Surah Al-Kahfi adalah salah satu surah Makkiyah dalam Al-Quran yang penuh dengan hikmah dan pelajaran berharga. Dinamakan "Al-Kahfi" (Gua) karena menceritakan kisah Ashabul Kahfi, sekelompok pemuda yang melarikan diri dari penganiayaan dan berlindung di dalam gua, lalu ditidurkan oleh Allah selama berabad-abad. Surah ini sering dibaca pada hari Jumat karena keutamaannya yang luar biasa, termasuk perlindungan dari fitnah Dajjal.
Secara umum, Surah Al-Kahfi mengajarkan tentang empat ujian besar kehidupan: ujian agama (kisah Ashabul Kahfi), ujian harta (kisah dua pemilik kebun), ujian ilmu (kisah Nabi Musa dan Khidir), dan ujian kekuasaan (kisah Dzulqarnain). Namun, di penghujung surah, khususnya pada ayat 101-110, Allah SWT memberikan rangkuman dan penekanan pada inti sari ajaran Islam: pentingnya keimanan, amal saleh, keikhlasan, dan tauhid yang murni. Ayat-ayat terakhir ini berfungsi sebagai penutup yang kuat, mengingatkan manusia akan hakikat kehidupan dunia, tujuan penciptaan, dan balasan di akhirat.
Ayat-ayat ini secara khusus menyoroti perbedaan antara orang-orang yang merugi dan orang-orang yang beruntung di Hari Kiamat. Ini adalah seruan untuk introspeksi, sebuah peringatan keras bagi mereka yang lalai dan sebuah kabar gembira bagi mereka yang taat. Mari kita telusuri lebih dalam setiap ayat dari 101 hingga 110, menggali tafsir, hikmah, dan pelajaran yang dapat kita petik untuk menjalani kehidupan yang bermakna dan meraih kebahagiaan sejati di dunia dan akhirat.
Ayat ini memulai dengan gambaran tentang kondisi spiritual orang-orang yang akan dibahas pada ayat-ayat selanjutnya. Mereka adalah golongan yang 'mata mereka telah tertutup dari peringatan-Ku'. Frasa "mata mereka telah tertutup" (فِى غِطَآءٍ عَن ذِكْرِى) adalah metafora yang kuat untuk menggambarkan kebutaan spiritual atau kelalaian yang mendalam. Ini bukan kebutaan fisik, melainkan ketidakmampuan untuk melihat tanda-tanda kebesaran Allah (ayat-ayat-Nya) di alam semesta dan dalam diri mereka sendiri, serta ketidakmampuan untuk memahami pesan-pesan Al-Quran.
Peringatan Allah (ذِكْرِى) dalam konteks ini bisa merujuk pada Al-Quran, ajaran para nabi, tanda-tanda kekuasaan-Nya di alam semesta, atau bahkan peringatan batin yang diberikan melalui hati nurani. Mereka yang mata hatinya tertutup tidak dapat melihat kebenaran ini, meskipun tanda-tanda tersebut jelas dan terang benderang bagi orang-orang yang mau merenung.
Kemudian, ayat ini melanjutkan dengan frasa "dan mereka tidak sanggup mendengar" (وَكَانُوا۟ لَا يَسْتَطِيعُونَ سَمْعًا). Ini melengkapi gambaran kebutaan spiritual dengan ketulian spiritual. Mereka bukan tidak mampu mendengar suara secara fisik, melainkan tidak sanggup mendengar dan memahami pesan kebenaran yang disampaikan. Seruan kebaikan, nasihat para nabi, atau bahkan ayat-ayat Al-Quran yang dibacakan kepada mereka, tidak akan mampu menembus hati mereka yang telah mengeras. Ada penghalang kuat antara telinga dan hati mereka, sehingga pendengaran mereka tidak menghasilkan pemahaman atau perubahan.
Para ulama tafsir menjelaskan bahwa kondisi ini adalah akibat dari pilihan mereka sendiri. Bukan Allah yang menutup mata atau telinga mereka tanpa alasan, melainkan mereka sendiri yang secara sengaja memilih untuk berpaling dari kebenaran, menolak ajakan hidayah, dan tenggelam dalam kesenangan duniawi serta hawa nafsu. Kelalaian dan penolakan yang terus-menerus ini akhirnya mengeraskan hati mereka, membuat mereka tidak lagi sensitif terhadap petunjuk ilahi.
Imam At-Tabari, dalam tafsirnya, menekankan bahwa 'ghita' (penutup) ini adalah akibat dari keengganan mereka untuk merenungkan dan memikirkan ayat-ayat Allah. Sementara itu, 'la yastati'una sam'an' (tidak sanggup mendengar) menunjukkan bahwa mereka tidak dapat menerima atau memahami kebenaran karena kerasnya hati mereka dan keengganan mereka untuk beriman.
Ayat ini merupakan peringatan keras bahwa kelalaian yang berulang kali dapat berujung pada kondisi di mana hidayah tidak lagi dapat menembus hati. Ini menjadi landasan untuk memahami mengapa amal perbuatan mereka di dunia, meskipun terlihat baik, tidak akan memiliki bobot di akhirat, seperti yang akan dijelaskan pada ayat-ayat berikutnya.
Kondisi yang digambarkan dalam ayat 101 ini adalah titik awal bagi pemahaman tentang orang-orang yang paling merugi. Kelalaian mereka bukan sekadar ketidaktahuan, tetapi penolakan aktif atau pasif terhadap kebenaran yang seharusnya mereka lihat dan dengar.
Ayat ini melanjutkan pembahasan tentang kondisi orang-orang yang mata dan telinganya tertutup dari peringatan Allah, dengan menyoroti kesesatan utama mereka: syirik, atau menyekutukan Allah. Pertanyaan retoris "Maka apakah orang-orang kafir menyangka bahwa mereka (dapat) mengambil hamba-hamba-Ku menjadi penolong selain Aku?" berfungsi sebagai celaan dan penegasan. Ini menunjukkan betapa batilnya pemikiran mereka yang mengira bahwa makhluk, yang sejatinya adalah hamba Allah, bisa menjadi pelindung atau penolong yang mandiri dan memiliki kekuasaan selain Allah.
Frasa "hamba-hamba-Ku" (عِبَادِى) di sini bisa merujuk pada segala sesuatu yang disembah atau dijadikan pelindung selain Allah, baik itu malaikat, nabi, orang saleh, patung, berhala, kekuasaan, harta, atau bahkan hawa nafsu. Semua itu adalah ciptaan Allah, hamba-hamba-Nya, yang tidak memiliki kekuatan untuk memberikan manfaat atau menolak mudarat tanpa izin-Nya. Menyandarkan harapan dan permohonan kepada mereka adalah bentuk kebodohan dan kesesatan yang nyata.
Kata "awliyā'" (أَوْلِيَآءَ) berarti pelindung, penolong, teman setia, atau sekutu. Orang-orang kafir secara keliru mencari perlindungan dan pertolongan dari selain Allah, meyakini bahwa entitas-entitas tersebut memiliki otoritas ilahi atau kekuatan supernatural. Al-Quran berulang kali menegaskan bahwa hanya Allah lah satu-satunya Pelindung dan Penolong sejati. Segala bentuk ketergantungan mutlak dan penyembahan selain kepada-Nya adalah bentuk kemusyrikan yang tidak termaafkan.
Imam Qatadah menjelaskan bahwa orang-orang musyrik mengambil sekutu-sekutu selain Allah, seperti berhala dan tuhan-tuhan palsu, dan meminta pertolongan dari mereka. Padahal, semua itu hanyalah ciptaan Allah yang tidak memiliki kekuasaan sedikit pun.
Bagian kedua ayat ini memberikan penegasan dan ancaman yang serius: "Sungguh, Kami telah menyediakan neraka Jahanam sebagai tempat tinggal bagi orang-orang kafir." (إِنَّآ أَعْتَدْنَا جَهَنَّمَ لِلْكَٰفِرِينَ نُزُلًا). Kata "nuzulā" (نُزُلًا) secara harfiah berarti hidangan atau tempat persinggahan yang disiapkan untuk tamu. Penggunaan kata ini sangat ironis dan menyakitkan. Biasanya, hidangan adalah sesuatu yang menyenangkan dan dinantikan. Namun, bagi orang-orang kafir, "hidangan" yang telah Allah persiapkan bagi mereka di akhirat adalah neraka Jahanam. Ini menunjukkan bahwa azab tersebut telah pasti dan disiapkan dengan sempurna bagi mereka yang memilih jalan kekafiran dan syirik.
Ayat ini juga mengindikasikan bahwa perbuatan mengambil selain Allah sebagai pelindung adalah akar dari kekafiran. Kelalaian dan kebutaan spiritual (seperti pada ayat 101) pada akhirnya mengarahkan mereka pada kemusyrikan, yang merupakan dosa terbesar dalam Islam.
Ayat 102 ini menjadi jembatan menuju ayat berikutnya yang akan membahas tentang siapa orang-orang yang paling merugi, yaitu mereka yang amal perbuatannya di dunia sia-sia karena tidak dilandasi tauhid dan keimanan yang benar.
Ayat ini datang dalam bentuk pertanyaan retoris yang menggugah dan menarik perhatian. Allah memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk berkata kepada umat manusia (terutama orang-orang kafir dan musyrik yang disebutkan sebelumnya): "Maukah Kami beritahukan kepadamu tentang orang yang paling merugi perbuatannya?" (هَلْ نُنَبِّئُكُم بِٱلْأَخْسَرِينَ أَعْمَٰلًا). Pertanyaan ini dirancang untuk membangkitkan rasa ingin tahu dan membuat pendengar merenung. Siapakah gerangan orang-orang yang paling merugi ini?
Kata "al-akhsarīn" (ٱلْأَخْسَرِينَ) adalah bentuk superlatif dari "khasir" (rugi), yang berarti "yang paling merugi" atau "yang paling rugi kerugiannya". Frasa "a'mālā" (أَعْمَٰلًا) berarti "dalam hal perbuatan-perbuatan". Jadi, ayat ini berbicara tentang orang-orang yang perbuatan mereka, yang mungkin mereka anggap baik atau bermanfaat di dunia, justru menjadi penyebab kerugian terbesar bagi mereka di akhirat.
Pertanyaan ini menimbulkan anticipasi terhadap jawaban yang akan diberikan pada ayat berikutnya. Ini adalah cara Al-Quran untuk menarik perhatian pendengar pada suatu topik yang sangat penting, yaitu tentang hakikat kerugian sejati yang bukan hanya sekadar kehilangan harta atau kedudukan di dunia, melainkan kerugian abadi di akhirat.
Para mufassir menjelaskan bahwa pertanyaan ini ditujukan tidak hanya kepada orang kafir yang jelas-jelas menolak kebenaran, tetapi juga kepada setiap manusia agar merenungkan diri. Kerugian yang dimaksud bukanlah kerugian materi, melainkan kerugian spiritual dan abadi. Ini adalah kerugian yang paling parah, karena menyangkut kehidupan setelah mati, yang bersifat kekal.
Imam Ibnu Katsir menyebutkan bahwa ayat ini menunjuk pada setiap orang yang melakukan amal ibadah dengan niat yang keliru atau dengan cara yang tidak benar, sehingga amalnya tidak diterima oleh Allah. Mereka mengira telah berbuat kebaikan, padahal sebaliknya.
Pertanyaan ini juga mengandung makna peringatan. Seolah-olah Allah berfirman: "Perhatikanlah baik-baik, jangan sampai kalian termasuk golongan ini." Ini mendorong setiap individu untuk memeriksa kembali niat dan metode dalam setiap perbuatan, terutama yang berkaitan dengan ibadah dan hubungan dengan Allah. Kerugian ini sangat halus, karena sering kali pelakunya tidak menyadarinya di dunia. Mereka bahkan mungkin merasa puas dan bangga dengan amal perbuatan mereka, padahal di sisi Allah, amal tersebut tidak memiliki nilai.
Ayat ini membuka pintu untuk pembahasan yang lebih mendalam mengenai kriteria amal yang diterima di sisi Allah dan amal yang ditolak, sekaligus memberikan gambaran tentang betapa pentingnya landasan iman dan tauhid dalam setiap perbuatan manusia.
Dengan pertanyaan ini, Al-Quran mempersiapkan kita untuk menerima penjelasan tentang sifat-sifat orang yang paling merugi, yang akan diuraikan pada ayat selanjutnya.
Ayat ini adalah jawaban langsung atas pertanyaan pada ayat 103, menjelaskan siapa "orang yang paling merugi perbuatannya." Mereka adalah "orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia" (ٱلَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا). Kata "ḍalla sa'yuhum" (ضَلَّ سَعْيُهُمْ) secara harfiah berarti "usaha mereka tersesat" atau "amal mereka sia-sia." Ini menggambarkan bahwa segala upaya, kerja keras, dan perbuatan yang mereka lakukan dalam hidup ini, meskipun mungkin terlihat banyak dan besar, pada akhirnya tidak akan menghasilkan pahala atau kebaikan di sisi Allah.
Apa yang membuat amal mereka tersesat dan sia-sia? Ayat ini memberikan petunjuk krusial: "sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya" (وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا). Inilah inti dari kerugian mereka: mereka berada dalam delusi. Mereka mengira amal mereka adalah yang terbaik, paling benar, dan paling diterima, padahal kenyataannya sama sekali tidak demikian. Ini adalah bentuk kesombongan, kebodohan, dan penipuan diri yang fatal.
Ada beberapa sebab mengapa seseorang bisa terjerumus dalam kondisi ini:
Contoh-contoh dalam sejarah dan kehidupan nyata sangat banyak. Ada orang-orang yang membangun rumah sakit, menyumbangkan harta, melakukan penelitian ilmiah yang bermanfaat, atau bahkan beribadah dengan giat (menurut pandangan mereka sendiri), namun karena mereka tidak beriman kepada Allah, atau niat mereka melenceng, atau cara mereka tidak sesuai syariat, maka amal tersebut tidak akan menjadi penolong mereka di akhirat.
Imam At-Tabari menjelaskan bahwa ini adalah sifat orang-orang yang beramal bukan di atas hidayah dari Allah, tetapi di atas kesesatan. Mereka menyangka apa yang mereka kerjakan itu benar, baik, dan mendatangkan manfaat bagi mereka, padahal kenyataannya merugikan mereka di sisi Allah.
Ayat ini adalah peringatan keras terhadap delusi spiritual dan kesombongan amal. Betapa banyak manusia yang menghabiskan hidupnya dengan berbagai aktivitas, namun pada akhirnya tidak membawa hasil yang diharapkan di Hari Pembalasan. Ini menunjukkan betapa krusialnya landasan keimanan yang kokoh dan niat yang ikhlas dalam setiap perbuatan.
Ayat ini memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana seseorang dapat melakukan banyak hal yang "baik" di mata dunia, namun di mata Allah, semua itu menjadi sia-sia karena tidak memenuhi syarat-syarat penerimaan amal. Ini adalah peringatan untuk tidak tertipu oleh penampilan lahiriah semata.
Ayat ini merupakan kelanjutan dan penjelasan lebih lanjut mengenai siapa "orang yang paling merugi perbuatannya" yang disebutkan pada ayat sebelumnya. Allah SWT secara eksplisit menyebutkan akar penyebab kerugian mereka: kekafiran.
"Mereka itu adalah orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Tuhan mereka" (أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ بِـَٔايَٰتِ رَبِّهِمْ). Kata "kāfarū" (كَفَرُوا۟) berarti mengingkari, menolak, atau tidak percaya. "Ayat-ayat Tuhan mereka" (بِـَٔايَٰتِ رَبِّهِمْ) mencakup berbagai hal:
Orang-orang yang merugi ini adalah mereka yang, meskipun melihat dan mendengar tanda-tanda ini, memilih untuk menolaknya atau mengabaikannya. Mereka menafsirkan segala sesuatu dengan pandangan materialistis atau ateistik, tanpa mengaitkannya dengan kekuasaan ilahi.
Selain mengingkari ayat-ayat-Nya, mereka juga "(tidak percaya) pertemuan dengan Dia" (وَلِقَآئِهِۦ). Ini merujuk pada ketidakpercayaan mereka terhadap Hari Kebangkitan, Hari Perhitungan, dan pertemuan dengan Allah di akhirat. Keimanan kepada hari akhir adalah salah satu rukun iman yang fundamental. Ketidakpercayaan ini memiliki konsekuensi besar, karena tanpa keyakinan akan pertanggungjawaban di akhirat, motivasi untuk berbuat kebaikan dan meninggalkan keburukan akan sangat berkurang atau hilang sama sekali. Seseorang yang tidak percaya pada akhirat akan cenderung hidup hanya untuk memuaskan hawa nafsu dan ambisi duniawi.
Kemudian, ayat ini menjelaskan akibat dari kekafiran dan penolakan ini: "maka sia-sia seluruh amalnya" (فَحَبِطَتْ أَعْمَٰلُهُمْ). Kata "ḥabiṭat" (حَبِطَتْ) berarti gugur, batal, hancur, atau tidak bernilai. Ini menegaskan bahwa semua perbuatan baik yang mungkin telah mereka lakukan di dunia—entah itu bersedekah, membangun fasilitas umum, berbuat adil, atau menjaga lingkungan—menjadi tidak berguna di sisi Allah. Mengapa? Karena fondasi iman yang merupakan syarat utama penerimaan amal tidak ada pada diri mereka. Amal saleh tanpa iman yang benar seperti bangunan tanpa pondasi, akan roboh dan tidak ada artinya.
Dan sebagai penutup yang menegaskan betapa parahnya kondisi mereka, Allah berfirman: "dan Kami tidak akan mengadakan suatu penilaian bagi (amal) mereka pada hari Kiamat." (فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ وَزْنًا). Frasa "tidak akan mengadakan suatu penilaian bagi mereka" (فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ وَزْنًا) berarti amal mereka tidak akan ditimbang. Ini bukan berarti Allah tidak tahu amal mereka, melainkan amal tersebut tidak memiliki bobot sedikit pun di hadapan timbangan keadilan Allah. Mereka tidak memiliki kebaikan yang bisa ditimbang, karena semua yang mereka lakukan tidak dilandasi iman dan ikhlas. Oleh karena itu, bagi mereka tidak ada timbangan kebaikan yang akan mendatangkan pahala, hanya timbangan keburukan yang akan menuntun mereka pada azab.
Para mufassir seperti Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ini merujuk pada orang-orang kafir yang tidak akan memiliki hasanat (kebaikan) yang bisa ditimbang di hari kiamat. Karena Allah hanya akan menimbang amal saleh yang dilandasi iman. Sedangkan amal orang kafir, meskipun di dunia terlihat baik, di sisi Allah tidak memiliki nilai sama sekali sebagai bekal akhirat.
Ayat ini secara jelas menggarisbawahi pentingnya keimanan sebagai prasyarat mutlak penerimaan amal. Ini juga menjadi peringatan bagi umat Islam untuk selalu menjaga keimanan dan menjauhi segala bentuk kekufuran dan kesyirikan, agar amal-amal mereka tidak sia-sia.
Ayat 105 ini memberikan penekanan yang kuat pada keimanan sebagai fondasi utama dari semua amal saleh, dan sekaligus menjelaskan konsekuensi fatal dari menolak tanda-tanda Allah dan Hari Akhir.
Setelah menjelaskan bahwa amal orang-orang kafir tidak memiliki bobot di Hari Kiamat, ayat ini secara langsung dan tegas menyatakan balasan bagi mereka: "Demikianlah balasan mereka itu neraka Jahanam" (ذَٰلِكَ جَزَآؤُهُمْ جَهَنَّمُ). Kata "dzalika" (ذَٰلِكَ) merujuk kembali kepada kondisi orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Allah dan hari akhir, serta amal mereka yang sia-sia.
Balasan mereka adalah Jahanam, yaitu nama untuk salah satu tingkatan neraka yang sangat dahsyat siksaannya. Penegasan ini mengakhiri semua keraguan tentang nasib akhir orang-orang yang memilih jalan kekafiran. Ini adalah keadilan Allah, di mana setiap perbuatan akan mendapatkan balasannya yang setimpal.
Ayat ini juga merinci dua sebab utama mengapa mereka mendapatkan balasan yang mengerikan ini:
Ayat-ayat Allah yang diolok-olok bisa berupa Al-Quran, syariat Islam, janji dan ancaman Allah, atau tanda-tanda kebesaran-Nya. Rasul-rasul Allah yang diolok-olok adalah para nabi dan utusan yang diutus untuk membawa hidayah. Mengolok-olok mereka sama dengan mengolok-olok pesan yang mereka bawa, dan pada akhirnya mengolok-olok Allah SWT sendiri.
Perbuatan mengolok-olok ini bukan hanya sekadar candaan, tetapi manifestasi dari ketidakpercayaan yang mendalam dan permusuhan terhadap agama. Ini adalah bentuk kekufuran yang bahkan lebih parah, karena menunjukkan sikap merendahkan dan tidak menghormati apa yang suci.
Imam Al-Qurtubi menjelaskan bahwa mengolok-olok ayat-ayat Allah dan para rasul-Nya adalah dosa besar yang menunjukkan tingkat kekafiran yang ekstrim. Ini mencakup tidak percaya, mendustakan, dan merendahkan. Balasan bagi mereka yang melakukan ini adalah neraka Jahanam, sebagai balasan yang adil dan setimpal atas perbuatan mereka.
Ayat ini menekankan keadilan Allah. Dia tidak zalim. Balasan neraka Jahanam bukan diberikan tanpa alasan, melainkan karena pilihan dan perbuatan manusia itu sendiri, yaitu kekafiran yang disertai dengan sikap meremehkan dan menghina ajaran ilahi. Ini adalah penutup yang menakutkan bagi golongan yang merugi, sebuah gambaran yang kontras dengan janji yang akan diberikan kepada golongan yang beruntung pada ayat-ayat selanjutnya.
Ayat 106 ini mengakhiri bagian peringatan dan ancaman, beralih pada ayat-ayat selanjutnya yang akan memberikan kabar gembira dan janji pahala bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh.
Setelah menguraikan nasib orang-orang yang ingkar dan merugi, Al-Quran kini beralih memberikan kabar gembira dan janji indah bagi golongan sebaliknya: orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Ayat ini adalah bentuk kasih sayang dan keadilan Allah yang selalu menyeimbangkan antara ancaman dan harapan, antara peringatan dan janji.
"Sungguh, orang-orang yang beriman" (إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟) adalah prasyarat pertama. Iman di sini mencakup keyakinan yang kokoh dalam hati, yang diucapkan oleh lisan, dan dibuktikan dengan perbuatan. Ini adalah keimanan yang mencakup enam rukun iman: percaya kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan takdir-Nya, baik yang baik maupun yang buruk.
Namun, iman saja tidak cukup. Ayat ini menambahkan syarat kedua: "dan mengerjakan kebajikan" (وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ). Amal kebajikan (amal saleh) adalah segala perbuatan baik yang sesuai dengan syariat Islam, dilakukan dengan ikhlas karena Allah, dan mengikuti tuntunan Nabi Muhammad SAW. Ini mencakup ibadah ritual seperti salat, puasa, zakat, haji, serta ibadah sosial seperti bersedekah, membantu sesama, berbakti kepada orang tua, menjaga lingkungan, dan segala bentuk kebaikan lainnya.
Kombinasi antara iman (keyakinan) dan amal saleh (praktik) adalah kunci utama keberhasilan di akhirat. Keduanya saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan. Iman tanpa amal adalah seperti pohon tanpa buah, dan amal tanpa iman adalah seperti bangunan tanpa fondasi.
Bagi mereka yang memenuhi dua syarat ini, Allah menjanjikan balasan yang luar biasa: "untuk mereka disediakan surga Firdaus sebagai tempat tinggal." (كَانَتْ لَهُمْ جَنَّٰتُ ٱلْفِرْدَوْسِ نُزُلًا). "Jannātul Firdaus" (جَنَّٰتُ ٱلْفِرْدَوْسِ) adalah tingkatan surga yang tertinggi dan termulia. Dalam banyak riwayat hadis, Nabi Muhammad SAW memerintahkan umatnya untuk memohon Firdaus ketika berdoa meminta surga, karena Firdaus adalah surga yang paling tengah dan paling tinggi, di bawah Arsy Allah, dan darinya mengalir sungai-sungai surga.
Penggunaan kata "nuzulā" (نُزُلًا) di sini sangat kontras dengan penggunaannya pada ayat 102. Jika pada ayat 102 neraka Jahanam adalah "hidangan" bagi orang kafir, maka di ayat ini surga Firdaus adalah "hidangan" atau "tempat persinggahan mulia" yang disiapkan bagi orang-orang beriman. Ini menunjukkan betapa agung dan istimewanya balasan yang telah Allah sediakan bagi hamba-hamba-Nya yang taat.
Allah menyiapkan surga Firdaus ini sebagai bentuk penghormatan dan kemuliaan bagi mereka yang telah bersabar dalam ketaatan, menjauhi larangan-larangan-Nya, dan berjuang di jalan-Nya selama hidup di dunia. Ini adalah puncak kebahagiaan dan kenikmatan yang abadi, jauh melampaui segala kenikmatan duniawi.
Ayat ini memberikan harapan besar bagi setiap mukmin untuk meraih puncak kebahagiaan akhirat. Ini adalah motivasi kuat untuk senantiasa menjaga keimanan, memperbanyak amal saleh, dan berjuang untuk mencapai tingkatan tertinggi di sisi Allah.
Ayat 107 ini adalah puncak dari janji-janji Allah bagi para kekasih-Nya, yang kemudian akan diperkuat lagi dengan janji kekekalan pada ayat berikutnya.
Ayat ini merupakan kelanjutan dari kabar gembira pada ayat sebelumnya, memberikan detail yang sangat penting tentang sifat balasan di surga Firdaus: kekekalan. "Mereka kekal di dalamnya" (خَٰلِدِينَ فِيهَا) menegaskan bahwa kenikmatan di surga itu tidak bersifat sementara atau terbatas. Setelah masuk surga, orang-orang beriman akan tinggal di dalamnya selama-lamanya, tanpa akhir. Ini adalah kenikmatan terbesar, karena ketiadaan akhir menghilangkan rasa khawatir akan kehilangan, yang seringkali menghantui kebahagiaan di dunia.
Kekekalan ini adalah perbedaan fundamental antara kebahagiaan dunia dan akhirat. Semua kenikmatan dunia, betapapun besar dan indah, pada akhirnya akan berakhir. Harta bisa lenyap, kesehatan bisa menurun, kekuasaan bisa runtuh, dan bahkan hidup itu sendiri pasti akan berakhir. Namun, di surga, tidak ada lagi rasa takut akan kematian, sakit, usia tua, atau kehilangan.
Bagian kedua dari ayat ini semakin menegaskan kesempurnaan kenikmatan tersebut: "mereka tidak ingin pindah dari padanya." (لَا يَبْغُونَ عَنْهَا حِوَلًا). Ini menunjukkan bahwa surga Firdaus adalah tempat yang begitu sempurna, begitu indah, dan begitu memuaskan, sehingga para penghuninya tidak akan pernah memiliki keinginan sedikit pun untuk meninggalkannya, mencari tempat lain, atau bahkan bosan. Setiap keinginan mereka akan terpenuhi, dan setiap kenikmatan akan tersedia tanpa batas.
Frasa "lā yabghūna 'anhā ḥiwalā" (لَا يَبْغُونَ عَنْهَا حِوَلًا) secara harfiah berarti "mereka tidak mencari perubahan dari padanya." Ini mencerminkan tingkat kepuasan dan kebahagiaan yang absolut. Di dunia, meskipun kita mendapatkan sesuatu yang baik, seringkali kita masih mencari sesuatu yang lebih baik atau berbeda. Ada rasa bosan, jenuh, atau keinginan untuk mencoba hal baru. Namun, di surga, tidak akan ada lagi perasaan tersebut. Setiap saat adalah kenikmatan puncak, setiap pengalaman adalah yang terbaik, sehingga tidak ada lagi ruang untuk keinginan akan perubahan atau perbaikan.
Imam Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan mengatakan bahwa mereka (penghuni surga) tidak pernah ingin pindah dari surga dan tidak pernah merasa jenuh atau bosan. Ini adalah puncak dari kenikmatan, di mana mereka benar-benar merasa puas dan gembira selamanya.
Ayat ini sangat penting karena memberikan gambaran tentang betapa berharganya balasan yang Allah sediakan bagi orang-orang beriman. Ini adalah janji yang menguatkan hati, memberikan kekuatan untuk menghadapi cobaan dunia, dan mendorong untuk terus istiqamah di jalan kebaikan.
Dengan janji kekekalan dan kepuasan absolut ini, Al-Quran telah menggambarkan puncak balasan bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Setelah ini, Al-Quran beralih ke dua ayat penutup yang sangat mendalam, mengukuhkan keagungan Allah dan inti ajaran tauhid.
Ayat ini membawa kita ke dimensi yang lebih luas, tentang keagungan dan kemahaluasan ilmu serta kekuasaan Allah. Setelah berbicara tentang nasib manusia di dunia dan akhirat, Allah kini mengarahkan perhatian pada Diri-Nya yang tak terbatas. Allah memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk mengatakan kepada manusia: "Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, pasti habislah lautan itu sebelum selesai (penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)."
Ini adalah perumpamaan yang sangat indah dan kuat untuk menggambarkan kemahaluasan kalimat-kalimat Allah. "Kalimat-kalimat Tuhanku" (كَلِمَٰتِ رَبِّى) di sini tidak hanya merujuk pada firman-Nya (Al-Quran), tetapi juga pada:
Perumpamaan ini menggunakan "lautan" (ٱلْبَحْرُ) sebagai metafora untuk jumlah yang sangat besar, dan "tinta" (مِدَادًا) sebagai alat untuk menulis. Jika seluruh air di lautan dijadikan tinta, dan semua manusia atau makhluk dikerahkan untuk menuliskan kalimat-kalimat Allah, niscaya lautan itu akan habis kering sebelum kalimat-kalimat Allah selesai ditulis. Bahkan jika lautan itu ditambah lagi sebanyak itu (sehingga menjadi dua lautan), atau bahkan berlipat-lipat ganda, tetap saja kalimat-kalimat Allah tidak akan pernah habis.
Ini menunjukkan betapa terbatasnya kemampuan dan pemahaman manusia. Dengan segala kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia hanya mampu mengungkap sebagian kecil dari rahasia alam semesta, yang itu pun hanyalah secuil dari ilmu Allah. Manusia tidak akan pernah bisa memahami atau mencakup seluruh pengetahuan Allah.
Ayat serupa juga disebutkan dalam Surah Luqman (31:27): "Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan lautan (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh lautan (lagi) setelah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana." Ayat ini memperkuat makna yang sama, menunjukkan bahwa perumpamaan ini sangat ditekankan dalam Al-Quran.
Imam Al-Qurtubi menekankan bahwa "kalimat-kalimat Allah" adalah apa yang Allah perintahkan untuk Dia ciptakan, dan itu tidak ada habisnya. Ini adalah bukti dari kebesaran Allah yang tidak dapat dicapai oleh makhluk-Nya.
Tujuan dari ayat ini adalah untuk menanamkan rasa kagum dan kerendahan hati dalam diri manusia terhadap kebesaran Allah. Manusia, dengan segala pengetahuannya yang terbatas, seharusnya tidak sombong, melainkan harus senantiasa merasa rendah diri di hadapan ilmu dan kekuasaan Penciptanya. Ini juga mendorong manusia untuk terus mencari ilmu, menyadari bahwa setiap penemuan adalah secercah kecil dari lautan ilmu Allah yang tak bertepi.
Ayat 109 ini berfungsi sebagai jembatan yang sempurna menuju ayat terakhir dari Surah Al-Kahfi, yang akan merangkum seluruh pesan inti tentang tauhid dan amal saleh.
Ayat ini adalah penutup Surah Al-Kahfi, sebuah rangkuman yang padat dan komprehensif dari seluruh pesan yang terkandung dalam surah ini, bahkan inti sari ajaran Islam itu sendiri. Ayat ini dibagi menjadi tiga bagian utama:
"Katakanlah (Muhammad), "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku..." (قُلْ إِنَّمَآ أَنَا۠ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰٓ إِلَىَّ). Ini adalah penegasan penting tentang hakikat Nabi Muhammad SAW. Beliau adalah seorang manusia, sama seperti kita dalam aspek kemanusiaannya: lahir, makan, minum, tidur, berkeluarga, dan mengalami suka duka kehidupan. Beliau bukanlah Tuhan, bukan anak Tuhan, bukan pula makhluk yang memiliki sifat-sifat ilahiah.
Penegasan ini sangat krusial untuk mencegah umat manusia mengkultuskan atau mendewakan Nabi, sebuah kesalahan yang sering terjadi pada umat-umat terdahulu terhadap nabi-nabi mereka. Namun, perbedaan mendasar antara beliau dan manusia biasa adalah bahwa "yang diwahyukan kepadaku." Ini adalah status kenabian dan kerasulan yang membedakan beliau, menjadikan beliau sebagai jembatan antara Allah dan manusia, pembawa pesan ilahi.
"...bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Maha Esa." (أَنَّمَآ إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَٰحِدٌ). Ini adalah pesan utama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW dan semua nabi sebelumnya: Tauhid, yaitu keyakinan bahwa hanya ada satu Tuhan yang berhak disembah, tiada sekutu bagi-Nya. Inilah fondasi seluruh ajaran Islam.
Pengulangan penegasan tauhid di akhir Surah Al-Kahfi ini sangat signifikan. Mengingat surah ini menceritakan tentang berbagai ujian dan tantangan terhadap keimanan, serta bahaya kesyirikan (seperti yang ditunjukkan pada kisah dua pemilik kebun dan Dzulqarnain yang selalu mengembalikan kekuasaannya kepada Allah), maka ayat penutup ini mengembalikan fokus utama pada inti ajaran: hanya Allah lah satu-satunya Tuhan yang Maha Esa, tiada yang menyerupai-Nya dalam Zat, sifat, maupun perbuatan-Nya.
"Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya." (فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَٰلِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدًۢا).
Bagian ini memberikan panduan praktis bagi siapa saja yang merindukan kebahagiaan abadi di sisi Allah. Frasa "mengharap pertemuan dengan Tuhannya" (يَرْجُو لِقَآءَ رَبِّهِۦ) adalah ekspresi indah untuk kerinduan akan Surga dan ridha Allah. Bagi mereka yang memiliki harapan mulia ini, ada dua syarat mutlak:
Kedua syarat ini – amal saleh yang benar (mutaba'ah) dan keikhlasan (tauhid) – adalah dua pilar utama penerimaan amal dalam Islam. Imam Fudhail bin Iyadh menafsirkan ayat ini dengan mengatakan bahwa "amal yang paling baik" adalah yang paling ikhlas dan paling benar. Ikhlas berarti hanya untuk Allah, dan benar berarti sesuai dengan Sunnah Nabi. Jika amal itu ikhlas tapi tidak benar, maka tidak diterima. Jika benar tapi tidak ikhlas, juga tidak diterima.
Ayat ini adalah penutup yang sempurna, merangkum esensi risalah kenabian: mengesakan Allah dan beribadah kepada-Nya dengan benar dan ikhlas. Ini adalah peta jalan menuju kebahagiaan abadi bagi seluruh umat manusia.
Dengan ayat 110 ini, Surah Al-Kahfi ditutup dengan pesan yang sangat kuat dan relevan bagi setiap generasi, menjadi pedoman hidup yang terang dan jelas.
Sepuluh ayat terakhir dari Surah Al-Kahfi, yaitu ayat 101-110, merupakan penutup yang sangat mendalam dan sarat makna, merangkum inti ajaran Islam dan memberikan gambaran yang jelas tentang jalan menuju keselamatan dan kerugian abadi. Kita telah melihat bagaimana ayat-ayat ini berfungsi sebagai peringatan, ancaman, sekaligus kabar gembira dan panduan yang terang benderang bagi setiap insan.
Pada awalnya, kita diperingatkan tentang kondisi spiritual orang-orang yang merugi: mereka yang matanya tertutup dari peringatan Allah dan tidak sanggup mendengar kebenaran (ayat 101). Kondisi ini kemudian dijelaskan lebih lanjut dengan kesesatan mereka dalam mengambil pelindung selain Allah (ayat 102), suatu bentuk kemusyrikan yang fatal. Allah kemudian menantang kita untuk mengenal siapa sebenarnya orang yang paling merugi perbuatannya (ayat 103), dan jawabannya datang pada ayat 104: mereka adalah orang-orang yang amal perbuatannya sia-sia di dunia, namun mereka menyangka telah berbuat sebaik-baiknya. Ini adalah delusi spiritual yang paling berbahaya.
Akar dari kerugian mereka adalah kekafiran terhadap ayat-ayat Allah dan penolakan akan pertemuan dengan-Nya di hari akhir, yang menyebabkan seluruh amal mereka gugur dan tidak memiliki bobot di hari perhitungan (ayat 105). Konsekuensi final dari kekafiran dan penghinaan mereka terhadap ayat dan rasul-rasul Allah adalah neraka Jahanam sebagai balasan yang setimpal (ayat 106).
Setelah gambaran kelam ini, Al-Quran memberikan kontras yang penuh harapan. Bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, Allah menjanjikan balasan yang agung: surga Firdaus sebagai tempat tinggal (ayat 107). Kenikmatan ini bukan sementara, melainkan kekal abadi, di mana mereka tidak akan pernah ingin berpindah atau merasa bosan sedikit pun (ayat 108).
Kemudian, untuk menanamkan keagungan dan kemahakuasaan Allah, ayat 109 menggambarkan betapa tidak terbatasnya ilmu dan kalimat-kalimat Allah, melebihi seluruh lautan yang dijadikan tinta. Ini adalah pengingat akan keterbatasan manusia dan kebesaran Pencipta.
Akhirnya, Surah Al-Kahfi ditutup dengan ayat 110, sebuah pesan pamungkas yang merangkum seluruh risalah kenabian. Nabi Muhammad SAW menegaskan kemanusiaannya sambil menyampaikan inti wahyu: Keesaan Allah (Tauhid). Dan bagi siapa saja yang mengharapkan pertemuan dengan Tuhannya di akhirat, ada dua syarat mutlak: hendaklah ia mengerjakan kebajikan (amal saleh yang sesuai syariat) dan janganlah ia mempersekutukan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya (ikhlas dan tauhid yang murni).
Pelajaran-pelajaran dari ayat 101-110 Surah Al-Kahfi ini sangat relevan bagi kita di era modern ini. Di tengah hiruk pikuk dunia yang penuh godaan, fitnah, dan berbagai paham yang menyesatkan, ayat-ayat ini berfungsi sebagai kompas yang mengarahkan kita kembali kepada tujuan hidup yang hakiki. Ia mengingatkan kita untuk senantiasa menjaga keimanan, menguatkan tauhid, beramal saleh dengan ikhlas, dan selalu merendahkan diri di hadapan kebesaran Allah.
Semoga dengan merenungi dan mengamalkan pesan-pesan mendalam dari ayat-ayat ini, kita semua dapat terhindar dari golongan yang merugi dan termasuk ke dalam golongan yang beruntung, meraih surga Firdaus dan pertemuan mulia dengan Allah SWT.