Ilustrasi Khas Budaya Sunda
Budaya Sunda kaya akan ekspresi seni, salah satunya adalah melalui sastra lisan yang mendalam. Sajak atau puisi dalam bahasa Sunda kerap kali menjadi medium untuk menyampaikan nilai-nilai kehidupan, keindahan alam, dan perasaan yang menyentuh kalbu. Dalam artikel ini, kita akan menyelami keindahan dua bait sajak Sunda yang sederhana namun sarat makna, serta mengupas potensi pesona yang terkandung di dalamnya.
Sajak Sunda memiliki ciri khas tersendiri. Biasanya, sajak tidak terikat oleh aturan rima dan metrum yang kaku layaknya pantun atau pupuh. Kebebasan inilah yang memungkinkan penyair untuk mengekspresikan diri secara lebih luwes dan emosional. Setiap bait yang diciptakan seolah mengalir dari hati ke hati, menyentuh relung-relung terdalam jiwa pembaca.
Dalam konteks budaya Sunda, sajak seringkali terinspirasi oleh alam sekitar yang begitu indah. Hamparan sawah hijau, gemericik air sungai, hingga keheningan gunung menjadi sumber inspirasi tak berujung. Selain itu, nilai-nilai kekeluargaan, persahabatan, dan kearifan lokal juga seringkali diangkat menjadi tema sentral. Melalui untaian kata, penyair seolah mengajak kita untuk merenungi arti kebersamaan dan pentingnya menjaga harmoni dengan lingkungan.
Sajak Bumi Rancage
Ngahariring langit biru,
Awan bodas ngalangkang,
Angin semilir ngadaling-daling,
Mawa ririwa leuweung jati.
Kukuncen gunung nu ngalungsar,
Ngariksa bumi nu subur rancage,
Ciampana ngalir herang,
Ngagurilap dina batu karang.
Bait pertama sajak ini segera membawa kita pada gambaran alam yang begitu damai dan menyejukkan. Frasa "Ngahariring langit biru" dan "Awan bodas ngalangkang" menciptakan visual yang segar. Langit biru yang membentang luas dan awan putih yang berarak perlahan memberikan kesan ketenangan. Ditambah lagi dengan "Angin semilir ngadaling-daling," yang menggambarkan hembusan angin sepoi-sepoi yang lembut, seolah berbisik membawa kesejukan.
Puncak dari keindahan di bait pertama adalah "Mawa ririwa leuweung jati." Kata "ririwa" dalam bahasa Sunda bisa diartikan sebagai suara-suara halus, bisikan, atau nuansa alam yang samar namun terasa. Di sini, angin membawa nuansa atau suara dari hutan jati yang lebat. Ini bukan hanya sekadar deskripsi visual, tetapi juga menangkap esensi pendengaran dari sebuah lanskap alam yang masih asri. Bait ini berhasil menciptakan atmosfer kedamaian dan keasrian alam yang memukau.
Beranjak ke bait kedua, narasi bergeser menjadi lebih metaforis dan filosofis. "Kukuncen gunung nu ngalungsar" menggambarkan gunung yang menjulang tinggi dan seolah beristirahat, namun dengan peran sebagai "kukuncen" atau penjaga. Ini memberikan rasa hormat dan kekaguman terhadap keagungan gunung yang turut menjaga kelestarian alam di sekitarnya.
Ungkapan "Ngariksa bumi nu subur rancage" semakin memperkuat peran sang gunung sebagai pelindung dan pengawas terhadap bumi yang subur dan makmur. Kata "rancage" sendiri memiliki makna yang kaya, mencakup kesuburan, keindahan, dan kesejahteraan. Ini menunjukkan harapan akan tanah yang subur dan kehidupan yang berkelanjutan.
Terakhir, "Ciampana ngalir herang, Ngagurilap dina batu karang" menambahkan sentuhan keindahan visual yang tak kalah mempesona. "Ciampana" merujuk pada sungai kecil atau aliran air. Air yang jernih ("herang") dan berkilauan ("ngagurilap") di atas bebatuan karang menjadi simbol kemurnian dan vitalitas alam. Keberadaan air yang bersih ini menjadi bukti kesuburan dan kehidupan yang terus mengalir.
Meskipun hanya terdiri dari dua bait, sajak ini mampu merangkum banyak hal. Ia menunjukkan apresiasi yang tinggi terhadap alam Sunda, mengaitkan keindahan alam dengan kesuburan dan kesejahteraan. Sajak ini juga menyiratkan pentingnya menjaga kelestarian alam, karena alam yang subur adalah pondasi bagi kehidupan yang makmur. Konsep gunung sebagai penjaga dan air yang jernih mengalir adalah metafora yang kuat tentang keseimbangan ekosistem yang harus dijaga.
Sajak Sunda, bahkan dalam bentuk yang ringkas sekalipun, memiliki kekuatan untuk membangkitkan rasa cinta tanah air, kepedulian terhadap lingkungan, dan kekaguman pada penciptaan. Ia adalah jendela untuk memahami jiwa dan kearifan masyarakat Sunda yang hidup selaras dengan alamnya. Pesona dua bait sajak ini terletak pada kemampuannya membangkitkan imajinasi, menenangkan hati, dan mengingatkan kita akan keindahan dunia yang seringkali terlupakan.
Melestarikan sastra seperti sajak Sunda adalah tanggung jawab kita bersama. Dengan mengenalnya lebih dekat, kita turut menjaga warisan budaya yang berharga ini agar tetap hidup dan terus menginspirasi generasi mendatang.