Korea Selatan, meskipun dikenal sebagai salah satu pelopor teknologi tinggi dan inovasi energi hijau, masih memegang peranan penting bagi batu bara dalam struktur energi nasionalnya. Batu bara Korea—baik yang ditambang secara domestik (meskipun skalanya kini sangat kecil) maupun yang diimpor—merupakan tulang punggung bagi pembangkit listrik termal dan sektor industri berat selama beberapa dekade. Memahami dinamika batu bara di Semenanjung Korea memberikan wawasan mendalam tentang tantangan transisi energi global.
Ketergantungan Historis dan Penggunaan Saat Ini
Secara historis, pertumbuhan ekonomi pesat Korea Selatan pasca-perang didukung kuat oleh pasokan energi yang stabil dan relatif murah, di mana batu bara memegang peranan sentral. Hingga kini, persentase signifikan dari kebutuhan listrik negara dipenuhi oleh Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara. Meskipun pemerintah telah menetapkan target ambisius untuk mengurangi emisi karbon dan meningkatkan proporsi energi terbarukan, batu bara tetap menjadi sumber daya yang sulit dilepaskan dalam waktu singkat karena faktor keandalan pasokan dan biaya operasional yang terukur.
Ketergantungan ini diperparah oleh kebutuhan energi industri berat Korea, seperti sektor baja dan semen, yang secara intrinsik membutuhkan panas tinggi yang sulit digantikan oleh sumber energi terbarukan saat ini. Oleh karena itu, isu utama yang dihadapi Korea adalah bagaimana mengelola aset PLTU yang masih produktif sembari secara simultan membangun kapasitas energi terbarukan yang masif.
Ilustrasi proses energi berbasis batu bara
Impor dan Jejak Karbon Global
Kapasitas batu bara domestik Korea sangat terbatas. Oleh karena itu, negara ini bergantung secara masif pada impor dari pasar global. Korea Selatan termasuk salah satu importir batu bara termal terbesar di dunia, membeli dari negara-negara produsen utama seperti Indonesia, Australia, dan Amerika Serikat. Ketergantungan impor ini menempatkan Korea di tengah pusaran geopolitik energi dan fluktuasi harga komoditas internasional.
Dampak lingkungan dari penggunaan batu bara ini sangat signifikan. Korea Selatan menghadapi tekanan internasional yang besar untuk memenuhi komitmen pengurangan emisi di bawah Perjanjian Paris. Secara domestik, masalah kualitas udara di kota-kota besar sering dikaitkan dengan emisi dari pembangkit listrik dan industri yang berbahan bakar batu bara. Pemerintah merespons dengan investasi besar pada teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS), meskipun implementasinya masih dalam tahap awal dan mahal.
Masa Depan: Transisi dan Dekarbonisasi
Arah kebijakan energi Korea Selatan kini jelas menuju dekarbonisasi. Rencana jangka panjang mencakup penutupan bertahap PLTU batu bara yang paling tua dan tidak efisien, serta peningkatan kapasitas energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin lepas pantai. Namun, tantangan realokasi tenaga kerja di sektor pertambangan dan energi serta memastikan stabilitas jaringan listrik selama masa transisi tetap menjadi prioritas utama.
Dampak dari keputusan energi Korea tidak hanya dirasakan secara domestik. Sebagai salah satu negara pengimpor batu bara terbesar, perubahan permintaan Korea secara langsung memengaruhi pasar energi global dan ekonomi negara-negara pemasok. Ketika Korea bergerak menuju target Net Zero Emission, dinamika perdagangan batu bara global akan mengalami pergeseran substansial, menandai era baru dalam strategi ketahanan energi Asia Timur. Keputusan strategis yang diambil hari ini akan menentukan keseimbangan antara kebutuhan energi jangka pendek dan tanggung jawab iklim jangka panjang.
Transisi ini membutuhkan investasi besar dalam infrastruktur energi baru, pengembangan teknologi hidrogen biru dan hijau, serta adopsi solusi penyimpanan energi skala besar. Batu bara Korea akan beralih dari peran utama menjadi sumber daya cadangan yang semakin jarang digunakan, menandai akhir dari sebuah era energi yang telah membentuk kekuatan ekonomi modern Korea.