Gunung, sebuah mahakarya alam yang memukau, selalu membangkitkan rasa takjub dan kekaguman dalam diri manusia. Keberadaannya yang menjulang tinggi seolah menjadi saksi bisu dari perputaran waktu, pergantian musim, dan kisah-kisah yang terukir di bumi. Puisi tentang gunung, dalam tiga bait yang disajikan, mencoba menangkap esensi keagungan, ketahanan, dan keindahan misterius yang dimiliki oleh struktur geologis raksasa ini.
Bait pertama, "Puncak Saksi Bisikan Alam," melukiskan citra gunung sebagai penguasa lanskap, yang puncaknya seolah meraih langit. Ini adalah gambaran visual yang kuat, membangkitkan rasa hormat dan sedikit ketakutan akan ketinggiannya. Frasa "angin berbisik cerita nan murni" memberikan sentuhan puitis, menyiratkan bahwa gunung adalah gudang pengetahuan alam, menyimpan rahasia-rahasia kuno yang hanya bisa didengar oleh mereka yang mau merenung. Keberadaan angin di puncak gunung menciptakan simfoni alam yang unik, yang dapat diartikan sebagai suara alam itu sendiri yang berbicara kepada kita. Gunung, dengan kestabilannya, menjadi pengingat akan sifat abadi alam semesta, kontras dengan kefanaan kehidupan manusia.
Selanjutnya, bait kedua, "Kekuatan dalam Diam," menggeser fokus dari penampilan visual ke kualitas intrinsik gunung. "Batu kokoh, saksi berjuta cerita" menekankan daya tahan dan umur panjang gunung. Ia bukan hanya tumpukan batu, tetapi sebuah arsip sejarah alam yang hidup. Gunung mengajarkan pelajaran berharga tentang keteguhan hati dan kesetiaan. Dalam ketenangan dan keheningan yang menyelimutinya, tersimpan kekuatan yang luar biasa. Ini adalah kekuatan yang tidak perlu diumbar atau diteriakkan, melainkan terpancar dari keberadaannya yang teguh dan tak tergoyahkan oleh badai atau zaman. Gunung menginspirasi kita untuk menemukan kekuatan dalam kesabaran dan ketekunan, untuk tetap berdiri tegak menghadapi tantangan hidup, seperti halnya gunung yang tak pernah gentar diterpa cuaca.
Bait ketiga, "Rembulan dan Bintang," membawa kita pada suasana malam yang magis di pegunungan. Transisi dari terang ke gelap menciptakan kontras yang dramatis, di mana wajah gunung yang tadinya gagah di bawah matahari, kini menjadi siluet yang diselimuti misteri oleh cahaya rembulan. Kehadiran rembulan dan bintang menjadi teman setia sang gunung, menambahkan dimensi keindahan kosmik. Gambaran ini membangkitkan perasaan damai, kontemplasi, dan rasa syukur atas keindahan ciptaan yang tak terhingga. Gunung di malam hari menawarkan perspektif yang berbeda, mengingatkan kita akan keluasan alam semesta dan tempat kita di dalamnya. Keindahan ini seringkali merupakan karunia yang diberikan oleh Sang Pencipta, sebuah pengingat akan kebesaran-Nya yang terpantul dalam setiap ciptaan-Nya.
Secara keseluruhan, puisi tiga bait ini berusaha menangkap berbagai aspek gunung: keagungan fisiknya, kekuatannya yang tersembunyi, dan keindahan malamnya yang menawan. Gunung bukan hanya objek pemandangan, tetapi juga sumber inspirasi, guru kehidupan, dan pengingat akan kekuatan serta keabadian alam. Puisi ini mengundang pembaca untuk merenungkan kembali hubungan mereka dengan alam, untuk menghargai keindahan yang seringkali terabaikan di tengah kesibukan dunia modern. Melalui kata-kata, kita diajak untuk mendaki "gunung" dalam diri kita sendiri, menemukan keteguhan, kedamaian, dan keindahan yang tak terduga.