Pendahuluan: Memahami Surat Al-Lail
Surat Al-Lail, yang berarti "Malam", adalah salah satu surat Makkiyah, yaitu surat-surat yang diturunkan sebelum Nabi Muhammad hijrah ke Madinah. Surat ini terdiri dari 21 ayat dan merupakan surat ke-92 dalam mushaf Al-Qur'an. Penempatan Al-Lail di dalam juz 'Amma (juz 30) menjadikannya mudah diakses dan sering dibaca oleh umat Islam dalam shalat maupun wirid harian.
Meskipun singkat, Surat Al-Lail mengandung pesan-pesan yang sangat mendalam dan fundamental mengenai pilihan hidup manusia, konsekuensi dari perbuatan, serta prinsip dualitas dalam penciptaan dan kehidupan. Tema sentralnya berputar pada dua jalan yang berbeda yang dapat ditempuh manusia: jalan ketakwaan dan kedermawanan, atau jalan kekikiran dan kesombongan. Allah SWT dengan tegas menjelaskan bahwa setiap pilihan akan membawa pada hasil yang berbeda, baik di dunia maupun di akhirat.
Surat ini dibuka dengan sumpah Allah SWT atas berbagai ciptaan-Nya yang menunjukkan dualitas, seperti malam dan siang, serta penciptaan laki-laki dan perempuan. Sumpah-sumpah ini tidak hanya menegaskan kebesaran dan kekuasaan Allah, tetapi juga menjadi pengantar bagi tema utama surat ini: dualitas perbuatan manusia dan balasan yang menyertainya. Al-Lail menyoroti kontras antara mereka yang berinfak di jalan Allah dengan ikhlas dan mereka yang menahan harta serta mendustakan kebenaran, menjelaskan bahwa Allah akan mempermudah jalan bagi golongan pertama menuju kebahagiaan, dan mempermudah jalan bagi golongan kedua menuju kesengsaraan.
Pemahaman yang komprehensif terhadap setiap ayat dalam Surat Al-Lail, dari ayat 1 hingga 21, akan membuka wawasan kita tentang nilai-nilai keimanan, ketakwaan, pentingnya keikhlasan dalam beramal, serta peringatan keras terhadap sifat bakhil dan pendustaan terhadap agama. Mari kita selami lebih dalam makna dan tafsir dari setiap ayat untuk mengambil pelajaran berharga bagi kehidupan kita.
Gambaran Umum dan Tema Sentral Surat Al-Lail
Surat Al-Lail memiliki struktur narasi yang kuat, dimulai dengan serangkaian sumpah ilahi yang mengantarkan pada inti pesan. Sumpah-sumpah ini bukanlah sekadar retorika, melainkan penegasan akan pentingnya hal yang akan disampaikan. Malam, siang, dan penciptaan makhluk hidup berpasangan (laki-laki dan perempuan) adalah fenomena universal yang mengandung hikmah dan tanda-tanda kebesaran Allah. Melalui sumpah ini, Allah mengajak manusia untuk merenungkan tatanan alam semesta dan menyadari bahwa di balik setiap ciptaan terdapat kebijaksanaan yang mendalam.
Tema sentral surat ini adalah dualitas: dua jalan, dua jenis perbuatan, dan dua hasil akhir. Kontras ini disajikan secara gamblang untuk memudahkan pemahaman manusia akan pilihan-pilihan moral yang harus diambil dalam hidup. Allah membandingkan mereka yang memberi dan bertakwa dengan mereka yang kikir dan mendustakan kebaikan. Perbandingan ini bukan hanya tentang amal perbuatan, tetapi juga tentang kondisi hati dan niat di baliknya. Islam sangat menekankan pentingnya niat (ikhlas) dalam setiap ibadah dan tindakan.
Pesan utama surat ini dapat dirangkum sebagai berikut:
- Dualitas Penciptaan dan Hidup: Allah menciptakan segala sesuatu berpasangan dan dengan keseimbangan. Ini menjadi isyarat bahwa dalam kehidupan manusia pun terdapat dua jalur yang berbeda dengan konsekuensi yang berbeda pula.
- Pilihan dan Konsekuensi: Manusia diberikan kebebasan untuk memilih jalannya. Pilihan untuk berinfak, bertakwa, dan membenarkan kebenaran akan menghasilkan kemudahan dan kebahagiaan. Sebaliknya, pilihan untuk bakhil, sombong, dan mendustakan kebenaran akan berakhir pada kesulitan dan kesengsaraan.
- Pentingnya Infak dan Ketakwaan: Surat ini secara khusus menyoroti infak (sedekah) sebagai salah satu pilar kebaikan, terutama infak yang dilandasi ketakwaan dan keikhlasan, tanpa mengharap balasan duniawi.
- Bahaya Kekikiran dan Kedustaan: Kekikiran bukan hanya menahan harta, tetapi juga menahan diri dari kebaikan, serta melahirkan kesombongan dan pendustaan terhadap ajaran agama.
- Jaminan Allah: Allah menjamin bahwa Dia akan mempermudah jalan bagi mereka yang berbuat baik dan mempersulit jalan bagi mereka yang berbuat buruk, sesuai dengan pilihan mereka.
- Hidayah Milik Allah: Penegasan bahwa hidayah atau petunjuk hanya berasal dari Allah, dan Dia-lah pemilik dunia dan akhirat.
- Peringatan Neraka dan Janji Surga: Surat ini memberikan peringatan keras tentang api neraka bagi orang-orang yang celaka dan janji surga bagi orang-orang yang paling bertakwa, menyoroti sifat-sifat dan balasan masing-masing golongan.
Dengan memahami tema-tema ini, kita diharapkan dapat merenungkan kembali tujuan hidup, mengevaluasi perbuatan kita, dan senantiasa berupaya menapaki jalan kebaikan yang diridai Allah SWT.
Penjelasan Ayat per Ayat Surat Al-Lail (1-21)
Ayat 1-4: Sumpah Allah atas Dualitas Penciptaan
وَالَّيْلِ إِذَا يَغْشَىٰ
1. Demi malam apabila menutupi (cahaya siang),
وَالنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّىٰ
2. demi siang apabila terang benderang,
وَمَا خَلَقَ الذَّكَرَ وَالْأُنثَىٰ
3. dan demi penciptaan laki-laki dan perempuan,
إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّىٰ
4. sungguh usaha kamu beraneka macam.
Tafsir dan Makna Ayat 1-4
Surat Al-Lail dibuka dengan tiga sumpah agung dari Allah SWT, yaitu demi malam, siang, dan penciptaan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan). Sumpah-sumpah ini bukanlah sumpah biasa, melainkan penegasan akan kebenaran dan pentingnya hal yang akan disampaikan setelahnya. Allah bersumpah dengan ciptaan-Nya yang luar biasa untuk menarik perhatian manusia pada tanda-tanda kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya yang tersebar di alam semesta.
Ayat 1: وَالَّيْلِ إِذَا يَغْشَىٰ (Demi malam apabila menutupi) Malam adalah fenomena yang misterius dan menenangkan, yang datang setelah siang menutupi segala sesuatu dengan kegelapannya. Dalam konteks sumpah ini, malam bukan hanya sekadar periode waktu, tetapi juga simbol ketenangan, istirahat, dan privasi. Ia menutupi bumi, memberikan jeda dari hiruk pikuk siang, dan menjadi waktu untuk merenung. Para mufasir menafsirkan 'yaghsyā' (menutupi) sebagai kegelapan malam yang menyelimuti segala sesuatu di muka bumi, membawa istirahat dan perlindungan bagi makhluk hidup.
Ayat 2: وَالنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّىٰ (Demi siang apabila terang benderang) Berkebalikan dengan malam, siang datang dengan cahaya yang menerangi dan menyingkap segala sesuatu. Siang adalah waktu untuk bekerja, berusaha, dan berinteraksi. 'Tajallā' (terang benderang) menggambarkan cahaya siang yang menyinari bumi, memungkinkan aktivitas, melihat, dan mengetahui. Dualitas malam dan siang ini menunjukkan kesempurnaan ciptaan Allah dan fungsinya yang vital bagi kehidupan. Tidak ada yang mendominasi secara permanen; keduanya silih berganti dengan teratur, menjadi bukti keesaan dan kekuasaan Pencipta.
Ayat 3: وَمَا خَلَقَ الذَّكَرَ وَالْأُنثَىٰ (Dan demi penciptaan laki-laki dan perempuan) Sumpah ketiga ini beralih dari fenomena alam semesta ke fenomena penciptaan manusia itu sendiri. Allah bersumpah demi penciptaan jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan. Ini adalah dualitas fundamental dalam kehidupan biologis dan sosial manusia. Penciptaan dua jenis ini menunjukkan hikmah dan tujuan, yaitu kelangsungan hidup dan keberlangsungan keturunan. Ini juga menunjukkan keseimbangan dalam masyarakat dan peran masing-masing dalam kehidupan. Ayat ini mengisyaratkan bahwa perbedaan bukanlah kelemahan, melainkan bagian dari desain ilahi yang sempurna.
Ayat 4: إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّىٰ (Sungguh usaha kamu beraneka macam) Inilah jawaban dari sumpah-sumpah sebelumnya. Setelah bersumpah dengan dualitas malam-siang dan laki-laki-perempuan, Allah menegaskan bahwa usaha manusia (amal perbuatan, tujuan, dan jalan hidup) itu beraneka ragam atau bermacam-macam. 'Sa'yakum' (usaha kamu) mencakup semua upaya, tindakan, dan tujuan hidup manusia. 'Lashattā' (beraneka macam) menunjukkan keberagaman yang sangat besar dalam orientasi dan motivasi manusia. Ada yang berusaha untuk kebaikan, ada yang untuk keburukan; ada yang mengejar dunia, ada yang mengejar akhirat; ada yang berderma, ada yang kikir.
Hubungan antara sumpah dan jawabannya sangat erat. Sebagaimana malam dan siang memiliki fungsi yang berbeda namun saling melengkapi, dan laki-laki serta perempuan memiliki peran yang berbeda namun esensial, demikian pula usaha manusia memiliki tujuan dan hasil yang berbeda-beda. Ayat ini menjadi jembatan menuju penjelasan lebih lanjut tentang dua golongan manusia utama yang akan dibahas dalam surat ini: golongan yang berbuat kebaikan dan golongan yang berbuat keburukan, serta konsekuensi yang akan mereka hadapi.
Pelajaran dari Ayat 1-4: Ayat-ayat pembuka ini mengajarkan kita untuk merenungi tanda-tanda kebesaran Allah dalam setiap aspek kehidupan, dari pergantian waktu hingga penciptaan makhluk hidup. Semua ini adalah bukti nyata kekuasaan dan kebijaksanaan Allah. Yang terpenting, ayat ini mengingatkan kita bahwa setiap tindakan kita, sekecil apa pun, adalah bagian dari "usaha" yang akan dicatat dan dipertanggungjawabkan. Manusia memiliki kebebasan memilih jalan hidupnya, dan pilihan itu akan menentukan hasil akhir.
Ayat 5-7: Golongan yang Dermawan dan Bertakwa
فَأَمَّا مَن أَعْطَىٰ وَاتَّقَىٰ
5. Maka barang siapa memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa,
وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَىٰ
6. dan membenarkan (adanya pahala) yang terbaik (surga),
فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَىٰ
7. niscaya Kami akan mudahkan baginya jalan menuju kemudahan (kebahagiaan).
Tafsir dan Makna Ayat 5-7
Setelah menyatakan bahwa usaha manusia itu beraneka ragam, Allah SWT mulai mengklasifikasikan manusia ke dalam dua golongan utama. Ayat 5-7 menjelaskan karakteristik golongan pertama, yaitu mereka yang akan dimudahkan jalannya menuju kebahagiaan. Tiga sifat utama yang disebutkan adalah memberi (berinfak), bertakwa, dan membenarkan kebaikan (atau janji surga).
Ayat 5: فَأَمَّا مَن أَعْطَىٰ وَاتَّقَىٰ (Maka barang siapa memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa) Ini adalah ciri pertama dari golongan yang beruntung. 'A'thā' (memberikan) di sini merujuk pada pemberian harta di jalan Allah, yaitu sedekah, infak, zakat, atau bentuk kedermawanan lainnya yang diniatkan untuk mencari keridaan Allah. Pemberian ini bukan sekadar tindakan fisik, tetapi mencerminkan hati yang lapang dan tidak terikat kuat pada harta duniawi.
Bersamaan dengan memberi, sifat kedua adalah 'Ittaqā' (bertakwa). Takwa adalah puncak dari keimanan, yaitu melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya, disertai rasa takut dan harap kepada-Nya. Takwa mencakup ketulusan hati, kesadaran akan pengawasan Allah, dan upaya sungguh-sungguh untuk hidup sesuai syariat. Infak yang disertai takwa berarti infak yang bersih dari riya' (pamer) dan kesombongan, murni karena Allah.
Ayat 6: وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَىٰ (Dan membenarkan (adanya pahala) yang terbaik (surga)) Sifat ketiga adalah 'Shaddaqa bil-Ḥusnā' (membenarkan yang terbaik). Para mufasir memiliki beberapa pandangan tentang makna 'Al-Ḥusnā':
- Surga: Ini adalah tafsir yang paling umum, bahwa 'Al-Ḥusnā' adalah surga, balasan terbaik bagi orang-orang beriman. Membenarkan surga berarti memiliki keyakinan kuat akan hari akhir dan balasan yang dijanjikan Allah.
- Lā ilāha illallāh: Sebagian mufasir menafsirkannya sebagai kalimat tauhid, pengakuan bahwa tiada Tuhan selain Allah.
- Kebaikan (secara umum): Makna yang lebih luas, yaitu membenarkan semua kebaikan yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya.
- Janji pahala: Keyakinan bahwa Allah akan membalas setiap amal kebaikan.
Ayat 7: فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَىٰ (Niscaya Kami akan mudahkan baginya jalan menuju kemudahan (kebahagiaan)) Ini adalah janji Allah bagi mereka yang memiliki ketiga sifat di atas. 'Fasanuyassiruhū lil-Yusrā' berarti Allah akan mempermudah jalan bagi mereka menuju kemudahan. Kemudahan ini mencakup berbagai aspek:
- Kemudahan dalam beramal saleh: Allah akan memudahkan mereka untuk melakukan ketaatan dan menjauhi maksiat. Hati mereka akan condong pada kebaikan, dan Allah akan memberikan taufik kepada mereka.
- Kemudahan dalam urusan dunia: Rezeki mereka akan diberkahi, urusan mereka di dunia akan lancar, dan mereka akan merasakan ketenangan jiwa. Meskipun mungkin menghadapi ujian, mereka akan diberi kekuatan untuk menghadapinya.
- Kemudahan di akhirat: Mereka akan dimudahkan dalam menghadapi sakaratul maut, dimudahkan hisabnya, dan pada akhirnya akan dimudahkan jalan menuju surga.
Kisah Abu Bakar As-Siddiq sebagai teladan: Banyak mufasir mengaitkan ayat-ayat ini dengan pribadi Abu Bakar As-Siddiq RA. Beliau dikenal sebagai sahabat yang sangat dermawan, bertakwa, dan selalu membenarkan Rasulullah SAW dalam segala hal, bahkan saat orang lain meragukan. Ia membebaskan banyak budak muslim yang disiksa kafir Quraisy dengan hartanya, tanpa mengharapkan balasan dari mereka. Amalannya benar-benar murni karena Allah, sebagaimana yang akan dijelaskan di akhir surat. Abu Bakar adalah contoh sempurna dari 'man a'ṭā wa-ittaqā wa ṣaddaqa bil-ḥusnā'.
Pelajaran dari Ayat 5-7: Ayat-ayat ini adalah motivasi besar bagi umat Islam untuk menjadi pribadi yang dermawan dan bertakwa. Kedermawanan harus disertai dengan ketakwaan, yaitu kesadaran akan Allah dan keikhlasan. Keyakinan pada janji pahala Allah, terutama surga, adalah pendorong utama di balik setiap amal kebaikan. Dengan memenuhi tiga syarat ini, Allah menjanjikan kemudahan dalam segala urusan, baik di dunia maupun di akhirat. Ini adalah investasi terbaik yang bisa dilakukan manusia untuk kehidupan abadinya.
Ayat 8-11: Golongan yang Bakhil dan Mendustakan
وَأَمَّا مَن بَخِلَ وَاسْتَغْنَىٰ
8. Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak memerlukan pertolongan Allah),
وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَىٰ
9. serta mendustakan (pahala) yang terbaik,
فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَىٰ
10. maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar.
وَمَا يُغْنِي عَنْهُ مَالُهُ إِذَا تَرَدَّىٰ
11. Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila dia telah binasa.
Tafsir dan Makna Ayat 8-11
Ayat-ayat ini menyajikan kontras tajam dengan golongan pertama. Di sini, Allah menjelaskan karakteristik golongan kedua, yaitu mereka yang akan dimudahkan jalannya menuju kesukaran. Tiga sifat utama yang disebutkan adalah kikir (bakhil), merasa cukup (sombong), dan mendustakan kebaikan (atau janji surga).
Ayat 8: وَأَمَّا مَن بَخِلَ وَاسْتَغْنَىٰ (Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup) Ini adalah ciri pertama dari golongan yang celaka. 'Bakhila' (kikir) berarti menahan harta yang seharusnya dikeluarkan di jalan Allah, baik itu zakat, infak, maupun sedekah. Kekikiran menunjukkan keterikatan yang kuat terhadap harta duniawi dan keengganan untuk berbagi. Sifat bakhil ini sering kali berakar pada rasa takut kehilangan kekayaan atau kurangnya keyakinan akan balasan dari Allah.
Bersamaan dengan kikir, sifat kedua adalah 'Istaghnā' (merasa dirinya cukup). Ini berarti merasa tidak memerlukan pertolongan atau karunia Allah, merasa mandiri karena kekayaan atau kekuasaannya, dan sombong. Orang yang 'istaghnā' cenderung mengandalkan dirinya sendiri, hartanya, atau kemampuannya, dan enggan merendahkan diri di hadapan Allah atau mengakui kebergantungannya pada-Nya. Rasa cukup ini sering kali mendorong pada pengabaian perintah agama dan meremehkan orang lain.
Ayat 9: وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَىٰ (Serta mendustakan (pahala) yang terbaik) Sifat ketiga adalah 'Kadzdżaba bil-Ḥusnā' (mendustakan yang terbaik). Ini adalah kebalikan dari 'Shaddaqa bil-Ḥusnā'. Mendustakan 'Al-Ḥusnā' berarti tidak percaya pada janji-janji Allah, tidak yakin akan adanya surga sebagai balasan bagi orang-orang beriman, atau mendustakan kebenaran Islam secara keseluruhan. Ketiadaan keyakinan ini menjadi penyebab utama kekikiran dan kesombongan. Jika seseorang tidak percaya adanya balasan yang lebih baik di akhirat, ia tidak akan memiliki motivasi untuk berkorban di dunia ini.
Ayat 10: فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَىٰ (Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar) Ini adalah balasan dari Allah bagi mereka yang memiliki ketiga sifat buruk di atas. 'Fasanuyassiruhū lil-'Usrā' berarti Allah akan mempermudah jalan bagi mereka menuju kesukaran atau kesengsaraan. Ini juga mencakup berbagai aspek, mirip dengan 'Al-Yusrā' namun dengan arah yang berlawanan:
- Kesulitan dalam beramal: Allah akan mempersulit mereka untuk melakukan kebaikan. Hati mereka akan tertutup, dan mereka akan cenderung melakukan maksiat.
- Kesulitan dalam urusan dunia: Meskipun mungkin memiliki harta berlimpah, mereka tidak akan merasakan keberkahan dan ketenangan. Hidup mereka akan dipenuhi kegelisahan, keserakahan, dan konflik. Setiap usaha mereka akan diiringi kesulitan dan kesusahan batin.
- Kesulitan di akhirat: Mereka akan menghadapi kesulitan saat sakaratul maut, hisab yang berat, dan pada akhirnya akan dimudahkan jalan menuju neraka.
Ayat 11: وَمَا يُغْنِي عَنْهُ مَالُهُ إِذَا تَرَدَّىٰ (Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila dia telah binasa) Ayat ini memberikan penekanan yang sangat kuat pada kesia-siaan harta yang ditahan dan disombongkan. 'Iżā taraddā' (apabila dia telah binasa) dapat diartikan sebagai:
- Saat ia mati: Ketika ajal menjemput, harta benda tidak akan bisa menolongnya sama sekali. Ia akan meninggalkan semua kekayaan yang dikumpulkannya, dan hanya amal perbuatannya yang akan menyertainya.
- Saat ia jatuh ke neraka: Harta tersebut tidak akan mampu menyelamatkannya dari api neraka. Kekayaan duniawi tidak memiliki nilai sama sekali di hadapan siksa akhirat.
Pelajaran dari Ayat 8-11: Ayat-ayat ini adalah peringatan serius tentang bahaya kekikiran, kesombongan, dan pendustaan terhadap kebenaran. Ketiga sifat ini saling terkait dan membentuk lingkaran setan yang menjauhkan seseorang dari kebaikan. Orang yang bakhil cenderung merasa cukup dengan hartanya, dan orang yang merasa cukup sering kali mendustakan janji Allah karena tidak merasa butuh. Akibatnya adalah jalan hidup yang penuh kesukaran, baik di dunia maupun di akhirat, dan harta yang tidak memberikan manfaat di hadapan Allah. Kita harus senantiasa introspeksi diri agar terhindar dari sifat-sifat tercela ini.
Ayat 12-13: Kekuasaan Allah atas Hidayah dan Kepemilikan
إِنَّ عَلَيْنَا لَلْهُدَىٰ
12. Sesungguhnya kewajiban Kamilah memberi petunjuk,
وَإِنَّ لَنَا لَلْآخِرَةَ وَالْأُولَىٰ
13. dan sesungguhnya milik Kamilah akhirat dan dunia.
Tafsir dan Makna Ayat 12-13
Setelah menguraikan dua golongan manusia dan konsekuensi perbuatan mereka, Allah SWT menegaskan kekuasaan dan kedaulatan-Nya dalam dua ayat ini. Ayat 12 berbicara tentang hidayah, sementara ayat 13 berbicara tentang kepemilikan. Keduanya saling melengkapi, menunjukkan bahwa segala sesuatu berada dalam genggaman Allah.
Ayat 12: إِنَّ عَلَيْنَا لَلْهُدَىٰ (Sesungguhnya kewajiban Kamilah memberi petunjuk) Ayat ini menegaskan bahwa hidayah atau petunjuk adalah hak prerogatif Allah semata. Frasa 'Inna 'alainā lal-hudā' berarti "Sesungguhnya atas Kami-lah penjelasan tentang jalan yang benar." Ini dapat ditafsirkan dalam beberapa aspek:
- Hidayah al-Irsyad (petunjuk bimbingan): Allah telah menjelaskan jalan kebaikan dan keburukan melalui para nabi, kitab suci, dan tanda-tanda di alam semesta. Allah telah menunjukkan kepada manusia mana jalan yang lurus dan mana jalan yang sesat, mana yang benar dan mana yang salah. Ini adalah hidayah dalam arti penjelasan dan bimbingan, yang telah Allah penuhi dengan menurunkan Al-Qur'an dan mengutus Rasulullah SAW.
- Hidayah at-Taufiq (petunjuk taufik): Meskipun manusia telah diberikan petunjuk dan penjelasan, kemampuan untuk mengikuti petunjuk tersebut (taufik) hanya datang dari Allah. Tidak ada yang bisa beriman atau menapaki jalan kebaikan kecuali dengan izin dan pertolongan Allah. Ayat ini mengingatkan bahwa manusia tidak bisa mengandalkan akal atau usahanya semata untuk mendapatkan hidayah sejati tanpa kehendak Allah.
Ayat 13: وَإِنَّ لَنَا لَلْآخِرَةَ وَالْأُولَىٰ (Dan sesungguhnya milik Kamilah akhirat dan dunia) Ayat ini melanjutkan penegasan kedaulatan Allah dengan menyatakan bahwa Dia adalah pemilik mutlak segala sesuatu, baik di akhirat maupun di dunia. Frasa 'Wa inna lanā lal-Ākhirata wal-Ūlā' berarti "Dan sesungguhnya hanya milik Kami-lah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia."
- Kepemilikan dunia: Allah adalah Pencipta dan Pemilik segala yang ada di dunia ini. Kekayaan, kekuasaan, kehidupan, dan kematian, semuanya berada di bawah kendali-Nya. Ini menyinggung secara tidak langsung kepada orang-orang yang kikir dan sombong dengan harta dunia mereka, seolah-olah mereka adalah pemiliknya. Allah mengingatkan bahwa semua itu hanya titipan dan pada akhirnya akan kembali kepada-Nya.
- Kepemilikan akhirat: Lebih jauh lagi, Allah juga adalah Pemilik akhirat. Ini berarti Allah-lah yang berhak menetapkan balasan, menentukan siapa yang masuk surga dan siapa yang masuk neraka, serta mengadili seluruh perbuatan manusia. Kehidupan akhirat, dengan segala balasan dan ganjarannya, sepenuhnya berada di bawah kekuasaan Allah.
Pelajaran dari Ayat 12-13: Ayat-ayat ini mengajarkan kita tentang kebergantungan total kita kepada Allah. Hidayah adalah anugerah-Nya, dan kita harus senantiasa memohon petunjuk kepada-Nya. Kesadaran bahwa Allah adalah Pemilik segala sesuatu, baik dunia maupun akhirat, seharusnya memotivasi kita untuk tidak terlalu terikat pada harta dunia. Kita hanyalah pemegang amanah yang pada akhirnya akan kembali kepada Pemiliknya yang sejati. Oleh karena itu, kita harus menggunakan harta dan kesempatan hidup kita di jalan yang diridai-Nya, demi meraih kebahagiaan abadi di akhirat yang juga milik-Nya.
Ayat 14-16: Peringatan tentang Neraka dan Penghuninya
فَأَنذَرْتُكُمْ نَارًا تَلَظَّىٰ
14. Maka Kami memperingatkan kamu dengan api yang menyala-nyala (neraka),
لَا يَصْلَاهَا إِلَّا الْأَشْقَى
15. tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka,
الَّذِي كَذَّبَ وَتَوَلَّىٰ
16. yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari iman).
Tafsir dan Makna Ayat 14-16
Setelah menegaskan kekuasaan-Nya atas hidayah dan kepemilikan dunia akhirat, Allah SWT kemudian beralih pada peringatan keras mengenai neraka. Ayat-ayat ini ditujukan untuk menakut-nakuti dan mengingatkan manusia akan konsekuensi dari pilihan yang salah, terutama bagi mereka yang mendustakan kebenaran dan berpaling dari ajaran Allah.
Ayat 14: فَأَنذَرْتُكُمْ نَارًا تَلَظَّىٰ (Maka Kami memperingatkan kamu dengan api yang menyala-nyala (neraka)) 'Fa-andzartukum' berarti "Maka Aku memperingatkan kalian." Ini adalah bentuk peringatan ilahi yang serius. 'Nāran talaẓẓā' menggambarkan api neraka yang menyala-nyala dengan dahsyat. Kata 'talaẓẓā' menunjukkan api yang sangat panas, bergejolak, dan menjilat-jilat, yang intensitasnya jauh melampaui api dunia. Peringatan ini ditujukan kepada seluruh manusia, agar mereka tidak meremehkan ancaman Allah dan senantiasa berhati-hati dalam setiap perbuatan.
Peringatan ini juga menggarisbawahi keadilan Allah. Dia tidak akan menyiksa seseorang tanpa memberikan peringatan terlebih dahulu. Dengan menjelaskan dua jalan yang berbeda dan konsekuensinya, serta memberikan gambaran tentang siksa neraka, Allah memberikan kesempatan kepada manusia untuk memilih jalan yang benar dan menghindari jalan kesengsaraan.
Ayat 15: لَا يَصْلَاهَا إِلَّا الْأَشْقَى (Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka) Ayat ini menjelaskan siapa saja yang akan menjadi penghuni api neraka yang menyala-nyala itu. 'Lā yaṣlāhā' berarti "tidak akan merasakan panasnya" atau "tidak akan masuk ke dalamnya." 'Illal-ashqā' berarti "kecuali orang yang paling celaka." Kata 'al-ashqā' adalah bentuk superlative dari 'shaqī', yang berarti celaka atau sengsara. Jadi, ini bukan sekadar orang celaka, melainkan orang yang mencapai puncaknya dalam kecelakaan dan kesengsaraan.
Siapakah 'orang yang paling celaka' ini? Ini adalah mereka yang telah memilih jalan kekafiran dan kemaksiatan meskipun telah diberikan petunjuk yang jelas. Mereka adalah orang-orang yang secara sadar menolak kebenaran dan memilih jalan kesesatan, yang pada dasarnya adalah kebalikan dari sifat-sifat orang bertakwa yang dimudahkan jalannya menuju kemudahan.
Ayat 16: الَّذِي كَذَّبَ وَتَوَلَّىٰ (Yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari iman)) Ayat ini lebih lanjut menjelaskan karakteristik dari 'orang yang paling celaka' itu. Ada dua sifat utama yang disebutkan:
- Kadzdzaba (mendustakan): Ini berarti mendustakan kebenaran yang datang dari Allah, baik itu Al-Qur'an, ajaran Nabi Muhammad SAW, janji-janji Allah (seperti surga dan pahala kebaikan), maupun ancaman-Nya (seperti neraka dan azab). Pendustaan ini bisa terjadi di hati (tidak percaya) atau dengan lisan (menolak secara terang-terangan).
- Tawallā (berpaling): Ini berarti berpaling dari iman dan ketaatan, tidak mau menerima petunjuk, dan menjauhkan diri dari jalan Allah. Berpaling ini menunjukkan keengganan untuk beramal saleh, bahkan setelah mengetahui kebenaran. Mereka bukan hanya tidak percaya, tetapi juga enggan untuk mengamalkan atau mengikuti ajaran agama.
Pelajaran dari Ayat 14-16: Peringatan tentang neraka ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa takut yang sehat (khauf) dalam diri seorang mukmin, yang memotivasinya untuk menjauhi maksiat dan melakukan ketaatan. Kita diajarkan bahwa neraka bukanlah tempat main-main, melainkan tempat yang mengerikan bagi mereka yang mendustakan kebenaran dan berpaling dari Allah. Ayat ini juga menegaskan pentingnya iman (membenarkan kebenaran) dan amal saleh (tidak berpaling dari ketaatan) sebagai benteng dari api neraka. Setiap Muslim harus senantiasa mengevaluasi diri agar tidak termasuk ke dalam golongan 'yang paling celaka' ini.
Ayat 17-21: Golongan yang Paling Bertakwa dan Balasannya
وَسَيُجَنَّبُهَا الْأَتْقَى
17. Dan kelak akan dijauhkan darinya (neraka) orang yang paling bertakwa,
الَّذِي يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّىٰ
18. yang menginfakkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan dirinya,
وَمَا لِأَحَدٍ عِندَهُ مِن نِّعْمَةٍ تُجْزَىٰ
19. dan tiada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya,
إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَىٰ
20. melainkan (dia memberikan itu) hanya karena mencari keridaan Tuhannya Yang Mahatinggi.
وَلَسَوْفَ يَرْضَىٰ
21. Dan kelak dia benar-benar akan puas.
Tafsir dan Makna Ayat 17-21
Setelah memberikan peringatan tentang neraka bagi orang yang paling celaka, Allah SWT menutup surat ini dengan menggambarkan kebalikan dari itu: siapa yang akan dijauhkan dari neraka dan balasan apa yang menanti mereka. Ayat-ayat ini menyoroti karakteristik 'orang yang paling bertakwa' dan puncak keikhlasan dalam beramal.
Ayat 17: وَسَيُجَنَّبُهَا الْأَتْقَى (Dan kelak akan dijauhkan darinya (neraka) orang yang paling bertakwa) 'Wasayujannabuhal-atqā' berarti "Dan akan dijauhkan dari api neraka itu orang yang paling bertakwa." Kata 'al-Atqā' adalah bentuk superlative dari 'taqī', yang berarti bertakwa. Jadi, ini bukan sekadar orang bertakwa, melainkan orang yang mencapai puncak ketakwaan. Mereka adalah kebalikan dari 'al-Ashqā' (orang yang paling celaka) yang disebut di ayat 15. Orang yang paling bertakwa adalah mereka yang secara konsisten dan sepenuh hati berpegang teguh pada perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, dengan niat yang murni.
Dijauhkan dari neraka berarti mereka akan selamat dari azab api yang menyala-nyala dan akan mendapatkan tempat yang mulia di sisi Allah. Ini adalah janji agung bagi mereka yang berjuang keras untuk meraih ketakwaan sejati.
Ayat 18: الَّذِي يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّىٰ (Yang menginfakkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan dirinya) Ayat ini menjelaskan salah satu ciri utama dari 'al-Atqā', yaitu mereka adalah orang-orang yang menginfakkan harta mereka. 'Yū'tī mālahū' (memberikan hartanya) merujuk pada kedermawanan dalam berbagai bentuk, serupa dengan 'a'ṭā' di ayat 5. Namun, di sini ditambahkan frasa 'yatazakkā' (untuk membersihkan dirinya).
'Yatazakkā' memiliki makna yang sangat mendalam:
- Membersihkan diri dari dosa: Infak yang ikhlas dapat menghapuskan dosa-dosa.
- Membersihkan harta: Mengeluarkan hak Allah dari harta (seperti zakat) membersihkan harta dari potensi syubhat dan membuatnya berkah.
- Membersihkan jiwa: Ini adalah makna yang paling utama. Infak dengan ikhlas membersihkan jiwa dari sifat kikir, cinta dunia yang berlebihan, kesombongan, dan riya'. Ia menumbuhkan sifat murah hati, syukur, dan keikhlasan. Ini adalah bentuk tazkiyatun nufus (penyucian jiwa) yang sangat efektif.
Ayat 19: وَمَا لِأَحَدٍ عِندَهُ مِن نِّعْمَةٍ تُجْزَىٰ (Dan tiada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya) Ayat ini semakin memperjelas tingkat keikhlasan dari infak 'al-Atqā'. Mereka berinfak bukan karena ingin membalas budi seseorang yang pernah berbuat baik kepadanya. 'Wa mā li'aḥadin 'indahu min ni'matin tujzā' berarti "Tidak ada seorang pun yang memiliki nikmat yang wajib dibalas di sisinya." Ini menunjukkan bahwa tindakan kedermawanan mereka tidak didasari oleh motivasi untuk membayar utang budi atau mengharapkan imbalan langsung dari orang yang menerima sedekah. Ini adalah tingkat kedermawanan yang sangat tinggi, yang hanya termotivasi oleh tujuan yang lebih mulia.
Ayat 20: إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَىٰ (Melainkan (dia memberikan itu) hanya karena mencari keridaan Tuhannya Yang Mahatinggi) Ini adalah klimaks dari penjelasan tentang keikhlasan 'al-Atqā'. Satu-satunya motivasi di balik infak dan amal kebaikan mereka adalah 'Ibtighā'a wajhi Rabbihil-A'lā' (mencari wajah Tuhannya Yang Mahatinggi). Frasa 'wajhi Rabbihi' secara metaforis berarti mencari keridaan, kehormatan, dan kebahagiaan di sisi Allah. 'Al-A'lā' (Yang Mahatinggi) menekankan keagungan dan kebesaran Allah, yang berarti mereka berinfak karena mengagungkan-Nya dan sangat berharap pada balasan dari-Nya semata.
Inilah puncak keikhlasan: beramal tanpa pamrih, tanpa mengharapkan pujian manusia, tanpa berharap balasan duniawi, bahkan tanpa niat membalas kebaikan orang lain. Seluruh tujuan dan motivasi hanya satu, yaitu meraih keridaan Allah SWT.
Ayat 21: وَلَسَوْفَ يَرْضَىٰ (Dan kelak dia benar-benar akan puas) Ayat penutup ini adalah janji balasan yang agung bagi 'al-Atqā'. 'Wala-sawfa yarḍā' berarti "Dan kelak dia pasti akan puas." Kepuasan ini adalah janji dari Allah yang pasti akan terpenuhi. Kepuasan ini mencakup:
- Kepuasan di dunia: Meskipun menginfakkan harta, mereka akan merasakan ketenangan jiwa, kebahagiaan batin, dan keberkahan dalam hidup.
- Kepuasan di akhirat: Ini adalah kepuasan yang paling sempurna dan abadi. Mereka akan puas dengan pahala yang melimpah, tempat tinggal di surga, dan yang paling utama adalah keridaan Allah. Kepuasan ini melampaui segala kenikmatan dunia.
Kisah Abu Bakar As-Siddiq (kembali) sebagai teladan: Ayat-ayat ini, terutama ayat 18-21, sering dikaitkan dengan tindakan Abu Bakar As-Siddiq RA. Diriwayatkan bahwa ia membebaskan banyak budak muslim yang disiksa kafir Quraisy, seperti Bilal bin Rabah, Amir bin Fuhairah, dan lainnya, dengan membeli mereka dari tuannya yang kafir. Ia melakukan ini tanpa mengharapkan balasan dari budak-budak tersebut, dan bahkan orang-orang kafir yang menjual budak tersebut tidak pernah memberikan kebaikan kepadanya yang harus dibalas. Abu Bakar melakukan semuanya semata-mata karena mencari keridaan Allah, dan Allah pun menjanjikan kepuasan baginya. Kisah ini menjadi contoh nyata dari manifestasi sifat 'al-Atqā' yang disebutkan dalam surat ini.
Pelajaran dari Ayat 17-21: Ayat-ayat penutup ini adalah puncak motivasi bagi seorang Muslim untuk mencapai derajat 'al-Atqā'. Kuncinya adalah infak yang murni, tanpa pamrih, dan hanya karena mengharapkan keridaan Allah. Ini adalah inti dari keikhlasan dalam beribadah. Infak yang demikian tidak hanya membersihkan harta dari hak orang lain, tetapi juga membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela dan mendekatkan diri kepada Allah. Dengan mencapai tingkat keikhlasan ini, seorang hamba dijamin akan dijauhkan dari neraka dan akan merasakan kepuasan yang abadi di sisi Tuhannya. Ini adalah tujuan tertinggi seorang mukmin dalam menjalani kehidupannya.
Pelajaran dan Hikmah Menyeluruh dari Surat Al-Lail
Dari penelaahan mendalam terhadap Surat Al-Lail ayat 1 hingga 21, kita dapat menarik berbagai pelajaran dan hikmah yang sangat relevan untuk kehidupan kita sehari-hari. Surat ini, meskipun singkat, sarat dengan pesan-pesan fundamental yang membentuk dasar keimanan dan etika seorang Muslim. Berikut adalah rangkuman dari pelajaran-pelajaran penting tersebut:
1. Pentingnya Merenungi Tanda-tanda Kebesaran Allah
Surat Al-Lail dimulai dengan sumpah Allah atas malam, siang, dan penciptaan laki-laki dan perempuan. Ini mengajarkan kita untuk selalu merenungkan fenomena alam dan keberadaan diri kita sebagai tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah. Perenungan ini seharusnya menumbuhkan rasa syukur, ketakjuban, dan keyakinan akan keesaan Pencipta. Setiap pergantian siang dan malam adalah bukti siklus kehidupan, dan setiap perbedaan dalam penciptaan adalah bukti kebijaksanaan-Nya. Dengan merenung, kita diingatkan akan keterbatasan diri dan keagungan Sang Khaliq.
2. Hidup adalah Pilihan dan Konsekuensi
Ayat 4 dengan tegas menyatakan, "Sungguh usaha kamu beraneka macam." Ini adalah inti dari ajaran Islam tentang kebebasan berkehendak (ikhtiyar) dan tanggung jawab. Manusia diberikan pilihan untuk menempuh jalan kebaikan atau keburukan. Surat ini dengan jelas memetakan dua jalan tersebut: jalan kedermawanan, ketakwaan, dan pembenaran kebaikan yang mengarah pada kemudahan (Al-Yusrā), serta jalan kekikiran, kesombongan, dan pendustaan yang mengarah pada kesukaran (Al-'Usrā). Ini adalah prinsip keadilan ilahi: balasan sesuai dengan perbuatan.
Pelajaran terpenting di sini adalah bahwa setiap pilihan yang kita buat akan memiliki konsekuensi yang tidak terhindarkan, baik di dunia maupun di akhirat. Tidak ada netralitas dalam beramal; setiap tindakan mengarahkan kita menuju salah satu dari dua hasil akhir tersebut. Oleh karena itu, kita harus senantiasa introspeksi dan memilih dengan bijak.
3. Keutamaan Kedermawanan (Infak) yang Dilandasi Ketakwaan dan Keikhlasan
Surat Al-Lail memberikan penekanan yang sangat besar pada nilai infak (sedekah atau berderma). Namun, infak yang ditekankan di sini bukanlah sekadar mengeluarkan harta, melainkan infak yang disertai dengan ketakwaan ('ittaqā') dan didasari keyakinan akan janji Allah ('ṣaddaqa bil-ḥusnā'). Puncaknya, infak yang paling utama adalah yang dilakukan semata-mata 'karena mencari keridaan Tuhannya Yang Mahatinggi', bukan untuk membalas budi, mencari pujian, atau mendapatkan imbalan duniawi. Infak seperti ini adalah bentuk penyucian diri (yatazakkā) yang membersihkan jiwa dari penyakit kikir dan cinta dunia yang berlebihan.
Kedermawanan dalam Islam bukan hanya tindakan sosial, tetapi juga ibadah yang mendalam, sebuah jembatan menuju ketakwaan sejati. Harta adalah ujian, dan cara kita menggunakannya mencerminkan tingkat keimanan kita.
4. Bahaya Kekikiran, Kesombongan, dan Pendustaan
Di sisi lain, surat ini juga memberikan peringatan keras terhadap sifat-sifat negatif yang menjadi kebalikan dari kebaikan: kekikiran (bakhil), merasa cukup (istaghnā), dan mendustakan kebenaran (kadzdżaba bil-ḥusnā). Kekikiran tidak hanya merugikan orang lain tetapi juga merusak jiwa pelakunya, mengikatnya pada dunia fana. Rasa 'merasa cukup' seringkali mengarah pada kesombongan, menolak petunjuk Allah, dan meremehkan orang lain, yang pada akhirnya membawa pada pendustaan terhadap janji dan ancaman Allah.
Ketiga sifat ini adalah sumber dari segala keburukan dan akan membawa pelakunya pada jalan yang sukar dan kesengsaraan abadi di neraka. Surat ini mengajarkan kita untuk mewaspadai sifat-sifat ini dalam diri kita dan berupaya membersihkannya.
5. Hidayah dan Kepemilikan Mutlak Ada di Tangan Allah
Ayat 12-13 menegaskan bahwa petunjuk (hidayah) adalah hak prerogatif Allah, dan Dia adalah Pemilik mutlak dunia dan akhirat. Ini mengingatkan kita bahwa meskipun kita berusaha, hidayah sejati hanya datang dari Allah. Kita harus senantiasa memohon petunjuk kepada-Nya dan menyadari bahwa segala apa yang kita miliki di dunia ini hanyalah titipan sementara. Kesadaran akan kepemilikan Allah ini seharusnya menghilangkan rasa sombong terhadap harta atau kedudukan, dan menumbuhkan kerendahan hati serta ketergantungan penuh kepada-Nya.
6. Peringatan tentang Neraka dan Janji Surga sebagai Motivasi
Surat Al-Lail dengan jelas menggambarkan dua balasan akhir: api neraka yang menyala-nyala bagi 'orang yang paling celaka' dan kepuasan abadi di sisi Allah bagi 'orang yang paling bertakwa'. Peringatan tentang neraka bukan untuk menakut-nakuti tanpa tujuan, tetapi untuk menjadi motivasi kuat agar manusia menjauhi perbuatan dosa. Sebaliknya, janji surga dan keridaan Allah adalah harapan yang harus terus dijaga, yang mendorong kita untuk beramal saleh dengan ikhlas.
Memahami kedua ujung ini akan membantu kita menimbang setiap perbuatan dan pilihan hidup, memastikan bahwa kita selalu berorientasi pada tujuan akhirat yang kekal.
7. Kisah Abu Bakar As-Siddiq sebagai Teladan Keikhlasan
Meskipun tidak disebutkan secara langsung, banyak riwayat dan tafsir mengaitkan ayat-ayat tentang orang yang paling bertakwa dengan pribadi Abu Bakar As-Siddiq. Kisah-kisah kedermawanannya, khususnya dalam membebaskan budak-budak muslim yang disiksa, adalah contoh nyata dari infak yang murni tanpa pamrih, semata-mata mencari keridaan Allah. Beliau adalah teladan sempurna dari individu yang mencapai derajat 'Al-Atqā'. Kisah ini menjadi inspirasi bagi kita untuk meniru tingkat keikhlasan dan pengorbanan beliau.
Secara keseluruhan, Surat Al-Lail adalah panduan ringkas namun komprehensif tentang bagaimana menjalani hidup yang bermakna dan mendapatkan kebahagiaan sejati. Pesannya mendorong kita untuk terus beramal baik dengan niat yang benar, menghindari sifat-sifat buruk, dan senantiasa bersandar pada Allah sebagai Pemilik segalanya dan Pemberi petunjuk.
Kesimpulan
Surat Al-Lail, dengan 21 ayatnya yang penuh makna, memberikan pelajaran fundamental tentang dua jalan yang berbeda dalam kehidupan manusia dan konsekuensi yang menyertainya. Dimulai dengan sumpah atas fenomena alam dan penciptaan manusia yang menunjukkan dualitas, surat ini mengantarkan kita pada pemahaman bahwa setiap usaha dan tindakan kita dalam hidup memiliki arah dan tujuan yang berbeda, dengan hasil akhir yang kontras secara diametral.
Inti pesan Surat Al-Lail adalah dorongan kuat untuk menapaki jalan kebaikan yang dilandasi oleh kedermawanan, ketakwaan, dan keikhlasan. Allah SWT menjanjikan kemudahan di dunia dan akhirat bagi mereka yang senantiasa berinfak di jalan-Nya, membersihkan diri dari hawa nafsu, serta membenarkan janji-janji-Nya akan pahala dan surga. Yang terpenting, setiap amal harus didasari oleh niat murni untuk mencari keridaan Allah Yang Mahatinggi, tanpa mengharapkan balasan dari makhluk atau pujian duniawi. Tingkat keikhlasan inilah yang membedakan 'orang yang paling bertakwa' dari yang lain, dan mereka akan dijauhkan dari api neraka serta akan mendapatkan kepuasan yang abadi.
Sebaliknya, surat ini juga memberikan peringatan keras kepada mereka yang memilih jalan kekikiran, kesombongan, dan pendustaan terhadap kebenaran. Orang-orang yang merasa cukup dengan harta dunia, menahan diri dari berinfak, dan mendustakan janji-janji Allah akan dimudahkan jalannya menuju kesukaran dan kesengsaraan. Harta yang mereka kumpulkan dengan sifat bakhil tidak akan sedikit pun bermanfaat ketika ajal menjemput atau ketika mereka menghadapi azab di akhirat.
Pelajaran yang terkandung dalam Surat Al-Lail sangat relevan bagi kita di setiap zaman. Ia mengajarkan kita untuk senantiasa merenungkan ciptaan Allah sebagai tanda kebesaran-Nya, menjadikan setiap pilihan hidup sebagai langkah menuju keridaan-Nya, dan menanamkan keikhlasan sebagai fondasi setiap amal. Dengan demikian, kita dapat berharap untuk menjadi golongan 'Al-Atqā' yang dijanjikan kepuasan abadi di sisi Allah SWT.
Semoga kita semua dapat mengambil hikmah dari Surat Al-Lail dan mengamalkan nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga kita termasuk ke dalam hamba-hamba Allah yang dimudahkan jalannya menuju kebahagiaan sejati.