Batuan chalk, atau yang dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai kapur tulis atau hanya kapur, adalah jenis batuan sedimen karbonat yang unik. Meskipun sering diasosiasikan dengan benda sederhana untuk menulis di papan tulis, chalk memiliki sejarah geologi yang panjang dan kompleks. Batuan ini terbentuk dari akumulasi sisa-sisa organisme laut mikroskopis yang hidup jutaan tahun lalu.
Chalk adalah bentuk batu gamping (limestone) yang sangat lunak, berwarna putih atau abu-abu muda. Keunikan komposisinya terletak pada asal-usulnya. Tidak seperti batu gamping yang terbentuk dari fragmen cangkang organisme besar, chalk hampir seluruhnya terdiri dari kalsium karbonat ($\text{CaCO}_3$) yang berasal dari sisa-sisa coccolithophore. Coccolithophore adalah fitoplankton bersel tunggal yang memiliki lempengan kalsium karbonat yang sangat kecil yang disebut coccoliths.
Ketika organisme-organisme ini mati, coccolith mereka tenggelam perlahan ke dasar laut. Selama jutaan tahun, di lingkungan laut yang tenang dan dalam, lapisan demi lapisan sedimen mikroskopis ini terakumulasi. Di bawah tekanan air dan sedimen di atasnya, materi ini kemudian mengalami diagenesis—proses pemadatan dan sementasi—yang mengubahnya menjadi batuan padat yang kita kenal sebagai chalk. Proses ini membutuhkan waktu yang sangat lama, seringkali terjadi pada periode Kapur (Cretaceous), itulah sebabnya batuan ini mendapatkan namanya.
Karakteristik utama chalk adalah teksturnya yang lembut dan porositasnya yang tinggi. Karena tersusun dari partikel yang sangat halus, chalk mudah hancur ketika disentuh, memberikan kesan kapur. Tingkat kekerasannya sangat rendah, biasanya hanya berkisar antara 2 hingga 3 pada skala Mohs. Tingginya tingkat porositas ini membuat chalk mampu menahan air dengan baik, meskipun dalam kondisi batuan yang sudah terbentuk.
Secara kimia, komposisi utamanya adalah kalsium karbonat (seringkali lebih dari 95%). Kandungan mineral lain seperti silika atau lempung umumnya sangat sedikit, memberikan warna putih bersih yang khas. Di beberapa daerah, seperti di Inggris Selatan (misalnya, tebing Seven Sisters), chalk yang lebih padat dan terangkat secara tektonik membentuk bentang alam yang dramatis.
Sejak zaman prasejarah, kegunaan chalk telah dieksplorasi oleh manusia. Kegunaan yang paling umum dan ikonik adalah sebagai media tulis. Kapur tulis adalah bentuk chalk yang dipadatkan dan dibentuk menjadi batang-batang kecil, memfasilitasi pendidikan dan komunikasi visual di papan tulis selama berabad-abad.
Namun, kegunaan chalk jauh melampaui alat tulis. Dalam industri modern, chalk memiliki peran penting:
Meskipun formasi chalk yang besar dan terkenal secara global sering dikaitkan dengan Eropa Barat (seperti formasi Kapur di Inggris dan Prancis, yang namanya juga diambil dari periode geologisnya), Indonesia juga memiliki deposit batuan karbonat yang meliputi jenis chalk atau gamping halus. Penemuan deposit ini biasanya terkait dengan cekungan sedimen yang terbentuk pada periode Mesozoikum atau Paleosen, di mana kondisi laut mendukung pertumbuhan masif coccolithophore.
Memahami batuan chalk adalah memahami sejarah ekologi Bumi pada masa lampau. Setiap butiran putih kecil yang kita lihat adalah sisa-sisa kehidupan laut mikroskopis, yang terawetkan selama jutaan tahun, memberikan kita petunjuk berharga tentang komposisi kimia lautan purba dan iklim global di masa lalu. Keberadaan chalk adalah pengingat nyata bahwa Bumi terus-menerus membangun dirinya sendiri, lapis demi lapis, dari organisme terkecil sekalipun.