Batuan Rijang, atau yang dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Chert, merupakan salah satu jenis batuan sedimen silika mikrokristalin yang paling menarik dan tersebar luas di seluruh dunia. Meskipun seringkali tampak sederhana dengan warna yang bervariasi mulai dari putih, abu-abu, cokelat, hingga hitam, batuan ini menyimpan sejarah geologis yang panjang serta peran penting dalam perkembangan teknologi manusia purba. Rijang terbentuk dari presipitasi silika (SiO₂) yang sangat halus, seringkali melalui proses biogenik, di mana sisa-sisa organisme laut yang mengandung silika seperti diatom dan radiolaria terakumulasi.
Secara geologis, batuan ini diklasifikasikan berdasarkan komposisi mineralnya. Ketika ukurannya lebih besar, ia sering disebut sebagai flint (khususnya di Eropa Utara), sedangkan variasi yang lebih berlapis atau berbutir halus bisa disebut chert secara umum. Kekerasan dan kemampuan batuan ini untuk pecah dengan pola konkoidal (melengkung seperti cangkang) menjadikannya material yang sangat dicari sepanjang zaman.
Ilustrasi potongan batuan rijang mikrokristalin.
Pembentukan batuan rijang sangat erat kaitannya dengan lingkungan laut purba yang kaya akan organisme bersilika. Ada tiga teori utama mengenai asal-usul silika dalam batuan ini: biogenik (dari sisa-sisa organisme laut), diagenetik (perubahan setelah pengendapan), dan kimiawi (presipitasi langsung dari air laut). Dalam banyak kasus, seperti pada formasi flint di kapur Inggris, asal-usulnya bersifat biogenik.
Rijang sering ditemukan sebagai nodul (benjolan) di dalam batuan karbonat seperti batu gamping (limestone) atau sebagai lapisan (bedded chert). Ketika batuan induknya (misalnya batu gamping) larut oleh air asam, silika yang padat dan tahan pelapukan ini akan tertinggal dan membentuk lapisan yang lebih keras. Sifatnya yang sangat padat dan keras—memiliki tingkat kekerasan 7 pada skala Mohs—menjadikannya sangat resisten terhadap erosi kimiawi dan fisik dibandingkan batuan di sekitarnya.
Karakteristik paling menonjol dari rijang adalah fraktur konkoidalnya. Ketika dipukul dengan kekuatan yang tepat, batuan ini akan pecah membentuk tepi yang sangat tajam dan melengkung. Sifat inilah yang menjadikannya material tak ternilai bagi manusia prasejarah.
Sejak Zaman Batu (Paleolitikum), batuan rijang telah menjadi fondasi utama peradaban manusia awal. Kemampuan untuk menghasilkan pecahan tajam dari alat seperti mata panah, mata tombak, pisau, dan kapak, membuat rijang (bersama dengan obsidian dan kuarsa) menjadi komoditas paling penting. Para arkeolog sering mempelajari jejak bahan baku (provenance) batuan ini untuk melacak jaringan perdagangan kuno antar komunitas.
Selain sebagai perkakas litik, batuan rijang juga memiliki peran penting lainnya:
Istilah "batuan rijang" sering digunakan secara luas mencakup beberapa varian mikrokristalin silika yang memiliki asal-usul serupa. Variasi ini dibedakan berdasarkan warna, inklusi, dan tekstur:
Meskipun variasi ini memiliki penampilan yang berbeda, sifat dasar kekerasan, fraktur konkoidal, dan komposisi silika mikrokristalin tetap menjadi ciri khas yang mengikat mereka sebagai bagian dari kelompok batuan yang sama. Mempelajari persebaran batuan rijang memberikan wawasan berharga tidak hanya tentang sejarah geologis Bumi tetapi juga tentang migrasi dan inovasi teknologi manusia purba.