Fenomena "Nyarinya Susah Setelah Didapat Dibuang": Lebih Dalam dari Sekadar Barang

?

Frasa "nyarinya susah setelah didapat dibuang" mungkin terdengar sederhana, bahkan ironis. Namun, di balik ungkapan lugas ini, tersembunyi sebuah pola perilaku manusia yang kompleks dan menarik. Ini bukan hanya tentang barang fisik yang hilang timbul, tetapi lebih luas lagi mencakup konsep, hubungan, pencapaian, bahkan kebahagiaan. Fenomena ini menggambarkan sebuah siklus yang sering kali tidak disadari, namun sangat memengaruhi cara kita menghargai dan memperlakukan apa yang kita miliki.

Mari kita bedah lebih dalam. Bagian pertama, "nyarinya susah", mengacu pada perjuangan, usaha, waktu, dan sumber daya yang kita curahkan untuk memperoleh sesuatu. Bisa jadi itu adalah sebuah barang langka yang dicari di berbagai tempat, sebuah pengetahuan yang sulit diakses, atau bahkan kesempatan yang membutuhkan banyak pengorbanan untuk diraih. Tingkat kesulitan dalam mencari sering kali berkorelasi dengan nilai yang kita berikan pada objek pencarian tersebut. Semakin sulit didapatkan, semakin besar pula ekspektasi kita terhadapnya.

Kemudian, ketika sesuatu itu akhirnya berhasil didapatkan – bagian "setelah didapat" – terjadi sebuah transisi emosional dan persepsi. Seringkali, rasa lega, bangga, dan kepuasan menghampiri. Namun, ironisnya, justru pada titik inilah potensi pergeseran perilaku muncul. Terkadang, setelah perjuangan panjang, rasa "memiliki" menjadi sangat kuat, namun tanpa disadari, perhatian terhadap pemeliharaan atau apresiasi terhadap nilai jangka panjangnya justru berkurang. Alih-alih dijaga dan dimanfaatkan dengan baik, ada kecenderungan untuk menganggap remeh, seolah kepuasan sesaat dari pencapaian itu sudah cukup.

Puncak dari fenomena ini adalah bagian "dibuang". Ini adalah akhir yang menyedihkan dari sebuah siklus. Sesuatu yang tadinya begitu dicari, diperjuangkan, dan akhirnya dimiliki, kini berakhir di tempat sampah, terlupakan, atau tidak lagi dihargai. Ini bisa terjadi karena berbagai alasan. Mungkin nilainya ternyata tidak sesuai dengan ekspektasi awal, mungkin ada hal lain yang lebih "baru" dan menarik perhatian, atau mungkin karena kurangnya pemahaman akan pentingnya menjaga dan merawat apa yang telah diperoleh.

Dalam konteks barang, ini bisa berupa gawai mahal yang dibeli setelah menabung bertahun-tahun, namun kemudian dibiarkan usang karena model baru keluar. Dalam konteks hubungan, bisa jadi pasangan yang didambakan setelah penolakan demi penolakan, namun setelah bersama, perhatian mulai memudar. Dalam konteks karir, sebuah posisi idaman yang diraih melalui berbagai rintangan, namun kemudian terasa membosankan dan tidak lagi memotivasi. Bahkan, dalam hal kesehatan, kita seringkali baru menyadari pentingnya menjaga tubuh setelah sakit keras, namun setelah sembuh, gaya hidup buruk kembali lagi.

Mengapa fenomena ini begitu umum terjadi? Salah satu faktor utamanya adalah kesenangan sesaat dari pencapaian (dopamine hit) yang seringkali lebih kuat dibandingkan kepuasan jangka panjang dari pemeliharaan. Otak kita cenderung lebih responsif terhadap stimulus baru dan tantangan. Setelah tantangan itu teratasi, hal tersebut menjadi "biasa", dan kita mulai mencari tantangan atau stimulus baru.

Selain itu, ekspektasi yang terlalu tinggi juga memainkan peran besar. Ketika kita memimpikan sesuatu, kita seringkali mengabaikan detail-detail kecil atau tantangan yang akan muncul setelah kita mendapatkannya. Realitas seringkali tidak seindah bayangan, dan ketika perbedaan itu terasa, kekecewaan bisa muncul, yang berujung pada hilangnya apresiasi.

Bagaimana cara kita memutus siklus ini? Kuncinya terletak pada perubahan pola pikir dan perilaku. Pertama, ubah persepsi kita tentang "mendapatkan". Alih-alih melihatnya sebagai akhir dari sebuah pencarian, anggaplah sebagai awal dari sebuah proses pemeliharaan dan apresiasi. Kedua, latih rasa syukur. Sadari betapa beruntungnya kita memiliki apa yang kita punya, terlepas dari seberapa sulit itu didapatkan. Ketiga, pertimbangkan kembali nilai jangka panjang dari apa yang kita cari atau miliki. Apakah ini benar-benar memberikan manfaat berkelanjutan, atau hanya kesenangan sesaat?

Memahami frasa "nyarinya susah setelah didapat dibuang" adalah langkah awal untuk menjadi individu yang lebih bijak dalam menghargai segala sesuatu. Ini mendorong kita untuk lebih introspektif, melihat ke dalam diri sendiri, dan bertanya: apa yang sebenarnya kita cari, dan bagaimana kita memperlakukan apa yang telah kita temukan?

Ironi dari perjuangan yang tak berujung, namun berujung pada ketidakpedulian.

🏠 Homepage