Kelahiran adalah anugerah, sebuah awal dari perjalanan panjang kehidupan. Di balik setiap kehidupan yang bermula, selalu ada dua sosok pahlawan tanpa tanda jasa yang mencurahkan segalanya: ayah dan ibu. Mereka adalah sumber kasih, pelabuhan perlindungan, dan guru pertama yang membimbing langkah kita dari ketergantungan hingga kemandirian. Menghormati dan berbakti kepada orang tua bukan hanya sekadar kewajiban moral atau agama, tetapi juga sebuah pengakuan tulus atas pengorbanan tak terhingga yang telah mereka berikan. Dalam kesederhanaan bait-bait puisi, kita bisa merangkum rasa terima kasih dan cinta yang mendalam.
Ayah dan ibu telah memberikan segalanya. Mereka rela menahan lapar demi kita kenyang, menanggung lelah demi kita bahagia, dan mengorbankan waktu serta tenaga demi masa depan anak-anaknya. Garis-garis di wajah mereka adalah peta perjalanan pengorbanan, rambut putih adalah tanda perjuangan, dan setiap kerutan adalah saksi bisu dari doa-doa yang tak pernah putus. Mencintai dan menghormati mereka adalah cara kita membalas budi, meskipun sadar bahwa budi baik mereka takkan pernah sepenuhnya terbalas. Momen-momen sederhana bersama mereka, suara tawa mereka, nasihat-nasihat bijak mereka, semuanya adalah permata tak ternilai yang harus kita jaga.
Menginjak dewasa, seringkali kita disibukkan oleh berbagai tuntutan hidup. Karier, keluarga baru, dan impian pribadi terkadang membuat kita lupa untuk memberikan perhatian yang layak kepada orang tua. Padahal, di usia senja mereka, kehadiran dan perhatian kita adalah obat penawar rindu terbaik, pelipur lara terampuh, dan penyemangat terkuat. Budaya Indonesia sangat menjunjung tinggi nilai hormat kepada orang tua, dan ini tercermin dalam berbagai tradisi maupun ajaran. Puisi tentang berbakti kepada orang tua hadir sebagai pengingat agar kita tidak pernah terlena oleh kesibukan duniawi, dan selalu menyempatkan diri untuk menunjukkan cinta dan penghormatan yang tulus.
Berikut adalah tiga bait puisi yang mencoba menangkap esensi berbakti kepada orang tua:
Darah mengalir, cinta tak bertepi,
Ayah dan Ibu, pelita hati.
Susah payah kau besarkan kami,
Doa restu, tak pernah berhenti.
Tangan kasarmu tak pernah lelah,
Bimbing langkah, hapus resah.
Kini rambutmu memutih, wajah lelah,
Cinta kami padamu, takkan pernah punah.
Semoga ridho-Mu senantiasa ada,
Tuk balas budi sepanjang masa.
Menjaga senyummu, itu bahagia,
Berbakti padamu, hingga akhir usia.
Bait pertama menggambarkan awal kehidupan dan pondasi cinta yang diberikan orang tua sejak dini. Kasih sayang mereka yang tak terbatas, pengorbanan mereka dalam membesarkan anak, serta doa-doa tulus yang tak pernah putus menjadi sumber kekuatan dan keberkahan. Ini adalah pengingat bahwa seluruh keberadaan kita berawal dari mereka, dan cinta mereka adalah pelita yang menerangi jalan.
Bait kedua berfokus pada perjuangan fisik dan emosional orang tua dalam membimbing anak. Tangan yang dulu kuat menopang kini mungkin menua, wajah yang dulu berbinar kini menunjukkan lelah. Namun, cinta dan bimbingan yang mereka berikan tak pernah pudar. Bait ini adalah ungkapan rasa terima kasih atas dedikasi yang tak terhitung, serta janji bahwa cinta anak akan selalu menyertai, mengiringi penuaan mereka dengan kehangatan yang sama.
Bait ketiga adalah harapan dan janji untuk masa depan. Keinginan agar restu dan ridho orang tua senantiasa menyertai langkah, serta tekad untuk terus berbakti sebagai bentuk pembalasan budi yang takkan pernah cukup. Menjaga kebahagiaan mereka, melihat senyum di wajah mereka, adalah tujuan utama. Puisi ini menutup dengan penegasan bahwa berbakti kepada orang tua adalah perjalanan seumur hidup, sebuah komitmen yang akan terus dijalani hingga akhir hayat.
Berbakti kepada orang tua dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk. Mulai dari hal-hal sederhana seperti menelepon mereka secara rutin, menanyakan kabar, mendengarkan cerita mereka, hingga membantu meringankan beban mereka jika memungkinkan. Ketika mereka sakit, kehadiran kita adalah obat penyemangat yang luar biasa. Jika kita diberi kesempatan untuk membahagiakan mereka, janganlah ragu. Ridho Allah seringkali bersumber dari ridho orang tua, sebuah kutipan yang patut direnungkan.
Puisi ini hanyalah secuil ungkapan rasa syukur dan cinta. Lebih dari sekadar kata-kata, tindakan nyata dan ketulusan hati adalah bukti berbakti yang sesungguhnya. Mari kita jadikan setiap hari sebagai kesempatan untuk menunjukkan cinta dan penghormatan kita kepada pahlawan sejati dalam hidup kita. Ingatlah, waktu bersama mereka adalah anugerah yang takkan terulang.