Arti Surat Al-Lail Ayat 3: Fondasi Penciptaan Laki-Laki dan Perempuan

Simbol Penciptaan Laki-Laki dan Perempuan Ilustrasi abstrak yang menggambarkan dualitas dalam penciptaan manusia: laki-laki dan perempuan, dengan elemen bulan dan bintang untuk malam, dan matahari untuk siang, menunjukkan keseimbangan.
Ilustrasi simbolis penciptaan berpasangan: laki-laki dan perempuan, dalam keseimbangan siang dan malam.

Al-Qur'an, kalamullah yang mulia, adalah petunjuk hidup bagi seluruh umat manusia. Setiap surah, setiap ayat, bahkan setiap huruf di dalamnya mengandung hikmah dan pelajaran yang tak terhingga. Salah satu surah pendek namun penuh makna adalah Surat Al-Lail, yang terletak di juz ke-30 atau juz 'Amma. Surah ini diturunkan di Makkah (Makkiyah) dan berfokus pada perbandingan antara dua jenis usaha manusia serta balasan yang akan mereka terima di akhirat.

Dalam memahami pesan-pesan Al-Qur'an, seringkali kita menemukan ayat-ayat yang diawali dengan sumpah (qasam) oleh Allah SWT. Sumpah-sumpah ini bukanlah sumpah dalam pengertian manusia yang lemah, melainkan penegasan akan keagungan sesuatu yang dijadikan sumpah, sekaligus menarik perhatian pada hikmah di baliknya. Surat Al-Lail dimulai dengan beberapa sumpah yang begitu mendalam, membawa kita pada refleksi tentang penciptaan dan takdir.

Artikel ini akan mengupas tuntas dan mendalam mengenai `arti Surat Al-Lail ayat 3`, sebuah ayat yang mungkin terlihat sederhana namun menyimpan rahasia kebesaran Ilahi dalam penciptaan. Untuk mendapatkan pemahaman yang utuh, kita akan menelusuri konteks ayat ini, mengkajinya dari berbagai sudut pandang tafsir, menganalisis aspek linguistiknya, serta menggali hikmah dan relevansinya bagi kehidupan kita.

Prolog: Memahami Keagungan Al-Qur'an dan Surat Al-Lail

Al-Qur'an adalah mukjizat abadi Nabi Muhammad SAW, sumber hukum dan petunjuk yang tak lekang oleh waktu. Keindahan bahasanya, kedalaman maknanya, serta keselarasan antara ilmu pengetahuan dan wahyu-Nya menjadi bukti kebenaran Al-Qur'an sebagai firman Allah. Membaca, menghafal, dan yang terpenting, memahami serta mengamalkan isinya adalah kewajiban bagi setiap Muslim.

Surat Al-Lail (Malam) terdiri dari 21 ayat dan merupakan surah ke-92 dalam urutan mushaf. Sebagai surah Makkiyah, ciri khasnya adalah penekanan pada tauhid (keesaan Allah), hari kebangkitan (akhirat), serta penggambaran surga dan neraka. Surat ini diturunkan pada masa-masa awal dakwah Nabi di Makkah, saat umat Islam menghadapi penentangan dan kekerasan. Oleh karena itu, pesan-pesan di dalamnya seringkali bersifat penguatan iman, peringatan, dan motivasi untuk tetap teguh di jalan kebenaran.

Tema utama Surat Al-Lail adalah kontras antara orang-orang yang berinfak, bertakwa, dan membenarkan kebaikan, dengan orang-orang yang kikir, sombong, dan mendustakan kebaikan. Allah SWT menjelaskan bahwa jalan hidup manusia itu beragam, dan setiap jalan akan membawa pada hasil yang berbeda di akhirat. Ayat-ayat awal surah ini, khususnya ayat 1 hingga 3, menjadi fondasi bagi pembagian manusia ke dalam dua golongan tersebut, dengan sumpah-sumpah yang mengagungkan ciptaan Allah.

Pembukaan Surat Al-Lail: Sumpah Ilahi yang Penuh Makna (Ayat 1-2)

Sebelum kita menyelami ayat ketiga, sangat penting untuk memahami dua ayat sebelumnya, karena ketiganya membentuk satu kesatuan makna dan konteks. Allah SWT memulai surah ini dengan sumpah-sumpah yang begitu kuat, menyoroti fenomena alam yang fundamental bagi kehidupan.

Ayat 1: `وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَىٰ`

وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَىٰ

Wal-laili izā yaghshā

"Demi malam apabila menutupi (cahaya siang)."

Allah bersumpah dengan malam ketika ia menutupi atau menyelimuti siang. Kata `يَغْشَىٰ` (yaghshā) memiliki arti menutupi, menyelimuti, atau menggelapkan. Ini adalah gambaran yang sangat puitis dan akurat tentang bagaimana kegelapan malam secara bertahap meliputi cahaya siang, membawa suasana yang berbeda sama sekali.

Ayat 2: `وَالنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّىٰ`

وَالنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّىٰ

Wan-nahāri izā tajallā

"Dan demi siang apabila terang benderang."

Setelah bersumpah dengan malam, Allah kemudian bersumpah dengan siang ketika ia terang benderang. Kata `تَجَلَّىٰ` (tajallā) berarti menampakkan diri, terang benderang, atau memperlihatkan. Ini adalah kebalikan mutlak dari `yaghshā`, menunjukkan kontras yang sempurna antara siang dan malam.

Dua sumpah pertama ini membangun fondasi untuk sumpah ketiga. Allah bersumpah dengan malam yang menyelimuti dan siang yang terang benderang, dua kutub waktu yang membentuk siklus kehidupan. Kemudian, Dia beralih ke sumpah yang lebih spesifik, yang menjadi inti bahasan kita.

Inti Bahasan: Arti Surat Al-Lail Ayat 3 secara Mendalam

Setelah bersumpah dengan dua fenomena alam yang kontras dan esensial, Allah SWT melanjutkan dengan sumpah ketiga yang mengagungkan penciptaan-Nya sendiri. Ayat ini adalah puncak dari rangkaian sumpah yang mengarahkan perhatian kita pada hikmah dan kebesaran Sang Pencipta.

Teks Arab, Transliterasi, dan Terjemahan

وَمَا خَلَقَ الذَّكَرَ وَالْأُنْثَىٰ

Wa mā khalaqa adh-dhakara wal-unthā

"Dan demi (penciptaan) laki-laki dan perempuan."

Atau: "Dan demi Dzat yang menciptakan laki-laki dan perempuan."

Terjemahan ayat ini memiliki sedikit nuansa yang perlu dijelaskan lebih lanjut, terutama pada kata `وَمَا خَلَقَ` (wa mā khalaqa). Nuansa ini telah menjadi fokus pembahasan para mufassir (ahli tafsir) sejak dahulu kala.

Pendekatan Tafsir: Makna "Wa Mā Khalaqa"

Para ulama tafsir memiliki dua pandangan utama mengenai makna dari `مَا` (mā) dalam frasa `وَمَا خَلَقَ` (wa mā khalaqa):

1. `مَا` sebagai Mā Mashdariyah (kata benda yang berasal dari kata kerja)

Menurut pandangan ini, `مَا` adalah mashdariyah, yang mengubah kata kerja (`khalaqa`, "menciptakan") menjadi kata benda ("penciptaan"). Sehingga terjemahannya menjadi:

"Dan demi penciptaan laki-laki dan perempuan."

Jika demikian, maka Allah bersumpah dengan fenomena penciptaan laki-laki dan perempuan itu sendiri, sebagai salah satu tanda kebesaran dan kekuasaan-Nya. Ini mengagungkan proses penciptaan dan menunjukkan betapa pentingnya dualitas ini.

2. `مَا` sebagai Mā Mawshulah (kata penghubung)

Pandangan kedua, yang seringkali dianggap lebih kuat dan lebih banyak dipegang oleh para mufassir, adalah bahwa `مَا` di sini berarti "Dzat yang" atau "Siapa yang" (yakni Allah SWT sendiri). Ini adalah mā mawshulah yang maknanya sama dengan man (`مَنْ`). Jadi terjemahannya menjadi:

"Dan demi Dzat yang menciptakan laki-laki dan perempuan."

Jika demikian, maka sumpah ini adalah sumpah dengan nama Allah SWT sendiri, sang Pencipta. Ini adalah bentuk sumpah yang paling tinggi dan paling agung, menunjukkan bahwa Allah bersumpah dengan Diri-Nya sendiri sebagai Yang Maha Mencipta.

Meskipun ada dua pandangan, keduanya pada dasarnya mengarah pada satu poin fundamental: bahwa penciptaan laki-laki dan perempuan adalah manifestasi keagungan dan kekuasaan Allah SWT. Perbedaannya hanya terletak pada apakah sumpah itu ditujukan pada "proses penciptaan" atau "Dzat Pencipta" itu sendiri.

Analisis Linguistik Mendalam

Mari kita bedah setiap kata dalam ayat ketiga ini untuk menggali makna yang lebih dalam:

Sumpah dengan penciptaan laki-laki dan perempuan ini secara implisit mencakup seluruh proses kompleks yang terlibat dalam pembentukan manusia, dari setetes air mani hingga menjadi makhluk sempurna dengan akal dan hati. Ini adalah keajaiban yang terus-menerus disaksikan, sebuah tanda yang luar biasa akan kekuasaan dan kebijaksanaan Allah SWT.

Hikmah dan Pelajaran dari Ayat 3

Ayat pendek ini membawa hikmah yang sangat mendalam dan multifaset. Mari kita eksplorasi beberapa di antaranya:

1. Penciptaan sebagai Bukti Keesaan Allah (Tawhid Rububiyyah)

Sumpah ini menegaskan bahwa hanya Allah-lah satu-satunya Pencipta. Tidak ada satu pun makhluk yang mampu menciptakan kehidupan, apalagi menciptakan dua jenis kelamin yang saling melengkapi dan memastikan kelangsungan hidup. Penciptaan laki-laki dan perempuan adalah bukti nyata kemahaesaan Allah dalam sifat Rububiyyah-Nya (ketuhanan dalam penciptaan, pengaturan, dan pemeliharaan). Hanya Dia yang memiliki kekuasaan mutlak atas segala sesuatu, termasuk menentukan jenis kelamin makhluk-Nya.

Manusia tidak memiliki andil sama sekali dalam penciptaan jenis kelaminnya, melainkan semuanya adalah ketetapan dan kehendak Allah. Oleh karena itu, renungan terhadap penciptaan ini seharusnya mengarah pada pengakuan akan keesaan Allah dan kepatuhan hanya kepada-Nya.

2. Asas Dualitas dalam Kehidupan dan Alam Semesta

Ayat ini, yang datang setelah sumpah dengan malam dan siang, menyoroti prinsip dualitas yang mendasari banyak aspek penciptaan Allah. Bukan hanya malam dan siang, laki-laki dan perempuan, tetapi juga:

Dualitas ini bukanlah pertentangan yang destruktif, melainkan pelengkap yang harmonis. Malam melengkapi siang, laki-laki melengkapi perempuan, dan seterusnya. Ini menunjukkan desain yang sempurna dan seimbang dari Sang Pencipta, di mana setiap elemen memiliki perannya untuk menciptakan keseluruhan yang berfungsi.

Dalam konteks laki-laki dan perempuan, dualitas ini adalah fondasi bagi keberlangsungan hidup manusia dan masyarakat. Tanpa kedua jenis kelamin, spesies manusia tidak dapat bereproduksi dan akan punah. Perbedaan antara keduanya bukan untuk dipertentangkan, melainkan untuk disatukan dalam fungsi yang saling menopang.

3. Keseimbangan dan Keteraturan Alam Semesta

Penciptaan laki-laki dan perempuan adalah bagian dari keteraturan yang menakjubkan di alam semesta. Setiap detail dalam penciptaan ini, mulai dari perbedaan kromosom hingga perbedaan hormon dan struktur tubuh, dirancang untuk tujuan tertentu. Keseimbangan jumlah antara laki-laki dan perempuan dalam populasi manusia (secara umum) juga merupakan bukti kebesaran Allah, memastikan bahwa setiap individu memiliki potensi untuk menemukan pasangannya.

Keseimbangan ini juga terlihat dalam peran-peran sosial dan emosional. Laki-laki dan perempuan, dengan kekuatan dan kelemahan masing-masing, dapat saling melengkapi untuk membangun keluarga yang kokoh dan masyarakat yang stabil. Ini adalah manifestasi dari ayat Al-Qur'an lain yang menyatakan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan (`min kulli syai'in khalaqna zawjain`).

4. Nilai Kemanusiaan dan Kesetaraan dalam Martabat

Ayat ini secara eksplisit menyebut laki-laki dan perempuan secara berdampingan. Meskipun ada perbedaan biologis dan peran, Al-Qur'an secara konsisten menegaskan bahwa di mata Allah, baik laki-laki maupun perempuan memiliki martabat yang setara sebagai hamba-Nya. Keunggulan di sisi Allah hanyalah berdasarkan ketakwaan, bukan jenis kelamin.

Firman Allah dalam Surah Al-Hujurat ayat 13, `إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ` (Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa), berlaku untuk semua, tanpa memandang jenis kelamin. Ayat ini menjadi dasar bagi kesetaraan hak dan kewajiban dasar antara laki-laki dan perempuan dalam Islam, meskipun peran dan tanggung jawab spesifik dapat berbeda untuk menjaga harmoni dan fungsi masyarakat.

5. Tanggung Jawab Manusia terhadap Diri Sendiri, Pasangan, dan Keluarga

Pengakuan akan penciptaan berpasangan ini juga membawa implikasi tanggung jawab. Jika Allah menciptakan kita berpasangan, maka ada tujuan di baliknya: untuk saling melengkapi, mengembangkan kasih sayang (mawaddah wa rahmah), dan melahirkan generasi penerus yang saleh. Ini menegaskan pentingnya institusi pernikahan dan keluarga dalam Islam.

Setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki tanggung jawab untuk menjalankan perannya sesuai syariat, menghormati pasangannya, mendidik anak-anak, dan berkontribusi positif bagi masyarakat. Mengingkari atau menolak fitrah penciptaan berpasangan ini berarti mengingkari salah satu tanda kebesaran Allah.

6. Perkembangbiakan dan Kelangsungan Hidup Manusia

Salah satu tujuan utama penciptaan laki-laki dan perempuan adalah untuk memastikan kelangsungan hidup spesies manusia melalui perkembangbiakan. Tanpa interaksi dan persatuan antara laki-laki dan perempuan, tidak akan ada generasi penerus. Ayat ini mengingatkan kita akan keajaiban proses reproduksi dan bagaimana Allah mengatur segala sesuatunya dengan sempurna agar kehidupan dapat terus berjalan.

Ini juga menyinggung tentang pentingnya menjaga kemurnian garis keturunan (nasab) dan menjaga diri dari perbuatan zina yang merusak tatanan keluarga dan masyarakat, karena ia bertentangan dengan tujuan luhur penciptaan berpasangan.

7. Tanda-tanda Kebesaran Allah (Ayatullah)

Setiap aspek penciptaan, dari yang terkecil hingga terbesar, adalah `ayatullah` (tanda-tanda kebesaran Allah). Penciptaan laki-laki dan perempuan dengan segala kompleksitas biologis, psikologis, dan emosionalnya adalah salah satu tanda yang paling dekat dengan diri manusia. Merenungkan bagaimana satu sel dapat berkembang menjadi dua jenis kelamin yang berbeda dengan fungsi yang spesifik, seharusnya meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita.

Ayat ini mendorong kita untuk tafakur (merenung) dan tadabbur (memikirkan secara mendalam) ciptaan Allah. Dengan demikian, kita akan semakin menyadari keagungan-Nya, kemahabijaksanaan-Nya, dan kemahakuasaan-Nya.

Kaitan Ayat 3 dengan Ayat-ayat Selanjutnya dalam Surat Al-Lail dan Al-Qur'an Lainnya

Sumpah-sumpah di awal Surat Al-Lail tidak berdiri sendiri. Ketiga ayat ini menjadi pengantar yang krusial bagi ayat-ayat selanjutnya, yang berbicara tentang perbedaan jalan hidup manusia dan balasan atas perbuatan mereka.

Menuju Pembagian Manusia Menjadi Dua Golongan

Setelah bersumpah dengan malam, siang, dan penciptaan laki-laki dan perempuan, Allah SWT melanjutkan dengan menyatakan:

إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّىٰ

Inna sa‘yakum lashattā

"Sesungguhnya usaha kamu memang berlain-lainan." (Surat Al-Lail: 4)

Ayat ini adalah jawaban atas sumpah-sumpah sebelumnya. Sebagaimana ada dualitas malam dan siang, laki-laki dan perempuan, demikian pula usaha dan amal perbuatan manusia itu berbeda-beda, dan akan berujung pada takdir yang berbeda pula. Allah lalu membagi manusia menjadi dua golongan utama:

  1. Orang yang memberi, bertakwa, dan membenarkan yang baik (Al-Husna): Untuk golongan ini, Allah akan memudahkan jalan menuju kemudahan dan kebahagiaan (surga). (Ayat 5-7)
  2. Orang yang kikir, merasa serba cukup (sombong), dan mendustakan yang baik (Al-Husna): Untuk golongan ini, Allah akan memudahkan jalan menuju kesulitan dan kesengsaraan (neraka). (Ayat 8-10)

Keterkaitan dengan ayat 3 sangat jelas: Allah, Dzat yang menciptakan dualitas dalam alam semesta (malam/siang, laki-laki/perempuan), juga menciptakan dualitas dalam perilaku dan takdir manusia. Ini menunjukkan konsistensi dalam desain Ilahi. Adanya laki-laki dan perempuan menjadi fondasi bagi kehidupan sosial, di mana manusia diberi pilihan untuk memilih jalannya sendiri, baik jalan kebaikan maupun keburukan. Pilihan inilah yang akan menentukan apakah seseorang akan menjadi bagian dari golongan yang beruntung atau merugi.

Keterkaitan dengan Ayat-ayat tentang Penciptaan Pasangan di Surah Lain

Konsep penciptaan berpasangan bukan hanya muncul di Surat Al-Lail ayat 3. Al-Qur'an berulang kali menegaskan prinsip ini dalam berbagai konteks, menunjukkan betapa fundamentalnya hal ini dalam pandangan Islam:

Korelasi ayat-ayat ini dengan Surat Al-Lail ayat 3 memperkaya pemahaman kita. Ayat 3 Surat Al-Lail adalah sumpah dengan penciptaan laki-laki dan perempuan sebagai tanda kebesaran Allah, sementara ayat-ayat lain menjelaskan hikmah dan tujuan dari penciptaan berpasangan ini.

Refleksi Kontemporer dan Relevansi Ayat 3

Dalam era modern ini, di mana banyak konsep sosial dan identitas mengalami pergeseran, pemahaman mendalam tentang Surat Al-Lail ayat 3 menjadi semakin relevan dan penting. Ayat ini memberikan landasan teologis yang kuat tentang fitrah manusia dan tatanan alam semesta.

Menghadapi Tantangan Modern Terkait Gender dan Identitas

Di dunia kontemporer, diskusi tentang gender, identitas seksual, dan peran sosial seringkali menjadi kompleks. Surat Al-Lail ayat 3 dengan jelas menyatakan penciptaan `adz-dzakara wal-unthā` (laki-laki dan perempuan) sebagai suatu fundamental. Ini menegaskan bahwa dualitas gender adalah bagian dari desain Ilahi yang asli dan alami.

Dalam Islam, konsep ini tidak meniadakan variasi dalam karakteristik individu atau menolak hak-hak setiap orang. Namun, ia menegaskan adanya dua jenis kelamin biologis dasar yang berfungsi untuk keberlangsungan hidup manusia. Islam memandang perbedaan ini sebagai pelengkap, bukan sebagai dasar diskriminasi, namun sebagai fondasi bagi struktur keluarga dan masyarakat yang stabil.

Pemahaman ini dapat membantu Muslim untuk tetap berpegang pada nilai-nilai ajaran Islam di tengah arus perubahan sosial, dengan tetap menjunjung tinggi kasih sayang, keadilan, dan kemanusiaan bagi semua individu.

Pentingnya Keluarga sebagai Unit Dasar Masyarakat

Ayat tentang penciptaan laki-laki dan perempuan secara langsung menyoroti pentingnya institusi keluarga. Pernikahan antara laki-laki dan perempuan adalah cara yang disyariatkan dalam Islam untuk membentuk keluarga, yang merupakan unit dasar bagi setiap masyarakat. Keluarga yang kokoh adalah fondasi bagi masyarakat yang stabil, beradab, dan bermoral.

Dari pernikahan ini lahir keturunan, yang menjadi generasi penerus. Proses ini tidak hanya tentang reproduksi biologis, tetapi juga tentang transmisi nilai-nilai, budaya, dan agama dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tanpa dua jenis kelamin ini, konsep keluarga inti tidak akan ada, dan struktur sosial akan runtuh.

Surat Al-Lail ayat 3 mengingatkan kita akan kesucian dan keutamaan peran masing-masing dalam membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Konsep `Fitra` (Naluri Dasar Manusia)

Penciptaan laki-laki dan perempuan juga berkaitan erat dengan konsep fitra dalam Islam. Fitra adalah naluri asli manusia, kecenderungan bawaan untuk beriman kepada Allah, serta kesesuaian dengan hukum-hukum alam yang telah ditetapkan-Nya. Salah satu fitra yang paling mendasar adalah kecenderungan untuk berpasangan dan membentuk keluarga.

Keberadaan laki-laki dan perempuan sebagai dua polaritas yang saling tarik-menarik dan melengkapi adalah bagian dari fitra ini. Ketika manusia hidup selaras dengan fitra-nya, ia akan menemukan kedamaian dan kebahagiaan. Ketika ia menyimpang dari fitra ini, akan timbul kekacauan dan penderitaan, baik secara individu maupun kolektif.

Maka, ayat ini menjadi pengingat bahwa tatanan yang Allah ciptakan itu adalah yang terbaik, paling alami, dan paling selaras dengan kebutuhan hakiki manusia.

Tafakur dan Mengambil Pelajaran dari Surat Al-Lail Ayat 3

Pesan utama dari Surat Al-Lail ayat 3, dan rangkaian sumpah di awal surah ini, adalah ajakan untuk merenung. Allah SWT tidak bersumpah dengan hal-hal biasa, melainkan dengan ciptaan-Nya yang agung dan fundamental:

  1. Malam: Waktu istirahat, ketenangan, refleksi.
  2. Siang: Waktu aktivitas, kerja keras, pencarian rezeki.
  3. Laki-laki dan Perempuan: Dua jenis kelamin yang menjadi fondasi kehidupan manusia, reproduksi, dan masyarakat.

Setiap sumpah ini memiliki makna yang mendalam dan saling terkait. Mereka menunjukkan dualitas yang harmonis dalam penciptaan, yang pada akhirnya mengarah pada pengakuan akan keesaan dan kekuasaan Allah SWT.

Meningkatkan Keimanan dan Ketakwaan

Dengan merenungkan bagaimana Allah menciptakan malam dan siang dalam siklus yang sempurna, dan bagaimana Dia menciptakan manusia dalam dua jenis kelamin yang saling melengkapi, keimanan kita seharusnya bertambah kuat. Kesadaran akan kebesaran Sang Pencipta akan menuntun kita pada ketakwaan, yaitu takut kepada Allah dan berusaha menjalankan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya.

Setiap kali kita menyaksikan pergantian siang dan malam, atau melihat interaksi antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan, kita diingatkan akan ayat ini dan janji Allah akan balasan bagi setiap usaha kita.

Dorongan untuk Berbuat Kebaikan

Ayat-ayat berikutnya dalam Surat Al-Lail langsung mengaitkan sumpah-sumpah ini dengan perbuatan manusia. Jika Allah telah menciptakan dualitas yang sempurna, maka manusia juga memiliki dualitas pilihan: berbuat baik atau berbuat buruk. Dan setiap pilihan itu akan memiliki konsekuensinya.

Oleh karena itu, pemahaman tentang ayat 3 ini seharusnya mendorong kita untuk memilih jalan kebaikan, untuk bertakwa, untuk memberi (berinfak), dan untuk membenarkan kebaikan (`al-husna`). Dengan demikian, kita berharap Allah akan memudahkan jalan kita menuju kebahagiaan sejati, sebagaimana Dia telah memudahkan segala urusan dalam penciptaan-Nya yang sempurna.

Mengambil pelajaran dari hikmah penciptaan laki-laki dan perempuan juga berarti menghargai peran masing-masing, menjaga hubungan yang harmonis dalam keluarga dan masyarakat, serta bekerja sama dalam kebaikan untuk mencapai keridaan Allah.

Kesimpulan

Surat Al-Lail ayat 3, `وَمَا خَلَقَ الذَّكَرَ وَالْأُنْثَىٰ` (Wa mā khalaqa adh-dhakara wal-unthā), meskipun singkat, adalah ayat yang sangat kaya makna. Ia merupakan bagian dari rangkaian sumpah Ilahi di awal surah yang mengagungkan keesaan dan kekuasaan Allah SWT sebagai Pencipta. Baik diartikan sebagai "demi penciptaan laki-laki dan perempuan" (mā mashdariyah) maupun "demi Dzat yang menciptakan laki-laki dan perempuan" (mā mawshulah), pesan intinya tetap sama: bahwa penciptaan dua jenis kelamin ini adalah tanda agung dari kebesaran Allah.

Ayat ini mengajarkan kita tentang prinsip dualitas yang mendasari alam semesta, keseimbangan dan keteraturan ciptaan, serta kesetaraan martabat antara laki-laki dan perempuan di hadapan Allah. Ia juga menekankan pentingnya peran masing-masing dalam kelangsungan hidup manusia, pembentukan keluarga, dan stabilitas masyarakat.

Lebih dari itu, ayat ini adalah fondasi spiritual dan filosofis yang mengarahkan pandangan kita kepada Allah sebagai satu-satunya Pencipta yang patut disembah dan ditaati. Dengan merenungkan ayat ini, kita diharapkan dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan, serta termotivasi untuk senantiasa berbuat kebaikan, menyadari bahwa setiap usaha kita akan diperhitungkan dan diberi balasan oleh Sang Pencipta Yang Maha Adil.

Semoga dengan memahami `arti surat al lail ayat 3` secara mendalam, kita semakin menyadari keagungan Al-Qur'an, kekuasaan Allah, dan hikmah di balik setiap ciptaan-Nya. Dan semoga pemahaman ini menjadi pendorong bagi kita untuk hidup selaras dengan fitrah yang telah ditetapkan Allah, demi meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Wallahu a'lam bish-shawab.

🏠 Homepage