Surah Al-Lahab, yang juga dikenal dengan sebutan Surah Tabbat, adalah salah satu surah yang memiliki posisi unik dan pesan yang sangat tegas dalam Al-Qur'an. Berada pada urutan ke-111 dalam mushaf dan terdiri dari lima ayat, surah ini termasuk golongan surah Makkiyah, yang berarti diturunkan di Mekah sebelum hijrahnya Nabi Muhammad ﷺ ke Madinah. Surah ini secara spesifik menyoroti kisah dan nasib Abul Lahab, paman Nabi Muhammad ﷺ, dan istrinya, Ummu Jamil. Pesan sentral surah ini adalah peringatan keras tentang konsekuensi kesombongan, permusuhan terhadap kebenaran, dan penolakan terhadap risalah ilahi, bahkan jika itu datang dari kerabat terdekat sekalipun.
Penamaan "Al-Lahab" diambil dari kata لَهَبٍ (lahab) yang berarti "nyala api", yang muncul dalam ayat ketiga surah ini. Sementara itu, nama "Tabbat" berasal dari kata pertama surah ini, تَبَّتْ (tabbat) yang berarti "celaka" atau "binasa". Kedua nama ini secara indah menggambarkan inti dari surah, yaitu tentang kehancuran dan azab api yang akan menimpa tokoh utamanya. Surah ini bukan hanya sekadar kisah masa lalu, melainkan sebuah pelajaran abadi bagi setiap generasi tentang pentingnya memilih jalan kebenaran dan menghindari kesombongan serta permusuhan terhadap agama Allah.
Dalam artikel ini, kita akan menyelami lebih jauh makna-makna yang terkandung dalam setiap ayat Surah Al-Lahab, menelaah konteks sejarah (asbabun nuzul) yang melatarbelakangi turunnya surah ini, serta menggali hikmah dan pelajaran berharga yang dapat kita petik untuk kehidupan sehari-hari. Dengan pemahaman yang komprehensif, diharapkan kita dapat mengambil iktibar dari kisah Abul Lahab dan istrinya, sehingga terhindar dari perilaku serupa dan senantiasa berpegang teguh pada ajaran Islam.
Memahami asbabun nuzul atau sebab turunnya suatu ayat atau surah adalah kunci untuk menangkap kedalaman maknanya. Surah Al-Lahab memiliki asbabun nuzul yang sangat jelas dan tercatat dalam banyak riwayat hadis sahih. Kisah ini berawal ketika Nabi Muhammad ﷺ menerima perintah dari Allah SWT untuk secara terang-terangan menyeru kaumnya kepada Islam. Sebelumnya, dakwah beliau dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Perintah tersebut tercantum dalam Surah Asy-Syu'ara ayat 214: "Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat." Merespons perintah ini, Nabi Muhammad ﷺ naik ke bukit Shafa, sebuah bukit kecil di dekat Ka'bah, pada suatu pagi. Dari sana, beliau memanggil kaum Quraisy. Beliau berseru, "Wahai Bani Fihr! Wahai Bani 'Adi!" —memanggil setiap kabilah Quraisy— hingga mereka semua berkumpul. Ketika semua sudah berkumpul, termasuk beberapa orang yang tidak bisa datang namun mengutus wakilnya, Nabi ﷺ bertanya kepada mereka, "Bagaimana pendapat kalian, jika aku memberitahukan bahwa ada sekelompok penunggang kuda di balik bukit ini akan menyerang kalian, apakah kalian akan memercayaiku?" Mereka serentak menjawab, "Kami belum pernah mendengar engkau berdusta."
Setelah mendapatkan pengakuan atas kejujurannya, Nabi ﷺ kemudian berkata, "Sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan bagi kalian akan azab yang pedih." Ini adalah momen krusial di mana Nabi ﷺ secara terbuka mengumumkan kenabiannya dan menyeru kaumnya untuk beriman. Namun, di tengah-tengah kerumunan itu, paman beliau sendiri, Abul Lahab, bangkit dan berkata dengan marah, "Celakalah engkau! Untuk inikah engkau mengumpulkan kami?" Abul Lahab bahkan mengambil batu dan hendak melempar Nabi ﷺ.
Pada saat itulah, sebagai respons langsung atas ucapan dan tindakan Abul Lahab yang penuh kebencian dan penolakan terang-terangan, Surah Al-Lahab diturunkan. Ini menunjukkan betapa cepatnya respons ilahi terhadap penentangan yang begitu ekstrem dan kurang ajar, terutama ketika datang dari keluarga terdekat Nabi ﷺ yang seharusnya menjadi pendukungnya.
Nama asli Abul Lahab adalah Abdul Uzza bin Abdul Muttalib. Julukan "Abul Lahab" (Bapak Api Neraka) diberikan kepadanya oleh Allah SWT dalam surah ini, kemungkinan besar karena wajahnya yang kemerahan seperti nyala api, atau sebagai metafora untuk nasibnya di akhirat. Ia dikenal sebagai salah satu penentang paling sengit terhadap dakwah Nabi Muhammad ﷺ, bersama istrinya, Arwa binti Harb, yang dijuluki Ummu Jamil. Kebencian mereka tidak hanya terbatas pada ucapan, tetapi juga pada tindakan nyata, seperti melemparkan kotoran di depan rumah Nabi atau menyebarkan fitnah.
Asbabun nuzul ini menegaskan beberapa poin penting:
Kisah asbabun nuzul ini memberikan konteks yang kuat untuk memahami setiap ayat dalam Surah Al-Lahab, menyingkap latar belakang konflik awal antara kebenaran dan kesombongan di masa awal Islam.
Mari kita selami setiap ayat Surah Al-Lahab secara mendalam, memahami makna kata per kata, konteksnya, serta pelajaran yang dapat diambil.
Ayat pertama ini adalah sebuah pernyataan yang sangat keras dan langsung, sebuah deklarasi ilahi atas nasib seorang individu secara spesifik. Ini adalah salah satu dari sedikit surah dalam Al-Qur'an yang secara eksplisit menyebutkan nama seseorang dan mengutuknya. Hal ini terjadi karena Abul Lahab adalah penentang terdepan dan paling terang-terangan terhadap Nabi Muhammad ﷺ, bahkan ketika Nabi baru memulai dakwah secara terbuka di antara kaumnya.
Ketika Nabi Muhammad ﷺ berdiri di bukit Shafa dan menyeru kaumnya, Abul Lahab dengan kurang ajarnya langsung menolaknya dan bahkan mengutuk Nabi. Sebagai respons, Allah SWT membalas kutukan itu dengan kutukan yang lebih berat dan lebih pasti, ditujukan kepadanya. Kalimat "Binasalah kedua tangan Abul Lahab" berarti binasalah segala daya upaya yang dia gunakan untuk menentang Islam, segala harta yang ia banggakan, dan segala kekuasaan yang ia miliki. Kemudian diikuti dengan "dan sesungguhnya dia akan binasa!" menegaskan bahwa kehancuran itu bukan hanya pada aspek materinya atau usahanya, tetapi juga pada dirinya sendiri, pada jiwanya, dan pada akhiratnya.
Para mufassir menjelaskan bahwa prediksi kehancuran Abul Lahab ini adalah salah satu mukjizat Al-Qur'an. Sepanjang sisa hidupnya, meskipun ia terus menentang Islam, ia tidak pernah memeluk Islam. Ini adalah bukti nyata bahwa apa yang difirmankan Allah dalam Al-Qur'an adalah kebenaran yang tak terbantahkan. Abul Lahab meninggal dunia dalam keadaan kafir, beberapa waktu setelah Perang Badar, dikabarkan karena penyakit yang menjijikkan dan menular, sehingga tubuhnya tidak disentuh keluarganya dan hanya didorong dengan kayu.
Pelajaran penting dari ayat ini adalah bahwa kebenaran akan selalu menang, dan siapa pun yang menentangnya dengan keras kepala dan kebencian akan menghadapi konsekuensi yang berat, baik di dunia maupun di akhirat, terlepas dari kedekatan hubungan atau status sosialnya.
Ayat kedua ini melanjutkan tema kehancuran Abul Lahab dengan menyoroti kesia-siaan harta dan kekuatannya. Dalam masyarakat Mekah pra-Islam, harta dan keturunan adalah simbol kekuasaan, kehormatan, dan jaminan masa depan. Orang-orang kaya dan beranak banyak merasa aman dan kuat. Abul Lahab adalah representasi sempurna dari figur ini; dia memiliki kekayaan yang melimpah dan anak-anak yang banyak.
Namun, Allah SWT dengan tegas menyatakan bahwa "Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan." Ini adalah pukulan telak terhadap nilai-nilai materialistik yang dipegang teguh oleh Abul Lahab dan kaum musyrikin pada umumnya. Harta yang dia kumpulkan dengan susah payah, kekuasaan yang dia bangun, dan anak-anak yang dia banggakan, semua itu tidak akan dapat menyelamatkannya dari azab Allah di akhirat. Bahkan di dunia pun, harta dan kekuasaan itu tidak mampu melindunginya dari kehinaan yang menimpanya karena penolakannya terhadap kebenaran.
Para mufassir menjelaskan bahwa "ma kasab" yang merujuk pada anak-anaknya juga sangat relevan. Anak-anak Abul Lahab, seperti Utbah dan Utaibah, awalnya juga menentang Nabi ﷺ. Bahkan, Utaibah pernah diperintahkan Abul Lahab untuk menceraikan putri Nabi, Ummu Kultsum, dengan kasar. Namun, beberapa dari anak-anaknya, seperti Durrah (putrinya), dan kemudian Utbah bin Abi Lahab, pada akhirnya memeluk Islam. Ini menunjukkan bahwa bahkan "hasil usahanya" dalam bentuk keturunan pun tidak sepenuhnya berpihak padanya dalam penentangan terhadap Islam, dan tidak ada yang bisa menyelamatkannya.
Pelajaran dari ayat ini sangat fundamental bagi setiap Muslim: Harta dan kekuasaan adalah ujian. Ia tidak akan pernah menjadi penolong utama di hadapan Allah kecuali digunakan di jalan yang benar. Kekayaan duniawi adalah fana, dan hanya amal saleh yang akan kekal dan memberikan manfaat di akhirat. Ayat ini juga menjadi peringatan bagi siapa pun yang menyombongkan diri dengan harta dan kedudukannya, bahwa semua itu akan sia-sia jika tidak dibarengi dengan keimanan dan ketakwaan.
Ayat ketiga ini adalah puncak dari ancaman ilahi terhadap Abul Lahab. Setelah mendeklarasikan kehancuran usahanya dan dirinya, Allah SWT kemudian secara eksplisit menyatakan azab yang akan menimpanya di akhirat: "Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak."
Frasa "نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ" (naran dhata lahab) sangat signifikan. Pertama, kata "lahab" itu sendiri adalah bagian dari julukannya, "Abul Lahab". Ini adalah bentuk hukuman yang ironis dan setimpal (mukasyafah), di mana ia yang dijuluki "Bapak Api Neraka" akan benar-benar merasakan dan masuk ke dalam "api yang bergejolak" atau "api yang memiliki nyala api" di akhirat. Seolah-olah nyala api yang dahulu sering dia pamerkan (wajahnya yang kemerahan, atau semangatnya dalam memusuhi Nabi) kini menjadi realitas azabnya.
Penggunaan huruf "sa" (س) pada awal kata "sayasla" menekankan kepastian mutlak dari kejadian ini. Ini bukan sekadar ancaman, melainkan sebuah janji ilahi yang pasti akan terlaksana. Tidak ada keraguan sedikitpun bahwa Abul Lahab akan merasakan azab neraka. Ayat ini juga menjadi penegas kebenaran risalah Nabi Muhammad ﷺ. Abul Lahab hidup setelah ayat ini turun, tetapi ia tidak pernah mengubah pendiriannya atau memeluk Islam, sehingga memenuhi nubuat Al-Qur'an tentang nasibnya.
Ayat ini juga memberikan gambaran umum tentang sifat api neraka. Disebutkan sebagai api yang "berkobar" atau "bergejolak," menyiratkan intensitas dan kedahsyatan panasnya yang jauh melampaui api dunia. Ini adalah peringatan bagi siapa pun yang meremehkan ancaman Allah dan terus-menerus menentang kebenaran.
Pelajaran dari ayat ini adalah pengingat yang kuat tentang keadilan Allah dan kepastian hari akhir. Allah SWT tidak akan mendzalimi hamba-Nya, dan setiap perbuatan baik atau buruk akan mendapatkan balasan yang setimpal. Bagi mereka yang dengan sombong menolak kebenaran dan memerangi utusan-Nya, neraka dengan api yang menyala-nyala adalah balasan yang telah dijanjikan.
Ayat keempat ini tidak hanya mengutuk Abul Lahab tetapi juga secara eksplisit menyertakan istrinya, Ummu Jamil, dalam kehancuran dan azab. Ini menunjukkan bahwa dalam kejahatan dan penentangan terhadap kebenaran, pasangan suami istri bisa saling mendukung dan berbagi nasib yang sama.
Frasa "pembawa kayu bakar" (حَمَّالَةَ الْحَطَبِ) memiliki dua interpretasi utama yang saling melengkapi:
Kedua penafsiran ini tidak saling bertentangan, bahkan bisa jadi ia melakukan keduanya. Yang jelas, Ummu Jamil adalah mitra sejati Abul Lahab dalam permusuhan terhadap Islam. Ia menggunakan lisannya untuk menyebar kebohongan dan tangannya untuk melakukan perbuatan yang menyakiti. Keikutsertaan dirinya dalam azab menunjukkan bahwa pertanggungjawaban di sisi Allah adalah individual, dan dukungan terhadap kebatilan akan mendapatkan balasan yang setimpal.
Pelajaran penting dari ayat ini adalah peringatan tentang bahaya lisan dan pentingnya menjaga kehormatan orang lain. Fitnah dan adu domba adalah dosa besar yang dapat menghancurkan individu dan masyarakat. Ayat ini juga mengajarkan bahwa keburukan bisa datang dari siapa saja, bahkan dari orang-orang terdekat, dan Allah akan membalas setiap perbuatan, baik yang terang-terangan maupun yang tersembunyi.
Ayat terakhir ini melengkapi gambaran azab bagi Ummu Jamil, istri Abul Lahab, dan secara langsung berkaitan dengan perbuatannya yang disebutkan di ayat sebelumnya. "Di lehernya ada tali dari sabut."
Ayat ini memiliki beberapa penafsiran:
Kasar dan pedihnya tali sabut di leher adalah gambaran yang sangat kuat tentang bagaimana Allah membalas perbuatan seseorang dengan hukuman yang sesuai. Bagi Ummu Jamil yang dahulu bangga dengan perhiasannya dan posisinya, hukuman ini adalah kehinaan yang sempurna. Ini juga merupakan bukti bahwa status sosial atau kekayaan tidak akan melindungi seseorang dari azab Allah jika ia menolak kebenaran dan melakukan permusuhan.
Pelajaran dari ayat ini menegaskan bahwa setiap perbuatan, sekecil apapun, akan dipertanggungjawabkan. Allah Maha Adil dan akan memberikan balasan yang setimpal. Ayat ini juga mengingatkan kita akan bahaya kesombongan dan cinta dunia yang melalaikan dari kebenaran, serta konsekuensi dari permusuhan terhadap agama Allah dan utusan-Nya.
Surah Al-Lahab, meskipun singkat, sarat dengan hikmah dan pelajaran berharga yang relevan sepanjang masa. Berikut adalah beberapa poin penting:
Salah satu hikmah terbesar dari Surah Al-Lahab adalah pengukuhan kebenaran kenabian Muhammad ﷺ. Surah ini adalah sebuah nubuat (prediksi) yang sangat spesifik tentang nasib Abul Lahab. Allah SWT dengan tegas menyatakan bahwa Abul Lahab akan binasa dan masuk neraka, serta bahwa harta dan keturunannya tidak akan menolongnya. Nubuat ini disampaikan di saat Abul Lahab masih hidup dan memiliki kesempatan untuk bertaubat dan memeluk Islam. Namun, ia tidak pernah melakukannya hingga akhir hayatnya, sehingga nubuat ini terbukti benar. Ini adalah mukjizat Al-Qur'an yang tak terbantahkan, karena jika Abul Lahab saat itu masuk Islam, maka kebenaran Al-Qur'an akan diragukan. Fakta bahwa ia tetap dalam kekafiran hingga meninggal dunia adalah bukti nyata bahwa Al-Qur'an adalah firman Allah yang Maha Tahu akan masa depan.
Surah ini menunjukkan keadilan mutlak Allah SWT. Meskipun Abul Lahab adalah paman Nabi Muhammad ﷺ, seorang tokoh Quraisy yang dihormati dan kaya raya, ia tetap dihukum dan dikutuk karena penentangannya terhadap kebenaran. Tidak ada "nepotisme" atau perlindungan khusus di sisi Allah bagi siapa pun yang memilih jalan kekafiran dan permusuhan terhadap Islam, bahkan jika mereka memiliki hubungan darah dengan Nabi. Ini menekankan bahwa di hadapan Allah, yang membedakan seseorang hanyalah ketakwaannya, bukan status sosial, kekayaan, atau garis keturunan. Allah Maha Berkuasa untuk menghinakan siapa pun yang Dia kehendaki dan memuliakan siapa pun yang Dia kehendaki.
Abul Lahab adalah contoh nyata dari seseorang yang terjerumus dalam kesombongan, keangkuhan, dan kebencian. Harta dan kedudukannya membutakannya dari melihat kebenaran yang dibawa oleh keponakannya sendiri. Ia menolak Islam bukan karena alasan rasional, tetapi karena iri hati, kesombongan, dan fanatisme kesukuan. Surah ini menjadi peringatan keras bagi siapa saja yang menolak kebenaran karena kesombongan, kebencian, atau karena merasa lebih tinggi dari orang lain. Penolakan terhadap risalah Allah pada akhirnya akan membawa kehancuran di dunia dan azab di akhirat.
Ayat kedua dengan jelas menyatakan bahwa harta dan apa yang diusahakan Abul Lahab tidak akan berguna baginya. Ini adalah pelajaran fundamental bahwa kekayaan, kekuasaan, dan keturunan hanyalah sarana ujian. Jika tidak digunakan di jalan Allah dan tidak dibarengi dengan keimanan, semua itu akan sia-sia di hari perhitungan. Bahkan, bisa jadi menjadi beban dan sebab kesengsaraan. Nilai sejati seseorang diukur dari amal saleh dan ketakwaannya, bukan dari seberapa banyak harta yang ia miliki.
Peran Ummu Jamil sebagai "pembawa kayu bakar" menyoroti bahaya fitnah, adu domba, dan penyebaran kebohongan. Lisan adalah anugerah yang harus dijaga, dan jika digunakan untuk menyakiti orang lain atau menyebarkan kebatilan, maka akan ada konsekuensi yang berat. Ummu Jamil dihukum karena perbuatan lisannya yang menyulut api permusuhan dan perbuatan fisiknya yang menyakiti Nabi. Ini adalah pengingat untuk senantiasa berhati-hati dalam berbicara dan menghindari segala bentuk provokasi atau penyebaran informasi palsu.
Meskipun Surah Al-Lahab berfokus pada kutukan bagi Abul Lahab dan istrinya, secara implisit ia juga menggarisbawahi pentingnya mendukung kebenaran. Abul Lahab dan Ummu Jamil memilih untuk memerangi kebenaran, sementara Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabatnya teguh di jalannya. Kisah ini mendorong umat Muslim untuk senantiasa berpihak pada kebenaran, bahkan jika harus menghadapi tantangan atau penolakan dari orang-orang terdekat.
Surah ini juga memberikan gambaran tentang mentalitas dan karakter sebagian besar pemimpin Quraisy pada awal dakwah Islam: mereka sombong, terikat pada tradisi nenek moyang, menganggap rendah orang lain, dan menggunakan kekayaan serta kekuasaan untuk menindas kebenaran. Abul Lahab adalah representasi sempurna dari mentalitas ini.
Secara keseluruhan, Surah Al-Lahab adalah peringatan yang tegas dari Allah SWT kepada siapa pun yang menentang kebenaran dengan kesombongan dan kebencian. Ia mengajarkan tentang keadilan ilahi, pentingnya keimanan di atas harta dan kedudukan, serta bahaya lisan yang digunakan untuk fitnah. Pelajaran-pelajaran ini tetap relevan dan vital bagi umat manusia di setiap zaman.
Meskipun Surah Al-Lahab diturunkan lebih dari 14 abad yang lalu dengan latar belakang sejarah yang spesifik, pesan-pesan dan hikmah yang terkandung di dalamnya tetap memiliki relevansi yang sangat kuat dan universal di era modern ini. Dunia terus berubah, teknologi berkembang, tetapi sifat dasar manusia, godaan, dan tantangan moral tetap serupa. Surah ini menjadi cermin bagi banyak fenomena kontemporer:
Di era modern, kita menyaksikan berbagai bentuk penentangan terhadap nilai-nilai agama dan kebenaran ilahi. Ada pihak-pihak yang secara terang-terangan menyebarkan kebencian, skeptisisme, atau bahkan permusuhan terhadap Islam, seringkali dengan motif yang mirip dengan Abul Lahab: kesombongan intelektual, kepentingan duniawi, atau bias pribadi. Surah Al-Lahab mengingatkan kita bahwa penentangan semacam itu bukanlah hal baru dan konsekuensinya tetap sama: kehancuran dan kerugian di hadapan Allah. Ini menguatkan keyakinan umat Islam untuk tetap teguh di jalan kebenaran meskipun menghadapi gelombang penolakan.
Ayat kedua Surah Al-Lahab yang menyatakan bahwa harta dan usaha tidak akan berguna, sangat relevan di zaman yang serba materialistis ini. Masyarakat modern seringkali terjebak dalam perlombaan mengumpulkan kekayaan, meraih kedudukan, dan mengejar kesuksesan duniawi sebagai tujuan akhir. Surah ini adalah pengingat keras bahwa semua itu hanyalah sementara dan tidak akan memberikan perlindungan sejati di akhirat. Kekayaan dan kekuasaan harus digunakan sebagai sarana untuk berbuat kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah, bukan sebagai alat kesombongan atau penindasan.
Peran Ummu Jamil sebagai "pembawa kayu bakar" yang menyebarkan fitnah memiliki paralel yang mencolok dengan fenomena berita palsu (hoaks), ujaran kebencian, dan fitnah yang menyebar begitu cepat di media sosial saat ini. Dengan kemudahan akses informasi, banyak individu menjadi "penyebar kayu bakar" digital, tanpa verifikasi, mereka menyebarkan narasi-narasi negatif yang menyulut permusuhan dan memecah belah masyarakat. Surah Al-Lahab mengajarkan konsekuensi serius dari tindakan ini, baik di dunia maupun di akhirat. Ini menekankan pentingnya kebijaksanaan, tanggung jawab, dan etika dalam berkomunikasi, terutama di ranah publik digital.
Kisah Abul Lahab dan Ummu Jamil juga menjadi pengingat bahwa keadilan ilahi tidak memandang bulu. Tidak peduli seberapa tinggi kedudukan seseorang, seberapa besar kekuasaannya, atau seberapa kaya hartanya, tidak ada yang dapat melarikan diri dari pertanggungjawaban di hadapan Allah. Ini memberikan harapan bagi kaum tertindas dan peringatan bagi para penguasa atau orang-orang berpengaruh untuk menggunakan posisinya secara bertanggung jawab dan adil. Konsep akuntabilitas ini sangat penting dalam membangun masyarakat yang adil dan beradab.
Nabi Muhammad ﷺ menghadapi penolakan bahkan dari pamannya sendiri, namun beliau tetap teguh dan berani dalam menyampaikan kebenaran. Ini memberikan teladan bagi para dai dan setiap Muslim untuk tidak gentar dalam menyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran, meskipun menghadapi kritik, ejekan, atau penolakan, bahkan dari lingkungan terdekat. Integritas dalam berpegang pada prinsip dan keberanian dalam menyuarakan kebenaran adalah nilai-nilai yang sangat relevan di tengah tekanan sosial dan politik modern.
Ikatan keluarga adalah penting dalam Islam, tetapi Surah Al-Lahab menunjukkan bahwa ikatan itu tidak dapat menyelamatkan seseorang dari murka Allah jika ia memilih jalan kesesatan. Kualitas keimanan dan amal saleh jauh lebih berharga daripada hubungan kekerabatan. Ini mengajarkan bahwa setiap individu bertanggung jawab atas pilihannya sendiri dan tidak bisa bergantung pada "nama besar" atau hubungan darah untuk mendapatkan pertolongan Allah jika perilakunya bertentangan dengan syariat.
Dengan demikian, Surah Al-Lahab tidak hanya sekadar kisah kuno, melainkan sebuah panduan abadi yang mengajarkan prinsip-prinsip moral, etika, dan keimanan yang tetap relevan untuk menghadapi tantangan kehidupan di era modern. Ia mengingatkan kita untuk senantiasa rendah hati, berpegang teguh pada kebenaran, menjaga lisan, dan menggunakan setiap karunia Allah di jalan yang benar.
Surah Al-Lahab, atau yang juga dikenal sebagai Surah Tabbat, adalah salah satu surah terpendek dalam Al-Qur'an, namun memiliki dampak dan pesan yang sangat mendalam. Diturunkan sebagai respons langsung terhadap penolakan keras Abul Lahab, paman Nabi Muhammad ﷺ, dan istrinya, Ummu Jamil, terhadap dakwah Islam, surah ini menjadi peringatan ilahi yang tegas dan spesifik.
Melalui lima ayatnya, Allah SWT mendeklarasikan kehancuran total bagi Abul Lahab—bukan hanya usahanya yang sia-sia, tetapi juga dirinya sendiri yang pasti akan binasa di dalam api neraka yang bergejolak. Harta dan kekuasaan yang ia banggakan sama sekali tidak berguna baginya di hadapan azab Allah. Istrinya, Ummu Jamil, juga dihukum setimpal karena perannya sebagai "pembawa kayu bakar", yakni penyebar fitnah dan permusuhan, yang di neraka nanti akan menanggung beban tali dari sabut di lehernya sebagai simbol kehinaan dan siksaan.
Hikmah dan pelajaran dari Surah Al-Lahab sangatlah relevan. Ia mengukuhkan kebenaran kenabian Muhammad ﷺ melalui nubuat yang terbukti benar, menegaskan keadilan dan kekuasaan mutlak Allah SWT yang tidak memandang bulu, dan memperingatkan tentang bahaya kesombongan, penolakan kebenaran, serta godaan materialisme. Lebih jauh, surah ini juga menjadi pengingat akan bahaya lisan yang digunakan untuk menyebar fitnah dan adu domba, serta pentingnya setiap individu untuk mendukung kebenaran dan bertanggung jawab atas pilihannya sendiri, terlepas dari ikatan darah atau status sosial.
Di era modern yang penuh dengan tantangan dan godaan, pesan-pesan Surah Al-Lahab tetap menjadi petunjuk berharga. Ia mengajarkan kita untuk waspada terhadap penentangan kebenaran, menjaga diri dari kesombongan harta dan kekuasaan, berhati-hati dengan lisan di tengah derasnya arus informasi, serta senantiasa berpegang teguh pada integritas dan keimanan. Semoga kita semua dapat mengambil pelajaran dari Surah Al-Lahab dan senantiasa berada di jalan yang diridhai Allah SWT.