Wacana mengenai perlunya transisi energi dari bahan bakar fosil ke sumber yang lebih bersih semakin mengemuka di kancah global. Di antara semua energi yang menjadi sorotan, batu bara menempati posisi teratas sebagai komoditas yang harus segera dihentikan penggunaannya. Keputusan untuk menghentikan operasional pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara bukan lagi sekadar isu lingkungan, melainkan telah menjelma menjadi imperatif ekonomi dan sosial demi keberlanjutan planet ini.
Batu bara adalah sumber energi paling kotor di antara semua bahan bakar fosil. Pembakarannya melepaskan jumlah karbon dioksida (CO2) yang sangat besar, gas rumah kaca utama yang bertanggung jawab atas percepatan perubahan iklim global. Lebih jauh lagi, emisi dari batu bara turut menyumbang polutan berbahaya seperti sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida (NOx), dan partikulat halus (PM2.5). Polutan ini tidak hanya memicu hujan asam, tetapi juga menyebabkan jutaan kasus penyakit pernapasan kronis di seluruh dunia. Ketika negara-negara berkomitmen pada Perjanjian Paris untuk membatasi kenaikan suhu global, maka langkah pertama yang paling logis dan mendesak adalah menerapkan kebijakan tegas untuk 'batu bara stop'.
Meskipun banyak negara industri masih sangat bergantung pada batu bara untuk memenuhi kebutuhan listrik dasarnya, ketergantungan ini kini dilihat sebagai investasi beracun. Bank sentral dan lembaga keuangan internasional semakin enggan mendanai proyek-proyek batu bara baru karena risiko aset terdampar (stranded assets) yang sangat tinggi. Teknologi energi terbarukan, seperti tenaga surya dan angin, kini telah mencapai titik paritas harga atau bahkan lebih murah dibandingkan dengan membangun PLTU baru di banyak wilayah. Oleh karena itu, melanjutkan pembangunan infrastruktur batu bara sama saja dengan mengikat masa depan ekonomi pada teknologi usang yang dipastikan akan usang dalam dekade mendatang.
Keputusan 'batu bara stop' juga didorong oleh kesadaran publik yang meningkat mengenai krisis kesehatan yang ditimbulkan oleh polusi udara. Komunitas yang tinggal di dekat lokasi pertambangan atau pembangkit listrik batu bara sering kali menghadapi kualitas hidup yang jauh lebih rendah karena masalah kesehatan yang ditimbulkannya. Tekanan dari masyarakat sipil, terutama generasi muda, menuntut akuntabilitas dari pemerintah dan korporasi untuk memprioritaskan kesehatan warga di atas keuntungan jangka pendek dari industri ekstraktif ini. Ini menciptakan dinamika sosial di mana keberlanjutan operasional PLTU semakin sulit dipertahankan secara politis.
Menghentikan penggunaan batu bara bukanlah akhir dari pembangunan, melainkan pintu gerbang menuju sistem energi yang lebih tangguh dan inovatif. Transisi ini harus dilakukan secara adil (Just Transition), memastikan bahwa pekerja dan komunitas yang saat ini bergantung pada industri batu bara tidak ditinggalkan. Ini memerlukan investasi besar dalam pelatihan ulang (reskilling), diversifikasi ekonomi regional, dan pembangunan infrastruktur energi terbarukan yang kuat. Negara-negara harus menyusun peta jalan yang jelas dan ambisius, menetapkan tenggat waktu yang tegas kapan PLTU terakhir akan ditutup secara permanen. Hanya dengan komitmen kolektif untuk menjadikan 'batu bara stop' sebagai prioritas utama, kita dapat mengamankan masa depan energi yang bersih, stabil, dan berkeadilan bagi semua.