Surah Al-Ikhlas, sebuah permata dalam Al-Quran, adalah manifestasi kemurnian tauhid Islam. Meskipun singkat, hanya terdiri dari empat ayat, pesan yang terkandung di dalamnya begitu mendalam dan fundamental sehingga ia sering disebut sebagai sepertiga Al-Quran dalam nilai dan maknanya. Surah ini secara eksklusif berfokus pada sifat-sifat Allah SWT, mendefinisikan Keesaan-Nya (Tauhid) dengan cara yang jelas, tegas, dan tidak ambigu. Di antara keempat ayat yang agung ini, ayat ketigalah yang menjadi fokus pembahasan kita, sebuah ayat yang mengandung penolakan mutlak terhadap segala bentuk kemiripan Allah dengan makhluk-Nya: "Lam yalid wa lam yulad" (Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan).
Ayat ini bukan sekadar pernyataan dogmatis; ia adalah fondasi filosofis dan teologis yang membedakan konsep Ketuhanan dalam Islam dari berbagai keyakinan lain. Ia membongkar mitos, menolak perumpamaan antropomorfik, dan menegaskan kemandirian mutlak Allah SWT. Untuk benar-benar memahami keagungan dan urgensi ayat ini, kita perlu menyelaminya dengan tafsir yang mendalam, menelusuri konteks sejarah, implikasi akidah, serta rahasia-rahasia yang terkandung di balik setiap katanya.
Surah Al-Ikhlas, yang juga dikenal sebagai Surah Al-Tauhid, adalah surah ke-112 dalam Al-Quran. Makna "Al-Ikhlas" sendiri adalah "kemurnian" atau "memurnikan". Surah ini disebut demikian karena ia memurnikan akidah seseorang dari segala bentuk syirik dan kesyirikan, mengajarkan tentang kemurnian tauhidullah. Diriwayatkan bahwa surah ini diturunkan sebagai jawaban atas pertanyaan kaum musyrikin Mekah kepada Rasulullah SAW tentang silsilah atau sifat-sifat Tuhan yang Beliau sembah.
Mereka bertanya, "Ceritakan kepada kami silsilah Tuhanmu itu." Mereka ingin mengetahui apakah Tuhan Nabi Muhammad itu terbuat dari emas atau perak, apakah Dia memiliki keturunan, atau apakah Dia sendiri berasal dari keturunan tertentu, sebagaimana keyakinan-keyakinan pagan yang beredar di masa itu. Jawaban Allah SWT melalui surah ini bukan hanya sekadar jawaban, melainkan sebuah deklarasi universal tentang hakikat keesaan-Nya.
Surah ini memiliki keutamaan yang sangat besar. Rasulullah SAW bersabda bahwa Surah Al-Ikhlas setara dengan sepertiga Al-Quran. Para ulama menjelaskan bahwa ini karena Surah Al-Ikhlas membahas salah satu dari tiga tema utama Al-Quran, yaitu tauhid. Dua tema lainnya adalah hukum-hukum (syariat) dan kisah-kisah (sejarah). Dengan demikian, memahami dan merenungkan Surah Al-Ikhlas berarti memahami esensi dari pesan ilahi itu sendiri.
Empat ayat Surah Al-Ikhlas adalah sebagai berikut:
Setiap ayat saling melengkapi, membangun gambaran yang kokoh tentang Allah yang Tunggal dan Mutlak. Ayat pertama menegaskan keesaan Allah (`Ahad`). Ayat kedua menjelaskan kemandirian dan kesempurnaan-Nya (`As-Samad`). Ayat ketiga, yang akan kita bahas secara rinci, menolak segala bentuk kelahiran atau diperanakkan. Dan ayat keempat merangkum bahwa tidak ada sesuatu pun yang setara atau sebanding dengan-Nya.
Inilah jantung dari pembahasan kita, sebuah ayat yang sederhana dalam susunan katanya, namun maha dahsyat dalam implikasi maknanya. Ayat ini secara eksplisit menolak dua kemungkinan besar yang sering dikaitkan dengan konsep ketuhanan dalam berbagai kepercayaan: memiliki keturunan dan dilahirkan dari suatu asal usul.
لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ
Artinya: "Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan."
Untuk mengapresiasi kedalaman ayat ini, mari kita bedah setiap komponen katanya:
`Lam` adalah partikel negasi (huruf nafi) dalam bahasa Arab yang digunakan untuk meniadakan atau menafikan suatu perbuatan di masa lampau yang berlanjut hingga sekarang atau di masa depan. Namun, dalam konteks ini, `lam` memiliki makna negasi yang sangat kuat dan mutlak. Ia bukan hanya menolak kejadian di masa lalu, melainkan menolak kemungkinan terjadinya sesuatu secara permanen dan fundamental. Ketika `lam` digunakan bersama kata kerja `mudhari'` (present/future tense) seperti `yalid` dan `yulad`, ia mengubah makna kata kerja tersebut menjadi masa lampau yang tidak pernah terjadi dan tidak akan pernah terjadi.
`Yalid` berasal dari akar kata `walada` (وَلَدَ), yang berarti "melahirkan", "memperanakkan", atau "menghasilkan keturunan". Ini adalah bentuk aktif dari kata kerja.
`Wa` berarti "dan". `Lam` kembali digunakan untuk negasi mutlak. `Yulad` adalah bentuk pasif dari akar kata `walada`, yang berarti "diperanakkan" atau "dilahirkan".
Kesimpulannya, ayat "Lam yalid wa lam yulad" adalah deklarasi kemandirian mutlak Allah SWT. Dia tidak memerlukan sumber, dan Dia tidak menghasilkan sumber lain yang akan menggantikan atau menyamai-Nya. Ini adalah sifat yang unik bagi Sang Khaliq (Pencipta) yang membedakan-Nya dari seluruh ciptaan-Nya.
Ayat ketiga Surah Al-Ikhlas adalah pilar utama dalam membangun fondasi akidah Islam yang kokoh. Makna teologisnya sangat mendalam dan memiliki implikasi luas terhadap pemahaman kita tentang Allah SWT dan hubungan kita dengan-Nya.
Ayat ini adalah sanggahan paling lugas terhadap berbagai keyakinan yang menganggap Tuhan memiliki anak atau diperanakkan. Secara khusus, ia menolak konsep Trinitas dalam Kekristenan yang menyatakan Isa (Yesus) sebagai "Putra Tuhan" atau "Tuhan Anak". Islam dengan tegas menyatakan bahwa Allah itu Esa, tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Isa adalah seorang Nabi agung dan hamba Allah, diciptakan dengan mukjizat tanpa ayah, sebagaimana Adam diciptakan tanpa ayah dan ibu, bukan karena ia adalah anak Tuhan.
Begitu pula, ayat ini menolak kepercayaan pagan atau mitologi kuno yang menggambarkan dewa-dewi memiliki silsilah keluarga, menikah, memiliki keturunan, dan sebagainya. Konsep semacam itu merendahkan keagungan dan kemuliaan Allah, menyamakan-Nya dengan makhluk ciptaan-Nya yang fana dan terbatas.
Allah tidak membutuhkan apa pun. Kebutuhan untuk beranak muncul dari keinginan untuk meneruskan garis keturunan, memastikan kelangsungan eksistensi, atau untuk mendapatkan bantuan di kemudian hari. Semua ini adalah ciri-ciri makhluk yang lemah dan terbatas. Allah adalah `Al-Ghani` (Maha Kaya), yang tidak membutuhkan apapun dari makhluk-Nya. Dia adalah `As-Samad` (Yang Maha Bergantung kepada-Nya segala sesuatu), tempat semua makhluk bergantung untuk memenuhi kebutuhan mereka, sementara Dia tidak bergantung kepada siapapun.
Allah juga `Al-Qayyum` (Maha Berdiri Sendiri), yang tidak memerlukan dukungan atau asal-usul. Dia adalah `Al-Awwal` (Yang Pertama) tanpa permulaan, dan `Al-Akhir` (Yang Terakhir) tanpa penghujung. Sifat "tidak beranak dan tidak diperanakkan" adalah manifestasi dari kemandirian dan kesempurnaan-Nya yang tiada tara.
Ketika Allah tidak beranak, berarti tidak ada bagian dari esensi-Nya yang terpisah dan menjadi entitas lain. Zat Allah adalah satu, tak terbagi, dan tak terpecah. Ini menolak segala bentuk pluralitas dalam zat Ketuhanan. Jika Dia diperanakkan, berarti ada "zat lain" yang mendahului atau menciptakan-Nya, yang mana ini juga bertentangan dengan keesaan zat-Nya.
Ayat ini mengajarkan bahwa Allah adalah satu-satunya entitas yang mandiri, tidak berasal dari apapun, dan tidak menghasilkan apapun yang setara dengan-Nya. Ini adalah inti dari `Tauhid Az-Zat`, yaitu keesaan Allah dalam esensi atau zat-Nya.
Konsep memiliki anak atau diperanakkan adalah karakteristik makhluk. Ini adalah proses biologis yang dialami oleh manusia, hewan, dan segala makhluk hidup. Dengan menafikan sifat-sifat ini pada diri-Nya, Allah menegaskan perbedaan mutlak antara Sang Pencipta dan ciptaan-Nya. Tidak ada satu pun makhluk yang serupa dengan-Nya. Dia melampaui segala atribut yang bisa dikaitkan dengan makhluk.
Kecenderungan manusia untuk memahami Tuhan seringkali terjebak dalam analogi makhluk. Kita berpikir tentang keluarga, silsilah, asal-usul, dan kelangsungan hidup dalam kerangka materi dan biologis. Ayat ini membebaskan akal dari belenggu ini. Ia mengajarkan kita untuk memahami Allah di luar batasan-batasan material dan temporal yang kita alami. Allah bukan materi, bukan fisik, tidak terikat waktu dan ruang, dan karenanya, konsep-konsep seperti "beranak" atau "diperanakkan" sama sekali tidak berlaku bagi-Nya.
Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam tafsirnya menjelaskan, "Ayat 'Lam yalid wa lam yulad' adalah penegasan bahwa Allah tidaklah sama dengan makhluk-Nya dalam segala sisi. Makhluk memiliki awal dan akhir, membutuhkan asal dan melahirkan keturunan. Allah adalah Zat yang Maha Awal tanpa permulaan dan Maha Akhir tanpa penghujung, Dia Maha Hidup dan tidak membutuhkan apapun untuk kelangsungan-Nya."
Pemahaman ayat ketiga Surah Al-Ikhlas semakin mendalam ketika kita mengaitkannya dengan ayat-ayat lain dalam Al-Quran yang menegaskan prinsip yang sama atau melengkapi maknanya.
Ayat ketiga tidak bisa dipisahkan dari ayat-ayat sebelumnya dalam surah yang sama:
Ayat ini menegaskan keesaan Allah. Sifat `Ahad` tidak hanya berarti satu dalam jumlah, tetapi satu dalam esensi, tidak memiliki bagian, tidak memiliki sekutu, dan tidak memiliki padanan. Konsep "tidak beranak dan tidak diperanakkan" adalah konsekuensi logis dari keesaan `Ahad`. Jika Allah memiliki anak atau diperanakkan, itu akan merusak kemutlakan keesaan-Nya.
`As-Samad` berarti Dzat yang Maha Sempurna, yang tidak membutuhkan apa pun, dan kepada-Nya segala sesuatu bergantung. Sifat "tidak beranak dan tidak diperanakkan" adalah manifestasi dari `As-Samad`. Jika Allah beranak, berarti Dia membutuhkan penerus. Jika Dia diperanakkan, berarti Dia membutuhkan pencipta atau asal-usul. Keduanya bertentangan dengan sifat `As-Samad` yang menunjukkan kemandirian mutlak-Nya.
Dengan demikian, ayat ketiga memperinci dan menguatkan makna `Ahad` dan `As-Samad`. Ketiga ayat ini secara kolektif membangun sebuah definisi Tauhid yang lengkap dan tidak tergoyahkan.
مَا كَانَ لِلَّهِ أَن يَتَّخِذَ مِن وَلَدٍ سُبْحَانَهُ ۚ إِذَا قَضَىٰ أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُن فَيَكُونُ
Artinya: "Tidak layak bagi Allah mempunyai anak, Maha Suci Dia. Apabila Dia menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya: "Jadilah!", maka jadilah ia."
Ayat ini adalah penegasan eksplisit tentang penolakan Allah memiliki anak, khususnya dalam konteks kisah Nabi Isa AS. Ia menegaskan bahwa kehendak Allah mutlak; Dia menciptakan tanpa memerlukan proses biologis seperti memiliki anak.
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلَا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ ۚ إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللَّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَىٰ مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِّنْهُ ۖ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ ۖ وَلَا تَقُولُوا ثَلَاثَةٌ ۚ انتَهُوا خَيْرًا لَّكُمْ ۚ إِنَّمَا اللَّهُ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ سُبْحَانَهُ أَن يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ ۘ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۗ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ وَكِيلًا
Artinya: "Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, Isa putra Maryam itu, adalah utusan Allah dan (dengan kalimat-Nya yaitu) "Jadilah!" yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) ruh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan: "(Tuhan itu) tiga", berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah sebagai Pemelihara."
Ayat ini secara langsung membantah doktrin Trinitas dan gagasan bahwa Allah memiliki anak, dengan menekankan bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Suci dari sifat tersebut.
وَيُنذِرَ الَّذِينَ قَالُوا اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا
Artinya: "Dan untuk memperingatkan orang-orang yang berkata: "Allah mengambil seorang anak"."
Ayat ini menunjukkan bahwa salah satu tujuan Al-Quran adalah untuk memperingatkan dan mengoreksi keyakinan sesat tentang Allah yang memiliki anak, mengukuhkan kembali prinsip tauhid.
اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ۚ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ ۚ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۗ مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِندَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ ۚ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ ۚ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ ۖ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا ۚ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
Artinya: "Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar."
Ayat Kursi, yang merupakan ayat teragung dalam Al-Quran, juga menggambarkan sifat-sifat Allah yang Maha Sempurna dan mandiri, seperti `Al-Hayy` (Maha Hidup Kekal) dan `Al-Qayyum` (Maha Berdiri Sendiri). Sifat-sifat ini secara implisit menolak kebutuhan Allah untuk beranak atau diperanakkan. Makhluk yang beranak dan diperanakkan adalah makhluk yang memiliki awal dan akhir, yang mengalami kelelahan dan membutuhkan istirahat, yang bergantung pada orang lain untuk kelangsungan hidupnya. Semua ini dinafikan dari Allah dalam Ayat Kursi, sejalan dengan pesan "Lam yalid wa lam yulad".
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Artinya: "Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat."
Ayat ini adalah prinsip dasar dalam memahami sifat-sifat Allah. Ia menegaskan bahwa Allah tidak serupa dengan apapun dari ciptaan-Nya. Konsep "tidak beranak dan tidak diperanakkan" adalah aplikasi langsung dari prinsip ini, karena memiliki anak atau diperanakkan adalah sifat-sifat makhluk, bukan Pencipta. Ini melengkapi ayat keempat Surah Al-Ikhlas ("Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia").
Dari korelasi ini, jelas bahwa pesan ayat ketiga Surah Al-Ikhlas adalah inti dari ajaran Islam tentang Tauhid. Ia adalah benang merah yang menghubungkan banyak ayat dalam Al-Quran yang menegaskan keesaan, kemandirian, dan kesempurnaan Allah SWT.
Untuk memperkaya pemahaman kita, mari kita telaah bagaimana beberapa ulama tafsir terkemuka menjelaskan ayat "Lam yalid wa lam yulad":
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini menafikan dua hal dari Allah SWT: bahwa Dia mempunyai anak (`Lam yalid`) dan bahwa Dia dilahirkan (`Wa lam yulad`). Beliau mengaitkan hal ini dengan Asbabun Nuzul (sebab turunnya) surah ini, yaitu pertanyaan kaum musyrikin yang meminta Rasulullah SAW untuk menjelaskan silsilah Tuhan yang Beliau sembah.
Ibnu Katsir menegaskan bahwa Allah adalah `Al-Ahad` (Maha Esa) dan `As-Samad` (Maha Dibutuhkan), sehingga tidak mungkin Dia beranak karena Dia tidak membutuhkan bantuan atau pewaris. Juga, tidak mungkin Dia diperanakkan karena Dia adalah `Al-Awwal` (Yang Pertama) yang tidak ada sesuatu pun sebelum-Nya. Beliau juga mengutip hadis-hadis yang menegaskan keutamaan surah ini, yang menunjukkan betapa pentingnya pemahaman tauhid yang murni ini.
"Allah adalah tunggal, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Ini adalah penolakan terhadap keyakinan orang-orang Yahudi, Nasrani, dan juga orang-orang musyrik Arab yang memiliki dewa-dewa yang mereka anggap memiliki keturunan."
At-Tabari, salah satu mufasir paling awal, juga menyoroti konteks pertanyaan kaum musyrikin. Ia menjelaskan bahwa ayat "Lam yalid" berarti Allah tidak memiliki anak laki-laki atau perempuan, dan "wa lam yulad" berarti Dia tidak memiliki orang tua atau asal-usul. Ia menekankan bahwa ini adalah karakteristik Allah yang tidak memiliki permulaan (`Al-Awwal`) dan tidak memiliki akhir (`Al-Akhir`), serta tidak memiliki tandingan (`Al-Ahad`).
Menurut At-Tabari, penolakan ini merupakan inti dari pemurnian tauhid, membebaskan Allah dari segala keterikatan biologis atau silsilah yang hanya berlaku bagi makhluk.
"Maksud dari 'Lam yalid' adalah bahwa Allah tidak memiliki keturunan, seperti anak laki-laki atau perempuan. Dan 'wa lam yulad' berarti Dia tidak diciptakan, tidak memiliki ayah atau ibu, karena Dia adalah Pencipta segala sesuatu."
As-Sa'di dikenal dengan tafsirnya yang ringkas namun padat makna, berfokus pada esensi dan dampak praktis. Ia menjelaskan bahwa "Lam yalid wa lam yulad" berarti Allah adalah Maha Sempurna dan tidak memiliki kekurangan. Memiliki anak berarti membutuhkan bantuan atau pewaris, sedangkan diperanakkan berarti memiliki awal dan ketergantungan pada yang memperanakkan. Kedua hal ini tidak mungkin ada pada Allah karena Dia adalah `Al-Ghani` dan `Al-Qayyum`.
As-Sa'di mengaitkan ayat ini erat dengan sifat `As-Samad`, bahwa segala sesuatu bergantung kepada-Nya, dan Dia tidak bergantung kepada siapa pun. Ini adalah penolakan terhadap segala bentuk penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya.
"Ayat ini meniadakan adanya anak bagi Allah karena kesempurnaan-Nya dan kebutuhan semua makhluk kepada-Nya. Dan meniadakan Dia diperanakkan karena Dia adalah Yang Awal, Yang tidak didahului oleh apa pun."
Al-Qurtubi membahas secara mendalam aspek linguistik dan teologis dari ayat ini. Beliau menjelaskan bahwa `walada` secara umum berarti melahirkan, dan dalam konteks ini, ia mencakup penolakan terhadap anak kandung maupun anak angkat. Beliau juga mengulas berbagai riwayat Asbabun Nuzul, menegaskan bahwa surah ini adalah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang merendahkan kebesaran Allah.
Al-Qurtubi juga membahas pandangan filosofis dan teologis tentang bagaimana mustahil bagi Allah untuk beranak atau diperanakkan, karena ini akan mengindikasikan sifat-sifat makhluk seperti kehancuran, kebutuhan, dan keterbatasan.
"Ini adalah dalil yang jelas dan kokoh untuk menafikan bahwa Allah memiliki anak atau Dia dilahirkan. Karena memiliki anak menunjukkan kebutuhan dan keterbatasan, sedangkan dilahirkan menunjukkan adanya permulaan dan ketergantungan."
Al-Mawardi juga menjelaskan bahwa `Lam yalid` adalah penolakan terhadap kepercayaan orang-orang yang menganggap Allah memiliki anak (seperti Nasrani), dan `wa lam yulad` adalah penolakan terhadap mereka yang menganggap Allah berasal dari sesuatu (seperti pagan yang memiliki dewa-dewa yang memiliki asal-usul). Beliau menegaskan bahwa ayat ini adalah pilar tauhid yang membedakan Allah dari segala makhluk-Nya.
"Allah tidak beranak karena Dia tidak memiliki istri dan tidak memiliki sekutu. Dan Dia tidak diperanakkan karena Dia adalah Pencipta segala sesuatu, dan tidak ada yang menciptakan-Nya."
Melalui tafsir para ulama ini, kita dapat melihat konsensus yang kuat mengenai makna inti ayat "Lam yalid wa lam yulad": ia adalah deklarasi fundamental tentang Keesaan, Kesempurnaan, dan Kemandirian mutlak Allah SWT, sebuah penolakan terhadap segala bentuk penyerupaan-Nya dengan makhluk dan segala pemikiran yang merendahkan keagungan-Nya.
Memahami Asbabun Nuzul Surah Al-Ikhlas secara keseluruhan, khususnya yang berkaitan dengan ayat ketiga, akan memberikan konteks yang lebih kaya dan menunjukkan urgensi pesan yang dibawanya. Ada beberapa riwayat mengenai sebab turunnya surah ini, yang semuanya mengarah pada satu tujuan: menjawab pertanyaan tentang hakikat Allah SWT.
Salah satu riwayat yang paling masyhur dan diterima luas adalah bahwa kaum musyrikin Mekah mendatangi Nabi Muhammad SAW dan bertanya kepadanya tentang Tuhannya. Mereka berkata, "Wahai Muhammad, beritahukanlah kepada kami, dari apakah Tuhanmu itu? Apakah Dia terbuat dari emas, perak, tembaga, atau besi? Apakah Dia memiliki silsilah?" (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Ubay bin Ka'ab dan lainnya). Dalam riwayat lain disebutkan, "Sebutkanlah silsilah Tuhanmu kepada kami."
Permintaan ini mencerminkan mentalitas paganisme yang mereka anut, di mana dewa-dewi memiliki asal-usul, silsilah keluarga, bahkan terbuat dari material tertentu. Mereka ingin mengukur Tuhan Nabi Muhammad dengan standar dewa-dewa mereka. Sebagai jawaban atas pertanyaan yang sarat dengan kesyirikan ini, Allah menurunkan Surah Al-Ikhlas. Ayat "Lam yalid wa lam yulad" secara langsung menjawab pertanyaan tentang silsilah dan asal-usul Tuhan, dengan tegas menolaknya.
Ada pula riwayat yang menyebutkan bahwa sekelompok Yahudi datang kepada Nabi Muhammad SAW dan berkata, "Wahai Abul Qasim, jelaskan kepada kami tentang Tuhanmu. Dia menciptakan makhluk, lalu dari apa Dia diciptakan?" Mereka juga bertanya tentang sifat-sifat Tuhan. Sebagai tanggapan, Allah menurunkan Surah Al-Ikhlas (Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq).
Pertanyaan kaum Yahudi ini mungkin sedikit berbeda dari kaum musyrikin, namun intinya sama: mencoba memahami Tuhan dengan kerangka pemikiran terbatas yang tidak layak bagi-Nya. Ayat "Wa lam yulad" (Dia tidak diperanakkan) secara spesifik menjawab pertanyaan "dari apa Dia diciptakan?", menegaskan bahwa Allah adalah Pencipta yang tidak diciptakan.
Meskipun tidak sepopuler dua riwayat di atas, beberapa mufasir juga mengaitkan turunnya surah ini dengan dialog atau bantahan terhadap keyakinan Nasrani mengenai "anak Tuhan". Ayat "Lam yalid" (Dia tidak beranak) adalah sanggahan langsung terhadap doktrin ini.
Dari berbagai riwayat ini, dapat disimpulkan bahwa Surah Al-Ikhlas, dan khususnya ayat ketiga, diturunkan untuk:
Dengan demikian, Asbabun Nuzul ini menunjukkan bahwa Surah Al-Ikhlas bukan sekadar pernyataan doktrin, melainkan jawaban ilahi atas kebutuhan manusia untuk memahami Penciptanya dengan benar, memurnikan iman mereka dari segala bentuk syirik dan kesalahan.
Ayat "Lam yalid wa lam yulad" berfungsi sebagai perisai terhadap berbagai mitos dan kesalahpahaman yang seringkali muncul dalam pemikiran manusia mengenai Tuhan. Mari kita telaah beberapa di antaranya:
Ini adalah salah satu mitos tertua dalam sejarah peradaban manusia. Hampir semua peradaban kuno, dari Mesir, Yunani, Romawi, hingga India, memiliki panteon dewa-dewi yang memiliki hubungan keluarga, menikah, dan memiliki keturunan. Dalam konteks yang lebih modern, seperti dalam Kekristenan, keyakinan bahwa Yesus adalah "Anak Tuhan" juga merupakan bentuk dari mitos ini.
Mitos ini sering muncul dari pertanyaan filosofis, "Jika segala sesuatu memiliki pencipta, maka siapa yang menciptakan Tuhan?" Ini adalah lingkaran tak berujung jika Tuhan sendiri memiliki asal-usul.
Kaum musyrikin Mekah pernah bertanya apakah Tuhan Nabi Muhammad terbuat dari emas, perak, atau material lain. Mitos ini menganggap Tuhan sebagai entitas fisik yang dapat disentuh, dilihat, atau dibentuk.
Setiap makhluk yang beranak atau diperanakkan pasti memiliki kelemahan, kebutuhan, dan keterbatasan, termasuk keterikatan pada waktu dan ruang. Ia memerlukan proses, mengalami perubahan, dan pada akhirnya akan fana.
Jika Allah memiliki anak atau diperanakkan, secara tidak langsung mengimplikasikan bahwa ada entitas lain yang setara atau memiliki hubungan signifikan dengan-Nya yang dapat mengurangi keunikan-Nya.
Ayat "Lam yalid wa lam yulad" adalah sebuah deklarasi yang membersihkan akidah dari segala bentuk syirik dan kesalahpahaman yang merendahkan kebesaran Allah. Ia menetapkan batas yang jelas antara Sang Pencipta dan ciptaan-Nya, antara Yang Mutlak dan yang relatif.
Ayat ketiga Surah Al-Ikhlas, "Lam yalid wa lam yulad," adalah sebuah pernyataan yang sarat dengan hikmah dan pelajaran yang tak terhingga bagi setiap Muslim. Merenungkan makna dan implikasinya akan memperkaya iman, membersihkan akidah, dan membentuk akhlak mulia.
Pelajaran paling fundamental adalah penguatan tauhid. Ayat ini adalah benteng kokoh yang melindungi hati dari segala bentuk kesyirikan, baik syirik besar maupun syirik kecil. Ia mengajarkan kita untuk mengesakan Allah secara mutlak dalam rububiyah (ketuhanan), uluhiyah (peribadatan), serta asma dan sifat-Nya. Dengan memahami bahwa Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan, kita menyadari bahwa Dia adalah satu-satunya Zat yang layak disembah, tanpa sekutu, tanpa perantara yang memiliki sifat ilahi, dan tanpa tandingan.
Ayat ini membantu kita membangun gambaran tentang Tuhan yang Maha Sempurna, yang bebas dari segala kekurangan dan kelemahan yang melekat pada makhluk. Kebutuhan akan keturunan atau asal-usul adalah tanda keterbatasan, sedangkan Allah adalah `Al-Ghani` (Maha Kaya), `As-Samad` (Maha Bergantung kepada-Nya segala sesuatu), dan `Al-Qayyum` (Maha Berdiri Sendiri). Pemahaman ini mengangkat derajat akal dan jiwa dari bayang-bayang antropomorfisme.
Jika Tuhan kita adalah Zat yang Maha Mandiri, yang tidak bergantung pada apapun dan tidak membutuhkan apapun, maka kita sebagai hamba-Nya juga diajarkan untuk berusaha menjadi mandiri, tidak terlalu bergantung pada makhluk, dan mengoptimalkan potensi diri. Tentu, kemandirian ini tetap dalam koridor bahwa segala keberhasilan adalah karena pertolongan Allah. Ini menanamkan rasa percaya diri bahwa selama kita berpegang teguh kepada Allah, kita memiliki sandaran yang tak akan pernah goyah.
Mengetahui bahwa Allah tidak memiliki awal dan akhir, tidak memiliki anak atau diperanakkan, berarti Dia adalah Tuhan yang kekal abadi, Maha Kuat, dan Maha Mengatur. Ini menciptakan rasa aman dan ketenangan dalam hati seorang mukmin. Kita tahu bahwa Tuhan kita tidak akan lenyap, tidak akan melemah, dan tidak akan digantikan. Dia adalah sandaran yang kokoh di tengah gejolak kehidupan.
Ketika kita merenungkan keagungan Allah yang tidak terbatas ini, rasa takut (khauf) dan harapan (raja') kepada-Nya akan meningkat. Kita akan lebih taat pada perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya karena menyadari kemahakuasaan-Nya. Rasa syukur juga akan memuncak karena kita telah diberi petunjuk untuk mengenal Tuhan yang sebenarnya, terbebas dari kesesatan dan kesyirikan yang meliputi banyak umat.
Mengenal Allah sebagai Zat yang tidak beranak dan tidak diperanakkan, yang Maha Sempurna dan Maha Mandiri, akan menumbuhkan kerendahan hati dalam diri kita. Kita akan menyadari betapa kecilnya diri kita di hadapan kebesaran-Nya. Ini mencegah kesombongan dan keangkuhan, karena segala kekuatan dan keberadaan kita adalah murni anugerah dari-Nya.
Jika Allah tidak memiliki awal dan akhir, maka Dia adalah yang Maha Abadi. Kehidupan dan kematian adalah ciptaan-Nya. Pemahaman ini membantu kita melihat kehidupan ini sebagai bagian dari rencana ilahi yang lebih besar, dan kematian sebagai transisi, bukan akhir. Ini mengurangi ketakutan akan kematian dan memotivasi untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupan abadi di akhirat.
Dengan mengenal Tuhan yang Maha Sempurna, kita akan lebih memahami tujuan penciptaan kita. Hidup ini bukan tanpa arah, melainkan untuk mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang tidak beranak dan tidak diperanakkan. Ini memberikan makna dan arah yang jelas bagi eksistensi kita.
Dengan demikian, ayat yang singkat ini adalah kunci untuk membuka pintu pemahaman yang lebih dalam tentang Allah SWT, memurnikan akidah, dan membimbing kita menuju kehidupan yang lebih bermakna dan bertakwa.
Pemahaman mendalam tentang ayat "Lam yalid wa lam yulad" tidak hanya berhenti pada tataran teoretis atau filosofis, tetapi harus termanifestasi dalam setiap aspek kehidupan seorang Muslim. Berikut adalah beberapa aplikasi praktisnya:
Singkatnya, ayat "Lam yalid wa lam yulad" bukan sekadar dogma yang dihafal, melainkan panduan hidup yang komprehensif. Ia membersihkan jiwa, menguatkan hati, dan mengarahkan setiap langkah seorang Muslim menuju ketaatan dan kesempurnaan iman kepada Allah SWT.
Ayat "Lam yalid wa lam yulad" mungkin hanya terdiri dari beberapa patah kata dalam bahasa Arab, namun kedalaman makna dan implikasi teologisnya sungguh tak terbatas. Ia adalah deklarasi agung yang memisahkan kebenaran dari kesesatan, cahaya dari kegelapan, dan tauhid dari syirik. Dalam keheningan maknanya, tersembunyi kekuatan yang mampu mengubah pandangan dunia, memurnikan hati, dan membebaskan akal dari belenggu khayalan.
Melalui penolakan mutlak terhadap konsep beranak dan diperanakkan, ayat ini menegaskan keunikan Allah SWT dalam esensi dan sifat-sifat-Nya. Dia adalah `Al-Ahad` (Yang Maha Esa), `As-Samad` (Yang Maha Bergantung kepada-Nya segala sesuatu), `Al-Awwal` (Yang Maha Awal tanpa permulaan), `Al-Akhir` (Yang Maha Akhir tanpa penghujung), `Al-Ghani` (Yang Maha Kaya), dan `Al-Qayyum` (Yang Maha Berdiri Sendiri). Sifat-sifat ini secara kolektif melukiskan Tuhan yang Maha Sempurna, yang tiada memerlukan apapun, dan kepada-Nyalah segala makhluk bergantung.
Pesan dari ayat ketiga Surah Al-Ikhlas ini bukan hanya relevan di masa Rasulullah SAW, tetapi juga abadi hingga akhir zaman. Ia adalah jawaban definitif terhadap pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang Tuhan, dan merupakan landasan bagi setiap Muslim untuk membangun akidah yang kokoh. Dalam dunia yang serba kompleks dan penuh dengan ideologi yang bertentangan, ayat ini berfungsi sebagai kompas, menunjuk kepada kebenaran mutlak yang membebaskan jiwa.
Mari kita senantiasa merenungkan ayat yang mulia ini, menjadikannya lentera dalam perjalanan spiritual kita, dan fondasi dalam setiap keyakinan dan perbuatan kita. Dengan memahami dan menginternalisasi makna "Lam yalid wa lam yulad", kita tidak hanya menguatkan iman, tetapi juga mendekatkan diri kepada Allah SWT dalam kemurnian tauhid yang sesungguhnya.
Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita untuk memahami Al-Quran dengan sebenar-benarnya pemahaman, dan menjadikan kita termasuk golongan orang-orang yang berpegang teguh pada tauhid-Nya yang murni.