Pangeran Antasari adalah salah satu tokoh paling dihormati dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, khususnya di Kalimantan Selatan. Dikenal sebagai pemimpin karismatik dan pejuang gigih melawan kolonialisme Belanda, kisahnya merefleksikan semangat perlawanan masyarakat Banjar yang tak pernah padam. Nama "Bata Antasari," yang sering merujuk pada sosok pahlawan ini, adalah simbol keberanian dan kecintaan terhadap tanah air. Perjuangannya tidak hanya sekadar pertempuran fisik, tetapi juga merupakan upaya mempertahankan kedaulatan Kesultanan Banjar di tengah tekanan politik dan ekonomi asing.
Lahir dengan nama Abdul Karim, ia tumbuh di tengah gejolak politik pasca-runtuhnya kekuasaan besar. Ia kemudian diangkat menjadi pemimpin tertinggi Kesultanan Banjar pada masa-masa kritis. Kepemimpinan Pangeran Antasari menginspirasi banyak lapisan masyarakat, mulai dari ulama, bangsawan, hingga rakyat biasa, untuk bersatu padu di bawah panji perjuangan. Pengaruhnya melampaui batas-batas geografis Banua Kalimantan, menjadikannya salah satu ikon perlawanan di nusantara.
Akar dari perlawanan besar yang dipimpin oleh Pangeran Antasari adalah campur tangan kolonial Belanda yang semakin merajalela. Belanda, melalui Perjanjian London, secara bertahap menggerogoti kedaulatan Kesultanan Banjar sejak pertengahan abad ke-19. Intervensi ini mencakup upaya monopoli perdagangan hasil bumi, terutama hasil tambang seperti intan dan emas, serta upaya memaksakan kontrol administratif atas wilayah kesultanan. Ketidakpuasan rakyat memuncak ketika Belanda secara sepihak mengangkat raja boneka atau bahkan berusaha menghapus institusi kesultanan sepenuhnya.
Pangeran Antasari, yang awalnya menjabat sebagai panglima perang, merasa terpanggil untuk membela marwah agama dan bangsanya. Ia melihat bahwa kompromi dengan Belanda hanya akan membawa kehancuran identitas lokal. Keputusan untuk mengangkat senjata pada tahun 1859 bukan hanya reaksi sesaat, melainkan puncak dari akumulasi kekecewaan terhadap dominasi asing yang merusak tatanan sosial dan keagamaan masyarakat Banjar. Perang Banjar yang kemudian meletus dikenal sebagai salah satu konflik paling berlarut-larut dan sulit ditaklukkan oleh Belanda di luar Jawa.
Ilustrasi simbolis semangat perjuangan Banua.
Pangeran Antasari bukanlah seorang jenderal konvensional. Ia menguasai seni perang gerilya yang sangat efektif di medan Kalimantan yang lebat dan berawa. Strateginya berpusat pada serangan mendadak, pemutusan jalur suplai Belanda, dan mengamankan dukungan dari basis-basis pedalaman yang sulit dijangkau oleh pasukan kolonial yang terbiasa bertempur di lapangan terbuka. Benteng pertahanan yang dibangunnya sering kali memanfaatkan kondisi alam sebagai sekutu utama.
Salah satu kekuatan terbesar Antasari adalah kemampuannya menyatukan elemen-elemen masyarakat. Dukungan kuat datang dari para ulama Kalimantan, yang mengobarkan semangat jihad fii sabilillah terhadap penjajah. Dengan legitimasi spiritual dan dukungan rakyat luas, Belanda menghadapi musuh yang tidak hanya bersenjata tetapi juga didorong oleh keyakinan mendalam. Perang ini melibatkan taktik pengepungan, pertempuran di sungai-sungai menggunakan perahu perang tradisional, dan koordinasi antar kampung yang terisolasi.
Meskipun semangatnya tak pernah padam, usia dan penyakit membuat perjuangan fisik Pangeran Antasari mencapai titik akhir. Ia wafat dalam pengasingan di tengah hutan pada tahun 1862, setelah terus menerus diburu oleh pasukan Belanda. Kematiannya menjadi pukulan berat bagi perlawanan, namun cita-cita kemerdekaan yang ia tanamkan terus hidup di hati rakyat Banjar. Ia dikenang bukan hanya sebagai seorang sultan atau bangsawan, tetapi sebagai "Panembahan" (pemimpin spiritual dan perang) yang rela mengorbankan segalanya.
Hingga kini, nama Pangeran Antasari diabadikan di berbagai penjuru Kalimantan Selatan. Mulai dari nama jalan utama, perguruan tinggi, hingga monumen bersejarah, semua berfungsi sebagai pengingat bahwa kemerdekaan dibayar dengan perjuangan panjang. Pangeran Antasari mengajarkan bahwa melawan ketidakadilan memerlukan keberanian yang kokoh, layaknya sebuah bata yang tak mudah dihancurkan, menegaskan warisannya sebagai pahlawan nasional Republik Indonesia yang gagah berani dari Borneo. Kisahnya terus menginspirasi generasi muda Banua untuk mencintai dan menjaga kedaulatan wilayah mereka.