Bilal bin Rabah adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang paling dihormati, dikenal karena kesetiaannya yang teguh dan suaranya yang merdu saat mengumandangkan adzan. Setelah wafatnya Rasulullah SAW, kehidupan Bilal mengalami perubahan mendalam. Ia kehilangan semangatnya untuk mengumandangkan adzan di Madinah, kota yang dipenuhi kenangan bersama Nabi.
Setelah penaklukan Mekkah dan berlalunya masa-masa awal Islam, Bilal tetap menjadi sosok yang dihormati, namun kesedihan karena kehilangan sang pembimbing utama terasa begitu berat. Hingga suatu ketika, setelah masa kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, terdapat permintaan mendesak dari kaum Muslimin di Syam (Damaskus saat itu) yang meminta kehadiran beliau.
Ketika Umar bin Khattab menjabat sebagai khalifah, permintaan untuk Bilal mengumandangkan adzan kembali mengemuka, khususnya saat penaklukan Baitul Maqdis (Yerusalem). Saat itu, umat Islam menantikan momen bersejarah itu, dan mereka semua sepakat bahwa hanya Bilal yang pantas melakukannya.
Umar bin Khattab pun menyanggupi permintaan tersebut. Bilal yang saat itu berada di Syam, diminta untuk naik ke tempat yang tinggi dan mengumandangkan adzan. Momen inilah yang kemudian dikenal sebagai momen adzan terakhir Bilal di hadapan publik dalam arti yang sangat emosional, menandai puncak kerinduannya yang terbayar.
Adzan yang Menggetarkan Jiwa
Ketika Bilal mulai mengucapkan 'Allahu Akbar', getaran suara itu langsung menyelimuti kota Yerusalem. Para sahabat yang hadir, termasuk Umar bin Khattab, menangis tersedu-sedu. Suara itu bukan sekadar panggilan shalat, melainkan gema kenangan masa Rasulullah SAW, masa ketika Islam baru bersemi dan diperjuangkan dengan penuh pengorbanan.
Air mata Umar tak terbendung. Ia mengenang masa-masa ketika ia sendiri sering mendengar suara Bilal bersama Rasulullah. Mendengar suara itu lagi, setelah bertahun-tahun berlalu, memicu gelombang nostalgia yang luar biasa. Banyak sahabat lain yang ikut menangis, bahkan ada yang pingsan karena terharu.
Setelah adzan selesai, suasana hening sejenak. Kemudian, ada permintaan lain yang datang, sebuah permintaan yang terasa memberatkan hati Bilal namun tetap ia penuhi demi umat. Mereka memintanya untuk kembali mengumandangkan iqamah, penanda dimulainya shalat.
Ketika Bilal mengucapkan 'Allahu Akbar' lagi untuk iqamah, air mata dan kesedihan kembali memuncak. Bagi Bilal, momen itu adalah pengingat bahwa meski Rasulullah telah tiada, syiar Islam tetap harus ditegakkan dengan semangat yang sama.
Namun, kisah ini juga mengandung sisi personal yang menyentuh. Setelah momen bersejarah di Yerusalem itu, Bilal dilaporkan sangat jarang mau mengumandangkan adzan lagi. Ketika ditanya mengapa, Bilal menjawab dengan hati yang pilu, "Aku tidak akan mengumandangkan adzan setelah wafatnya Rasulullah SAW." Baginya, adzan itu terikat erat dengan kehadiran fisik Rasulullah SAW di dunia.
Meskipun demikian, Bilal bin Rabah tetap berjuang membela Islam hingga akhir hayatnya di Damaskus. Kisah adzan terakhirnya, atau lebih tepatnya, momen ketika ia terpaksa mengumandangkan adzan yang begitu mengharukan di hadapan Khalifah Umar, menjadi simbol kesetiaan abadi seorang muazin pertama Islam terhadap panggilan Ilahi dan kenangan pada Nabinya.
Kehidupan Bilal adalah pelajaran tentang keteguhan iman, pengorbanan, dan bagaimana suara seorang hamba dapat menjadi penanda sejarah peradaban. Adzan yang ia kumandangkan, baik yang pertama maupun yang terakhir kali membuatnya terisak, akan selalu dikenang sebagai pengingat akan kejayaan Islam di masa awal.