Kerinduan adalah tamu tak diundang, menyelinap di sela-sela tawa, merayap dalam sunyi malam. Ia hadir tanpa permisi, membekas dalam tiap helaan napas, menghadirkan potret wajah yang terkasih dalam ruang imajinasi. Ketika jarak membentang bagai samudra tak bertepi, dan waktu terasa berjalan begitu lambat, puisi menjadi pelarian, jembatan emosi yang menghubungkan dua hati yang berjauhan.
Setiap kata yang tertulis, setiap bait yang terucap, adalah percikan asa, desiran harapan agar rindu ini segera berlabuh pada pertemuan. Ia hadir dalam bentuk bisikan angin yang menerpa jendela, dalam gemericik hujan yang menabuh atap, bahkan dalam kesendirian yang ditemani secangkir kopi hangat di kala senja.
Merindukan seseorang bukan hanya tentang absennya fisik, melainkan tentang ruang kosong yang ditinggalkan dalam hati, tentang tawa yang kini bergema hanya dalam ingatan, tentang sentuhan yang hanya bisa dirasakan dalam angan-angan. Puisi-puisi rindu lahir dari kekosongan itu, mencoba mengisi kembali setiap celah dengan kehangatan memori dan impian akan kehadiran kembali.
Di hamparan langit yang kelam,
Bayangmu menari, tak pernah padam.
Detik berganti, serupa kelam,
Hatiku merintih, merindu, terbenam.
Puisi tentang merindukan seseorang sering kali menjadi cerminan dari gejolak batin. Ia bisa berbentuk ratapan pilu, namun tak jarang pula mengandung kekuatan yang justru muncul dari kerinduan itu sendiri. Kerinduan dapat menjadi penyemangat, pengingat akan arti pentingnya seseorang dalam hidup kita. Ia mengajarkan kita untuk lebih menghargai setiap momen ketika kita bersama.
Dalam kesunyian, kita mungkin menemukan diri kita berbicara dengan bayangan, berbisik pada udara kosong, berharap setiap kata akan sampai kepada telinga yang dirindukan. Puisi menjadi sarana untuk menyuarakan bisikan-bisikan itu, mengubahnya menjadi rangkaian kata yang lebih bermakna, yang dapat dibagikan, atau sekadar disimpan sebagai pengobat hati.
Senja memerah, jingga membayang,
Di sudut jiwa, namamu terbayang.
Ingin kupetik bintang, untuk kau pegang,
Namun jarak memisah, tak bisa terhalang.
Kerinduan juga mengajarkan kita tentang kesabaran. Menunggu adalah bagian tak terpisahkan dari merindu. Menunggu kepulangan, menunggu pesan, menunggu kabar. Dan dalam penantian itu, kita belajar untuk menemukan kekuatan dalam diri sendiri, dalam kesetiaan rasa yang tak pernah lekang oleh waktu atau jarak.
Setiap pertemuan yang pernah terjalin menjadi harta karun tak ternilai ketika rindu itu melanda. Kilas balik momen-momen indah menjadi bahan bakar untuk terus melangkah, untuk terus percaya bahwa jarak hanyalah ujian sementara. Puisi-puisi ini adalah bukti nyata bahwa cinta dan rindu dapat mengatasi segalanya, bahwa hati yang terhubung akan selalu menemukan jalannya kembali.
Andai kata bisa terbang,
Kan kuutus ia terbang ke arahmu.
Membawa semua rasa yang terpendam,
Rindu yang dalam, yang selalu kuragu.
Merindu adalah sebuah seni. Seni untuk menjaga api cinta tetap menyala meski terpisah oleh dimensi ruang dan waktu. Seni untuk merangkai harapan dalam tiap bait puisi, dalam setiap doa yang terucap tulus. Biarlah puisi ini menjadi saksi, bahwa di ujung senja yang kian memudar, selalu ada asa untuk sebuah pertemuan kembali.