Figur Semar sebagai simbol kebijaksanaan dan pengayom.
Semar adalah salah satu tokoh paling misterius dan penting dalam tradisi pewayangan Jawa, khususnya dalam lakon Murwa Kala. Ia bukan sekadar punakawan seperti Gareng, Petruk, atau Bagong; Semar adalah manifestasi dewa atau, menurut interpretasi lain, Sang Hyang Kersan (Tuhan Yang Maha Esa) dalam wujud yang merakyat. Memahami "macam macam Semar" berarti memahami berbagai peran, penamaan, dan manifestasi filosofisnya yang mendalam.
Dalam struktur pertunjukan wayang, Semar selalu tampil sederhana, gendut, dan menyerupai orang tua desa yang lugu. Kesederhanaan inilah yang menyembunyikan kekuatan dan pengetahuannya yang maha luas. Ia bertindak sebagai penasihat utama para ksatria Pandawa. Peran ini melambangkan bahwa kebijaksanaan sejati seringkali tidak datang dari penampilan mewah atau kekuasaan, melainkan dari kerendahan hati dan pemahaman mendalam terhadap hukum alam semesta.
Meskipun citra publik Semar adalah figur gendut berkulit putih atau keabu-abuan, dalam konteks filosofis dan tekstual kuno, terdapat beberapa interpretasi mengenai wujud "macam macam Semar":
Semar tidak pernah tampil sendiri. Ia ditemani oleh anak-anaknya yang juga ikonik: Gareng, Petruk, dan Bagong. Hubungan hierarkis ini menggambarkan struktur sosial dan filosofis yang teratur:
Meskipun anak-anaknya tampak jenaka dan seringkali bertindak gegabah, semua tindakan mereka selalu berada dalam koridor ajaran yang diberikan oleh Semar. Semar mengizinkan mereka "bermain-main" dengan kebodohan duniawi sebagai cara mengajarkan pelajaran tanpa menghakimi secara langsung.
Kesimpulannya, "macam macam Semar" bukanlah tentang variasi penampilan fisik yang berbeda, melainkan tentang kedalaman peran dan pemaknaannya yang berlapis. Semar adalah lambang filosofi: kekuatan yang tersembunyi dalam kesederhanaan (semli), kebijaksanaan yang tidak meninggikan diri (andhap asor), dan keberadaan Tuhan yang selalu hadir dalam setiap peristiwa, baik suka maupun duka. Ia adalah cermin bagi masyarakat Jawa untuk selalu rendah hati di hadapan pengetahuan yang tak terbatas. Ia mengajarkan bahwa menjadi bijak berarti memahami batasan diri sambil terus mengabdi pada kebenaran yang lebih besar.