Dalam khazanah kitab suci Al-Qur'an, terdapat permata-permata yang sarat akan hikmah dan pelajaran berharga, meski terangkai dalam bait-bait yang ringkas. Salah satunya adalah Surah Al-Fil, sebuah surah Makkiyah yang terdiri dari hanya lima ayat, namun menyimpan narasi epik tentang kekuasaan ilahi dan penjagaan-Nya atas kesucian rumah-Nya. Nama "Al-Fil" sendiri berarti "Gajah", sebuah penamaan yang langsung merujuk pada inti kisah yang dikandungnya: peristiwa bersejarah yang dikenal sebagai "Tahun Gajah" atau Amul Fil, di mana pasukan perkasa yang dipimpin oleh Abrahah Al-Asyram, berupaya menghancurkan Ka'bah di Mekah.
Kisah ini bukan sekadar lembaran sejarah yang terukir di masa lalu; ia adalah bukti nyata akan intervensi ilahi yang menakjubkan, yang menegaskan bahwa tidak ada kekuatan di muka bumi yang mampu menandingi kehendak Allah Subhanahu wa Ta'ala. Peristiwa ini memiliki signifikansi yang luar biasa, tidak hanya sebagai penanda kekuasaan Allah, tetapi juga sebagai prekursor penting bagi kelahiran dan kenabian Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam, yang secara kebetulan lahir pada tahun yang sama dengan kejadian monumental ini. Ini seolah menjadi isyarat awal dari rahmat agung yang akan menyelimuti seluruh alam melalui risalah Islam.
Artikel ini akan membawa kita pada sebuah perjalanan spiritual dan intelektual untuk menyelami lebih dalam tentang bacaan Surah Al-Fil. Kita akan menguraikan setiap ayatnya, menyingkap tafsir mendalam yang disampaikan oleh para ulama, serta memetik hikmah-hikmah abadi yang terkandung di dalamnya. Dengan pemahaman yang komprehensif, semoga kita dapat merasakan kebesaran Allah dan mengaplikasikan pelajaran-pelajaran berharga ini dalam kehidupan sehari-hari. Mari kita mulai dengan menyimak lafaz-lafaz mulia Surah Al-Fil.
Sebelum kita menggali lebih jauh ke dalam makna dan tafsirnya, mari kita melafazkan bacaan Surah Al-Fil dalam teks aslinya, diikuti dengan transliterasi dan terjemahan bahasa Indonesia untuk memudahkan pemahaman.
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Bismillahirrahmanirrahim
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
اَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِاَصْحٰبِ الْفِيْلِۗ
1. Alam tara kaifa fa'ala rabbuka bi-ashābil Fīl.
1. Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah?
اَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِيْ تَضْلِيْلٍۙ
2. Alam yaj'al kaidahum fī taḍlīl.
2. Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka'bah) sia-sia?
وَّاَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا اَبَابِيْلَۙ
3. Wa arsala 'alaihim ṭairan abābīl.
3. Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong,
تَرْمِيْهِمْ بِحِجَارَةٍ مِّنْ سِجِّيْلٍۙ
4. Tarmīhim biḥijāratim min sijīl.
4. Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah liat yang dibakar,
فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَّأْكُوْلٍࣖ
5. Fa ja'alahum ka'aṣfim ma'kūl.
5. Sehingga mereka dijadikan-Nya seperti daun-daun yang dimakan (ulat).
Memahami bacaan Surah Al-Fil secara utuh membutuhkan lebih dari sekadar terjemahan harfiah. Kita harus menyelami konteks sejarah, makna linguistik, dan implikasi teologis dari setiap ayat. Peristiwa yang diceritakan dalam surah ini adalah salah satu manifestasi paling gamblang dari kekuasaan ilahi, yang tidak hanya melindungi rumah suci Ka'bah tetapi juga menetapkan panggung bagi datangnya risalah terakhir yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam.
Peristiwa yang menjadi subjek utama bacaan Surah Al-Fil, yakni "Tahun Gajah" atau Amul Fil, adalah salah satu momen paling penting dalam sejarah Jazirah Arab pra-Islam. Kisah ini diperkirakan terjadi pada tahun 570 Masehi, sebuah tahun yang sangat monumental karena bertepatan dengan kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam. Pada periode tersebut, Jazirah Arab adalah mosaik kabilah-kabilah yang menganut berbagai bentuk politeisme, namun Ka'bah di Mekah, meskipun telah dinodai dengan berhala-berhala, tetap menjadi pusat spiritual dan ekonomi yang dihormati secara luas oleh seluruh bangsa Arab. Ka'bah adalah bangunan yang memiliki sejarah panjang, yang diyakini telah dibangun oleh Nabi Ibrahim dan putranya, Nabi Ismail, sebagai rumah ibadah yang murni.
Di wilayah Yaman, yang saat itu berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Aksum dari Abyssinia (sekarang Ethiopia), berkuasa seorang raja muda dan ambisius bernama Abrahah Al-Asyram. Abrahah adalah seorang penganut Kristen yang taat, dan ia menyaksikan dengan iri betapa Ka'bah di Mekah menarik ribuan peziarah dan kafilah dagang dari seluruh penjuru Jazirah Arab. Daya tarik Ka'bah ini tidak hanya membawa kemakmuran ekonomi tetapi juga pengaruh politik dan sosial yang sangat besar bagi Mekah dan kabilah Quraisy yang bertanggung jawab atas penjagaan Ka'bah.
Tergerak oleh motivasi religius dan ambisi pribadi, Abrahah membangun sebuah gereja yang sangat megah dan indah di Sana'a, ibu kota Yaman, yang ia namakan Al-Qullais. Gereja ini dirancang untuk menyaingi keagungan Ka'bah, dengan tujuan agar menjadi pusat ziarah baru bagi bangsa Arab, sehingga mengalihkan aliran peziarah dan perdagangan dari Mekah ke Yaman. Abrahah bahkan secara aktif melakukan propaganda dan menyeru seluruh bangsa Arab untuk menunaikan haji ke gerejanya. Namun, seruan ini disambut dengan penolakan keras oleh orang-orang Arab yang memiliki ikatan spiritual dan budaya yang kuat dengan Ka'bah yang telah mereka hormati selama bergenerasi.
Sebagai bentuk protes dan penghinaan terhadap klaim Abrahah, diriwayatkan bahwa beberapa orang Arab Quraisy pergi ke Sana'a dan mengotori gereja Al-Qullais. Perbuatan ini, meskipun kecil, menyulut kemarahan Abrahah hingga ke ubun-ubun. Merasa harga dirinya diinjak-injak dan ambisinya dihalangi, Abrahah bersumpah untuk menghancurkan Ka'bah sebagai balasan. Ia mengumpulkan pasukan yang sangat besar dan perkasa, dilengkapi dengan gajah-gajah tempur yang belum pernah terlihat dalam jumlah sedemikian rupa di Jazirah Arab. Kehadiran gajah-gajah ini dimaksudkan untuk memberikan efek intimidasi dan menunjukkan kekuatan militer Abrahah yang tak tertandingi.
Pasukan Abrahah bergerak menuju Mekah dengan tekad bulat untuk meruntuhkan Ka'bah, menghapus pusat spiritual dan ekonomi bangsa Arab, dan dengan demikian memaksa mereka untuk mengakui dominasi Abrahah serta berpaling ke Al-Qullais. Ketika berita tentang kedatangan pasukan bergajah sampai ke Mekah, penduduk kota, termasuk kabilah Quraisy yang dipimpin oleh Abdul Muthalib (kakek Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam), dilanda kecemasan dan ketakutan yang luar biasa. Mereka tidak memiliki kekuatan militer yang sebanding untuk melawan pasukan sekuat Abrahah.
Abdul Muthalib mencoba berunding dengan Abrahah, bahkan menawarkan sebagian hartanya agar Abrahah mengurungkan niatnya. Namun, Abrahah menolak mentah-mentah semua perundingan dan menegaskan niatnya. Dalam percakapan yang diriwayatkan, ketika Abdul Muthalib datang menemui Abrahah untuk meminta kembali unta-unta miliknya yang dirampas pasukan Abrahah, Abrahah bertanya, "Mengapa engkau tidak meminta Ka'bah yang akan aku hancurkan?" Abdul Muthalib menjawab dengan tenang, "Aku adalah pemilik unta-unta itu, dan Ka'bah memiliki pemiliknya sendiri yang akan melindunginya." Jawaban ini mencerminkan keyakinan yang mendalam akan penjagaan ilahi. Pada akhirnya, Abdul Muthalib dan penduduk Mekah memutuskan untuk mengevakuasi diri ke perbukitan sekitar, menyerahkan nasib Ka'bah sepenuhnya kepada Allah. Mereka menyaksikan dari kejauhan, dengan hati yang penuh harap dan ketakutan, apa yang akan terjadi. Dan pada saat itulah, mukjizat agung yang menjadi inti dari bacaan Surah Al-Fil mulai terkuak.
"Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah?"
Ayat pembuka Surah Al-Fil ini langsung menarik perhatian dengan pertanyaan retoris yang kuat: "Alam tara...?". Secara harfiah, "Alam tara" berarti "Tidakkah engkau melihat...?". Namun, dalam konteks ini, pertanyaan tersebut tidak menuntut jawaban visual langsung, melainkan bermaksud untuk membangkitkan perenungan dan pengakuan terhadap suatu peristiwa yang sudah sangat masyhur dan dikenal luas oleh masyarakat Mekah pada masa itu. Meskipun Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam lahir pada tahun terjadinya peristiwa ini dan tidak menyaksikannya dengan mata kepala sendiri, "melihat" di sini dapat diartikan sebagai "mengetahui", "memahami", atau "menyadari" melalui kabar yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah lisan dan ingatan kolektif kaumnya. Ini adalah cara Allah untuk menekankan betapa luar biasanya dan tak terlupakannya kejadian tersebut.
Penggunaan kata "Rabbuka" (Tuhanmu) dalam pertanyaan ini sangat signifikan. Ini tidak hanya merujuk kepada Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa, tetapi juga secara khusus mengaitkan-Nya dengan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam, menunjukkan hubungan istimewa antara keduanya. Ini juga menegaskan bahwa tindakan luar biasa yang akan diceritakan adalah manifestasi langsung dari kekuasaan dan kehendak Allah. Allah adalah pengatur segala urusan, pelindung Ka'bah, dan penentu nasib setiap makhluk, termasuk pasukan yang paling perkasa sekalipun. Kata "Rabb" mencakup makna Pemilik, Penguasa, Pendidik, dan Pemelihara, yang semuanya terwujud dalam peristiwa ini.
Frasa "bi-ashābil Fīl" (terhadap pasukan bergajah) langsung menunjuk kepada antagonis utama dalam kisah ini: Abrahah dan tentaranya yang membawa gajah-gajah tempur. Gajah pada masa itu adalah simbol kekuatan militer, teknologi perang yang paling canggih, dan kemegahan yang tak terbantahkan. Kehadiran mereka di ambang Mekah tentu saja menimbulkan ketakutan yang melumpuhkan bagi penduduk setempat yang tidak memiliki kekuatan militer sebanding. Pertanyaan di ayat ini menantang siapa pun yang sombong dan mengandalkan kekuatan materi untuk merenungkan akhir dari pasukan yang tampak tak terkalahkan ini. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini merupakan pengingat akan nikmat dan karunia Allah kepada kaum Quraisy, di mana Allah telah menyingkirkan musuh-musuh yang hendak menghancurkan Ka'bah, yang merupakan kehormatan bagi Quraisy dan menjadi sebab mereka dihormati di antara kabilah-kabilah Arab. Peristiwa ini juga dipandang sebagai pendahuluan bagi diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam, sebagai mukjizat yang sangat jelas.
Sangat penting untuk dicermati bahwa peristiwa ini terjadi sebelum diutusnya Nabi Muhammad sebagai Rasul. Pada masa itu, sebagian besar penduduk Mekah masih tenggelam dalam kesyirikan dan menyembah berhala-berhala. Namun, Allah melindungi Ka'bah, bukan karena kesalehan penduduk Mekah pada saat itu, melainkan karena kemuliaan Ka'bah itu sendiri sebagai rumah suci yang telah dibangun atas dasar tauhid sejak zaman Nabi Ibrahim, dan sebagai persiapan ilahi untuk risalah Islam yang akan datang. Ini menunjukkan kemurahan, keadilan, dan kebijaksanaan Allah yang tidak terbatas, yang melampaui perhitungan manusia. Allah melindungi rumah-Nya karena keagungan dan tujuan penciptaannya, bukan karena keadaan hamba-hamba-Nya yang sedang lalai.
"Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka'bah) sia-sia?"
Ayat kedua ini melanjutkan rentetan pertanyaan retoris yang menguatkan dari ayat pertama, memperjelas hasil dari intervensi Allah terhadap pasukan bergajah. Kata "kaidahum" berarti "tipu daya mereka", "rencana jahat mereka", atau "persekongkolan mereka". Rencana Abrahah sangatlah ambisius dan destruktif: menghancurkan Ka'bah, yang baginya adalah simbol dominasi Mekah. Dia telah mengerahkan segala sumber daya yang dimilikinya, termasuk pasukan besar yang terlatih dan gajah-gajah perkasa, untuk mewujudkan niat jahat dan kesombongannya ini. Tujuan akhir dari "kaidahum" adalah untuk meruntuhkan Ka'bah agar tidak lagi menjadi pusat perhatian, dan mengalihkan seluruh peziarah ke gerejanya di Yaman, demi keuntungan pribadi dan politiknya.
Namun, Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan tegas menyatakan bahwa Dia "yaj'al kaidahum fī taḍlīl", yaitu menjadikan tipu daya mereka sia-sia, gagal total, atau tersesat dari tujuannya. Kata "taḍlīl" berasal dari akar kata ḍalla, yang berarti sesat, menyimpang, atau gagal mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam konteks ini, ini berarti bahwa seluruh perencanaan, persiapan, dan pengerahan kekuatan Abrahah sama sekali tidak mencapai tujuannya yang destruktif, bahkan berujung pada kehancuran dan malapetaka bagi dirinya dan pasukannya sendiri. Niatnya untuk menghancurkan Ka'bah berbalik menjadi kehancuran bagi dirinya.
Bagaimana persisnya Allah menjadikan rencana mereka sia-sia? Jawabannya terletak pada serangkaian peristiwa luar biasa yang akan diuraikan pada ayat-ayat berikutnya. Sebuah pasukan yang begitu besar dan kuat, yang datang dengan penuh percaya diri dan arogansi militer, tiba-tiba dihadapkan pada kekuatan yang tidak terduga, tidak terlihat, dan sama sekali tidak dapat mereka lawan. Ini adalah pengingat yang kuat bahwa sehebat apa pun kekuatan manusia, seberapa canggih pun strategi militer mereka, ia tidak akan pernah mampu melawan kehendak dan kekuasaan Allah. Allah adalah sebaik-baik perencana, dan tipu daya-Nya jauh lebih dahsyat daripada tipu daya makhluk mana pun. Allah memiliki cara-cara yang tak terbayangkan untuk menggagalkan rencana jahat, bahkan yang paling matang sekalipun.
Pelajaran mendalam yang bisa diambil dari ayat ini adalah bahwa niat jahat dan rencana yang didasari kesombongan, kezaliman, dan keinginan untuk menghancurkan kebenaran atau simbol-simbol suci Allah, pada akhirnya akan menemui kegagalan dan kehinaan. Allah akan senantiasa melindungi apa yang Dia kehendaki untuk dilindungi, dengan cara-cara yang mungkin tidak terduga oleh akal manusia, bahkan melalui makhluk yang paling lemah sekalipun. Ini juga memberikan kepercayaan dan ketenangan pada umat Islam bahwa Allah selalu menyertai dan melindungi hamba-hamba-Nya yang beriman, dan bahwa segala makar atau konspirasi yang ditujukan untuk memadamkan cahaya Islam pasti akan gagal dan berbalik merugikan pelakunya. Ini adalah janji yang menghibur dan menguatkan hati yang beriman.
"Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong,"
Inilah puncak mukjizat yang membuat tipu daya Abrahah menjadi sia-sia, dan inilah bagian yang paling menakjubkan dari bacaan Surah Al-Fil. Allah Subhanahu wa Ta'ala "arsala 'alaihim ṭairan abābīl", yaitu mengirimkan kepada pasukan bergajah burung-burung yang berbondong-bondong, bergelombang-gelombang, atau datang secara berkelompok dari segala penjuru. Kata "abābīl" adalah bentuk jamak yang unik dalam bahasa Arab; ia tidak memiliki bentuk tunggal yang umum, dan sering diartikan sebagai "berkelompok-kelompok", "berbondong-bondong", "berurutan", atau "datang silih berganti dalam jumlah besar". Ini menggambarkan jumlah burung yang sangat banyak, datang secara terus-menerus, memenuhi langit seperti awan yang gelap.
Bentuk, jenis, dan warna burung-burung ini tidak dijelaskan secara spesifik dalam Al-Qur'an. Ini adalah poin penting, karena yang terpenting bukanlah identitas biologis burung-burung tersebut, melainkan fungsi dan tugas ilahi yang mereka emban dari Allah. Ada berbagai riwayat dalam tafsir yang mencoba menggambarkan burung-burung ini: sebagian menyebutnya burung kecil seperti layang-layang atau burung walet, sebagian lain mengatakan mereka mirip burung laut, atau bahkan burung yang belum pernah terlihat sebelumnya. Al-Qurtubi meriwayatkan bahwa burung-burung itu berwarna hitam dan putih, yang lain mengatakan hijau. Apapun deskripsinya, intinya adalah bahwa mereka bukanlah burung pemangsa besar atau makhluk yang secara fisik mengancam. Mereka adalah makhluk kecil dan biasa yang dalam pandangan manusia tidak akan mampu menimbulkan kerusakan berarti bagi pasukan militer.
Kenyataan bahwa Allah memilih burung-burung kecil untuk mengalahkan pasukan besar yang dilengkapi dengan gajah-gajah menunjukkan kebesaran dan keagungan kekuasaan-Nya yang tak terbatas. Ini adalah pelajaran yang sangat kuat bahwa Allah tidak memerlukan kekuatan fisik yang sebanding untuk mengalahkan musuh-musuh-Nya. Dia bisa menggunakan makhluk sekecil apa pun, selembut apa pun, untuk mencapai tujuan-Nya yang maha besar. Hal ini menegaskan bahwa pertolongan Allah bisa datang dari arah mana saja dan melalui cara apa saja yang tidak terduga oleh akal dan logika manusia. Ini adalah ujian bagi keimanan, apakah kita percaya bahwa Allah sanggup melakukan segala sesuatu di luar kebiasaan.
Ayat ini juga menekankan aspek keajaiban dan kemukjizatan peristiwa ini. Sebuah pasukan yang begitu besar dan kuat, yang telah menempuh perjalanan jauh dengan segala logistiknya, tidak diserang oleh tentara lain yang setara. Sebaliknya, mereka diserang oleh makhluk-makhluk terbang yang tampaknya tidak berbahaya. Ini adalah bentuk hukuman ilahi yang unik, menakjubkan, dan tidak bisa dijelaskan dengan logika atau hukum alam biasa tanpa mengakui intervensi ilahi. Ini adalah mukjizat yang membungkam keraguan dan memperkuat keyakinan akan Allah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.
"Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah liat yang dibakar,"
Ayat keempat ini melanjutkan penjelasan tentang bagaimana burung-burung Ababil menjalankan perintah Allah untuk menghancurkan pasukan Abrahah. Mereka "tarmīhim biḥijāratim min sijīl", yaitu melempari pasukan bergajah dengan batu-batu yang terbuat dari tanah liat yang dibakar. Frasa "min sijīl" telah menjadi subjek berbagai interpretasi di kalangan para ulama tafsir. Beberapa berpendapat bahwa "sijjil" merujuk pada tanah liat yang telah dibakar hingga menjadi sangat keras dan padat, menyerupai batu bata atau keramik yang sangat kuat. Ada pula yang menafsirkannya sebagai batu yang berasal dari neraka, atau batu yang bertuliskan nama-nama tentara yang akan dihancurkan. Imam Al-Qurtubi dan Ibnu Abbas menafsirkan "sijjil" sebagai batu dari tanah liat yang mengeras dan menyerupai batu-batu dari neraka, yang berwarna hitam dan memiliki kekuatan luar biasa.
Batu-batu ini bukanlah batu biasa. Meskipun diriwayatkan bahwa ukurannya mungkin kecil, seukuran biji kacang polong atau kerikil, namun efeknya sangat dahsyat dan mematikan. Diriwayatkan bahwa setiap burung Ababil membawa tiga batu: satu di paruhnya dan dua di kedua cakarnya. Ketika batu-batu ini dilemparkan, mereka jatuh menimpa kepala atau bagian tubuh pasukan Abrahah, menembus baju besi mereka, dan menyebabkan luka yang mengerikan. Dampaknya tidak hanya fisik yang menghancurkan tubuh, tetapi juga spiritual, karena ini adalah tanda jelas dari kemurkaan ilahi yang tidak dapat ditolak.
Peristiwa ini menjadi salah satu tanda kekuasaan Allah yang tak terbantahkan dan tak terbayangkan. Bayangkan, sebuah pasukan yang dilengkapi dengan senjata dan teknologi militer paling mutakhir pada zamannya, dengan gajah-gajah yang mengintimidasi, hancur lebur hanya karena dilempari batu-batu kecil oleh burung-burung. Ini menunjukkan bahwa Allah tidak memerlukan senjata besar, kekuatan fisik yang setara, atau teknologi canggih untuk mengalahkan musuh-musuh-Nya. Kehendak-Nya adalah kekuatan tertinggi yang melampaui segala kekuatan materi. Ini adalah demonstrasi sempurna dari ayat Al-Qur'an lain yang menyatakan, "Dan tidaklah kekuasaan Tuhanmu itu melainkan dengan kun (jadilah), maka jadilah ia."
Meskipun Al-Qur'an tidak memberikan detail medis spesifik tentang apa yang terjadi pada pasukan Abrahah setelah dilempari batu, riwayat-riwayat sejarah dan tafsir menyebutkan bahwa mereka menderita penyakit yang mengerikan dan tidak dikenal pada masa itu. Beberapa riwayat mengatakan bahwa mereka terserang penyakit seperti cacar air atau penyakit kulit yang menyebabkan daging mereka membusuk dan jatuh dari tulang mereka. Wabah penyakit ini dengan cepat menyebar dan memusnahkan sebagian besar pasukan, termasuk Abrahah sendiri, yang dilaporkan mati dengan tubuh yang hancur dalam perjalanan kembali ke Yaman. Kematian yang mengenaskan dan menjijikkan ini adalah balasan yang setimpal atas kesombongan dan niat jahat mereka untuk menghancurkan rumah Allah.
"Sehingga mereka dijadikan-Nya seperti daun-daun yang dimakan (ulat)."
Ayat kelima sekaligus terakhir dari bacaan Surah Al-Fil ini menggambarkan akhir tragis dari pasukan Abrahah dengan perumpamaan yang sangat kuat, gamblang, dan menghinakan. Allah "fa ja'alahum ka'aṣfim ma'kūl", yaitu menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan ulat, atau seperti sisa-sisa jerami yang telah dimakan hewan ternak hingga hancur luluh dan tidak berguna lagi. Kata "aṣf" merujuk pada daun-daun atau jerami kering yang telah hancur dan tidak memiliki nilai, ringan, dan mudah diterbangkan angin. Sementara "ma'kūl" berarti "yang dimakan" atau "yang telah dimakan".
Perumpamaan ini sangat efektif dalam menggambarkan kehancuran total dan kondisi tak berdaya pasukan Abrahah. Dari sebuah pasukan yang perkasa, utuh, dilengkapi senjata lengkap, dan penuh kesombongan, mereka berakhir sebagai tumpukan daging yang hancur dan membusuk, tidak berdaya, terpisah-pisah, dan jijik seperti sisa-sisa makanan hewan atau daun-daun yang telah digerogoti ulat hingga berlubang-lubang. Ini adalah gambaran kehinaan dan kekalahan mutlak di hadapan kekuasaan Allah yang tak terbatas. Kontras antara gajah yang besar dan gagah sebagai lambang kekuatan pasukan Abrahah dengan perumpamaan "daun-daun yang dimakan ulat" ini semakin menonjolkan keajaiban intervensi ilahi dan kemunduran segala bentuk kekuatan manusia di hadapan-Nya.
Ayat ini menyimpulkan kisah dengan pesan yang sangat jelas: siapa pun yang berani menentang kehendak Allah, berniat menghancurkan simbol-simbol suci-Nya, atau berbuat kezaliman di muka bumi dengan kesombongan, pada akhirnya akan mengalami kehancuran yang serupa, tidak peduli seberapa kuat, kaya, atau perkasa mereka. Allah akan menghancurkan kesombongan mereka dan menunjukkan bahwa Dia adalah Penguasa mutlak atas segala sesuatu, dan Dialah yang berhak untuk ditakuti dan ditaati.
Tafsir Al-Mishbah oleh Quraish Shihab menjelaskan lebih lanjut bahwa "aṣf" adalah kulit biji-bijian yang telah dilepaskan dari isinya, tidak lagi bernilai, ringan, dan mudah diterbangkan angin, apalagi jika sudah dimakan atau terinjak-injak. Gambaran ini adalah puncak dari penghinaan dan kehancuran. Ini adalah bukti bahwa kekuatan batu tersebut bukan berasal dari ukurannya yang kecil, melainkan dari kekuasaan Allah yang menyertai setiap lemparan. Peristiwa ini juga merupakan pelajaran abadi bagi seluruh umat manusia tentang pentingnya sikap rendah hati, tidak sombong, dan tidak mengandalkan kekuatan materi semata. Kekuatan sejati berasal dari Allah, dan hanya dengan bersandar kepada-Nya, manusia dapat mencapai kebahagiaan dan keselamatan yang sejati.
Dengan demikian, kelima ayat dalam Surah Al-Fil ini merangkai sebuah narasi yang padat namun penuh makna, yang puncaknya adalah kehancuran pasukan yang sombong melalui cara yang paling tidak terduga, menegaskan kembali bahwa Allah adalah sebaik-baik pelindung dan penentu segala urusan.
Merenungkan bacaan Surah Al-Fil tidak hanya sekadar memahami sebuah cerita lama, tetapi juga menggali lautan hikmah dan pelajaran yang relevan bagi kehidupan muslim di setiap zaman dan kondisi. Surah ini adalah pengingat abadi tentang prinsip-prinsip fundamental iman dan moralitas. Berikut adalah beberapa hikmah dan pelajaran penting yang dapat kita ambil:
Pelajaran paling fundamental dan utama dari Surah Al-Fil adalah penegasan yang tak terbantahkan atas kekuasaan Allah yang mutlak dan perlindungan-Nya yang sempurna. Pasukan Abrahah adalah representasi puncak kekuatan duniawi pada masanya, dilengkapi dengan gajah-gajah yang merupakan "tank" kuno, simbol teknologi militer termutakhir dan keperkasaan. Namun, di hadapan kehendak Allah, semua kekuatan dan kemegahan itu menjadi tidak berarti. Allah menunjukkan bahwa Dia tidak membutuhkan sarana yang setara, atau bahkan yang besar, untuk mengalahkan musuh-musuh-Nya. Dengan menggunakan burung-burung kecil yang melempari batu-batu dari tanah liat yang dibakar, Dia menghancurkan pasukan yang sombong itu secara total. Ini adalah pengingat yang sangat kuat bahwa kekuatan sejati hanyalah milik Allah, dan hanya Dia-lah yang berhak untuk ditakuti, diandalkan, dan ditaati.
Bagi orang-orang yang beriman, kisah ini memberikan ketenangan, kepercayaan diri, dan kekuatan spiritual. Ia mengajarkan bahwa Allah akan selalu melindungi hamba-hamba-Nya yang beriman dan agama-Nya dari segala bentuk ancaman, asalkan mereka tetap berada di jalan-Nya dan bertawakal sepenuhnya kepada-Nya. Ketika umat Muslim menghadapi kesulitan, intimidasi, atau ancaman dari kekuatan duniawi yang tampak lebih besar, mereka diajarkan untuk tidak putus asa, melainkan berserah diri kepada Allah dengan keyakinan penuh, karena pertolongan-Nya bisa datang dari arah mana saja yang tidak terduga oleh akal manusia. Ini adalah doktrin fundamental dalam Islam: bahwa pertolongan Allah selalu dekat bagi orang-orang yang bertawakal.
Peristiwa ini menegaskan secara gamblang kemuliaan dan kesucian Ka'bah serta kota Mekah dalam pandangan Allah. Allah melindungi Ka'bah dari kehancuran yang direncanakan oleh Abrahah, bukan karena kesalehan penduduk Mekah pada masa itu (mereka masih mayoritas musyrik dan menyembah berhala), melainkan karena Ka'bah adalah rumah suci yang telah dibangun atas dasar tauhid oleh Nabi Ibrahim dan Ismail. Kelak, Ka'bah akan di bersihkan dari berhala dan menjadi kiblat abadi bagi seluruh umat Islam sedunia. Penjagaan ilahi ini menunjukkan bahwa Ka'bah memiliki status istimewa dan agung di sisi Allah, sebagai pusat ibadah, simbol persatuan umat, dan fondasi bagi risalah Islam yang akan datang.
Peristiwa Tahun Gajah juga secara signifikan meningkatkan posisi dan kehormatan kabilah Quraisy di antara kabilah-kabilah Arab lainnya. Mereka mulai dikenal sebagai "Ahlullah" (keluarga Allah) atau "tetangga Allah" karena Allah telah secara langsung melindungi rumah-Nya dari ancaman besar yang tak mampu mereka hadapi sendiri. Kehormatan dan rasa hormat yang didapat oleh Quraisy ini sangat penting. Ini menyiapkan jalan bagi penerimaan risalah Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam di kemudian hari, karena penduduk Mekah sudah memiliki pengakuan dan rasa hormat yang kuat dari kabilah-kabilah sekitarnya, sehingga dakwah Nabi memiliki fondasi sosial yang lebih kuat di wilayah tersebut.
Surah Al-Fil adalah peringatan keras dan abadi bagi setiap individu, pemimpin, atau kelompok yang berbuat sombong, zalim, dan berani menentang kehendak Allah. Abrahah adalah contoh klasik dari kesombongan yang melampaui batas dan ambisi pribadi yang didasari kezaliman. Ia ingin menghancurkan simbol suci Allah demi keuntungan dan kejayaan pribadinya, meremehkan kekuatan spiritual dan kekuasaan ilahi. Akhir tragis pasukannya menunjukkan bahwa kesombongan dan kezaliman tidak akan pernah menang melawan keadilan dan kekuasaan Allah yang Maha Adil lagi Maha Kuasa.
Kisah ini mengajarkan bahwa sejarah penuh dengan contoh di mana para tiran, penindas, dan penguasa zalim, meskipun pada awalnya memiliki kekuatan dan kekuasaan yang besar, pada akhirnya akan tumbang dan hancur oleh cara-cara yang tak terduga. Ini adalah pelajaran yang relevan sepanjang masa, mengingatkan kita untuk selalu rendah hati, tidak menyalahgunakan kekuasaan yang diberikan, dan tidak pernah meremehkan kekuatan kebenaran yang didukung oleh Allah. Kekalahan Abrahah adalah bukti nyata bahwa Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan berbuat kerusakan di muka bumi.
Peristiwa Tahun Gajah terjadi pada tahun kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam. Ini bukanlah sebuah kebetulan semata, melainkan sebuah isyarat ilahi yang menandai dimulainya era baru dalam sejarah umat manusia. Penjagaan Ka'bah dari kehancuran adalah salah satu bentuk persiapan Allah untuk kedatangan kenabian terakhir, yang akan menjadikan Ka'bah sebagai kiblat yang abadi dan pusat peradaban Islam bagi seluruh umat manusia. Ini seolah menjadi pembersihan jalan bagi risalah besar yang akan dibawa oleh Nabi.
Kisah ini juga berfungsi sebagai mukjizat yang mendukung kenabian Muhammad. Ketika Al-Qur'an diturunkan dan bacaan Surah Al-Fil dibacakan kepada kaum Quraisy, mereka tidak dapat menyangkal peristiwa ini karena mereka sendiri adalah saksi sejarahnya, atau setidaknya telah mendengar kisah ini secara turun-temurun dari para tetua mereka. Dengan demikian, Al-Qur'an menceritakan kembali peristiwa masa lalu yang masyhur dengan detail yang akurat dan pesan ilahi yang jelas, berfungsi sebagai bukti kebenaran wahyu yang dibawa oleh Nabi Muhammad kepada masyarakat yang skeptis. Kisah ini adalah salah satu dari banyak tanda-tanda kebenaran Al-Qur'an dan kenabiannya.
Ketika pasukan Abrahah mendekati Mekah, Abdul Muthalib dan penduduk Mekah tidak memiliki kekuatan militer yang sepadan untuk melawan. Mereka pada akhirnya memilih untuk menyingkir dari kota dan menyerahkan urusan Ka'bah kepada pemiliknya, yaitu Allah. Tindakan ini menunjukkan pentingnya tawakal (berserah diri sepenuhnya kepada Allah) dan sabar dalam menghadapi musuh atau kesulitan yang tampak perkasa.
Meskipun mereka telah melakukan apa yang mereka bisa (seperti upaya berunding), pada akhirnya mereka menyadari keterbatasan kekuatan manusia dan meletakkan kepercayaan mereka sepenuhnya pada Allah. Dan Allah tidak mengecewakan mereka. Ini mengajarkan kita bahwa dalam situasi di mana kekuatan kita terbatas, di mana kita merasa tidak berdaya di hadapan masalah yang besar, kuncinya adalah bertawakal, berusaha semaksimal mungkin dengan cara yang benar, dan menyerahkan hasilnya kepada Allah, karena Dia adalah sebaik-baik pelindung dan penolong. Tawakal bukan berarti pasrah tanpa usaha, melainkan usaha maksimal diikuti dengan penyerahan diri yang tulus.
Mukjizat burung Ababil dan batu Sijjil juga merupakan tanda-tanda kebesaran Allah yang tampak di alam semesta. Allah dapat menggunakan makhluk sekecil apa pun, seperti burung, untuk menjalankan kehendak-Nya yang maha agung. Ini mendorong manusia untuk merenungkan ciptaan Allah, dari yang terkecil hingga yang terbesar, dan menyadari bahwa setiap makhluk tunduk pada perintah-Nya. Hal ini seharusnya meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita, memperkuat keyakinan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini bergerak atas izin dan kehendak-Nya. Tidak ada yang terjadi secara kebetulan semata.
Kisah Abrahah dan pasukannya adalah bantahan telak terhadap pandangan yang hanya mengandalkan kekuatan materi dan fisik. Abrahah memiliki pasukan besar, gajah, dan sumber daya, tetapi semua itu tidak berguna di hadapan kekuasaan Allah. Ini adalah pelajaran penting bagi manusia modern yang seringkali terjebak dalam keyakinan bahwa kemajuan teknologi, kekayaan, atau kekuatan militer adalah penentu segalanya. Surah Al-Fil mengajarkan bahwa ada kekuatan yang lebih tinggi, yaitu kekuatan ilahi, yang dapat membalikkan segala perhitungan materi.
Kisah ini memberikan motivasi bagi umat Muslim untuk senantiasa berpegang teguh pada kebenaran dan tidak gentar menghadapi ancaman atau tekanan dari pihak-pihak yang zalim. Meskipun kita mungkin lemah secara fisik atau jumlah, dukungan Allah adalah yang terpenting. Ini meneguhkan prinsip bahwa kebenaran akan selalu menang pada akhirnya, dengan izin Allah, bahkan jika jalan yang ditempuh penuh rintangan.
Dalam susunan Al-Qur'an, bacaan Surah Al-Fil seringkali dipelajari dan dipasangkan dengan surah berikutnya, yaitu Surah Quraisy (atau Al-Li'laf). Keterkaitan antara kedua surah ini sangat erat dan saling melengkapi, sehingga sebagian ulama bahkan menganggapnya sebagai satu kesatuan tema atau bagian dari surah yang lebih besar. Surah Quraisy berbunyi:
لِإِيلَافِ قُرَيْشٍۙ
1. Li`īlāfi Quraisyin.
1. Karena kebiasaan orang-orang Quraisy,
اٖلٰفِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاۤءِ وَالصَّيْفِۚ
2. Īlāfihim riḥlatasy-syitā`i waṣ-ṣaif.
2. (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas.
فَلْيَعْبُدُوْا رَبَّ هٰذَا الْبَيْتِۙ
3. Falyā'budū rabba hāżal-baīt.
3. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka'bah),
الَّذِيْٓ اَطْعَمَهُمْ مِّنْ جُوْعٍ وَّاٰمَنَهُمْ مِّنْ خَوْفٍࣖ
4. Allażī aṭ'amahum min jū'iw wa āmanahum min khauf.
4. Yang telah memberi makan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.
Hubungan antara kedua surah ini terletak pada sebuah lingkaran nikmat dan kewajiban. Surah Al-Fil mengawali dengan menceritakan bagaimana Allah melindungi Ka'bah dan kaum Quraisy dari kehancuran besar yang mengancam eksistensi mereka, sebuah peristiwa yang seharusnya tidak mereka lupakan. Kemudian, Surah Quraisy melanjutkan dengan mengingatkan mereka akan nikmat-nikmat Allah yang berkelanjutan setelah peristiwa tersebut, yaitu keamanan dan kemudahan dalam perjalanan dagang mereka pada musim dingin ke Yaman dan musim panas ke Syam (Suriah), yang merupakan sumber utama kemakmuran dan kehormatan mereka. Keamanan ini, terutama perjalanan dagang yang aman, tidak akan pernah terwujud jika Ka'bah telah hancur. Ka'bah bukan hanya pusat spiritual, tetapi juga menjadi jaminan keamanan dan otoritas bagi Quraisy di seluruh Jazirah Arab.
Pesan utama dari keterkaitan tematik ini adalah sebuah seruan yang mendalam kepada kaum Quraisy, dan juga kepada seluruh umat manusia, untuk bersyukur dan menyembah hanya kepada Allah. Allah telah menganugerahkan nikmat yang sangat besar kepada kaum Quraisy—terutama perlindungan terhadap rumah-Nya yang sakral dan kemudahan dalam penghidupan mereka. Oleh karena itu, sudah sepatutnya mereka menyembah hanya kepada Tuhan Pemilik Ka'bah tersebut (Rabba Hāżal-Baīt), yang telah memberi makan mereka untuk menghilangkan lapar (melalui perdagangan yang aman) dan mengamankan mereka dari ketakutan (seperti ketakutan dari pasukan Abrahah dan ketakutan dalam perjalanan). Surah Al-Fil secara spesifik menunjukkan bagaimana Allah mengamankan mereka dari ketakutan pasukan Abrahah, sementara Surah Quraisy menunjukkan bagaimana Allah memberi mereka makan dan kemudahan hidup berkat keamanan tersebut.
Ini adalah pengingat bahwa nikmat-nikmat Allah yang berkelanjutan, baik dalam bentuk perlindungan dari bahaya maupun dalam bentuk rezeki dan keamanan, harus direspon dengan ketaatan dan ibadah yang tulus hanya kepada-Nya. Keterkaitan ini mengajarkan bahwa sejarah bukanlah sekadar kisah, tetapi serangkaian pelajaran tentang hubungan manusia dengan Penciptanya. Ketika manusia diingatkan akan nikmat-nikyat agung, mereka seyogyanya kembali kepada tauhid dan menjauhi kesyirikan.
Meskipun kisah dalam bacaan Surah Al-Fil terjadi ribuan tahun yang lalu, pesan dan hikmahnya tetap sangat relevan dan memiliki implikasi yang mendalam dalam kehidupan modern. Surah ini menawarkan perspektif ilahi terhadap tantangan, kekuasaan, dan keimanan di setiap era.
Dalam dunia yang seringkali dipenuhi dengan tantangan global, konflik yang rumit, dan ketidakadilan yang merajalela, Surah Al-Fil memberikan harapan yang kuat bagi orang-orang yang tertindas dan merasa tidak berdaya. Ia mengingatkan bahwa bahkan ketika musuh tampak tak terkalahkan dengan segala kekuatan militer, teknologi canggih, dan sumber daya yang melimpah, Allah memiliki cara-Nya sendiri untuk membalikkan keadaan. Ini adalah sumber kekuatan spiritual yang tak ternilai bagi umat Islam yang mungkin merasa lemah atau terancam oleh kekuatan-kekuatan yang jauh lebih besar. Surah ini mengajarkan bahwa pertolongan Allah bisa datang dari arah yang paling tidak disangka-sangka, dan bahwa keadilan ilahi akan selalu ditegakkan pada akhirnya.
Surah ini berfungsi sebagai pengingat abadi bahwa keangkuhan, kesombongan, dan kezaliman, dalam bentuk apa pun, tidak akan bertahan lama. Kekuatan yang dibangun di atas penindasan, keserakahan, dan arogansi, baik itu dalam bentuk hegemoni politik, dominasi ekonomi, atau militerisme, pada akhirnya akan runtuh dan hancur. Abrahah modern mungkin tidak datang dengan gajah fisik, tetapi mungkin dalam bentuk kekuatan-kekuatan global yang mencoba mendominasi, menindas, atau menghancurkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Kisah Al-Fil mendorong umat Islam untuk selalu berdiri di sisi keadilan, menentang segala bentuk kezaliman, dan percaya bahwa kebenaran pada akhirnya akan menang, dengan pertolongan Allah, terlepas dari seberapa besar rintangan yang dihadapi. Ini adalah seruan untuk jihad melawan ketidakadilan, baik secara fisik maupun moral.
Kisah ini dengan sangat jelas menunjukkan bahwa hanya Allah yang memiliki kekuasaan sejati dan mutlak. Tidak ada kekuatan lain, baik manusia, teknologi, maupun alam, yang dapat menandingi-Nya. Ini memperkuat konsep tauhid, yaitu keyakinan akan keesaan Allah dan bahwa Dia adalah satu-satunya yang patut disembah, dimintai pertolongan, diandalkan, dan ditakuti. Setiap usaha untuk mengaitkan kekuasaan atau pertolongan dengan selain Allah adalah syirik, sebuah dosa terbesar dalam Islam. Dalam kehidupan modern yang kompleks, di mana manusia seringkali mengkultuskan ilmu pengetahuan, teknologi, atau kekayaan, Surah Al-Fil mengingatkan kita untuk mengembalikan fokus kepada Allah sebagai sumber segala kekuatan dan keberkahan.
Allah melindungi Ka'bah bukan karena bangunan fisiknya semata, tetapi karena statusnya sebagai rumah suci dan simbol tauhid yang dibangun oleh para nabi. Ini mengajarkan kita pentingnya mempertahankan dan menghormati simbol-simbol keagamaan, baik itu tempat ibadah, kitab suci, atau nilai-nilai fundamental agama. Ketika simbol-simbol ini diserang, dinodai, atau diremehkan, itu adalah serangan terhadap iman dan keyakinan itu sendiri. Dalam konteks modern, ini bisa berarti mempertahankan masjid, Al-Qur'an, atau nilai-nilai moral Islam dari upaya-upaya pencemaran atau perusakan, baik secara fisik maupun ideologis.
Dalam era di mana rasionalisme, empirisme, dan materialisme sering mendominasi pemikiran, Surah Al-Fil adalah pengingat yang kuat akan adanya hal-hal gaib, mukjizat, dan kekuasaan Allah yang melampaui logika manusia. Ia menantang pandangan sempit yang hanya menerima apa yang dapat dijelaskan secara ilmiah atau materi. Allah Maha Kuasa untuk melakukan apa saja di luar pemahaman manusia, dan peristiwa ini adalah salah satu buktinya. Ini memperkaya spiritualitas seorang Muslim dan memperluas cakrawala pemikiran tentang realitas yang lebih besar, di mana keajaiban ilahi masih mungkin terjadi. Ini menguatkan iman agar tidak mudah goyah oleh keraguan yang didasari pandangan materialistis semata.
Kisah ini juga memberikan pelajaran tentang keseimbangan antara usaha (ikhtiar) dan tawakal. Abdul Muthalib mencoba berunding dan bahkan menawarkan hartanya, yang merupakan bentuk usaha. Namun, ketika usahanya tidak berhasil dan dihadapkan pada kekuatan yang tidak bisa dilawan, ia menyerahkan sepenuhnya kepada Allah. Ini mengajarkan bahwa dalam menghadapi masalah, seorang Muslim harus berusaha sekuat tenaga, tetapi pada akhirnya, hasil dari usaha tersebut diserahkan kepada Allah. Kita berusaha dan berencana, namun Allah-lah sebaik-baik perencana dan penentu hasil. Ini adalah konsep penting untuk ketenangan jiwa di tengah ketidakpastian.
Membaca, menghafal, dan merenungkan bacaan Surah Al-Fil memiliki berbagai manfaat, baik yang bersifat spiritual, mental, maupun edukatif bagi seorang Muslim. Manfaat-manfaat ini melampaui sekadar pahala membaca Al-Qur'an, tetapi juga menyentuh inti dari pembentukan karakter dan keimanan.
Oleh karena itu, menjadikan bacaan Surah Al-Fil sebagai bagian dari rutinitas tadabbur (perenungan) Al-Qur'an adalah cara yang efektif untuk memperkaya spiritualitas, menguatkan iman, dan mengambil pelajaran berharga untuk menghadapi dinamika kehidupan modern.
Surah Al-Fil adalah sebuah permata Al-Qur'an yang meskipun singkat, namun sangat padat makna dan kekuatan. Melalui kisah yang diceritakannya tentang pasukan bergajah yang mencoba menghancurkan Ka'bah, Allah Subhanahu wa Ta'ala menyampaikan pesan-pesan universal yang abadi tentang kekuasaan-Nya yang tak terbatas, perlindungan-Nya terhadap rumah suci-Nya, dan nasib tragis yang menanti mereka yang berbuat sombong, zalim, dan menentang kehendak-Nya. Peristiwa "Tahun Gajah" ini bukan hanya sekadar narasi sejarah masa lalu, melainkan sebuah mukjizat abadi yang menjadi salah satu tanda kebenaran risalah Islam dan kenabian Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam.
Dengan menyelami bacaan Surah Al-Fil, merenungkan tafsir setiap ayatnya, serta memahami hikmah dan pelajaran yang terkandung di dalamnya, seorang Muslim dapat mengambil inspirasi dan pedoman berharga untuk kehidupannya. Kita diajarkan untuk senantiasa bertawakal kepada Allah dalam setiap keadaan, bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya yang tak terhingga, menjaga sikap rendah hati, tidak pernah berbuat zalim, dan yakin bahwa kebenaran serta keadilan akan selalu ditegakkan oleh Sang Pencipta alam semesta.
Kisah ini menegaskan bahwa tidak ada kekuatan di muka bumi, seberapa pun besarnya, yang dapat menandingi kehendak dan kekuasaan Allah. Ia menantang manusia untuk merenungkan kebesaran-Nya, menguji keimanan kita terhadap hal-hal gaib, dan mendorong kita untuk mengorientasikan seluruh hidup hanya untuk beribadah dan mencari keridaan-Nya.
Semoga kita semua dapat mengambil pelajaran yang mendalam dari bacaan Surah Al-Fil ini dan menjadikannya sebagai pengingat akan kebesaran Allah dalam setiap aspek kehidupan kita, sehingga kita senantiasa berada dalam lindungan dan bimbingan-Nya, serta menjadi hamba-hamba-Nya yang bersyukur dan taat. Amin.