauf" (Mengamankan mereka dari ketakutan): Ini adalah referensi langsung pada peristiwa Al-Fil dan perlindungan Mekkah dari serangan musuh. Sebelum peristiwa Al-Fil, Mekkah tidak seaman itu. Setelahnya, mereka aman dari serangan luar dan dihormati oleh suku-suku lain, memungkinkan perdagangan tanpa rasa takut.
    Dua nikmat dasar ini — makanan dan keamanan — adalah alasan paling mendasar bagi setiap manusia untuk bersyukur dan mengabdi kepada Sang Pemberi Nikmat.

Pelajaran yang Dapat Dipetik:

Surah Quraisy mengingatkan kita bahwa setiap kenyamanan, rezeki, dan keamanan yang kita nikmati adalah anugerah dari Allah, yang seharusnya memicu kita untuk lebih taat dan mendekatkan diri kepada-Nya.

Surah Al-Fil (Gajah)

Surah Al-Fil adalah surah ke-105 dalam Al-Qur'an dan termasuk golongan surah Makkiyah. Surah ini menceritakan peristiwa sejarah yang sangat terkenal, yaitu serangan pasukan bergajah yang dipimpin oleh Abrahah dari Yaman ke Mekkah dengan tujuan menghancurkan Ka'bah, dan bagaimana Allah menghancurkan mereka.

Ilustrasi seekor gajah besar, menggambarkan pasukan Abrahah yang hancur oleh kuasa Allah.

Teks Arab dan Terjemahan

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيلِ ﴿١﴾

1. Tidakkah engkau (Muhammad) perhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah?

أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِي تَضْلِيلٍ ﴿٢﴾

2. Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka'bah) sia-sia?

وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيلَ ﴿٣﴾

3. dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong,

تَرْمِيهِمْ بِحِجَارَةٍ مِنْ سِجِّيلٍ ﴿٤﴾

4. yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah liat yang dibakar,

فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَأْكُولٍ ﴿٥﴾

5. sehingga mereka dijadikan-Nya seperti daun-daun yang dimakan (ulat).

Kisah di Balik Surah (Asbabun Nuzul)

Surah Al-Fil menceritakan peristiwa yang terjadi sekitar 50-55 hari sebelum kelahiran Nabi Muhammad ﷺ, sekitar tahun 570 Masehi, yang kemudian dikenal sebagai "Tahun Gajah". Abrahah, penguasa Yaman yang merupakan gubernur Kerajaan Aksum (Ethiopia), membangun sebuah gereja megah di Sana'a dengan tujuan mengalihkan ibadah haji bangsa Arab dari Ka'bah di Mekkah ke gerejanya. Ketika sebuah insiden pengotoran gerejanya terjadi, Abrahah marah besar dan bersumpah akan menghancurkan Ka'bah. Ia memimpin pasukan besar yang dilengkapi dengan gajah-gajah perkasa (termasuk gajah terbesarnya bernama Mahmud) menuju Mekkah.

Dalam perjalanan, ketika mendekati Mekkah, gajah-gajah mereka menolak bergerak maju. Abdul Muththalib, kakek Nabi Muhammad ﷺ dan pemimpin Quraisy saat itu, berusaha bernegosiasi dengan Abrahah, namun Abrahah menolaknya. Abdul Muththalib kemudian meninggalkan urusan Ka'bah kepada penjagaan Allah. Saat Abrahah dan pasukannya bersiap menyerang, Allah mengirimkan kawanan burung Ababil (burung kecil yang berbondong-bondong) yang membawa batu-batu kecil dari sijjil (tanah liat yang terbakar) dan melemparkannya kepada pasukan Abrahah. Setiap batu mengenai satu prajurit, menembus tubuh mereka dan menghancurkan mereka, membuat tubuh mereka hancur seperti daun yang dimakan ulat. Abrahah sendiri terkena batu dan melarikan diri, tetapi meninggal dalam perjalanan pulang dengan tubuh yang membusuk.

Tafsir dan Pelajaran

Surah Al-Fil adalah bukti nyata akan kekuasaan Allah dalam melindungi rumah-Nya dan orang-orang yang beriman, meskipun dengan cara yang paling tidak terduga.

  1. "Alam tara kaifa fa'ala rabbuka bi ashabil fiil?" (Tidakkah engkau (Muhammad) perhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah?): Pertanyaan retoris ini mengajak Nabi ﷺ dan setiap Muslim untuk merenungkan peristiwa besar ini, yang terjadi tidak lama sebelum kelahiran Nabi. Meskipun Nabi belum lahir saat itu, kisahnya sangat terkenal di kalangan bangsa Arab, sehingga "tidakkah engkau perhatikan" berarti "tidakkah engkau ketahui dan renungkan". Ini menekankan bahwa Allah-lah yang mengatur dan melindungi.
  2. "Alam yaj'al kaidahum fii tadhlil?" (Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka'bah) sia-sia?): Abrahah memiliki rencana yang matang dan kekuatan militer yang besar. Namun, Allah menjadikan semua itu sia-sia dan tersesat. Gajah-gajah yang menjadi kekuatan utama mereka, menolak untuk bergerak, menunjukkan kekuasaan Allah atas makhluk-Nya yang paling besar sekalipun.
  3. "Wa arsala 'alaihim thairan ababil" (dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong): Untuk menghancurkan pasukan yang perkasa ini, Allah tidak menggunakan kekuatan militer atau bencana alam yang dahsyat, melainkan makhluk-Nya yang paling kecil dan tak berdaya: burung-burung kecil yang datang "ababil" (berkelompok-kelompok atau berbondong-bondong). Ini menunjukkan keagungan kekuasaan Allah yang mampu menggunakan sarana apapun untuk mencapai kehendak-Nya.
  4. "Tarmiihim bi hijaaratim min sijjiil" (yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah liat yang dibakar): Burung-burung ini membawa batu-batu kecil yang terbuat dari "sijjil", yaitu tanah liat yang mengeras atau dibakar. Meskipun kecil, batu-batu ini memiliki efek yang mematikan, menembus tubuh prajurit dan gajah, menyebabkan kehancuran yang mengerikan.
  5. "Faja'alahum ka'ashfim ma'kul" (sehingga mereka dijadikan-Nya seperti daun-daun yang dimakan (ulat)): Ayat penutup ini menggambarkan kondisi akhir pasukan Abrahah. Tubuh mereka hancur lebur, seolah-olah dimakan ulat atau serangga, menjadi remah-remah yang tak berarti. Ini adalah gambaran yang mengerikan tentang kehancuran total dan kehinaan.

Pelajaran yang Dapat Dipetik:

Surah Al-Fil adalah pengingat abadi tentang kebesaran Allah, perlindungan-Nya atas agama-Nya, dan nasib buruk bagi mereka yang menentang kebenaran.

Surah Al-Humazah (Pengumpat)

Surah Al-Humazah adalah surah ke-104 dalam Al-Qur'an dan termasuk golongan surah Makkiyah. Surah ini memberikan peringatan keras dan ancaman azab bagi orang-orang yang suka mencela, mengumpat, mengumpulkan harta benda, dan merasa dirinya akan kekal karena kekayaannya.

Ilustrasi mulut yang mencela dan tumpukan harta, melambangkan sifat buruk yang dikutuk dalam surah ini.

Teks Arab dan Terjemahan

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ ﴿١﴾

1. Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela,

الَّذِي جَمَعَ مَالًا وَعَدَّدَهُ ﴿٢﴾

2. yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya,

يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ ﴿٣﴾

3. dia (manusia) mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya.

كَلَّا ۖ لَيُنْبَذَنَّ فِي الْحُطَمَةِ ﴿٤﴾

4. Sekali-kali tidak! Pasti dia akan dilemparkan ke dalam (neraka) Hutamah.

وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْحُطَمَةُ ﴿٥﴾

5. Dan tahukah kamu apakah (neraka) Hutamah itu?

نَارُ اللَّهِ الْمُوقَدَةُ ﴿٦﴾

6. (Yaitu) api (azab) Allah yang dinyalakan,

الَّتِي تَطَّلِعُ عَلَى الْأَفْئِدَةِ ﴿٧﴾

7. yang membakar sampai ke hati.

إِنَّهَا عَلَيْهِمْ مُؤْصَدَةٌ ﴿٨﴾

8. Sungguh, api itu ditutup rapat atas (diri) mereka,

فِي عَمَدٍ مُمَدَّدَةٍ ﴿٩﴾

9. (sedangkan mereka) diikat pada tiang-tiang yang panjang.

Asbabun Nuzul

Surah Al-Humazah diturunkan di Mekkah pada masa awal dakwah Nabi Muhammad ﷺ, ketika beliau dan para sahabat menghadapi ejekan dan penindasan dari para pemimpin Quraisy yang kaya dan berkuasa. Beberapa riwayat menyebutkan surah ini secara khusus ditujukan kepada tokoh-tokoh seperti Walid bin Mughirah, Umayyah bin Khalaf, atau Al-Akhnas bin Syuraiq. Mereka dikenal karena kekayaan mereka dan kebiasaan mereka mencela, mengolok-olok orang lain (terutama Nabi Muhammad ﷺ dan kaum Muslimin), serta merasa bangga dengan harta benda mereka seolah-olah itu akan membuat mereka kekal di dunia.

Tafsir dan Pelajaran

Surah Al-Humazah adalah peringatan keras terhadap tiga dosa utama: mengumpat, mencela, dan terperdaya oleh harta kekayaan, yang semuanya berujung pada azab neraka yang pedih.

  1. "Wailul likulli humazatil lumazah" (Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela): "Wail" adalah kata yang menunjukkan kecelakaan atau lembah di neraka.
    • "Humazah": Orang yang suka mencela, mengumpat, atau menjatuhkan orang lain dengan perkataan atau isyarat (misalnya, gerakan bibir atau mata) di belakang punggung mereka. Ini adalah fitnah dan ghibah.
    • "Lumazah": Orang yang suka mencela atau mencari-cari kesalahan orang lain, baik dengan kata-kata kasar maupun sindiran, secara langsung (di hadapan mereka).
    Kedua sifat ini menunjukkan kebiasaan buruk yang merusak hubungan antarmanusia dan menunjukkan hati yang kotor.
  2. "Alladzi jama'a malaw wa 'addadah" (Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya): Ayat ini menggambarkan obsesi mereka terhadap harta. Mereka tidak hanya mengumpulkan harta, tetapi juga menghitung-hitungnya dengan bangga, menjadikannya tujuan hidup, tanpa mempedulikan dari mana harta itu didapat atau bagaimana hak-hak orang lain atas harta tersebut. Mereka kikir dan enggan bersedekah.
  3. "Yahsabuan na maalahu akhladah" (Dia (manusia) mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya): Inilah puncak kesesatan mereka. Karena terpukau dengan kekayaan dan kekuasaan duniawi, mereka berpikir bahwa harta tersebut dapat menjamin kekekalan hidup, melindungi mereka dari kematian, atau dari azab Allah. Ini adalah kesombongan dan kelalaian terhadap akhirat.
  4. "Kalla! Layunbadzanna fil huthamah" (Sekali-kali tidak! Pasti dia akan dilemparkan ke dalam (neraka) Hutamah): Kata "kalla" adalah penolakan tegas atas anggapan mereka. Mereka tidak akan kekal. Justru, mereka akan dilemparkan ("layunbadzanna" - dilempar dengan paksa dan hina) ke dalam "Al-Hutamah".
  5. "Wama adraka mal huthamah?" (Dan tahukah kamu apakah (neraka) Hutamah itu?): Pertanyaan ini mengisyaratkan betapa dahsyatnya Hutamah, sehingga Allah sendiri bertanya untuk menimbulkan rasa takut dan keingintahuan.
  6. "Narullahil muqadah" ((Yaitu) api (azab) Allah yang dinyalakan): Hutamah adalah api ciptaan Allah yang dinyalakan dengan sangat dahsyat, berbeda dengan api dunia.
  7. "Allati taththali'u 'alal af'idah" (Yang membakar sampai ke hati): Ini adalah salah satu ciri paling menakutkan dari Hutamah. Api ini tidak hanya membakar fisik, tetapi juga menembus hingga ke relung hati, tempat tumbuhnya sifat-sifat buruk seperti kedengkian, kesombongan, dan kekikiran. Ini adalah azab yang sangat pedih, baik fisik maupun spiritual.
  8. "Innaha 'alaihim mu'shadah" (Sungguh, api itu ditutup rapat atas (diri) mereka): Setelah mereka masuk ke dalamnya, pintu neraka akan ditutup rapat, sehingga tidak ada harapan untuk keluar, dan tidak ada udara segar yang masuk. Ini menambah kengerian dan keputusasaan azab.
  9. "Fi 'amadim mumaddadah" ((Sedangkan mereka) diikat pada tiang-tiang yang panjang): Ayat terakhir ini menggambarkan kondisi mereka di dalam neraka yang tertutup rapat, mereka diikat pada tiang-tiang panjang, menambah rasa terperangkap, tidak berdaya, dan siksaan yang tak berkesudahan.

Pelajaran yang Dapat Dipetik:

Surah Al-Humazah adalah peringatan keras bagi kita semua untuk menjaga lisan, tidak terbuai oleh gemerlap dunia, dan senantiasa berorientasi pada kehidupan akhirat.

Penutup

Demikianlah penjelajahan kita menelusuri hikmah dan pelajaran dari sebelas surah terakhir dalam Al-Qur'an, yaitu dari Surah An-Nas hingga Surah Al-Humazah. Meskipun pendek dalam jumlah ayat, setiap surah ini sarat dengan makna yang mendalam dan relevansi yang abadi bagi kehidupan Muslim.

Dari Surah An-Nas dan Al-Falaq, kita belajar tentang pentingnya memohon perlindungan total kepada Allah dari segala bentuk kejahatan, baik yang lahir maupun batin, yang terlihat maupun tersembunyi. Surah Al-Ikhlas memantapkan akidah kita akan keesaan Allah yang murni, tanpa sekutu dan tandingan, sebagai fondasi utama keimanan. Surah Al-Masad dan Al-Kawthar menunjukkan janji dan ancaman Allah yang pasti, bagi mereka yang membela kebenaran maupun yang menentangnya, sekaligus menghibur Nabi Muhammad ﷺ di kala sulit.

Surah An-Nasr mengajarkan kita untuk bersyukur, bertasbih, dan beristighfar di kala kemenangan dan kesuksesan, menjauhkan diri dari kesombongan. Surah Al-Kafirun menegaskan prinsip toleransi beragama yang benar, yaitu menghargai keyakinan orang lain tanpa mengorbankan kemurnian akidah kita sendiri. Sementara itu, Surah Al-Ma'un dan Al-Humazah memberikan gambaran jelas tentang ciri-ciri pendusta agama dan orang-orang yang celaka: kelalaian dalam ibadah, riya, ketidakpedulian sosial, serta kesombongan dan obsesi terhadap harta.

Kisah Surah Al-Fil menegaskan kekuasaan Allah dalam melindungi rumah-Nya dan menghancurkan para penentang-Nya dengan cara yang paling tak terduga, sedangkan Surah Quraisy mengingatkan kita untuk mensyukuri nikmat keamanan dan rezeki dengan beribadah kepada Sang Pemberi Nikmat.

Setiap surah ini, pada dasarnya, adalah sebuah miniatur dari seluruh pesan Al-Qur'an: menyeru kepada tauhid, mengajarkan akhlak mulia, memperingatkan akan hari pembalasan, dan menunjukkan jalan menuju kebahagiaan sejati di dunia dan akhirat. Mari kita jadikan pemahaman ini sebagai bekal untuk memperbaiki diri, meningkatkan ibadah, memperkuat kepedulian sosial, dan senantiasa menggantungkan harapan hanya kepada Allah SWT. Semoga kita termasuk golongan orang-orang yang mengambil pelajaran dari setiap firman-Nya.

🏠 Homepage