Dalam hiruk pikuk dunia yang serba materi, seringkali kita lupa bahwa di sudut-sudut tergelap kehidupan, bersemayam jiwa-jiwa yang terbungkus kemiskinan. Bukan hanya kekurangan harta yang mereka rasakan, tetapi juga beban sosial yang tak terperi. Ironisnya, seringkali mereka menjadi objek pandangan merendahkan, bisikan hina, dan cemoohan yang menusuk kalbu.
Kondisi ekonomi yang sulit seringkali disalahartikan sebagai cerminan karakter. Orang miskin kerap dicap malas, tidak becus, atau bahkan dianggap membawa kesialan. Pandangan sinis ini, bagai bilah pedang, merobek rasa harga diri mereka yang sudah rapuh. Setiap tatapan meremehkan, setiap perkataan merendahkan, adalah duri yang tertanam dalam relung hati. Mereka tak punya harta untuk dibanggakan, namun mereka punya perasaan yang sama dalam meresapi luka.
Apakah kemiskinan adalah sebuah pilihan? Tentu tidak. Bagi banyak orang, kemiskinan adalah jerat takdir yang sulit dilepaskan. Lingkaran setan kemiskinan seringkali dimulai dari minimnya akses pendidikan, kesehatan, dan peluang kerja. Ketika dasar kehidupan sudah goyah, bagaimana mungkin mereka bisa bangkit tanpa uluran tangan, apalagi jika yang datang adalah tangan yang menghakimi?
Puisi orang miskin yang dihina adalah cerminan dari sebuah realitas pahit. Ini bukan sekadar ungkapan kekecewaan, tetapi sebuah jeritan eksistensi yang meminta pengakuan. Mereka mungkin tidak memiliki kekayaan materi, tetapi mereka memiliki cerita, mimpi, dan harapan yang sama seperti manusia lainnya. Namun, suara mereka seringkali tenggelam dalam kebisingan dunia yang memprioritaskan tampilan luar.
Dihina karena penampilan kumal, karena rumah reyot, atau karena sekadar tidak memiliki sesuatu yang dianggap "layak" oleh masyarakat. Hinaan ini bukan hanya menyentuh fisik, tetapi juga merusak mental. Ia menciptakan rasa inferioritas yang mendalam, membuat mereka merasa tidak berharga dan tidak pantas mendapatkan kebahagiaan. Ini adalah siksaan mental yang seringkali lebih berat daripada kelaparan itu sendiri.
Penting bagi kita untuk merenungkan kembali bagaimana kita memandang dan memperlakukan sesama. Apakah kita hanya melihat permukaan, ataukah kita berusaha menembus lapisan luar untuk melihat kemanusiaan yang sesungguhnya? Kemiskinan bukanlah aib, dan martabat manusia tidak dapat diukur dengan kekayaan.
Sebagai individu dan masyarakat, mari kita tumbuhkan empati. Mari kita ubah cara pandang kita, dari menghakimi menjadi memahami. Berikan kesempatan, berikan dukungan, dan yang terpenting, berikan rasa hormat. Ketika rasa hormat diberikan, bahkan di tengah kemiskinan yang membelenggu, secercah cahaya harapan akan muncul. Biarkan puisi mereka, bukan lagi berisi ratapan penghinaan, tetapi nyanyian perjuangan dan ketahanan jiwa manusia.
Setiap individu berhak mendapatkan perlakuan yang layak, terlepas dari status sosial atau ekonominya. Mendengar dan memahami jeritan hati mereka yang terpinggirkan adalah langkah awal menuju masyarakat yang lebih adil dan manusiawi. Mari kita hapuskan stigma negatif terhadap kemiskinan dan gantikan dengan tindakan nyata yang membangun martabat.