Surah Al-Lahab adalah salah satu surah pendek dalam Al-Qur'an, yang meskipun singkat, mengandung pesan yang sangat mendalam dan peringatan keras. Surah ini turun di Mekkah dan secara langsung ditujukan kepada paman Nabi Muhammad SAW, Abu Lahab, serta istrinya, Ummu Jamil, karena permusuhan dan perlawanan mereka yang ekstrem terhadap dakwah Islam. Setiap ayat dalam surah ini merangkai gambaran tentang hukuman dan kehinaan yang akan menimpa mereka di dunia dan akhirat. Ayat kelima, secara khusus, adalah puncak dari ancaman tersebut, menggambarkan kondisi tragis istri Abu Lahab di neraka.
Memahami "arti Surah Al-Lahab ayat 5" bukan hanya sekadar menerjemahkan lafaznya, melainkan juga menggali konteks historis, linguistik, dan tafsir para ulama untuk menangkap esensi pesan ilahinya. Ayat ini menyingkap tabir tentang keadilan Allah SWT yang tidak pernah keliru, serta konsekuensi pahit bagi mereka yang memilih jalan kekafiran, penentangan, dan penyebaran fitnah terhadap kebenaran.
Artikel ini akan mengupas tuntas arti Surah Al-Lahab ayat 5, mulai dari konteks umum surah, asbabun nuzul (sebab turunnya ayat), tafsir per kata, hingga hikmah dan pelajaran yang bisa diambil oleh umat manusia di setiap zaman. Kita akan menyelami makna di balik "tali dari sabut" dan bagaimana gambaran tersebut melambangkan azab yang pedih dan kehinaan yang abadi.
Surah Al-Lahab, yang juga dikenal sebagai Surah Al-Masad, terdiri dari lima ayat. Surah ini merupakan salah satu dari sedikit surah dalam Al-Qur'an yang secara eksplisit menyebut nama seseorang, yaitu Abu Lahab. Nama surah ini sendiri, Al-Lahab, berarti "api yang bergejolak" atau "bara api," yang merujuk pada salah satu makna nama Abu Lahab, dan juga menggambarkan nasibnya di akhirat. Sementara Al-Masad merujuk pada "tali dari sabut" yang disebutkan pada ayat terakhir, yaitu ayat 5 yang akan kita bahas secara mendalam.
Surah ini menggambarkan kehancuran dan kerugian bagi Abu Lahab. Dia dikutuk karena secara terang-terangan menentang dakwah Nabi Muhammad SAW sejak awal, bahkan ketika Nabi baru pertama kali menyampaikan wahyu kepada kaumnya di bukit Safa. Abu Lahab adalah paman Nabi, namun ia menjadi musuh paling bebuyutan yang tak segan-segan mencela dan menghina keponakannya sendiri. Sikap permusuhan ini tidak hanya terbatas pada Abu Lahab, tetapi juga melibatkan istrinya, Ummu Jamil, yang dikenal dengan nama panggilan "Hamalatul Hathab" (pembawa kayu bakar).
Berikut adalah keseluruhan Surah Al-Lahab:
Dari rangkaian ayat di atas, kita dapat melihat bagaimana Surah Al-Lahab membangun narasi hukuman yang sangat spesifik dan personal. Ayat pertama adalah kutukan langsung, ayat kedua menjelaskan bahwa kekayaan tidak akan menyelamatkan, ayat ketiga mengancam dengan neraka api yang bergejolak, ayat keempat menunjuk pada istrinya, dan akhirnya ayat kelima, fokus kita, memberikan detail tentang azab yang akan menimpa istri Abu Lahab.
Asbabun Nuzul Surah Al-Lahab sangat penting untuk memahami "arti Surah Al-Lahab ayat 5" dan seluruh surah ini. Kisah ini diriwayatkan dalam banyak hadis shahih, termasuk dalam Shahih Bukhari dan Muslim. Ketika Allah SWT menurunkan firman-Nya kepada Nabi Muhammad SAW:
Nabi Muhammad SAW naik ke bukit Safa dan memanggil kaum Quraisy, termasuk kerabat-kerabatnya. Beliau bertanya, "Bagaimana pendapat kalian jika aku memberitahu kalian bahwa ada pasukan berkuda di balik bukit ini yang akan menyerang kalian, apakah kalian akan memercayaiku?" Mereka menjawab, "Kami belum pernah mendengar engkau berdusta." Kemudian Nabi bersabda, "Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan bagi kalian akan azab yang pedih."
Mendengar perkataan Nabi ini, Abu Lahab dengan marah berkata, "Celakalah kamu! Apakah hanya untuk ini kamu mengumpulkan kami?" Lalu ia melemparkan batu atau mengucapkan kata-kata celaan kepada Nabi SAW. Sejak saat itu, Abu Lahab menjadi penentang paling keras dan terang-terangan terhadap dakwah Islam, mengikuti Nabi ke mana pun beliau pergi, menghina, dan berusaha menghalang-halangi orang lain untuk mendengarkan pesan Nabi. Istrinya, Ummu Jamil, juga turut serta dalam permusuhan ini, seringkali menyebarkan duri-duri di jalan yang akan dilalui Nabi SAW dan menyebarkan fitnah.
Menanggapi permusuhan dan celaan Abu Lahab yang melampaui batas, Allah SWT menurunkan Surah Al-Lahab ini sebagai bentuk pembelaan terhadap Rasul-Nya dan sebagai peringatan keras bagi Abu Lahab dan istrinya. Ini adalah mukjizat Al-Qur'an, karena surah ini turun ketika Abu Lahab dan istrinya masih hidup, secara spesifik meramalkan nasib buruk mereka di akhirat. Ramalan ini terbukti benar, karena keduanya meninggal dalam keadaan kafir.
Sekarang mari kita fokus pada "arti Surah Al-Lahab ayat 5" dan menafsirkannya secara mendalam.
Ayat ini adalah kelanjutan dari ayat sebelumnya yang berbicara tentang istri Abu Lahab, Ummu Jamil, yang disebut sebagai "ḥammālatul ḥaṭab" (pembawa kayu bakar). Ayat ini menggambarkan secara spesifik hukuman yang akan menimpa dirinya di akhirat.
Jadi, "Fī Jīdihā" berarti "Di lehernya" atau "Pada lehernya." Penggunaan kata "jīd" yang spesifik untuk leher wanita memberikan nuansa tambahan. Leher adalah bagian tubuh yang menopang kepala dan seringkali menjadi tempat perhiasan. Namun, dalam konteks ini, leher Ummu Jamil akan dibebani dengan sesuatu yang sangat berbeda dari perhiasan, yaitu tali siksaan.
Jadi, "Ḥablum Mim Masad" berarti "tali dari sabut" atau "tali yang terbuat dari serat pohon kurma yang kasar."
Ketika digabungkan, "Fī Jīdihā Ḥablum Mim Masad" (Di lehernya ada tali dari sabut) memiliki beberapa lapisan makna yang telah ditafsirkan oleh para ulama:
Salah satu penafsiran yang paling umum adalah bahwa tali sabut ini adalah balasan yang setimpal dengan perbuatan Ummu Jamil di dunia. Di dunia, dia menggunakan tali sabut untuk mengikat kayu bakar (duri dan kotoran) yang akan disebarkannya di jalan Nabi Muhammad SAW untuk menyakiti beliau. Maka di akhirat, tali yang sama akan melilit lehernya sebagai hukuman. Ini menunjukkan keadilan Allah SWT yang menghukum sesuai dengan amal perbuatan hamba-Nya.
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan, "Dia adalah Ummu Jamil, istri Abu Lahab. Dia suka menyebarkan duri di jalanan untuk menyakiti Rasulullah SAW. Jadi, dia dipanggil 'pembawa kayu bakar' karena perbuatannya itu. Pada hari kiamat, di lehernya akan ada tali dari sabut, seolah-olah dia membawa kayu bakar dari api neraka yang diikat dengan tali dari sabut."
Tali sabut juga melambangkan kehinaan dan kesengsaraan. Tali jenis ini sangat kasar, tidak nyaman, dan biasa digunakan untuk pekerjaan berat atau untuk mengikat budak atau tawanan. Dengan demikian, gambaran ini merendahkan Ummu Jamil, menunjukkan bahwa ia akan menjadi hina dan menderita di akhirat, berlawanan dengan statusnya yang mulia di dunia sebagai istri bangsawan Quraisy.
Penafsiran lain melihat "tali dari sabut" sebagai metafora atau simbol untuk rantai dan belenggu api neraka. Meskipun secara harfiah disebut "tali dari sabut," namun di akhirat, tali tersebut tentu bukan sabut biasa, melainkan azab yang menyerupai tali yang sangat kuat dan panas membakar, terbuat dari bahan-bahan neraka yang tidak bisa kita bayangkan. Fungsi tali tersebut adalah untuk mencekik atau membelenggu lehernya, menambah penderitaannya.
Para ulama juga menafsirkan "sabut" sebagai sesuatu yang sangat kasar dan menyakitkan. Di neraka, tali ini akan menjadi alat siksaan yang menyengat dan membakar lehernya. Ini adalah gambaran dari siksaan fisik yang akan dialaminya, sejalan dengan gambaran api neraka yang disebutkan pada ayat sebelumnya.
Selain itu, penggunaan "masad" yang dalam bahasa Arab juga bisa berarti "sesuatu yang dipintal dengan kuat dan keras," mengisyaratkan bahwa tali ini akan sangat kokoh dan tidak mudah lepas, menunjukkan kekalnya azab yang menimpanya.
Ayat 5 tidak dapat dipisahkan dari ayat 4, "Wamra'atuhu, ḥammālatal ḥaṭab" (Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar). Keterkaitan antara keduanya sangat kuat:
Surah Al-Lahab memiliki konteks historis yang sangat kuat yang membuatnya unik dan istimewa:
Meskipun Surah Al-Lahab ayat 5 membahas hukuman bagi individu tertentu, pelajaran dan hikmah yang terkandung di dalamnya sangat relevan bagi seluruh umat manusia hingga akhir zaman. Berikut adalah beberapa hikmah penting:
Ayat ini secara jelas menunjukkan bahwa ada konsekuensi yang sangat berat dan nyata bagi orang-orang yang menentang kebenaran, khususnya dalam bentuk menyebarkan fitnah dan kebencian. Ummu Jamil, dengan perannya sebagai "pembawa kayu bakar," melambangkan setiap individu yang menggunakan lidah, tulisan, atau tindakannya untuk menghasut, memfitnah, atau merintangi jalan dakwah kebaikan. Ayat ini menegaskan bahwa perbuatan tersebut tidak akan luput dari perhitungan Allah, dan balasannya adalah kehinaan serta azab yang pedih di akhirat.
Ini adalah peringatan keras bagi siapa saja yang terlibat dalam gosip, hoaks, ujaran kebencian, atau upaya sabotase moral dan spiritual masyarakat. Setiap kata dan tindakan yang bertujuan merusak reputasi orang lain atau menghalangi kebaikan akan diperhitungkan, dan hasilnya bisa jauh lebih mengerikan daripada sekadar kerugian duniawi.
Sebaliknya, Surah Al-Lahab secara implisit menekankan pentingnya iman dan amal saleh. Jika permusuhan dan perbuatan buruk mengantarkan pada azab, maka keimanan dan perbuatan baik adalah jalan menuju keselamatan dan kebahagiaan. Ayat ini mempertegas bahwa tidak ada kekerabatan, harta, atau kedudukan sosial yang akan menyelamatkan seseorang dari murka Allah jika ia memilih jalan kekafiran dan kemaksiatan. Satu-satunya jalan keluar adalah dengan beriman dan mengerjakan amal saleh.
Ini mendorong umat Islam untuk senantiasa introspeksi diri, memperbaiki niat, dan memastikan bahwa setiap tindakan mereka selaras dengan ajaran Islam. Sebab, balasan di akhirat adalah cerminan sempurna dari apa yang telah dikerjakan di dunia.
Allah SWT adalah Maha Adil. Ayat 5 menunjukkan bahwa hukuman yang diberikan setimpal dengan dosa yang dilakukan. Ummu Jamil yang menggunakan tali sabut untuk mengumpulkan duri dan menyakiti Nabi di dunia, akan dibalas dengan tali sabut yang melilit lehernya di akhirat. Ini adalah cerminan dari prinsip "balasan sesuai dengan perbuatan" (جَزَاءً وِفَاقًا). Keadilan Allah tidak dapat ditawar dan tidak memandang bulu.
Hikmah ini menumbuhkan rasa takut kepada Allah dan keyakinan akan keadilan-Nya. Tidak ada dosa sekecil apapun yang luput dari catatan, dan tidak ada kebaikan sekecil apapun yang tidak diberi balasan. Ini mendorong manusia untuk berhati-hati dalam setiap ucapan dan perbuatan, karena semua akan kembali kepada diri sendiri.
Gambaran "tali dari sabut di lehernya" adalah simbol dari azab yang tidak hanya fisik tetapi juga sangat memalukan dan menghinakan. Tali yang kasar dan mencekik menggambarkan penderitaan yang terus-menerus. Jika di dunia, tali sabut dapat dilepas, di akhirat tali itu akan menjadi bagian dari siksaan abadi. Ini mengingatkan kita pada realitas azab neraka yang sangat pedih dan kekal, yang jauh melampaui segala bentuk penderitaan di dunia.
Penggambaran ini berfungsi sebagai pengingat kuat akan dahsyatnya neraka dan urgensi untuk menghindari segala perbuatan yang dapat mengantarkan ke sana. Ini juga menegaskan bahwa hukuman Allah bagi orang-orang yang menentang kebenaran-Nya bukanlah hukuman sementara, melainkan konsekuensi abadi yang tidak akan pernah berakhir.
Kisah Ummu Jamil dan hukuman yang menimpanya adalah pelajaran tentang pentingnya menjaga lisan dan perilaku. Ummu Jamil dikenal sebagai penyebar fitnah dan penghasut. Perbuatan lisan yang buruk dan tindakan yang menyakiti orang lain, apalagi terhadap Nabi Allah, memiliki konsekuensi yang sangat serius. Ayat ini mengajarkan bahwa perkataan dan perbuatan buruk dapat menjadi "kayu bakar" yang menyulut api neraka bagi pelakunya.
Dalam konteks modern, ini relevan dengan fenomena penyebaran berita palsu (hoaks), cyberbullying, dan ujaran kebencian di media sosial. Ayat ini menjadi pengingat bahwa setiap kata yang diucapkan atau ditulis memiliki pertanggungjawaban di hadapan Allah.
Fakta bahwa Abu Lahab adalah paman Nabi Muhammad SAW dan istrinya adalah bibi Nabi, namun keduanya mendapat ancaman azab yang keras, menunjukkan bahwa kekerabatan atau ikatan darah tidak akan menjamin keselamatan di akhirat. Yang menentukan adalah iman dan amal saleh. Hubungan duniawi, kekayaan, atau status sosial tidak akan berguna di hadapan Allah jika hati dipenuhi dengan kekafiran dan permusuhan terhadap kebenaran.
Pelajaran ini sangat krusial untuk dipahami, karena seringkali manusia mengandalkan hubungan atau status untuk merasa aman. Namun, Islam mengajarkan bahwa setiap jiwa bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Ini mendorong setiap individu untuk secara personal membangun hubungan yang kuat dengan Allah SWT.
Surah ini juga menunjukkan betapa Allah SWT sangat melindungi dan membela Rasul-Nya. Ketika Nabi Muhammad SAW dicaci maki dan disakiti oleh paman dan bibinya sendiri, Allah tidak tinggal diam. Dia menurunkan wahyu yang secara langsung mengutuk perbuatan mereka dan menjamin azab bagi keduanya. Ini adalah tanda kehormatan dan kemuliaan Nabi Muhammad SAW di sisi Allah.
Bagi umat Islam, ini adalah pengingat bahwa mencintai dan membela Nabi Muhammad SAW adalah bagian dari iman. Allah sendiri yang membela beliau, dan umat Muslim diharapkan untuk mengikuti teladan ini, namun dengan cara yang bijaksana dan penuh hikmah.
Meskipun Surah Al-Lahab diturunkan untuk Abu Lahab dan Ummu Jamil, pesan utamanya bersifat universal. Siapapun yang menunjukkan perilaku serupa – menentang kebenaran, menyebarkan fitnah, menghina para penyeru kebaikan, atau merintangi jalan dakwah – akan menghadapi konsekuensi serupa. Azab di akhirat adalah realitas bagi semua yang memilih jalan kekafiran dan kemaksiatan secara terang-terangan dan konsisten.
Ini adalah seruan bagi setiap manusia untuk merenungkan pilihan hidup mereka, apakah mereka ingin menjadi seperti Abu Lahab dan istrinya yang menentang kebenaran dan berakhir dengan kehinaan, atau mengikuti jalan para Nabi dan orang-orang saleh yang berujung pada kebahagiaan abadi.
Ayat 5, yang menggambarkan "tali di lehernya," dapat dihubungkan kembali dengan ayat pertama yang mengutuk "kedua tangan Abu Lahab." Jika tangan Abu Lahab dikutuk karena perbuatan zalimnya, maka leher Ummu Jamil (bagian yang menopang kepala yang berisi lidah) dibebani karena perbuatan lisannya yang menyebarkan fitnah. Ini adalah pengingat betapa besar tanggung jawab atas penggunaan anggota tubuh kita – tangan untuk bertindak, dan lidah untuk berbicara. Keduanya dapat menjadi penyebab masuknya seseorang ke dalam neraka jika digunakan untuk kejahatan.
Umat Islam diajarkan untuk menggunakan lidah mereka untuk berzikir, membaca Al-Qur'an, berbicara yang baik, atau diam. Tangan digunakan untuk beribadah, bekerja, menolong, dan menulis kebaikan. Kontras antara penggunaan anggota tubuh yang baik dan yang buruk sangat ditekankan dalam ajaran Islam.
Berbagai ulama tafsir klasik dan kontemporer memiliki penekanan yang sedikit berbeda dalam menafsirkan arti Surah Al-Lahab ayat 5, namun esensinya tetap sama:
Dalam perspektif modern, relevansi "arti Surah Al-Lahab ayat 5" semakin terasa di era informasi digital. Penyebaran fitnah dan kebencian dapat dilakukan dengan sangat cepat dan luas melalui media sosial. Ummu Jamil, si pembawa kayu bakar, bisa dianalogikan dengan "keyboard warrior" atau "netizen" yang dengan mudah menyebarkan hoaks atau ujaran kebencian tanpa memikirkan konsekuensinya. Ayat ini menjadi peringatan keras bahwa setiap perbuatan di dunia maya pun akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT, dan balasannya bisa jadi berupa "tali dari sabut" di lehernya di akhirat.
Arti Surah Al-Lahab ayat 5, "Di lehernya ada tali dari sabut," adalah puncak dari ancaman azab bagi Ummu Jamil, istri Abu Lahab, yang secara aktif menentang dan menyakiti Nabi Muhammad SAW. Ayat ini, beserta keseluruhan surah, bukan sekadar kisah masa lalu, melainkan pelajaran abadi tentang keadilan Allah SWT dan konsekuensi bagi mereka yang memilih jalan kekafiran, penentangan, dan penyebaran fitnah.
Melalui gambaran tali sabut yang kasar dan mencekik, Al-Qur'an memberikan peringatan yang jelas: tidak ada kekayaan, kekerabatan, atau status sosial yang dapat menyelamatkan seseorang dari murka Allah jika ia berbuat kerusakan di muka bumi. Sebaliknya, setiap perbuatan, baik lisan maupun tindakan, akan mendapatkan balasan yang setimpal.
Maka, hikmah dari ayat ini mendorong kita untuk senantiasa introspeksi, menjaga lisan dan perbuatan, serta meneguhkan iman dan amal saleh. Agar kita tidak termasuk golongan orang-orang yang lehernya akan dibelenggu dengan "tali dari sabut" di hari akhirat, melainkan termasuk golongan yang berbahagia karena taat kepada kebenaran.
Semoga kita semua dapat mengambil pelajaran berharga dari Surah Al-Lahab, khususnya ayat kelima ini, untuk menjadi pribadi yang lebih baik, senantiasa menyeru kepada kebaikan, dan menjauhi segala bentuk kemungkaran dan fitnah.