Bacaan Al-Qur'an: Surah Al-Kahfi dan Keutamaannya
Surah Al-Kahfi, yang berarti "Gua", adalah surah ke-18 dalam Al-Qur'an. Terdiri dari 110 ayat, surah Makkiyah ini dinamai berdasarkan kisah Ashabul Kahfi (Para Penghuni Gua) yang luar biasa, sebuah narasi sentral yang menceritakan sekelompok pemuda beriman yang melarikan diri dari penganiayaan dan berlindung di sebuah gua, lalu ditidurkan oleh Allah selama berabad-abad. Lebih dari sekadar kisah klasik, Al-Kahfi adalah permata spiritual yang sarat dengan pelajaran mendalam, hikmah abadi, dan bimbingan ilahi bagi umat manusia.
Surah ini seringkali direkomendasikan untuk dibaca pada hari Jumat, sebuah tradisi yang didukung oleh berbagai hadis Nabi Muhammad ﷺ, menunjukkan keutamaan dan manfaat besar yang terkandung di dalamnya. Al-Kahfi tidak hanya berfungsi sebagai penawar dan pelindung dari fitnah dunia, tetapi juga sebagai cermin yang memantulkan berbagai godaan dan cobaan yang mungkin dihadapi seorang Muslim dalam perjalanan hidupnya.
Artikel ini akan mengupas tuntas tentang Surah Al-Kahfi, mulai dari keutamaan dan manfaat membacanya, ringkasan dan tafsir mendalam tentang empat kisah utamanya, hingga bacaan lengkap dalam bahasa Arab, transliterasi, dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Mari kita selami samudra hikmah Surah Al-Kahfi untuk memperkaya iman dan pemahaman kita tentang ajaran Islam.
Keutamaan dan Manfaat Membaca Surah Al-Kahfi
Membaca Surah Al-Kahfi memiliki banyak keutamaan dan manfaat, terutama jika dibaca pada hari Jumat. Tradisi ini telah turun-temurun diamalkan oleh umat Islam, berdasarkan sabda-sabda Rasulullah ﷺ. Keutamaan ini tidak hanya bersifat spiritual, tetapi juga memberikan perlindungan dan bimbingan dalam menghadapi tantangan hidup.
1. Perlindungan dari Fitnah Dajjal
Salah satu keutamaan paling terkenal dari membaca Surah Al-Kahfi adalah perlindungan dari fitnah (cobaan) Dajjal, sosok yang akan muncul di akhir zaman sebagai cobaan terbesar bagi umat manusia. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
"Barangsiapa membaca Surah Al-Kahfi pada hari Jumat, niscaya ia akan disinari cahaya antara dua Jumat." (HR. An-Nasai, Al-Baihaqi, dan Al-Hakim)
"Barangsiapa yang menghafal sepuluh ayat pertama dari Surah Al-Kahfi, ia akan dilindungi dari (fitnah) Dajjal." (HR. Muslim)
Hadis ini secara spesifik menyebutkan sepuluh ayat pertama, namun para ulama juga menganjurkan membaca seluruh surah untuk mendapatkan perlindungan maksimal. Fitnah Dajjal sangat dahsyat, mampu memanipulasi kebenaran dan menyesatkan banyak orang. Surah Al-Kahfi, dengan kisah-kisahnya yang mengajarkan tentang iman, kesabaran, dan pengetahuan, mempersiapkan pembacanya untuk menghadapi fitnah-fitnah tersebut.
2. Penerangan Cahaya (Nur) antara Dua Jumat
Seperti yang disebutkan dalam hadis di atas, membaca Surah Al-Kahfi pada hari Jumat akan memberikan cahaya bagi pembacanya. Cahaya ini bisa diartikan secara harfiah sebagai penerang jalan menuju kebaikan, atau secara metaforis sebagai pencerahan hati, pemahaman yang lebih baik tentang agama, dan bimbingan dalam mengambil keputusan yang benar. Cahaya ini akan menyertai seorang Muslim hingga Jumat berikutnya, membantunya menjaga diri dari dosa dan maksiat.
3. Penjaga dari Segala Fitnah dan Cobaan Hidup
Surah Al-Kahfi mengandung empat kisah utama yang masing-masing melambangkan jenis-jenis fitnah atau cobaan dalam hidup: fitnah agama (Ashabul Kahfi), fitnah harta (Kisah Dua Kebun), fitnah ilmu/kekuasaan (Kisah Nabi Musa dan Khidir), dan fitnah kekuasaan (Kisah Dzulkarnain). Dengan memahami dan merenungi kisah-kisah ini, seorang Muslim akan lebih siap menghadapi fitnah serupa di dunianya. Surah ini mengajarkan pentingnya tawakkal (bergantung kepada Allah), kesabaran, kerendahan hati dalam mencari ilmu, dan keadilan dalam memimpin.
4. Mendapatkan Ketenangan Hati dan Jiwa
Membaca Al-Qur'an secara umum adalah sumber ketenangan, dan Surah Al-Kahfi tidak terkecuali. Ayat-ayatnya yang penuh hikmah dan kisah-kisah yang menggugah jiwa dapat menenangkan hati yang gelisah, memberikan harapan di tengah keputusasaan, dan mengingatkan akan kebesaran serta kasih sayang Allah SWT. Ini adalah pengingat bahwa segala urusan ada di tangan Allah dan Dia adalah sebaik-baik Penolong.
5. Pengingat Akan Kehidupan Akhirat dan Kebesaran Allah
Surah Al-Kahfi secara eksplisit dan implisit mengingatkan manusia tentang kehidupan akhirat, hisab (perhitungan amal), dan kekuasaan Allah yang tak terbatas. Kisah-kisah di dalamnya, seperti tidurnya Ashabul Kahfi selama berabad-abad, adalah bukti nyata kekuasaan Allah untuk mematikan dan menghidupkan kembali. Ini memperkuat iman dan mendorong Muslim untuk beramal saleh sebagai bekal menuju akhirat.
6. Sumber Ilmu dan Pengetahuan
Setiap kisah dalam Surah Al-Kahfi adalah sumber ilmu pengetahuan yang berharga. Dari kisah Nabi Musa dan Khidir, kita belajar tentang batas pengetahuan manusia, pentingnya kerendahan hati dalam belajar, dan bahwa ada hikmah di balik setiap peristiwa, bahkan yang terlihat buruk sekalipun. Kisah Dzulkarnain mengajarkan tentang kepemimpinan yang adil dan membangun peradaban yang kuat atas dasar tauhid.
Dengan demikian, membaca Surah Al-Kahfi bukan sekadar rutinitas, melainkan sebuah ibadah yang penuh makna, membawa berkah, perlindungan, dan pencerahan bagi setiap Muslim yang merenungkan dan mengamalkannya.
Kisah-Kisah Utama dalam Surah Al-Kahfi
Surah Al-Kahfi terkenal dengan empat kisah utamanya yang masing-masing mengandung pelajaran dan hikmah yang mendalam. Keempat kisah ini saling terkait dan berfungsi sebagai pengingat akan berbagai bentuk fitnah atau ujian yang mungkin dihadapi manusia.
1. Kisah Ashabul Kahfi (Penghuni Gua)
Kisah ini adalah inti dari surah ini, bahkan menjadi nama surah itu sendiri. Menceritakan tentang sekelompok pemuda beriman di sebuah negeri yang dipimpin oleh seorang raja zalim (diidentifikasi sebagai Raja Decius dalam beberapa riwayat sejarah, meskipun Al-Qur'an tidak menyebutkannya secara eksplisit) yang memaksa rakyatnya menyembah berhala. Pemuda-pemuda ini, yang teguh imannya kepada Allah, menolak untuk tunduk pada kekufuran dan memutuskan untuk melarikan diri dari kota.
Mereka berkata: "Rabb kami adalah Rabb langit dan bumi; sekali-kali kami tidak menyeru tuhan selain Dia, sesungguhnya jika kami berbuat demikian tentulah kami telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran." (QS. Al-Kahfi: 14)
Mereka berlindung di sebuah gua dan berdoa kepada Allah agar diberikan rahmat dan petunjuk. Allah kemudian menidurkan mereka selama 309 tahun. Ketika mereka terbangun, salah seorang dari mereka pergi ke kota untuk membeli makanan, dan betapa terkejutnya ia mendapati bahwa dunia di luar gua telah berubah drastis. Mata uang yang dibawanya sudah kuno, dan orang-orang tidak mengenalnya. Kisah mereka akhirnya tersebar dan menjadi bukti nyata kekuasaan Allah dalam menghidupkan dan mematikan.
Pelajaran dari Ashabul Kahfi:
- Keteguhan Iman: Menunjukkan keberanian dalam mempertahankan akidah di tengah tekanan dan ancaman.
- Tawakkal: Bergantung sepenuhnya kepada Allah dalam menghadapi kesulitan. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi di gua, tetapi mereka percaya Allah akan menolong.
- Kekuasaan Allah: Kisah ini adalah mukjizat yang membuktikan kemampuan Allah untuk mematikan dan menghidupkan kembali, memberikan pelajaran tentang hari kebangkitan.
- Perlindungan dari Fitnah Agama: Menjadi simbol bagi umat Muslim untuk tetap teguh pada agamanya di tengah gempuran ideologi atau keyakinan yang bertentangan.
2. Kisah Dua Kebun
Kisah ini mengisahkan tentang dua orang laki-laki, salah satunya seorang yang kaya raya dengan dua kebun anggur yang subur, dikelilingi kurma, dan di antaranya ada tanaman lain serta dialiri sungai. Ia membanggakan kekayaannya di hadapan temannya yang miskin, merasa bahwa kekayaannya tidak akan pernah binasa dan bahkan mengingkari hari kiamat.
Dan dia memasuki kebunnya sedang dia zalim terhadap dirinya sendiri; ia berkata: "Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku dikembalikan kepada Rabbku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada ini." (QS. Al-Kahfi: 35-36)
Temannya yang fakir namun beriman menasehatinya agar bersyukur kepada Allah dan tidak sombong. Namun, si pemilik kebun tidak menghiraukan nasehat itu. Akhirnya, Allah mengirimkan bencana yang menghancurkan seluruh kebunnya, dan ia pun menyesali kesombongannya.
Pelajaran dari Kisah Dua Kebun:
- Fitnah Harta: Mengingatkan akan bahaya kesombongan, keangkuhan, dan lupa diri karena harta benda.
- Kefanaan Dunia: Harta dan kekuasaan duniawi hanyalah sementara dan bisa lenyap dalam sekejap mata.
- Pentingnya Syukur dan Iman: Mengajarkan untuk selalu bersyukur kepada Allah atas segala nikmat dan tidak melupakan akhirat.
- Kisah ini adalah bentuk peringatan keras terhadap kesombongan dan kekufuran atas nikmat Allah.
3. Kisah Nabi Musa dan Khidir
Kisah ini dimulai ketika Nabi Musa A.S. merasa dirinya adalah orang yang paling berilmu di antara umatnya. Allah kemudian memberitahukan kepadanya bahwa ada seorang hamba-Nya (yang kemudian dikenal sebagai Khidir) yang memiliki ilmu yang lebih tinggi. Musa diperintahkan untuk menemuinya dan belajar darinya. Musa melakukan perjalanan panjang untuk bertemu Khidir, dan ketika bertemu, ia meminta izin untuk mengikutinya untuk belajar.
Berkata Musa kepadanya: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?" Khidir menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku." (QS. Al-Kahfi: 66-67)
Khidir mensyaratkan Musa untuk tidak bertanya tentang apapun sampai ia sendiri yang menjelaskannya. Selama perjalanan mereka, Khidir melakukan tiga perbuatan yang secara lahiriah tampak salah atau aneh: merusak perahu orang miskin, membunuh seorang anak muda, dan membangun kembali dinding yang runtuh di sebuah desa yang pelit. Setiap kali, Musa tidak dapat menahan diri untuk tidak bertanya, dan setiap kali pula Khidir mengingatkan janjinya.
Setelah tiga kejadian, Khidir menjelaskan hikmah di balik setiap perbuatannya: perahu dirusak agar tidak diambil oleh raja zalim yang akan datang; anak muda dibunuh karena ia akan tumbuh menjadi seorang durhaka yang menyesatkan kedua orang tuanya; dan dinding dibangun kembali karena di bawahnya tersembunyi harta anak yatim piatu yang berhak atas harta tersebut.
Pelajaran dari Kisah Nabi Musa dan Khidir:
- Keterbatasan Ilmu Manusia: Mengajarkan kerendahan hati dalam mencari ilmu dan mengakui bahwa ilmu Allah jauh lebih luas dari pengetahuan manusia.
- Hikmah di Balik Musibah: Menunjukkan bahwa ada hikmah dan kebaikan di balik peristiwa yang tampak buruk atau tidak adil, yang hanya diketahui oleh Allah.
- Pentingnya Kesabaran: Dalam menuntut ilmu dan dalam menghadapi takdir Allah.
- Fitnah Ilmu: Mengingatkan agar tidak sombong dengan ilmu yang dimiliki dan selalu merasa butuh belajar.
4. Kisah Dzulkarnain
Kisah ini menceritakan tentang seorang raja yang saleh dan perkasa bernama Dzulkarnain (yang berarti "pemilik dua tanduk" atau "dua zaman/kekuatan"). Allah memberikan kepadanya kekuasaan di muka bumi dan kemampuan untuk mencapai segala sesuatu. Ia melakukan tiga perjalanan besar: ke barat, ke timur, dan ke suatu tempat di antara dua gunung.
Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu. (QS. Al-Kahfi: 84)
Di perjalanan barat, ia menemukan matahari terbenam di laut berlumpur (sebuah deskripsi metaforis untuk cakrawala). Di timur, ia menemukan kaum yang tidak memiliki pelindung dari matahari. Kemudian, ia sampai di antara dua gunung, di mana ia menemukan kaum yang tidak mengerti bahasa dan menderita gangguan dari Ya'juj dan Ma'juj (Gog dan Magog). Kaum tersebut meminta Dzulkarnain untuk membangun penghalang. Dzulkarnain setuju, dan dengan kekuatan serta bantuan Allah, ia membangun tembok besar dari besi dan tembaga untuk mengurung Ya'juj dan Ma'juj.
Pelajaran dari Kisah Dzulkarnain:
- Fitnah Kekuasaan: Mengajarkan tentang kepemimpinan yang adil, menggunakan kekuasaan untuk menegakkan kebenaran dan membantu yang lemah, bukan untuk kesombongan.
- Kekuasaan adalah Amanah: Dzulkarnain menyadari bahwa kekuasaan yang ia miliki berasal dari Allah dan harus digunakan di jalan-Nya.
- Keadilan dan Kemakmuran: Dzulkarnain menunjukkan bagaimana seorang pemimpin yang saleh dapat membawa keadilan dan membangun peradaban.
- Sikap Tawadhu' (Rendah Hati): Meskipun memiliki kekuatan besar, Dzulkarnain selalu mengembalikan segala keberhasilannya kepada Allah.
Keempat kisah ini, meskipun berbeda dalam detailnya, saling melengkapi dalam menyampaikan pesan universal tentang iman, cobaan, dan keterbatasan manusia di hadapan kekuasaan Allah. Memahami hikmah di baliknya adalah kunci untuk mengamalkan ajaran Surah Al-Kahfi dalam kehidupan sehari-hari.
Tafsir Ringkas Ayat per Ayat (Garis Besar)
Surah Al-Kahfi adalah tapestry yang kaya akan makna, dimulai dengan pujian kepada Allah dan peringatan tentang hari kiamat, lalu mengalir melalui empat kisah utama yang telah dijelaskan sebelumnya, dan diakhiri dengan penekanan pada tauhid dan amal saleh. Berikut adalah ringkasan tafsir per bagian dari surah ini:
Pembukaan (Ayat 1-8): Pujian dan Peringatan
Surah ini dimulai dengan puji-pujian kepada Allah yang telah menurunkan Al-Qur'an kepada hamba-Nya (Nabi Muhammad ﷺ) tanpa ada kebengkokan sedikitpun. Al-Qur'an dijelaskan sebagai petunjuk yang lurus untuk memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa mereka akan mendapat pahala yang baik (surga) dan peringatan keras bagi orang-orang yang mengatakan bahwa Allah mempunyai anak. Ayat-ayat ini juga menyebutkan kefanaan dunia dan segala perhiasannya, serta bahwa semua itu hanyalah cobaan untuk melihat siapa yang terbaik amalnya.
"Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al-Quran) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya; sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi-Nya dan memberi berita gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa mereka akan mendapat pahala yang baik." (QS. Al-Kahfi: 1-2)
Kisah Ashabul Kahfi (Ayat 9-26): Keteguhan Iman dan Kekuasaan Allah
Bagian ini menceritakan kisah Ashabul Kahfi secara rinci, termasuk jumlah mereka (Allah lebih tahu, ada yang menyebut tujuh dengan anjingnya sebagai kedelapan), lama tidur mereka (309 tahun), dan bagaimana mereka terbangun kembali. Kisah ini menegaskan tentang hari kebangkitan dan kekuasaan Allah yang mutlak. Pesannya adalah pentingnya mempertahankan iman walau harus menghadapi ancaman dan bagaimana Allah melindungi orang-orang yang beriman.
"Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita mereka dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk." (QS. Al-Kahfi: 13)
Nasehat Ilahi dan Kisah Dua Kebun (Ayat 27-44): Harta dan Kesombongan
Setelah kisah Ashabul Kahfi, Allah memberikan nasehat untuk selalu membaca dan mengikuti wahyu-Nya, serta bersabar dengan orang-orang yang beribadah kepada-Nya. Kemudian, dimulailah kisah dua orang pemilik kebun, satu kaya dan sombong, satu lagi miskin namun beriman. Kisah ini menjadi peringatan tentang bahaya fitnah harta, kesombongan, dan melupakan akhirat. Akhir kisah menunjukkan kehancuran kebun si kaya dan penyesalannya, menegaskan bahwa kekayaan duniawi adalah sementara dan bahwa kekuasaan hanya milik Allah.
"Dan berilah perumpamaan kepada mereka (dua orang laki-laki), seorang di antara keduanya Kami berikan kepadanya dua buah kebun anggur dan Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon kurma dan di antara kedua kebun (itu) Kami buatkan ladang." (QS. Al-Kahfi: 32)
Perumpamaan Kehidupan Dunia (Ayat 45-59): Refleksi dan Pertanggungjawaban
Bagian ini berisi perumpamaan tentang kehidupan dunia yang fana, seperti air hujan yang menyuburkan bumi lalu tumbuh-tumbuhan menjadi kering dan diterbangkan angin. Ini adalah metafora tentang cepatnya pergantian keadaan di dunia. Ayat-ayat selanjutnya berbicara tentang hari kiamat, di mana amal perbuatan setiap orang akan diperlihatkan, dan tidak ada yang tersembunyi dari Allah. Penekanan diberikan pada pentingnya amal saleh dan kekal abadi akhirat dibandingkan kefanaan dunia.
"Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia adalah seperti air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah Mahakuasa atas segala sesuatu." (QS. Al-Kahfi: 45)
Kisah Nabi Musa dan Khidir (Ayat 60-82): Ilmu, Takdir, dan Kesabaran
Kisah ini dimulai dengan perjalanan Nabi Musa A.S. bersama muridnya, Yusha' bin Nun, untuk mencari seorang hamba Allah yang memiliki ilmu khusus (Khidir). Kisah ini menguraikan tiga peristiwa misterius yang dilakukan Khidir dan pertanyaan Nabi Musa atas setiap peristiwa tersebut, serta penjelasan Khidir tentang hikmah di baliknya. Pelajaran utama dari bagian ini adalah keterbatasan ilmu manusia, pentingnya kesabaran dalam menghadapi takdir Allah, dan bahwa ada hikmah mendalam di balik setiap kejadian yang mungkin tidak dapat kita pahami pada awalnya.
"Musa berkata kepada muridnya: "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua lautan; atau aku akan berjalan terus bertahun-tahun."" (QS. Al-Kahfi: 60)
Kisah Dzulkarnain (Ayat 83-101): Kekuasaan, Keadilan, dan Amanah
Bagian terakhir dari kisah-kisah utama ini menceritakan tentang raja Dzulkarnain, seorang pemimpin yang adil dan berkuasa. Kisah perjalanannya ke barat dan timur, serta bagaimana ia membangun penghalang yang kokoh untuk mengurung Ya'juj dan Ma'juj, menjadi pelajaran tentang penggunaan kekuasaan yang benar. Ini menekankan bahwa kekuatan dan kekuasaan adalah anugerah dari Allah yang harus digunakan untuk kebaikan, keadilan, dan menolong orang-orang yang tertindas, serta selalu mengembalikan segala keberhasilan kepada Allah.
"Mereka berkata: "Wahai Dzulkarnain, sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberimu upah agar kamu membuatkan dinding antara kami dan mereka?"" (QS. Al-Kahfi: 94)
Penutup (Ayat 102-110): Janji Allah, Amal Saleh, dan Tauhid
Ayat-ayat penutup surah ini kembali memperingatkan tentang hari kiamat dan kerugian besar bagi orang-orang yang amalnya sia-sia karena tidak beriman kepada Allah. Surah ini ditutup dengan penegasan bahwa tidak ada sekutu bagi Allah dalam kekuasaan-Nya, dan perintah bagi Nabi Muhammad ﷺ untuk menyatakan bahwa ia hanyalah seorang manusia biasa yang menerima wahyu, dan bahwa Tuhan adalah Esa. Pesan terakhir menekankan pentingnya beramal saleh dengan ikhlas dan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun.
"Katakanlah: "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa." Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya"." (QS. Al-Kahfi: 110)
Melalui struktur yang begitu rapi dan kisah-kisah yang berurutan, Surah Al-Kahfi memberikan bimbingan komprehensif tentang bagaimana menghadapi berbagai fitnah dunia – fitnah agama, harta, ilmu, dan kekuasaan – serta bagaimana mempertahankan tauhid dan mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat.
Bacaan Lengkap Surah Al-Kahfi (Arab, Transliterasi, Terjemah)
Berikut adalah bacaan lengkap Surah Al-Kahfi dalam teks Arab, transliterasi Latin, dan terjemahan dalam bahasa Indonesia. Membaca Al-Qur'an secara langsung dari mushaf dengan tajwid yang benar adalah yang paling utama. Transliterasi disediakan untuk membantu mereka yang belum fasih membaca tulisan Arab.
Catatan: Transliterasi adalah perkiraan pengucapan dan mungkin tidak sepenuhnya akurat. Sebaiknya belajar membaca langsung dari teks Arab dengan guru.
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Bismillahirrahmanirrahim
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
الْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ عَلٰى عَبْدِهِ الْكِتٰبَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَّهٗ عِوَجًا ۗ ١
Al-ḥamdu lillāhil-lażī anzala ‘alā ‘abdihil-kitāba wa lam yaj‘al lahū ‘iwajā.
Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepada hamba-Nya dan Dia tidak menjadikannya bengkok.
قَيِّمًا لِّيُنْذِرَ بَأْسًا شَدِيْدًا مِّنْ لَّدُنْهُ وَيُبَشِّرَ الْمُؤْمِنِيْنَ الَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ الصّٰلِحٰتِ اَنَّ لَهُمْ اَجْرًا حَسَنًا ۙ ٢
Qayyimāl liyunżira ba'san syadīdam mil ladunhu wa yubasysyiral-mu'minīnal-lażīna ya‘malūnaṣ-ṣāliḥāti anna lahum ajran ḥasanā.
Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan siksa yang sangat pedih dari sisi-Nya dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan kebajikan, bahwa mereka akan mendapat balasan yang baik.
مَّاكِثِيْنَ فِيْهِ اَبَدًا ۙ ٣
Mākiṡīna fīhi abadā.
Mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya.
وَّيُنْذِرَ الَّذِيْنَ قَالُوا اتَّخَذَ اللّٰهُ وَلَدًا ۖ ٤
Wa yunżiral-lażīna qāluttakhażallāhu waladā.
Dan untuk memperingatkan kepada orang-orang yang berkata, "Allah mengambil seorang anak."
مَا لَهُمْ بِهٖ مِنْ عِلْمٍ وَّلَا لِاٰبَاۤىِٕهِمْ ۗ كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ اَفْوَاهِهِمْ ۗ اِنْ يَّقُوْلُوْنَ اِلَّا كَذِبًا ٥
Mā lahum bihī min ‘ilmiw wa lā li'ābā'ihim, kaburat kalimatan takhruju min afwāhihim, iy yaqūlūna illā każibā.
Mereka sama sekali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah jeleknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka hanya mengatakan (sesuatu) kebohongan belaka.
فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَّفْسَكَ عَلٰٓى اٰثَارِهِمْ اِنْ لَّمْ يُؤْمِنُوْا بِهٰذَا الْحَدِيْثِ اَسَفًا ٦
Fa la‘allaka bākhi‘un nafsaka ‘alā āṡārihim il lam yu'minū bihāżal-ḥadīṡi asafā.
Maka barangkali engkau (Muhammad) akan mencelakakan dirimu karena bersedih hati mengikuti jejak mereka, setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Qur'an).
اِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى الْاَرْضِ زِيْنَةً لَّهَا لِنَبْلُوَهُمْ اَيُّهُمْ اَحْسَنُ عَمَلًا ٧
Innā ja‘alnā mā ‘alal-arḍi zīnatal lahā linabluwahum ayyuhum aḥsanu ‘amalā.
Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, untuk Kami menguji mereka, siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.
وَاِنَّا لَجَاعِلُوْنَ مَا عَلَيْهَا صَعِيْدًا جُرُزًا ۗ ٨
Wa innā lajā‘ilūna mā ‘alaihā ṣa‘īdan juruzā.
Dan Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya sebagai tanah yang tandus lagi kering.
اَمْ حَسِبْتَ اَنَّ اَصْحٰبَ الْكَهْفِ وَالرَّقِيْمِ كَانُوْا مِنْ اٰيٰتِنَا عَجَبًا ٩
Am ḥasibta anna aṣḥābal-kahfi war-raqīmi kānū min āyātinā ‘ajabā.
Apakah engkau mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda (kebesaran) Kami yang menakjubkan?
اِذْ اَوَى الْفِتْيَةُ اِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوْا رَبَّنَآ اٰتِنَا مِنْ لَّدُنْكَ رَحْمَةً وَّهَيِّئْ لَنَا مِنْ اَمْرِنَا رَشَدًا ١٠
Iż awal-fityatu ilal-kahfi faqālū rabbanā ātinā mil ladunka raḥmataw wa hayyi' lanā min amrinā rasyadā.
(Ingatlah) ketika pemuda-pemuda itu berlindung ke dalam gua lalu mereka berdoa, "Ya Tuhan kami. Berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami ini."
فَضَرَبْنَا عَلٰٓى اٰذَانِهِمْ فِى الْكَهْفِ سِنِيْنَ عَدَدًا ۙ ١١
Faḍarabnā ‘alā āżānihim fil-kahfi sinīna ‘adadā.
Maka Kami tutup telinga mereka di dalam gua itu selama beberapa tahun.
ثُمَّ بَعَثْنٰهُمْ لِنَعْلَمَ اَيُّ الْحِزْبَيْنِ اَحْصٰى لِمَا لَبِثُوْٓا اَمَدًا ١٢
Summa ba‘aṡnāhum lina‘lama ayyul-ḥizbaini aḥṣā limā labiṡū amadā.
Kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung berapa lamanya mereka tinggal (di gua).
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَاَهُمْ بِالْحَقِّ ۗ اِنَّهُمْ فِتْيَةٌ اٰمَنُوْا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنٰهُمْ هُدًى ١٣
Naḥnu naquṣṣu ‘alaika naba'ahum bil-ḥaqq(i), innahum fityatun āmanū birabbihim wa zidnāhum hudā.
Kamilah yang menceritakan kepadamu (Muhammad) kisah mereka dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk.
وَّرَبَطْنَا عَلٰى قُلُوْبِهِمْ اِذْ قَامُوْا فَقَالُوْا رَبُّنَا رَبُّ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ لَنْ نَّدْعُوَا۟ مِنْ دُوْنِهٖٓ اِلٰهًا لَّقَدْ قُلْنَآ اِذًا شَطَطًا ١٤
Wa rabaṭnā ‘alā qulūbihim iż qāmū faqālū rabbunā rabbus-samāwāti wal-arḍ(i), lan nad‘uwa min dūnihī ilāhal laqad qulnā iżan syaṭaṭā.
Dan Kami teguhkan hati mereka ketika mereka berdiri lalu berkata, "Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi; kami tidak akan menyeru tuhan selain Dia. Sungguh, kalau kami berbuat demikian, tentu kami telah mengucapkan perkataan yang sangat jauh dari kebenaran."
هٰٓؤُلَاۤءِ قَوْمُنَا اتَّخَذُوْا مِنْ دُوْنِهٖٓ اٰلِهَةً ۗ لَوْلَا يَأْتُوْنَ عَلَيْهِمْ بِسُلْطٰنٍۢ بَيِّنٍ ۗ فَمَنْ اَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرٰى عَلَى اللّٰهِ كَذِبًا ١٥
Hā'ulā'i qaumunattakhażū min dūnihī ālihah(tan), laulā ya'tūna ‘alaihim bisulṭānim bayyin(in), faman aẓlamu mimmaniftarā ‘alallāhi każibā.
Kaum kami ini telah menjadikan tuhan-tuhan (untuk disembah) selain Dia. Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang jelas (tentang kepercayaan mereka)? Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?
وَاِذِ اعْتَزَلْتُمُوْهُمْ وَمَا يَعْبُدُوْنَ اِلَّا اللّٰهَ فَاْوٗٓا اِلَى الْكَهْفِ يَنْشُرْ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِّنْ رَّحْمَتِهٖ وَيُهَيِّئْ لَكُمْ مِّنْ اَمْرِكُمْ مِّرْفَقًا ١٦
Wa iżi‘tazaltumūhum wa mā ya‘budūna illallāha fa'wū ilal-kahfi yansyur lakum rabbukum mir raḥmatihī wa yuhayyi' lakum min amrikum mirfaqā.
Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan bagimu sesuatu yang berguna bagi urusanmu."
وَتَرَى الشَّمْسَ اِذَا طَلَعَتْ تَّزَاوَرُ عَنْ كَهْفِهِمْ ذَاتَ الْيَمِيْنِ وَاِذَا غَرَبَتْ تَّقْرِضُهُمْ ذَاتَ الشِّمَالِ وَهُمْ فِيْ فَجْوَةٍ مِّنْهُ ۗ ذٰلِكَ مِنْ اٰيٰتِ اللّٰهِ ۗ مَنْ يَّهْدِ اللّٰهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ ۚ وَمَنْ يُّضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهٗ وَلِيًّا مُّرْشِدًا ١٧
Wa tarasy-syamsa iżā ṭala‘at tazāwaru ‘an kahfihim żātal-yamīni wa iżā garabat taqriḍuhum żātasy-syimāli wa hum fī fajwatim minh(u), żālika min āyātillāh(i), may yahdillāhu fahuwal-muhtad(i), wa may yuḍlil falan tajida lahū waliyyam mursyidā.
Dan engkau akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan apabila terbenam, ia menjauhi mereka ke sebelah kiri, sedang mereka berada dalam tempat yang luas di dalam (gua) itu. Itulah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa disesatkan-Nya, maka engkau tidak akan mendapatkan seorang penolong pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.
وَتَحْسَبُهُمْ اَيْقَاظًا وَّهُمْ رُقُوْدٌ ۖ وَّنُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ الْيَمِيْنِ وَذَاتَ الشِّمَالِ ۖ وَكَلْبُهُمْ بَاسِطٌ ذِرَاعَيْهِ بِالْوَصِيْدِ ۗ لَوِ اطَّلَعْتَ عَلَيْهِمْ لَوَلَّيْتَ مِنْهُمْ فِرَارًا وَّلَمُلِئْتَ مِنْهُمْ رُعْبًا ١٨
Wa taḥsabuhum ayqāẓaw wa hum ruqūd(un), wa nuqallibuhum żātal-yamīni wa żātasy-syimāli wa kalbuhum bāsiṭun żirā‘aihī bil-waṣīd(i), lawiṭṭala‘ta ‘alaihim lawallaita minhum firāraw wa lamuli'ta minhum ru‘bā.
Dan engkau mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur; dan Kami bolak-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka membentangkan kedua lengannya di ambang pintu. Sekiranya kamu melihat mereka tentu kamu akan berpaling melarikan diri dari mereka, dan pasti kamu akan dipenuhi rasa takut terhadap mereka.
وَكَذٰلِكَ بَعَثْنٰهُمْ لِيَتَسَاۤءَلُوْا بَيْنَهُمْ ۗ قَالَ قَاۤىِٕلٌ مِّنْهُمْ كَمْ لَبِثْتُمْ ۗ قَالُوْا لَبِثْنَا يَوْمًا اَوْ بَعْضَ يَوْمٍ ۗ قَالُوْا رَبُّكُمْ اَعْلَمُ بِمَا لَبِثْتُمْ فَا بْعَثُوْٓا اَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ هٰذِهٖٓ اِلَى الْمَدِيْنَةِ فَلْيَنْظُرْ اَيُّهَآ اَزْكٰى طَعَامًا فَلْيَأْتِكُمْ بِرِزْقٍ مِّنْهُ وَلْيَتَلَطَّفْ وَلَا يُشْعِرَنَّ بِكُمْ اَحَدًا ١٩
Wa każālika ba‘aṡnāhum liyatassā'alū bainahum, qāla qā'ilum minhum kam labiṡtum, qālū labiṡnā yauman au ba‘ḍa yaum(in), qālū rabbukum a‘lamu bimā labiṡtum fa ba‘aṡū aḥadakum biwariqikum hāżihī ilal-madīnati falyanẓur ayyuhā azkā ṭa‘āman falya'tikum birizqim minhu wal yatawaṭṭaf walā yusy‘iranna bikum aḥadā.
Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Salah seorang di antara mereka berkata, "Sudah berapa lamakah kamu berada (di sini)?" Mereka menjawab, "Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari." Mereka (yang lain) berkata, "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lama kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia melihat makanan apa yang lebih baik, lalu membawa sebagian makanan itu untukmu, dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada siapa pun."
اِنَّهُمْ اِنْ يَّظْهَرُوْا عَلَيْكُمْ يَرْجُمُوْكُمْ اَوْ يُعِيْدُوْكُمْ فِيْ مِلَّتِهِمْ وَلَنْ تُفْلِحُوْٓا اِذًا اَبَدًا ٢٠
Innahum iy yaẓharū ‘alaikum yarjumūkum au yu‘īdūkum fī millatihim wa lan tufliḥū iżan abadā.
Sesungguhnya jika mereka (orang kafir) dapat mengetahui tempatmu, niscaya mereka akan melempari kamu dengan batu, atau memaksamu kembali kepada agama mereka, dan jika demikian niscaya kamu tidak akan beruntung selama-lamanya."
وَكَذٰلِكَ اَعْثَرْنَا عَلَيْهِمْ لِيَعْلَمُوْٓا اَنَّ وَعْدَ اللّٰهِ حَقٌّ وَّاَنَّ السَّاعَةَ لَا رَيْبَ فِيْهَا ۗ اِذْ يَتَنَازَعُوْنَ بَيْنَهُمْ اَمْرَهُمْ فَقَالُوا ابْنُوْا عَلَيْهِمْ بُنْيَانًا ۗ رَبُّهُمْ اَعْلَمُ بِهِمْ ۗ قَالَ الَّذِيْنَ غَلَبُوْا عَلٰٓى اَمْرِهِمْ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِمْ مَّسْجِدًا ٢١
Wa każālika a‘ṡarnā ‘alaihim liya‘lamū anna wa‘dallāhi ḥaqquw wa annas-sā‘ata lā raiba fīhā, iż yatanāza‘ūna bainahum amrahum faqālubnū ‘alaihim bunyānā(n), rabbuhum a‘lamu bihim, qālal-lażīna galabū ‘alā amrihim lanattakhiżanna ‘alaihim masjidā.
Dan demikian (pula) Kami memperlihatkan (kepada orang banyak) keadaan mereka, agar mereka mengetahui bahwa janji Allah benar, dan bahwa hari Kiamat itu tidak ada keraguan padanya. Ketika mereka (Ashabul Kahfi) berselisih tentang urusan mereka, maka mereka berkata, "Dirikanlah sebuah bangunan di atas (gua) mereka, Tuhan mereka lebih mengetahui tentang mereka." Orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata, "Kami pasti akan mendirikan tempat ibadah di atasnya."
سَيَقُوْلُوْنَ ثَلٰثَةٌ رَّابِعُهُمْ كَلْبُهُمْ ۚ وَيَقُوْلُوْنَ خَمْسَةٌ سَادِسُهُمْ كَلْبُهُمْ رَجْمًاۢ بِالْغَيْبِ ۚ وَيَقُوْلُوْنَ سَبْعَةٌ وَّثَامِنُهُمْ كَلْبُهُمْ ۗ قُلْ رَّبِّيْٓ اَعْلَمُ بِعِدَّتِهِمْ مَّا يَعْلَمُهُمْ اِلَّا قَلِيْلٌ ۗ فَلَا تُمَارِ فِيْهِمْ اِلَّا مِرَاۤءً ظَاهِرًا وَّلَا تَسْتَفْتِ فِيْهِمْ مِّنْهُمْ اَحَدًا ٢٢
Sayaqūlūna ṡalāṡatur rābi‘uhum kalbuhum, wa yaqūlūna khamsatun sādisuhum kalbuhum rajmam bil-gaib(i), wa yaqūlūna sab‘atuw wa ṡāminuhum kalbuhum, qur rabbī a‘lamu bi‘iddatihim mā ya‘lamuhum illā qalīl(un), falā tumāri fīhim illā mirā'an ẓāhiraw wa lā tastafti fīhim minhum aḥadā.
Nanti (ada orang yang akan) mengatakan, "(Jumlah mereka) tiga orang, yang keempat adalah anjingnya," dan (yang lain) mengatakan, "(Jumlah mereka) lima orang, yang keenam adalah anjingnya," sebagai terkaan terhadap yang gaib; dan (yang lain lagi) mengatakan, "(Jumlah mereka) tujuh orang, yang kedelapan adalah anjingnya." Katakanlah (Muhammad), "Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada yang mengetahui (bilangan) mereka kecuali sedikit." Karena itu janganlah engkau (Muhammad) berbantah tentang hal mereka, kecuali perdebatan lahir saja, dan jangan engkau menanyakan tentang mereka (Ashabul Kahfi) kepada siapa pun dari mereka (ahli kitab).
وَلَا تَقُوْلَنَّ لِشَا۟يْءٍ اِنِّيْ فَاعِلٌ ذٰلِكَ غَدًا ۙ ٢٣
Wa lā taqūlanna lisyai'in innī fā‘ilun żālika gadā.
Dan jangan sekali-kali engkau mengatakan terhadap sesuatu, "Aku pasti melakukan itu besok pagi,"
اِلَّآ اَنْ يَّشَاۤءَ اللّٰهُ ۖ وَاذْكُرْ رَّبَّكَ اِذَا نَسِيْتَ وَقُلْ عَسٰٓى اَنْ يَّهْدِيَنِ رَبِّيْ لِاَقْرَبَ مِنْ هٰذَا رَشَدًا ٢٤
Illā an yasyā'allāh(u), ważkur rabbaka iżā nasīta wa qul ‘asā ay yahdiyani rabbī li'aqraba min hāżā rasyadā.
Kecuali (dengan mengucapkan), "Insya Allah." Dan ingatlah kepada Tuhanmu apabila engkau lupa dan katakanlah, "Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini."
وَلَبِثُوْا فِيْ كَهْفِهِمْ ثَلٰثَ مِائَةٍ سِنِيْنَ وَازْدَادُوْا تِسْعًا ٢٥
Wa labiṡū fī kahfihim ṡalāṡa mi'atin sinīna wazdadū tis‘ā.
Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun.
قُلِ اللّٰهُ اَعْلَمُ بِمَا لَبِثُوْا ۚ لَهٗ غَيْبُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ ۗ اَبْصِرْ بِهٖ وَاَسْمِعْ ۗ مَا لَهُمْ مِّنْ دُوْنِهٖ مِنْ وَّلِيٍّ وَّلَا يُشْرِكُ فِيْ حُكْمِهٖٓ اَحَدًا ٢٦
Qulillāhu a‘lamu bimā labiṡū, lahū gaibus-samāwāti wal-arḍ(i), abṣir bihī wa asmi‘, mā lahum min dūnihī miw waliyyiw wa lā yusyriku fī ḥukmihī aḥadā.
Katakanlah (Muhammad), "Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di gua); milik-Nya semua yang gaib di langit dan di bumi. Alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah tajam pendengaran-Nya; tidak ada bagi mereka seorang penolong pun selain Dia; dan Dia tidak mengambil seorang pun menjadi sekutu dalam menetapkan keputusan."
وَاتْلُ مَآ اُوْحِيَ اِلَيْكَ مِنْ كِتٰبِ رَبِّكَ لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمٰتِهٖ وَلَنْ تَجِدَ مِنْ دُوْنِهٖ مُلْتَحَدًا ٢٧
Watlu mā ūḥiya ilaika min kitābi rabbika lā mubaddila likalimātihī wa lan tajida min dūnihī multaḥadā.
Dan bacakanlah (Muhammad) apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu Kitab Tuhanmu (Al-Qur'an). Tidak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya. Dan engkau tidak akan menemukan tempat berlindung selain Dia.
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَدٰوةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيْدُوْنَ وَجْهَهٗ وَلَا تَعْدُ عَيْنٰكَ عَنْهُمْ تُرِيْدُ زِيْنَةَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۚ وَلَا تُطِعْ مَنْ اَغْفَلْنَا قَلْبَهٗ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوٰىهُ وَكَانَ اَمْرُهٗ فُرُطًا ٢٨
Waṣbir nafsaka ma‘al-lażīna yad‘ūna rabbahum bil-gadāwti wal-‘asyiyyi yurīdūna wajhahū wa lā ta‘du ‘aināka ‘anhum turīdu zīnatal-ḥayātid-dun-yā, wa lā tuṭi‘ man agfalnā qalbahu ‘an żikrinā wattaba‘a hawāhu wa kāna amruhu furuṭā.
Dan bersabarlah engkau (Muhammad) bersama orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan senja hari dengan mengharap keridaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia; dan janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti keinginannya dan keadaannya sudah melampaui batas.
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَّبِّكُمْ ۗ فَمَنْ شَاۤءَ فَلْيُؤْمِنْ وَّمَنْ شَاۤءَ فَلْيَكْفُرْ ەۗ اِنَّآ اَعْتَدْنَا لِلظّٰلِمِيْنَ نَارًا اَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا ۗ وَاِنْ يَّسْتَغِيْثُوْا يُغَاثُوْا بِمَاۤءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِى الْوُجُوْهَ ۗ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاۤءَتْ مُرْتَفَقًا ٢٩
Wa qulil-ḥaqqu mir rabbikum, faman syā'a falyu'miw wa man syā'a falyakfur, innā a‘tadnā liẓ-ẓālimīna nāran aḥāṭa bihim surādiqūhā, wa iy yastagīṡū yugāṡū bimā'in kal-muhli yasywil-wujūh(a), bi'sasysyarābu wa sā'at murtafaqā.
Dan katakanlah (Muhammad), "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; barangsiapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barangsiapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir." Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka bagi orang zalim, yang gejolaknya mengepung mereka. Jika mereka meminta pertolongan (minum), mereka akan diberi minum dengan air seperti cairan tembaga yang mendidih yang menghanguskan wajah. (Itulah) minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.
اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ اِنَّا لَا نُضِيْعُ اَجْرَ مَنْ اَحْسَنَ عَمَلًا ۚ ٣٠
Innal-lażīna āmanū wa ‘amiluṣ-ṣāliḥāti innā lā nuḍī‘u ajra man aḥsana ‘amalā.
Sungguh, orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik.
اُولٰۤىِٕكَ لَهُمْ جَنّٰتُ عَدْنٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهِمُ الْاَنْهٰرُ يُحَلَّوْنَ فِيْهَا مِنْ اَسَاوِرَ مِنْ ذَهَبٍ وَّيَلْبَسُوْنَ ثِيَابًا خُضْرًا مِّنْ سُنْدُسٍ وَّاِسْتَبْرَقٍ مُّتَّكِـِٕيْنَ فِيْهَا عَلَى الْاَرَاۤىِٕكِۗ نِعْمَ الثَّوَابُ وَحَسُنَتْ مُرْتَفَقًا ٣١
Ulā'ika lahum jannātu ‘adnin tajrī min taḥtihimul-anhāru yuḥallūna fīhā min asāwira min żahabiw wa yalbasūna ṡiyāban khuḍram min sundusiw wa istabraqim muttaki'īna fīhā ‘alal-arā'ik(i), ni‘maṡ-ṡawābu wa ḥasunat murtafaqā.
Mereka itulah yang memperoleh surga ‘Adn, yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; (dalam surga itu) mereka diberi perhiasan gelang-gelang dari emas dan memakai pakaian hijau dari sutera halus dan sutera tebal, sedang mereka duduk sambil bersandar di atas dipan-dipan yang indah. Itulah sebaik-baik pahala dan tempat istirahat yang indah.
وَاضْرِبْ لَهُمْ مَّثَلًا رَّجُلَيْنِ جَعَلْنَا لِاَحَدِهِمَا جَنَّتَيْنِ مِنْ اَعْنَابٍ وَّحَفَفْنٰهُمَا بِنَخْلٍ وَّجَعَلْنَا بَيْنَهُمَا زَرْعًا ٣٢
Waḍrib lahum maṡalar rajulaini ja‘alnā li'aḥadihimā jannataini min a‘nābiw wa ḥafafnāhumā binakhliw wa ja‘alnā bainahumā zar‘ā.
Dan berikanlah (Muhammad) kepada mereka perumpamaan dua orang laki-laki, yang seorang (kafir) Kami beri dua buah kebun anggur dan Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon kurma dan di antara keduanya (kebun itu) Kami buatkan ladang.
كِلْتَا الْجَنَّتَيْنِ اٰتَتْ اُكُلَهَا وَلَمْ تَظْلِمْ مِّنْهُ شَيْـًٔا وَّفَجَّرْنَا خِلٰلَهُمَا نَهَرًا ۙ ٣٣
Kiltal-jannataini ātat ukulahā wa lam taẓlim minhu syai'aw wa fajjarnā khilālahumā naharā.
Kedua kebun itu menghasilkan buahnya, dan tidak kurang sedikit pun (buahnya), dan di celah-celah kedua kebun itu Kami alirkan sungai.
وَكَانَ لَهٗ ثَمَرٌ ۚ فَقَالَ لِصَاحِبِهٖ وَهُوَ يُحَاوِرُهٗٓ اَنَا۠ اَكْثَرُ مِنْكَ مَالًا وَّاَعَزُّ نَفَرًا ٣٤
Wa kāna lahū ṡamar(un), faqāla liṣāḥibihī wa huwa yuḥāwiruhū ana akṡaru minka mālaw wa a‘azzu nafarā.
Dan dia memiliki kekayaan besar, maka dia berkata kepada temannya (yang mukmin) ketika bercakap-cakap dengan dia, "Hartaku lebih banyak daripada hartamu dan pengikutku lebih kuat."
وَدَخَلَ جَنَّتَهٗ وَهُوَ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهٖ قَالَ مَآ اَظُنُّ اَنْ تَبِيْدَ هٰذِهٖٓ اَبَدًا ٣٥
Wa dakhala jannatahū wa huwa ẓālimul linafsihī qāla mā aẓunnu an tabīda hāżihī abadā.
Dan dia memasuki kebunnya dengan sikap zalim terhadap dirinya sendiri (karena angkuh dan kufur); dia berkata, "Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya,"
وَّمَآ اَظُنُّ السَّاعَةَ قَاۤىِٕمَةً وَّلَىِٕنْ رُّدِدْتُّ اِلٰى رَبِّيْ لَاَجِدَنَّ خَيْرًا مِّنْهَا مُنْقَلَبًا ٣٦
Wa mā aẓunnus-sā‘ata qā'imataw wa la'ir rudidtu ilā rabbī la'ajidanna khairam minhā munqalabā.
"dan aku tidak mengira hari Kiamat itu akan datang, dan sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik dari ini."
قَالَ لَهٗ صَاحِبُهٗ وَهُوَ يُحَاوِرُهٗٓ اَكَفَرْتَ بِالَّذِيْ خَلَقَكَ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُّطْفَةٍ ثُمَّ سَوّٰىكَ رَجُلًا ۗ ٣٧
Qāla lahū ṣāḥibuhū wa huwa yuḥāwiruhū akafarta bil-lażī khalaqaka min turābin ṡumma min nuṭfatin ṡumma sawwāka rajulā.
Temannya (yang mukmin) berkata kepadanya ketika bercakap-cakap dengannya, "Apakah engkau ingkar kepada (Tuhan) yang menciptakan engkau dari tanah, kemudian dari setetes mani, lalu Dia menjadikan engkau seorang laki-laki yang sempurna?"
لٰكِنَّا۠ هُوَ اللّٰهُ رَبِّيْ وَلَآ اُشْرِكُ بِرَبِّيْٓ اَحَدًا ٣٨
Lākinnā huwa allāhu rabbī wa lā usyriku birabbī aḥadā.
Tetapi aku (percaya bahwa) Dialah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan Tuhan dengan sesuatu pun.
وَلَوْلَآ اِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاۤءَ اللّٰهُ لَا قُوَّةَ اِلَّا بِاللّٰهِ ۚ اِنْ تَرَنِ اَنَا۠ اَقَلَّ مِنْكَ مَالًا وَّوَلَدًا ٣٩
Wa lau lā iż dakhalta jannataka qulta mā syā'allāhu lā quwwata illā billāh(i), in tarani ana aqalla minka mālaw wa waladā.
Mengapa waktu engkau masuk kebunmu tidak mengucapkan, "Masya Allah, la quwwata illa billah" (Sungguh, atas kehendak Allah, semua ini terwujud, tidak ada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Sekiranya engkau menganggap aku lebih sedikit harta dan keturunan daripadamu.
فَعَسٰى رَبِّيْٓ اَنْ يُّؤْتِيَنِ خَيْرًا مِّنْ جَنَّتِكَ وَيُرْسِلَ عَلَيْهَا حُسْبَانًا مِّنَ السَّمَاۤءِ فَتُصْبِحَ صَعِيْدًا زَلَقًا ۙ ٤٠
Fa ‘asā rabbī ay yu'tiyani khairam min jannatika wa yursila ‘alaihā ḥusbānam minas-samā'i fatuṣbiḥa ṣa‘īdan zalaqā.
Maka mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku (kebun) yang lebih baik dari kebunmu (ini); dan Dia mengirimkan badai dari langit ke kebunmu, sehingga (kebun itu) menjadi tanah yang licin.
اَوْ يُصْبِحَ مَاۤؤُهَا غَوْرًا فَلَنْ تَسْتَطِيْعَ لَهٗ طَلَبًا ٤١
Au yuṣbiḥa mā'uhā gauran falan tastaṭī‘a lahū ṭalabā.
Atau airnya menjadi kering, sehingga engkau tidak akan dapat menemukannya lagi."
وَاُحِيْطَ بِثَمَرِهٖ فَاَصْبَحَ يُقَلِّبُ كَفَّيْهِ عَلٰى مَآ اَنْفَقَ فِيْهَا وَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلٰى عُرُوْشِهَا وَيَقُوْلُ يٰلَيْتَنِيْ لَمْ اُشْرِكْ بِرَبِّيْٓ اَحَدًا ٤٢
Wa uḥīṭa biṡamarihī fa'aṣbaḥa yuqallibu kaffaihī ‘alā mā anfaqa fīhā wa hiya khāwiyatun ‘alā ‘urūsyihā wa yaqūlu yā laitanī lam usyrik birabbī aḥadā.
Dan harta kekayaannya dibinasakan, lalu dia membolak-balikkan kedua telapak tangannya (menyesali) apa yang telah dia belanjakan untuk itu, sedang pohon anggur roboh bersama penyangganya (para-para) dan dia berkata, "Alangkah baiknya sekiranya aku tidak mempersekutukan sesuatu pun dengan Tuhanku."
وَلَمْ تَكُنْ لَّهٗ فِئَةٌ يَّنْصُرُوْنَهٗ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ وَمَا كَانَ مُنْتَصِرًا ۗ ٤٣
Wa lam takul lahū fi'atuy yanṣurūnahū min dūnillāhi wa mā kāna muntaṣirā.
Dan tidak ada (lagi) baginya segolongan pun yang akan menolongnya selain Allah; dan dia pun tidak akan dapat menolong dirinya sendiri.
هُنَالِكَ الْوَلَايَةُ لِلّٰهِ الْحَقِّ ۗ هُوَ خَيْرٌ ثَوَابًا وَّخَيْرٌ عُقْبًا ࣖ ٤٤
Hunālkal-walāyatu lillāhil-ḥaqq(i), huwa khairun ṡawābaw wa khairun ‘uqbā.
Di sana (pada saat itu) pertolongan itu hanya dari Allah, Tuhan Yang Mahabenar. Dia sebaik-baik pemberi pahala dan sebaik-baik pemberi balasan.
وَاضْرِبْ لَهُمْ مَّثَلَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا كَمَاۤءٍ اَنْزَلْنٰهُ مِنَ السَّمَاۤءِ فَاخْتَلَطَ بِهٖ نَبَاتُ الْاَرْضِ فَاَصْبَحَ هَشِيْمًا تَذْرُوْهُ الرِّيٰحُ ۗ وَكَانَ اللّٰهُ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ مُّقْتَدِرًا ٤٥
Waḍrib lahum maṡalal-ḥayātid-dun-yā kamā'in anzalnāhu minas-samā'i fakhtalaṭa bihī nabātul-arḍi fa'aṣbaḥa hasyīman tażrūhur-riyāḥ(u), wa kānallāhu ‘alā kulli syai'im muqtadirā.
Dan buatkanlah untuk mereka (manusia) perumpamaan kehidupan dunia ini, ibarat air hujan yang Kami turunkan dari langit, sehingga menyuburkan tumbuh-tumbuhan di bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.
اَلْمَالُ وَالْبَنُوْنَ زِيْنَةُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۚ وَالْبٰقِيٰتُ الصّٰلِحٰتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَّخَيْرٌ اَمَلًا ٤٦
Al-mālu wal-banūna zīnatul-ḥayātid-dun-yā, wal-bāqiyātuṣ-ṣāliḥātu khairun ‘inda rabbika ṡawābaw wa khairun amalā.
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amal kebajikan yang terus-menerus adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.
وَيَوْمَ نُسَيِّرُ الْجِبَالَ وَتَرَى الْاَرْضَ بَارِزَةً وَّحَشَرْنٰهُمْ فَلَمْ نُغَادِرْ مِنْهُمْ اَحَدًا ٤٧
Wa yauma nusayyirul-jibāla wa taral-arḍa bārizataw wa ḥasarnāhum falam nugādir minhum aḥadā.
Dan (ingatlah) pada hari (ketika) Kami perjalankan gunung-gunung dan engkau akan melihat bumi itu rata dan Kami kumpulkan mereka (seluruh manusia), dan tidak Kami tinggalkan seorang pun dari mereka.
وَعُرِضُوْا عَلٰى رَبِّكَ صَفًّاۗ لَقَدْ جِئْتُمُوْنَا كَمَا خَلَقْنٰكُمْ اَوَّلَ مَرَّةٍۢ ۖ بَلْ زَعَمْتُمْ اَلَّنْ نَّجْعَلَ لَكُمْ مَّوْعِدًا ٤٨
Wa ‘uriḍū ‘alā rabbika ṣaffā(n), laqad ji'tumūnā kamā khalaqnākum awwala marrah(tin), bal za‘amtum allan naj‘ala lakum mau‘idā.
Dan mereka akan dibawa ke hadapan Tuhanmu dengan berbaris. (Allah berfirman), "Sungguh, kamu datang kepada Kami, sebagaimana Kami menciptakan kamu pada pertama kali. Bahkan kamu mengira, Kami tidak akan menetapkan waktu (berbangkit) bagimu."
وَوُضِعَ الْكِتٰبُ فَتَرَى الْمُجْرِمِيْنَ مُشْفِقِيْنَ مِمَّا فِيْهِ وَيَقُوْلُوْنَ يٰوَيْلَتَنَا مَالِ هٰذَا الْكِتٰبِ لَا يُغَادِرُ صَغِيْرَةً وَّلَا كَبِيْرَةً اِلَّآ اَحْصٰىهَا ۚ وَوَجَدُوْا مَا عَمِلُوْا حَاضِرًا ۗ وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ اَحَدًا ٤٩
Wa wuḍi‘al-kitābu fataral-mujrimīna musyfiqīna mimmā fīhi wa yaqūlūna yā wailatanā māli hāżal-kitābi lā yugādiru ṣagīrataw wa lā kabīratan illā aḥṣāhā, wa wajadū mā ‘amilū ḥāḍirā(n), wa lā yaẓlimu rabbuka aḥadā.
Dan diletakkanlah Kitab (catatan amal), lalu engkau akan melihat orang-orang yang berdosa ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata, "Celaka kami, Kitab apakah ini, tidak ada yang ditinggalkan, yang kecil maupun yang besar melainkan tercatat semuanya." Dan mereka dapati (semua) apa yang telah mereka kerjakan tersimpan. Dan Tuhanmu tidak menzalimi seorang pun.
وَاِذْ قُلْنَا لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اسْجُدُوْا لِاٰدَمَ فَسَجَدُوْٓا اِلَّآ اِبْلِيْسَ ۗكَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ اَمْرِ رَبِّهٖ ۗ اَفَتَتَّخِذُوْنَهٗ وَذُرِّيَّتَهٗٓ اَوْلِيَاۤءَ مِنْ دُوْنِيْ وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ ۗ بِئْسَ لِلظّٰلِمِيْنَ بَدَلًا ٥٠
Wa iż qulnā lil-malā'ikatisjudū li'ādama fasajadū illā iblīs(a), kāna minal-jinni fafasaqa ‘an amri rabbihī, afatattakhiżūnahū wa żurriyyatahū auliyā'a min dūnī wa hum lakum ‘aduww(un), bi'sa liẓ-ẓālimīna badalā.
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, "Sujudlah kamu kepada Adam!" Maka mereka pun sujud kecuali Iblis. Dia adalah dari (golongan) jin, maka dia mendurhakai perintah Tuhannya. Pantaskah kamu menjadikan dia dan keturunannya sebagai pemimpin selain Aku, padahal mereka adalah musuhmu? Sangat buruklah (Iblis itu) sebagai pengganti (Allah) bagi orang yang zalim.
مَآ اَشْهَدْتُّهُمْ خَلْقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَلَا خَلْقَ اَنْفُسِهِمْ وَمَا كُنْتُ مُتَّخِذَ الْمُضِلِّيْنَ عَضُدًا ٥١
Mā asyhattuhum khalqas-samāwāti wal-arḍi wa lā khalqa anfusihim wa mā kuntu muttakhiżal-muḍillīna ‘aḍudā.
Aku tidak menghadirkan mereka (Iblis dan keturunannya) untuk menyaksikan penciptaan langit dan bumi dan tidak (pula) penciptaan diri mereka sendiri; dan Aku tidak akan menjadikan orang-orang yang menyesatkan itu sebagai penolong.
وَيَوْمَ يَقُوْلُ نَادُوْا شُرَكَاۤءِيَ الَّذِيْنَ زَعَمْتُمْ فَدَعَوْهُمْ فَلَمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَهُمْ وَجَعَلْنَا بَيْنَهُمْ مَّوْبِقًا ٥٢
Wa yauma yaqūlu nādū syurakā'iyyal-lażīna za‘amtum fada‘auhum falam yastajībū lahum wa ja‘alnā bainahum maubiqā.
Dan (ingatlah) pada hari (ketika) Dia berfirman, "Panggillah olehmu sekutu-sekutu-Ku yang kamu sangka itu." Lalu mereka memanggilnya, tetapi (sekutu-sekutu itu) tidak menyambut (seruan) mereka dan Kami adakan di antara mereka tempat kebinasaan (neraka).
وَرَاَ الْمُجْرِمُوْنَ النَّارَ فَظَنُّوْٓا اَنَّهُمْ مُّوَاقِعُوْهَا وَلَمْ يَجِدُوْا عَنْهَا مَصْرِفًا ࣖ ٥٣
Wa ra'al-mujrimūnan-nāra faẓannū annahum muwāqi‘ūhā wa lam yajidū ‘anhā maṣrifā.
Dan orang-orang yang berdosa melihat neraka, lalu mereka menduga bahwa mereka akan jatuh ke dalamnya dan mereka tidak menemukan tempat berpaling darinya.
وَلَقَدْ صَرَّفْنَا فِيْ هٰذَا الْقُرْاٰنِ لِلنَّاسِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ ۗ وَكَانَ الْاِنْسَانُ اَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلًا ٥٤
Wa laqad ṣarrafnā fī hāżal-qur'āni linnāsi min kulli maṡal(in), wa kānal-insānu akṡara syai'in jadalā.
Dan sungguh, dalam Al-Qur'an ini telah Kami jelaskan berulang-ulang kepada manusia bermacam-macam perumpamaan. Tetapi manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah.
وَمَا مَنَعَ النَّاسَ اَنْ يُّؤْمِنُوْٓا اِذْ جَاۤءَهُمُ الْهُدٰى وَيَسْتَغْفِرُوْا رَبَّهُمْ اِلَّآ اَنْ تَأْتِيَهُمْ سُنَّةُ الْاَوَّلِيْنَ اَوْ يَأْتِيَهُمُ الْعَذَابُ قُبُلًا ٥٥
Wa mā mana‘an-nāsa ay yu'minū iż jā'ahumul-hudā wa yastagfirū rabbahum illā an ta'tiyahum sunnatul-awwalīna au ya'tiyahumul-‘ażābu qubulā.
Dan tidak ada yang menghalangi manusia untuk beriman ketika petunjuk telah datang kepada mereka, dan tidak (menghalangi mereka) untuk memohon ampunan kepada Tuhannya, kecuali (keinginan menanti) datangnya ketentuan kepada mereka sebagaimana yang telah berlaku pada orang-orang dahulu atau (datangnya) azab atas mereka secara langsung.
وَمَا نُرْسِلُ الْمُرْسَلِيْنَ اِلَّا مُبَشِّرِيْنَ وَمُنْذِرِيْنَ ۚ وَيُجَادِلُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِالْبَاطِلِ لِيُدْحِضُوْا بِهِ الْحَقَّ وَاتَّخَذُوْٓا اٰيٰتِيْ وَمَآ اُنْذِرُوْا هُزُوًا ٥٦
Wa mā nursilul-mursalīna illā mubasysyirīna wa munżirīn(a), wa yujādilul-lażīna kafarū bil-bāṭili liyuḍḥiḍū bihil-ḥaqqa wattakhażū āyātī wa mā unżirū huzuwā.
Dan tidaklah Kami mengutus rasul-rasul melainkan sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan; tetapi orang-orang yang kafir membantah dengan (cara) yang batil agar dengan demikian mereka dapat melenyapkan yang hak (kebenaran), dan mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan apa yang diperingatkan kepada mereka sebagai olok-olokan.
وَمَنْ اَظْلَمُ مِمَّنْ ذُكِّرَ بِاٰيٰتِ رَبِّهٖ فَاَعْرَضَ عَنْهَا وَنَسِيَ مَا قَدَّمَتْ يَدَاهُ ۗ اِنَّا جَعَلْنَا عَلٰى قُلُوْبِهِمْ اَكِنَّةً اَنْ يَّفْقَهُوْهُ وَفِيْٓ اٰذَانِهِمْ وَقْرًا ۗ وَاِنْ تَدْعُهُمْ اِلَى الْهُدٰى فَلَنْ يَّهْتَدُوْٓا اِذًا اَبَدًا ٥٧
Wa man aẓlamu mimman żukkira bi'āyāti rabbihī fa'a‘raḍa ‘anhā wa nasiya mā qaddamat yadāh(u), innā ja‘alnā ‘alā qulūbihim akinnatan ay yafqahūhu wa fī āżānihim waqrā(n), wa in tad‘uhum ilal-hudā falan yahtadū iżan abadā.
Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya lalu dia berpaling darinya dan melupakan apa yang telah dikerjakan oleh kedua tangannya? Sungguh, Kami telah menjadikan hati mereka tertutup, (sehingga mereka tidak) memahaminya, dan di telinga mereka ada penyumbat. Kendatipun engkau (Muhammad) menyeru mereka kepada petunjuk, niscaya mereka tidak akan mendapat petunjuk untuk selama-lamanya.
وَرَبُّكَ الْغَفُوْرُ ذُو الرَّحْمَةِ ۗ لَوْ يُؤَاخِذُهُمْ بِمَا كَسَبُوْا لَعَجَّلَ لَهُمُ الْعَذَابَ ۗ بَلْ لَّهُمْ مَّوْعِدٌ لَّنْ يَّجِدُوْا مِنْ دُوْنِهٖ مَوْىِٕلًا ٥٨
Wa rabbukal-gafūru żur-raḥmah(ti), lau yu'ākhiżuhum bimā kasabū la‘ajjala lahumul-‘ażāb(a), bal lahum mau‘idul lay yajidū min dūnihī mau'ilā.
Dan Tuhanmulah Yang Maha Pengampun, memiliki rahmat. Sekiranya Dia hendak menyiksa mereka karena perbuatan mereka, tentu Dia akan menyegerakan siksa bagi mereka. Tetapi bagi mereka ada waktu yang telah ditetapkan, dan mereka tidak akan menemukan tempat berlindung selain Dia.
وَتِلْكَ الْقُرٰى اَهْلَكْنٰهُمْ لَمَّا ظَلَمُوْا وَجَعَلْنَا لِمَهْلِكِهِمْ مَّوْعِدًا ࣖ ٥٩
Wa tilkal-qurā ahlaknāhum lammā ẓalamū wa ja‘alnā limahlikihim mau‘idā.
Dan (penduduk) negeri-negeri itu telah Kami binasakan ketika mereka berbuat zalim, dan telah Kami tetapkan waktu tertentu untuk kebinasaan mereka.
وَاِذْ قَالَ مُوْسٰى لِفَتٰىهُ لَآ اَبْرَحُ حَتّٰىٓ اَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ اَوْ اَمْضِيَ حُقُبًا ٦٠
Wa iż qāla mūsā lifatāhu lā abraḥu ḥattā abluġa majma‘al-baḥraini au amḍiya ḥuqūbā.
Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada pembantunya, "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua laut; atau aku akan berjalan terus bertahun-tahun."
فَلَمَّا بَلَغَا مَجْمَعَ بَيْنِهِمَا نَسِيَا حُوْتَهُمَا فَاتَّخَذَ سَبِيْلَهٗ فِى الْبَحْرِ سَرَبًا ٦١
Falammā balagā majma‘a bainihimā nasiyā ḥūtahumā fattakhaża sabīlahū fil-baḥri sarabā.
Maka ketika mereka sampai ke pertemuan dua laut itu, mereka lupa akan ikannya, lalu ikan itu meluncur menempuh jalannya ke laut itu.
فَلَمَّا جَاوَزَا قَالَ لِفَتٰىهُ اٰتِنَا غَدَاۤءَنَا لَقَدْ لَقِيْنَا مِنْ سَفَرِنَا هٰذَا نَصَبًا ٦٢
Falammā jāwazā qāla lifatāhu ātinā gadā'anā laqad laqīnā min safarinā hāżā naṣabā.
Maka ketika mereka telah melewati (tempat itu), Musa berkata kepada pembantunya, "Bawalah kemari makanan kita; sungguh kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini."
قَالَ اَرَاَيْتَ اِذْ اَوَيْنَآ اِلَى الصَّخْرَةِ فَاِنِّيْ نَسِيْتُ الْحُوْتَ ۗ وَمَآ اَنْسٰىنِيْهُ اِلَّا الشَّيْطٰنُ اَنْ اَذْكُرَهٗ ۚ وَاتَّخَذَ سَبِيْلَهٗ فِى الْبَحْرِ عَجَبًا ٦٣
Qāla ara'aita iż awainā ilaṣ-ṣakhrati fa'innī nasītul-ḥūta, wa mā ansānīhu illasy-syaiṭānu an ażkurahū, wattakhaża sabīlahū fil-baḥri ‘ajabā.
Dia (pembantunya) menjawab, "Tahukah engkau, ketika kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak ada yang membuat aku lupa untuk mengingatnya kecuali setan, dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali."
قَالَ ذٰلِكَ مَا كُنَّا نَبْغِ ۖ فَارْتَدَّا عَلٰٓى اٰثَارِهِمَا قَصَصًا ٦٤
Qāla żālika mā kunnā nabġi, fartaddā ‘alā āṡārihimā qaṣaṣā.
Dia (Musa) berkata, "Itulah tempat yang kita cari." Lalu keduanya kembali mengikuti jejak mereka semula.
فَوَجَدَا عَبْدًا مِّنْ عِبَادِنَآ اٰتَيْنٰهُ رَحْمَةً مِّنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنٰهُ مِنْ لَّدُنَّا عِلْمًا ٦٥
Fawajadā ‘abdam min ‘ibādinā ātaināhu raḥmatam min ‘indinā wa ‘allamnāhu mil ladunnā ‘ilmā.
Lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.
قَالَ لَهٗ مُوْسٰى هَلْ اَتَّبِعُكَ عَلٰٓى اَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا ٦٦
Qāla lahū mūsā hal attabi‘uka ‘alā an tu‘allimani mimmā ‘ullimta rusydā.
Musa berkata kepadanya, "Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku (ilmu) petunjuk yang telah diajarkan kepadamu?"
قَالَ اِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيْعَ مَعِيَ صَبْرًا ۗ ٦٧
Qāla innaka lan tastaṭī‘a ma‘iya ṣabrā.
Dia (Khidir) menjawab, "Sesungguhnya engkau tidak akan sanggup sabar bersamaku."
وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلٰى مَا لَمْ تُحِطْ بِهٖ خُبْرًا ٦٨
Wa kaifa taṣbiru ‘alā mā lam tuḥiṭ bihī khubrā.
Dan bagaimana engkau akan dapat bersabar atas sesuatu, yang engkau belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?
قَالَ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ صَابِرًا وَّلَآ اَعْصِيْ لَكَ اَمْرًا ٦٩
Qāla satajidunī in syā'allāhu ṣābiraw wa lā a‘ṣī laka amrā.
Dia (Musa) berkata, "Insya Allah akan engkau dapati aku orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun."
قَالَ فَاِنِ اتَّبَعْتَنِيْ فَلَا تَسْـَٔلْنِيْ عَنْ شَيْءٍ حَتّٰىٓ اُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا ٧٠
Qāla fa'inittaba‘tanī falā tas'alnī ‘an syai'in ḥattā uḥdiṡa laka minhu żikrā.
Dia (Khidir) berkata, "Jika engkau mengikutiku, maka janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang sesuatu pun, sampai aku sendiri yang menerangkannya kepadamu."
فَانْطَلَقَا ۗ حَتّٰىٓ اِذَا رَكِبَا فِى السَّفِيْنَةِ خَرَقَهَا ۗ قَالَ اَخَرَقْتَهَا لِتُغْرِقَ اَهْلَهَا ۚ لَقَدْ جِئْتَ شَيْـًٔا اِمْرًا ٧١
Fa inṭalaqā, ḥattā iżā rakibā fis-safīnati kharaqahā, qāla akharaqtahā litugriqa ahlahā, laqad ji'ta syai'an imrā.
Maka berjalanlah keduanya, hingga ketika keduanya menaiki perahu lalu dia melubanginya. Musa berkata, "Mengapa engkau melubangi perahu itu, apakah untuk menenggelamkan penumpangnya? Sungguh, engkau telah berbuat suatu kesalahan besar."
قَالَ اَلَمْ اَقُلْ اِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيْعَ مَعِيَ صَبْرًا ٧٢
Qāla alam aqul innaka lan tastaṭī‘a ma‘iya ṣabrā.
Dia (Khidir) berkata, "Bukankah sudah kukatakan, bahwa engkau tidak akan sanggup bersabar bersamaku?"
قَالَ لَا تُؤَاخِذْنِيْ بِمَا نَسِيْتُ وَلَا تُرْهِقْنِيْ مِنْ اَمْرِيْ عُسْرًا ٧٣
Qāla lā tu'ākhiżnī bimā nasītu wa lā turhiqnī min amrī ‘usrā.
Musa berkata, "Janganlah engkau menghukumku karena kelupaanku dan janganlah engkau membebaniku kesulitan dalam urusanku."
فَانْطَلَقَا ۗ حَتّٰىٓ اِذَا لَقِيَا غُلٰمًا فَقَتَلَهٗ ۗ قَالَ اَقَتَلْتَ نَفْسًا زَكِيَّةًۢ بِغَيْرِ نَفْسٍ لَّقَدْ جِئْتَ شَيْـًٔا نُّكْرًا ٧٤
Fa inṭalaqā, ḥattā iżā laqiyā gulāman faqatalahū, qāla aqatalta nafsan zakiyyatam bigairi nafsin laqad ji'ta syai'an nukrā.
Maka berjalanlah keduanya; hingga ketika keduanya berjumpa dengan seorang anak muda, maka dia (Khidir) membunuhnya. Musa berkata, "Mengapa engkau membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sungguh, engkau telah melakukan sesuatu yang sangat mungkar."
قَالَ اَلَمْ اَقُلْ لَّكَ اِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيْعَ مَعِيَ صَبْرًا ٧٥
Qāla alam aqul laka innaka lan tastaṭī‘a ma‘iya ṣabrā.
Dia (Khidir) berkata, "Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa engkau tidak akan sanggup bersabar bersamaku?"
قَالَ اِنْ سَاَلْتُكَ عَنْ شَيْءٍۢ بَعْدَهَا فَلَا تُصٰحِبْنِيْ ۚ قَدْ بَلَغْتَ مِنْ لَّدُنِّيْ عُذْرًا ٧٦
Qāla in sa'altuka ‘an syai'im ba‘dahā falā tuṣāḥibnī, qad balagta mil ladunnī ‘użrā.
Musa berkata, "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu setelah ini, maka jangan lagi engkau memperbolehkan aku menyertaimu. Sesungguhnya engkau sudah cukup (bersabar) memberiku alasan."
فَانْطَلَقَا ۗ حَتّٰىٓ اِذَآ اَتَيَآ اَهْلَ قَرْيَةٍ اسْتَطْعَمَآ اَهْلَهَا فَاَبَوْا اَنْ يُّضَيِّفُوْهُمَا فَوَجَدَا فِيْهَا جِدَارًا يُّرِيْدُ اَنْ يَّنْقَضَّ فَاَقَامَهٗ ۗ قَالَ لَوْ شِئْتَ لَتَّخَذْتَ عَلَيْهِ اَجْرًا ٧٧
Fa inṭalaqā, ḥattā iżā atayā ahla qaryatinistaṭ‘amā ahlahā fa'abau ay yuḍayyifūhumā fawajadā fīhā jidāray yurīdu ay yanqaḍḍa fa'aqāmahū, qāla lau syi'ta lattakhażta ‘alaihi ajrā.
Maka berjalanlah keduanya; hingga ketika keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka meminta dijamu oleh penduduknya, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan di (negeri) itu dinding rumah yang hampir roboh, lalu dia (Khidir) menegakkannya. Musa berkata, "Sekiranya engkau mau, tentu engkau dapat meminta imbalan untuk itu."
قَالَ هٰذَا فِرَاقُ بَيْنِيْ وَبَيْنِكَ ۚ سَاُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيْلِ مَا لَمْ تَسْتَطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا ٧٨
Qāla hāżā firāqu bainī wa bainik(a), sa'unabbi'uka bita'wīli mā lam tastaṭi‘ ‘alaihi ṣabrā.
Dia (Khidir) berkata, "Inilah perpisahan antara aku dengan engkau; aku akan memberitahukan kepadamu makna sesuatu yang engkau tidak mampu bersabar terhadapnya."
اَمَّا السَّفِيْنَةُ فَكَانَتْ لِمَسٰكِيْنَ يَعْمَلُوْنَ فِى الْبَحْرِ فَاَرَدْتُّ اَنْ اَعِيْبَهَا وَكَانَ وَرَاۤءَهُمْ مَّلِكٌ يَّأْخُذُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْبًا ٧٩
Ammas-safīnatu fakānat limasākīna ya‘malūna fil-baḥri fa'arattū an a‘ībahā wa kāna warā'ahum malikuy ya'khużu kulla safīnatin gaṣbā.
Adapun perahu itu adalah milik orang miskin yang bekerja di laut; aku bermaksud merusaknya, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang akan merampas setiap perahu (yang baik).
وَاَمَّا الْغُلٰمُ فَكَانَ اَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِيْنَآ اَنْ يُّرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَّكُفْرًا ۚ ٨٠
Wa ammal-gulāmu fakāna abawāhu mu'minaini fakhasyīnā ay yurhiqahumā ṭugyānaw wa kufrā.
Dan adapun anak muda itu (yang dibunuh), kedua orang tuanya mukmin, dan kami khawatir dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran.
فَاَرَدْنَآ اَنْ يُّبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِّنْهُ زَكٰوةً وَّاَقْرَبَ رُحْمًا ٨١
Fa'aradnā ay yubdilahumā rabbuhumā khairam minhu zakātaw wa aqraba ruḥmā.
Kemudian kami menghendaki, sekiranya Tuhan mereka menggantinya dengan (seorang anak) lain yang lebih baik kesuciannya dari (anak) itu dan lebih sayang (kepada ibu bapaknya).
وَاَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلٰمَيْنِ يَتِيْمَيْنِ فِى الْمَدِيْنَةِ وَكَانَ تَحْتَهٗ كَنْزٌ لَّهُمَا وَكَانَ اَبُوْهُمَا صَالِحًا ۚ فَاَرَادَ رَبُّكَ اَنْ يَّبْلُغَآ اَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِّنْ رَّبِّكَ ۚ وَمَا فَعَلْتُهٗ عَنْ اَمْرِيْ ۗ ذٰلِكَ تَأْوِيْلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا ࣖ ٨٢
Wa ammal-jidāru fakāna ligulāmaini yatīmaini fil-madīnati wa kāna taḥtahū kanzul lahumā wa kāna abūhumā ṣāliḥā(n), fa'arāda rabbuka ay yablugā asyuddahumā wa yastakhrijā kanzahumā raḥmatam mir rabbik(a), wa mā fa‘altuhū ‘an amrī, żālika ta'wīlu mā lam tasṭi‘ ‘alaihi ṣabrā.
Dan adapun dinding rumah itu adalah milik dua anak yatim di kota itu, yang di bawahnya tersimpan harta bagi mereka berdua, dan ayah mereka seorang yang saleh. Maka Tuhanmu menghendaki agar keduanya sampai dewasa dan keduanya mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu. Apa yang aku perbuat bukanlah menurut kemauanku sendiri. Itulah keterangan perbuatan-perbuatan yang engkau tidak sabar terhadapnya."
وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنْ ذِى الْقَرْنَيْنِ ۗ قُلْ سَاَتْلُوْ عَلَيْكُمْ مِّنْهُ ذِكْرًا ٨٣
Wa yas'alūnaka ‘an żil-qarnain(i), qul sa'atlū ‘alaikum minhu żikrā.
Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Zulkarnain. Katakanlah, "Aku akan bacakan kepadamu sebagian kisahnya."
اِنَّا مَكَّنَّا لَهٗ فِى الْاَرْضِ وَاٰتَيْنٰهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ سَبَبًا ٨٤
Innā makkannā lahū fil-arḍi wa ātaināhu min kulli syai'in sababā.
Sungguh, Kami telah memberi kedudukan kepadanya di bumi, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu.
فَاَتْبَعَ سَبَبًا ٨٥
Fa'atba‘a sababā.
Maka dia menempuh suatu jalan.
حَتّٰىٓ اِذَا بَلَغَ مَغْرِبَ الشَّمْسِ وَجَدَهَا تَغْرُبُ فِيْ عَيْنٍ حَمِئَةٍ وَّوَجَدَ عِنْدَهَا قَوْمًا ۗ قُلْنَا يٰذَا الْقَرْنَيْنِ اِمَّآ اَنْ تُعَذِّبَ وَاِمَّآ اَنْ تَتَّخِذَ فِيْهِمْ حُسْنًا ٨٦
Ḥattā iżā balaga magribasy-syamsi wajadahā tagrubu fī ‘ainin ḥami'atiw wa wajada ‘indahā qaumā(n), qulnā yā żal-qarnaini immā an tu‘ażżiba wa immā an tattakhiża fīhim ḥusnā.
Hingga apabila dia telah sampai di tempat terbenam matahari, dia melihatnya (matahari) terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam, dan di sana ditemukannya suatu kaum (yang tidak beragama). Kami berfirman, "Wahai Zulkarnain! Engkau boleh menyiksa atau berbuat kebaikan kepada mereka."
قَالَ اَمَّا مَنْ ظَلَمَ فَسَوْفَ نُعَذِّبُهٗ ثُمَّ يُرَدُّ اِلٰى رَبِّهٖ فَيُعَذِّبُهٗ عَذَابًا نُّكْرًا ٨٧
Qāla ammā man ẓalama fasaufa nu‘ażżibuhū ṡumma yuraddu ilā rabbihī fayu‘ażżibuhū ‘ażāban nukrā.
Dia (Zulkarnain) berkata, "Barangsiapa berbuat zalim, kami akan menyiksanya, kemudian dia dikembalikan kepada Tuhannya, lalu Tuhan menyiksanya dengan siksa yang lebih pedih.
وَاَمَّا مَنْ اٰمَنَ وَعَمِلَ صٰلِحًا فَلَهٗ جَزَاۤءً ۨالْحُسْنٰى ۚ وَسَنَقُوْلُ لَهٗ مِنْ اَمْرِنَا يُسْرًا ٨٨
Wa ammā man āmana wa ‘amila ṣāliḥan falahū jazā'al ḥusnā, wa sanaqūlu lahū min amrinā yusrā.
Adapun orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, maka dia mendapat balasan yang terbaik sebagai tempat kembali, dan akan kami katakan kepadanya (perintah) kami yang mudah-mudah."
ثُمَّ اَتْبَعَ سَبَبًا ٨٩
Summa atba‘a sababā.
Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain).
حَتّٰىٓ اِذَا بَلَغَ مَطْلِعَ الشَّمْسِ وَجَدَهَا تَطْلُعُ عَلٰى قَوْمٍ لَّمْ نَجْعَلْ لَّهُمْ مِّنْ دُوْنِهَا سِتْرًا ۙ ٩٠
Ḥattā iżā balaga maṭli‘asy-syamsi wajadahā taṭlu‘u ‘alā qaumil lam naj‘al lahum min dūnihā sitrā.
Hingga apabila dia sampai di tempat terbit matahari (Timur) dia mendapati matahari terbit menyinari suatu kaum yang tidak Kami buatkan bagi mereka suatu pelindung dari (cahaya) matahari itu.
كَذٰلِكَ ۗ وَقَدْ اَحَطْنَا بِمَا لَدَيْهِ خُبْرًا ٩١
Każālik(a), wa qad aḥaṭnā bimā ladaihi khubrā.
Demikianlah, dan sesungguhnya ilmu Kami meliputi segala apa yang ada padanya.
ثُمَّ اَتْبَعَ سَبَبًا ٩٢
Summa atba‘a sababā.
Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain lagi).
حَتّٰىٓ اِذَا بَلَغَ بَيْنَ السَّدَّيْنِ وَجَدَ مِنْ دُوْنِهِمَا قَوْمًا لَّا يَكَادُوْنَ يَفْقَهُوْنَ قَوْلًا ٩٣
Ḥattā iżā balaga bainas-saddaini wajada min dūnihimā qaumal lā yakādūna yafqahūna qaulā.
Hingga apabila dia sampai di antara dua gunung, dia mendapati di belakang (kedua gunung itu) suatu kaum yang hampir tidak memahami pembicaraan.
قَالُوْا يٰذَا الْقَرْنَيْنِ اِنَّ يَأْجُوْجَ وَمَأْجُوْجَ مُفْسِدُوْنَ فِى الْاَرْضِ فَهَلْ نَجْعَلُ لَكَ خَرْجًا عَلٰٓى اَنْ تَجْعَلَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ سَدًّا ٩٤
Qālū yā żal-qarnaini inna ya'jūja wa ma'jūja mufsidūna fil-arḍi fahal naj‘alu laka kharjan ‘alā an taj‘ala bainanā wa bainahum saddā.
Mereka berkata, "Wahai Zulkarnain! Sungguh, Ya'juj dan Ma'juj (Gog dan Magog) selalu berbuat kerusakan di bumi. Maka bolehkah kami membayar upah kepadamu agar engkau membuatkan dinding penghalang antara kami dan mereka?"
قَالَ مَا مَكَّنِّيْ فِيْهِ رَبِّيْ خَيْرٌ فَاَعِيْنُوْنِيْ بِقُوَّةٍ اَجْعَلْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ رَدْمًا ٩٥
Qāla mā makkannī fīhi rabbī khairun fa'a‘īnūnī biquwwatin aj‘al bainakum wa bainahum radmā.
Dia (Zulkarnain) berkata, "Apa yang telah dianugerahkan Tuhanku kepadaku lebih baik (daripada upahmu), maka bantulah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku dapat membuatkan dinding penghalang antara kamu dan mereka."
اٰتُوْنِيْ زُبَرَ الْحَدِيْدِ ۗ حَتّٰىٓ اِذَا سَاوٰى بَيْنَ الصَّدَفَيْنِ قَالَ انْفُخُوْا ۗ حَتّٰىٓ اِذَا جَعَلَهٗ نَارًا قَالَ اٰتُوْنِيْٓ اُفْرِغْ عَلَيْهِ قِطْرًا ٩٦
Ātūnī zubural-ḥadīd(i), ḥattā iżā sāwā bainaṣ-ṣadafaini qālanfukhū, ḥattā iżā ja‘alahū nāran qāla ātūnī ufrig ‘alaihi qiṭrā.
Berilah aku potongan-potongan besi!" Hingga apabila (potongan) besi itu telah (terpasang) sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, dia (Zulkarnain) berkata, "Tiuplah (api itu)!" Hingga ketika (besi) itu sudah menjadi (merah seperti) api, dia pun berkata, "Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar kutuangkan ke atasnya (besi panas itu)."
فَمَا اسْطَاعُوْٓا اَنْ يَّظْهَرُوْهُ وَمَا اسْتَطَاعُوْا لَهٗ نَقْبًا ٩٧
Famas-ṭā‘ū ay yaẓharūhu wa mas-taṭā‘ū lahū naqbā.
Maka mereka (Ya'juj dan Ma'juj) tidak dapat mendakinya dan tidak dapat (pula) melubanginya.
قَالَ هٰذَا رَحْمَةٌ مِّنْ رَّبِّيْ ۚ فَاِذَا جَاۤءَ وَعْدُ رَبِّيْ جَعَلَهٗ دَكَّاۤءَ ۚ وَكَانَ وَعْدُ رَبِّيْ حَقًّا ۗ ٩٨
Qāla hāżā raḥmatum mir rabbī, fa'iżā jā'a wa‘du rabbī ja‘alahū dakkā'(a), wa kāna wa‘du rabbī ḥaqqā.
Dia (Zulkarnain) berkata, "Ini (dinding) adalah rahmat dari Tuhanku. Maka apabila janji Tuhanku datang, Dia akan menghancurkannya dan janji Tuhanku itu benar."
وَتَرَكْنَا بَعْضَهُمْ يَوْمَىِٕذٍ يَّمُوْجُ فِيْ بَعْضٍ وَّنُفِخَ فِى الصُّوْرِ فَجَمَعْنٰهُمْ جَمْعًا ٩٩
Wa taraknā ba‘ḍahum yauma'iżiy yamūju fī ba‘ḍiw wa nufikha fiṣ-ṣūri fajama‘nāhum jam‘ā.
Dan pada hari itu Kami biarkan mereka (Ya'juj dan Ma'juj) berbaur antara satu dengan yang lain, dan (apabila) sangkakala ditiup (sekali lagi), akan Kami kumpulkan mereka semuanya.
وَّعَرَضْنَا جَهَنَّمَ يَوْمَىِٕذٍ لِّلْكٰفِرِيْنَ عَرْضًا ۙ ١٠٠
Wa ‘araḍnā jahannama yauma'iżil lil-kāfirīna ‘arḍā.
Dan pada hari itu Kami perlihatkan neraka Jahanam kepada orang kafir dengan sejelas-jelasnya,
الَّذِيْنَ كَانَتْ اَعْيُنُهُمْ فِيْ غِطَاۤءٍ عَنْ ذِكْرِيْ وَكَانُوْا لَا يَسْتَطِيْعُوْنَ سَمْعًا ١٠١
Allażīna kānat a‘yunuhum fī giṭā'in ‘an żikrī wa kānū lā yastaṭī‘ūna sam‘ā.
(Yaitu) orang-orang yang mata (hati)nya dalam keadaan tertutup dari memperhatikan tanda-tanda kebesaran-Ku, dan mereka tidak sanggup mendengar.
اَفَحَسِبَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اَنْ يَّتَّخِذُوْا عِبَادِيْ مِنْ دُوْنِيْٓ اَوْلِيَاۤءَ ۗ اِنَّآ اَعْتَدْنَا جَهَنَّمَ لِلْكٰفِرِيْنَ نُزُلًا ١٠٢
Afaḥasibal-lażīna kafarū ay yattakhiżū ‘ibādī min dūnī auliyā'(a), innā a‘tadnā jahannama lil-kāfirīna nuzulā.
Maka apakah orang-orang kafir menyangka bahwa mereka (dapat) mengambil hamba-hamba-Ku menjadi penolong selain Aku? Sungguh, Kami telah menyediakan neraka Jahanam sebagai tempat tinggal bagi orang-orang kafir.
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْاَخْسَرِيْنَ اَعْمَالًا ۗ ١٠٣
Qul hal nunabbi'ukum bil-akhsarīna a‘mālā.
Katakanlah (Muhammad), "Maukah Kami beritahukan kepadamu tentang orang yang paling merugi perbuatannya?"
اَلَّذِيْنَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُوْنَ اَنَّهُمْ يُحْسِنُوْنَ صُنْعًا ١٠٤
Allażīna ḍalla sa‘yuhum fil-ḥayātid-dun-yā wa hum yaḥsabūna annahum yuḥsinūna ṣun‘ā.
(Yaitu) orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira telah berbuat sebaik-baiknya.
اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِاٰيٰتِ رَبِّهِمْ وَلِقَاۤىِٕهٖ فَحَبِطَتْ اَعْمَالُهُمْ فَلَا نُقِيْمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ وَزْنًا ١٠٥
Ulā'ikal-lażīna kafarū bi'āyāti rabbihim wa liqā'ihī faḥabiṭat a‘māluhum falā nuqīmu lahum yaumal-qiyāmati waznā.
Mereka itu adalah orang yang mengingkari ayat-ayat Tuhan mereka dan (tidak percaya) dengan pertemuan dengan-Nya. Maka sia-sia seluruh amal mereka, dan Kami tidak akan mengadakan timbangan (amal) bagi mereka pada hari Kiamat.
ذٰلِكَ جَزَاۤؤُهُمْ جَهَنَّمُ بِمَا كَفَرُوْا وَاتَّخَذُوْٓا اٰيٰتِيْ وَرُسُلِيْ هُزُوًا ١٠٦
Żālika jazā'uhum jahannamu bimā kafarū wattakhażū āyātī wa rusulī huzuwā.
Demikianlah balasan mereka itu neraka Jahanam, karena kekafiran mereka, dan karena mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olokan.
اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنّٰتُ الْفِرْدَوْسِ نُزُلًا ۙ ١٠٧
Innal-lażīna āmanū wa ‘amiluṣ-ṣāliḥāti kānat lahum jannātul-firdusi nuzulā.
Sungguh, orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, untuk mereka disediakan surga Firdaus sebagai tempat tinggal,
خٰلِدِيْنَ فِيْهَا لَا يَبْغُوْنَ عَنْهَا حِوَلًا ١٠٨
Khālidīna fīhā lā yabgūna ‘anhā ḥiwalā.
Mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin pindah dari sana.
قُلْ لَّوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِّكَلِمٰتِ رَبِّيْ لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ اَنْ تَنْفَدَ كَلِمٰتُ رَبِّيْ وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهٖ مَدَدًا ١٠٩
Qul lau kānal-baḥru midādal likalimāti rabbī lanafidal-baḥru qabla an tanfada kalimātu rabbī wa lau ji'nā bimiṡlihī madadā.
Katakanlah (Muhammad), "Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, pasti habislah lautan itu sebelum selesai (penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)."
قُلْ اِنَّمَآ اَنَا۠ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوْحٰٓى اِلَيَّ اَنَّمَآ اِلٰهُكُمْ اِلٰهٌ وَّاحِدٌ ۚ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوْا لِقَاۤءَ رَبِّهٖ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَّلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهٖٓ اَحَدًا ࣖ ١١٠
Qul innamā ana basyarum miṡlukum yūḥā ilayya annamā ilāhukum ilāhuw wāḥid(un), faman kāna yarjū liqā'a rabbihī falya‘mal ‘amalan ṣāliḥaw wa lā yusyrik bi‘ibādati rabbihī aḥadā.
Katakanlah (Muhammad), "Sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwa Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa." Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya maka hendaklah dia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah dia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya."
Pelajaran dan Hikmah Abadi dari Surah Al-Kahfi
Surah Al-Kahfi adalah bejana hikmah yang tak pernah kering. Dari setiap ayat dan kisahnya, kita dapat menarik pelajaran-pelajaran berharga yang relevan di setiap zaman dan kondisi. Berikut adalah rangkuman dari beberapa hikmah kunci:
- Keteguhan Iman di Tengah Ujian (Fitnah Agama): Kisah Ashabul Kahfi mengajarkan pentingnya mempertahankan keimanan di tengah lingkungan yang hostile. Mereka memilih untuk lari dari dunia demi agama mereka, dan Allah membalasnya dengan perlindungan dan keajaiban. Ini adalah pengingat bahwa iman adalah aset terpenting yang harus dijaga.
- Bahaya Kecintaan Dunia dan Kesombongan Harta (Fitnah Harta): Kisah dua kebun dengan jelas menggambarkan bagaimana kekayaan dapat membutakan mata hati seseorang, membuatnya lupa akan Allah dan hari akhirat. Kekayaan bukanlah jaminan kebahagiaan abadi, melainkan ujian. Sikap syukur dan rendah hati adalah kunci untuk tidak terjerumus dalam fitnah ini.
- Keterbatasan Ilmu Manusia dan Pentingnya Kesabaran (Fitnah Ilmu): Kisah Nabi Musa dan Khidir adalah pelajaran monumental tentang kerendahan hati dalam menuntut ilmu. Manusia, bahkan seorang nabi sekaliber Musa, tidak dapat memahami seluruh hikmah di balik setiap peristiwa. Ini mengajarkan kita untuk sabar, tawakal, dan percaya bahwa ada kebaikan di balik takdir Allah yang mungkin tidak kita pahami. Ilmu yang sejati adalah yang mendekatkan kita kepada Allah, bukan yang membuat kita sombong.
- Amanah Kekuasaan dan Keadilan (Fitnah Kekuasaan): Kisah Dzulkarnain adalah model kepemimpinan yang adil dan berbakti kepada Allah. Ia menggunakan kekuasaannya bukan untuk memperkaya diri atau menindas, melainkan untuk menegakkan keadilan, membantu kaum yang tertindas, dan membangun benteng kebaikan. Kekuasaan adalah amanah besar yang akan dimintai pertanggungjawaban.
- Pentingnya Istighfar dan Mengucapkan "Insya Allah": Dari ayat yang mengingatkan Nabi Muhammad ﷺ untuk tidak mengatakan akan melakukan sesuatu besok tanpa "insya Allah" (jika Allah menghendaki), kita belajar tentang pentingnya menyandarkan segala rencana kepada kehendak Allah. Ini adalah bentuk pengakuan atas kekuasaan Allah dan kerendahan hati manusia.
- Kefanaan Dunia dan Keabadian Akhirat: Berulang kali, surah ini mengingatkan kita tentang sifat sementara kehidupan dunia dan segala perhiasannya. Harta, anak, dan jabatan hanyalah ujian. Kebahagiaan abadi hanya ada di akhirat bagi mereka yang beriman dan beramal saleh.
- Ancaman Dajjal dan Pentingnya Persiapan: Meskipun Dajjal adalah fitnah di akhir zaman, peringatan dalam Surah Al-Kahfi mendorong kita untuk selalu waspada terhadap segala bentuk godaan yang menyesatkan, baik dalam bentuk materialisme, kesombongan ilmu, maupun kesesatan akidah.
- Tauhid dan Menjauhkan Syirik: Pesan penutup Surah Al-Kahfi mengulang inti ajaran Islam: tauhid (keesaan Allah) dan larangan berbuat syirik (menyekutukan Allah). Semua amal kebaikan akan sia-sia jika tidak didasari oleh keimanan yang murni kepada Allah semata.
Dengan merenungkan pelajaran-pelajaran ini, seorang Muslim dapat memperkuat imannya, mengembangkan kebijaksanaan, dan membimbing dirinya untuk menjalani hidup yang lebih bermakna di dunia ini, sambil mempersiapkan diri untuk kehidupan abadi di akhirat.
Penerapan dalam Kehidupan Sehari-hari
Hikmah dan pelajaran dari Surah Al-Kahfi tidak hanya indah untuk dibaca, tetapi juga sangat relevan untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari seorang Muslim. Mengamalkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat menjadi panduan dalam menghadapi berbagai tantangan modern.
- Prioritaskan Akidah dan Iman: Di era informasi ini, banyak ideologi dan paham baru yang bisa mengancam akidah. Seperti Ashabul Kahfi, kita harus berani mempertahankan prinsip keimanan kita, meskipun harus "menyendiri" dari arus mayoritas yang menyimpang. Ini bisa berarti menghindari media sosial yang toksik, pergaulan yang merusak iman, atau konsisten dalam ibadah di tengah kesibukan dunia.
- Hati-hati dengan Harta dan Kekayaan: Dengan mudahnya akses terhadap informasi tentang gaya hidup mewah dan kekayaan, fitnah harta semakin menguat. Kisah dua kebun mengajarkan kita untuk selalu bersyukur atas apa yang dimiliki, tidak sombong, dan menyadari bahwa semua harta adalah titipan Allah. Gunakan harta untuk kebaikan, infak, sedekah, dan jangan lupakan bahwa akhirat adalah tujuan utama. Biasakan mengucapkan "Masya Allah, La Quwwata Illa Billah" ketika melihat nikmat yang besar.
- Rendah Hati dalam Ilmu: Internet memberikan akses tak terbatas terhadap informasi, namun juga memunculkan fenomena merasa paling tahu. Kisah Musa dan Khidir mengingatkan kita untuk selalu rendah hati dalam mencari ilmu, mengakui keterbatasan pengetahuan, dan bersabar dalam menghadapi hal-hal yang tidak kita pahami. Hindari perdebatan yang sia-sia dan fokus pada ilmu yang bermanfaat.
- Jadikan Kekuasaan sebagai Amanah: Baik kekuasaan dalam lingkup besar (sebagai pemimpin negara) maupun kecil (sebagai pemimpin keluarga, manajer, atau bahkan influencer), semua adalah amanah. Teladani Dzulkarnain yang menggunakan kekuasaannya untuk kebaikan umat, menegakkan keadilan, dan menolong yang lemah. Hindari penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
- Biasakan Mengucapkan "Insya Allah": Mengucapkan "insya Allah" bukan sekadar formalitas, tetapi manifestasi tawakkal kepada Allah. Ini mengingatkan kita bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak-Nya. Latih diri untuk mengucapkannya setiap kali merencanakan sesuatu, menumbuhkan rasa rendah hati dan ketergantungan kepada Sang Pencipta.
- Renungkan Kefanaan Dunia: Luangkan waktu untuk merenungkan makna ayat-ayat tentang kefanaan dunia. Hal ini akan membantu kita untuk tidak terlalu terikat pada kesenangan duniawi yang sementara dan lebih berfokus pada persiapan akhirat. Lakukan amal saleh secara konsisten, karena itulah yang akan abadi.
- Membaca dan Merenungi Al-Qur'an secara Rutin: Keutamaan membaca Surah Al-Kahfi setiap Jumat adalah pengingat untuk menjadikan Al-Qur'an sebagai pedoman hidup. Luangkan waktu khusus, tidak hanya Jumat, untuk membaca, memahami, dan merenungkan ayat-ayat-Nya, bukan hanya Al-Kahfi tetapi seluruh isi Al-Qur'an.
Dengan menginternalisasi nilai-nilai ini, Surah Al-Kahfi dapat menjadi kompas yang menuntun kita melewati badai fitnah dunia, menjaga hati tetap teguh di jalan kebenaran, dan mempersiapkan kita untuk kehidupan yang kekal di sisi Allah SWT.
Semoga artikel ini bermanfaat bagi kita semua dalam memahami dan mengamalkan ajaran mulia dari Surah Al-Kahfi.