Batubara coklat, yang secara geologi lebih dikenal sebagai Lignit, adalah jenis batubara dengan peringkat terendah. Ia terbentuk dari material organik yang baru mengalami proses pembatubaraan (coalification), menjadikannya tahap awal sebelum berubah menjadi batubara sub-bituminus, bituminus, dan antrasit. Karena kandungan karbonnya yang lebih rendah dan kadar air yang sangat tinggi (seringkali mencapai 60%), batubara coklat memiliki nilai kalor yang jauh lebih rendah dibandingkan jenis batubara lainnya.
Secara fisik, lignit memiliki warna coklat gelap hingga coklat muda, tekstur yang relatif lunak dan mudah hancur, serta seringkali masih terlihat jelas sisa-sisa struktur tumbuhan asalnya. Meskipun demikian, batubara coklat merupakan cadangan energi fosil yang sangat signifikan di banyak negara dan memainkan peran penting dalam bauran energi global, terutama untuk pembangkitan listrik skala besar yang lokasinya berdekatan dengan tambang.
Visualisasi sederhana lapisan batubara coklat (lignit).
Pembentukan batubara coklat terjadi di lingkungan rawa-rawa purba di mana materi tumbuhan terperangkap dan terisolasi dari proses pembusukan penuh oleh oksigen. Tekanan dan suhu yang relatif rendah dalam waktu geologis yang singkat (dibandingkan batubara lain) menyebabkan dehidrasi parsial dan sedikit peningkatan kandungan karbon. Proses ini menghasilkan bahan bakar dengan tingkat 'kematangan' yang rendah.
Meskipun memiliki kualitas yang lebih rendah, ketersediaan lignit yang seringkali berada dekat permukaan bumi (memungkinkan penambangan terbuka atau *surface mining*) membuatnya ekonomis untuk dieksploitasi. Banyak negara, termasuk Jerman, Amerika Serikat, dan Australia, sangat bergantung pada lignit untuk memenuhi kebutuhan listrik domestik mereka karena kemudahannya diakses.
Namun, penggunaan batubara coklat datang dengan tantangan lingkungan yang signifikan:
Dalam konteks transisi energi global menuju energi terbarukan, lignit sering kali menjadi salah satu komoditas pertama yang ditargetkan untuk dihentikan penggunaannya karena jejak karbonnya yang tinggi. Penelitian terus dilakukan untuk meningkatkan efisiensi pembakarannya atau mengeksplorasi penggunaan bahan bakar alternatif, namun saat ini, batubara coklat tetap menjadi bagian kontroversial namun vital dari infrastruktur energi di banyak wilayah.