Dalam tradisi Islam, perhiasan bukanlah sekadar penunjang penampilan, melainkan sering kali membawa makna spiritual dan mengikuti sunnah (ajaran) Nabi Muhammad SAW. Salah satu perhiasan yang paling sering dibahas dan diriwayatkan pemakaiannya oleh Rasulullah adalah batu cincin. Pemakaian cincin, terutama di tangan kanan, memiliki landasan historis yang kuat dalam sirah Nabawiyah. Tindakan sederhana ini menjadi lambang keteladanan bagi umat Islam hingga kini.
Nabi Muhammad SAW diketahui mengenakan cincin, bukan karena kemewahan duniawi, melainkan sebagai alat untuk mencetak stempel surat-surat resmi kenegaraan atau sebagai penanda pengakuan. Namun, di luar fungsi administratif tersebut, pemilihan jenis batu cincin juga memiliki signifikansi tersendiri yang dicatat oleh para ulama dan ahli tafsir hadis.
Terdapat beberapa riwayat yang menyebutkan jenis batu atau material cincin yang pernah digunakan oleh Nabi Muhammad SAW. Meskipun detail mengenai persisnya cincin tersebut bisa bervariasi dalam beberapa periwayatan, fokus utama selalu tertuju pada dua jenis batu mulia yang paling masyhur: Batu Akik (termasuk Akik Yaman) dan Batu Zabarjud (Peridot/Olivine).
Batu akik, khususnya yang berasal dari wilayah Yaman, disebutkan sebagai salah satu batu yang sangat dicintai Rasulullah. Batu akik dikenal memiliki beragam warna, namun yang paling sering dikaitkan dengan Nabi adalah akik berwarna merah atau yang dikenal sebagai 'Aqiq Yamani'.
Beberapa sumber juga menyebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah memiliki cincin dengan batu yang dikenal sebagai Zabarjud. Dalam nomenklatur modern, batu ini sering diidentifikasi sebagai Olivine atau Peridot, yang memiliki warna hijau khas.
Warna hijau ini sendiri memiliki kedudukan istimewa dalam Islam karena sering diasosiasikan dengan surga dan kesegaran. Penggunaan batu ini juga menunjukkan bahwa Rasulullah memilih perhiasan yang alami dan memiliki keindahan yang bersahaja, bukan yang terlalu mencolok atau berlebihan.
Selain jenis batunya, material cincin itu sendiri juga penting. Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW melarang penggunaan cincin emas bagi laki-laki (sebagai penekanan pada kesederhanaan dan penolakan terhadap kemewahan berlebihan yang dikhususkan bagi kaum wanita). Oleh karena itu, beliau memilih logam mulia lainnya, yaitu perak, sebagai bahan dasar cincinnya. Perak dianggap sebagai pilihan yang elegan namun tetap berada dalam batas kesederhanaan yang dianjurkan.
Mengikuti sunnah Nabi dalam memakai batu cincin bukan sekadar ritual kosmetik. Ada hikmah besar di baliknya yang harus direnungkan. Pertama, ini adalah bentuk tawassul (mencari kedekatan) dengan Nabi melalui peneladanan perilakunya. Kedua, ini mengajarkan prinsip keseimbangan: memakai perhiasan diperbolehkan, namun harus dalam batasan yang wajar dan sesuai syariat.
Banyak Muslim yang hari ini mencari batu cincin seperti akik Yaman atau batu berwarna hijau (seperti yang diyakini sebagai Zabarjud) karena keyakinan bahwa batu tersebut membawa berkah dan mengingatkan pemakainya akan nilai-nilai keteladanan Rasulullah. Hal ini mendorong praktik spiritual yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari, mengubah benda mati menjadi pengingat keimanan.
Intinya, batu cincin yang dipakai Nabi Muhammad SAW, baik itu akik maupun yang lain, adalah cerminan dari kesederhanaan, kebijaksanaan dalam memilih, dan kepatuhan terhadap syariat. Bagi umat Islam, cincin tersebut bukan hanya perhiasan, melainkan simbol ikatan spiritual yang mendalam.