Dalam khazanah ajaran Islam, terdapat mutiara-mutiara Al-Qur'an yang memiliki keutamaan luar biasa, berfungsi sebagai pelindung, penerang hati, dan penguat iman. Di antara mutiara-mutiara tersebut, Surah Al-Ikhlas, Surah Al-Falaq, dan Surah An-Nas menempati posisi yang sangat istimewa. Ketiga surah ini sering disebut sebagai Al-Mu'awwidzat (surah-surah perlindungan) karena kandungan doanya memohon perlindungan kepada Allah SWT dari berbagai bentuk kejahatan, baik yang bersifat fisik maupun spiritual. Artikel ini akan mengupas tuntas ketiga surah tersebut, mulai dari teks Arabnya, transliterasi, terjemahan, tafsir mendalam, hingga fadhilah (keutamaan) dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Membaca dan memahami ketiga surah ini bukan hanya sekadar rutinitas ibadah, melainkan juga merupakan fondasi penting dalam membangun tauhid yang kokoh (melalui Al-Ikhlas) dan benteng spiritual yang kuat (melalui Al-Falaq dan An-Nas). Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang penuh tantangan, godaan, dan ketidakpastian, kehadiran surah-surah ini menjadi oase ketenangan, sumber kekuatan, dan pengingat akan kebesaran serta perlindungan Allah Yang Maha Kuasa. Mari kita selami makna dan hikmah yang terkandung di dalamnya.
Surah Al-Ikhlas adalah surah ke-112 dalam Al-Qur'an, tergolong surah Makkiyah (diturunkan di Mekah). Meskipun singkat, hanya terdiri dari 4 ayat, kandungan maknanya sangatlah agung dan fundamental dalam Islam. Kata "Al-Ikhlas" sendiri berarti "kemurnian" atau "memurnikan", yang merujuk pada kemurnian tauhid (keesaan Allah) yang diajarkan surah ini. Surah ini secara tegas menolak segala bentuk kemusyrikan dan menetapkan sifat-sifat Allah yang Maha Esa, Maha Berdiri Sendiri, dan tidak membutuhkan apa pun dari makhluk-Nya. Tidak ada satu pun surah dalam Al-Qur'an yang secara eksplisit dan ringkas menjelaskan hakikat Dzat Allah seperti Al-Ikhlas. Oleh karena itu, ia sering disebut sebagai "jantung" Al-Qur'an karena inti dari seluruh ajaran Islam adalah tauhid.
Bismillahirrahmanirrahim.
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
1. Qul huwallāhu aḥad
1. Katakanlah (Muhammad), "Dialah Allah, Yang Maha Esa."
2. Allāhuṣ-ṣamad
2. Allah tempat meminta segala sesuatu.
3. Lam yalid wa lam yūlad
3. (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.
4. Wa lam yakul lahū kufuwan aḥad
4. Dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia.
Menurut beberapa riwayat, surah Al-Ikhlas diturunkan sebagai jawaban atas pertanyaan kaum musyrikin Mekah kepada Nabi Muhammad SAW mengenai silsilah atau hakikat Tuhan yang disembahnya. Mereka bertanya, "Wahai Muhammad, sifatkanlah Tuhanmu kepada kami!" Atau, dalam riwayat lain, kaum Yahudi berkata, "Sebutkanlah kepada kami nasab Tuhanmu!" Pertanyaan ini menunjukkan upaya mereka untuk memahami Allah dengan standar makhluk, yaitu memiliki keturunan atau asal-usul. Sebagai jawaban, Allah menurunkan surah Al-Ikhlas yang dengan tegas menjelaskan keesaan dan sifat-sifat-Nya yang mutlak, tidak bisa disamakan dengan makhluk.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ubay bin Ka'ab bahwa kaum musyrikin berkata kepada Nabi SAW, "Wahai Muhammad, sebutkanlah kepada kami nasab (silsilah keturunan) Tuhanmu!" Maka Allah menurunkan surah Al-Ikhlas ini. Riwayat lain dari Ibnu Abbas menyebutkan bahwa beberapa kaum Yahudi, termasuk Ka'ab bin Al-Asyraf, datang kepada Nabi SAW dan bertanya, "Sifatkanlah Tuhanmu kepada kami, wahai Muhammad! Apakah Dia terbuat dari emas, perak, atau tembaga?" Pertanyaan-pertanyaan semacam ini bertujuan untuk merendahkan atau mengobjektifikasi Dzat Tuhan, mencoba membatasi-Nya dengan materi atau keterbatasan dunia. Surah Al-Ikhlas hadir untuk membantah segala bentuk pemikiran materialistis dan antropomorfis tentang Allah, menegaskan bahwa Dia adalah Dzat yang Maha Sempurna, tidak bergantung pada apa pun, dan tidak menyerupai apa pun.
Asbabun nuzul ini menegaskan bahwa surah Al-Ikhlas adalah deklarasi ilahi yang mutlak, tidak hanya sebagai ajaran spiritual tetapi juga sebagai bantahan langsung terhadap konsep-konsep ketuhanan yang keliru dan menyimpang.
Surah ini merupakan manifesto tauhid, inti ajaran Islam. Setiap ayatnya mengandung makna yang sangat mendalam dan penting untuk dipahami:
Ayat 1: قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌ (Qul huwallāhu aḥad) - Katakanlah (Muhammad), "Dialah Allah, Yang Maha Esa."
Ayat ini adalah fondasi tauhid. "Qul" (Katakanlah!) adalah perintah langsung dari Allah kepada Nabi Muhammad SAW untuk menyampaikan pesan ini kepada seluruh umat manusia. Ini bukan sekadar ajaran yang bersifat internal, melainkan harus dideklarasikan secara terang-terangan, tanpa keraguan. "Huwallāhu Aḥad" berarti "Dia adalah Allah, Yang Maha Esa." Kata "Allah" adalah nama Dzat Tuhan yang Maha Agung, satu-satunya yang berhak disembah.
Yang menarik adalah penggunaan kata "Aḥad" (Esa) dan bukan "Wahid" (Satu). Dalam bahasa Arab, "Wahid" bisa berarti "satu dari banyak" (misalnya, satu apel dari beberapa apel), atau "nomor satu" yang masih memungkinkan adanya nomor dua, tiga, dan seterusnya. Sedangkan "Aḥad" memiliki makna yang lebih mendalam: ia berarti "satu-satunya," yang tidak memiliki tandingan, tidak bersekutu, tidak terbagi, tidak memiliki bagian, dan tidak ada yang menyamai dalam segala sifat dan perbuatan-Nya. Ahad menunjukkan keesaan mutlak yang tak bisa dibayangkan oleh akal manusia, keesaan yang sempurna dalam segala aspek-Nya.
Ayat ini secara langsung merangkum tiga pilar tauhid yang fundamental dalam Islam:
Ayat ini memurnikan konsep ketuhanan dari segala bentuk politeisme (banyak tuhan), trinitas (tuhan yang tiga dalam satu), atau pemikiran bahwa ada kekuatan lain yang setara dengan Allah. Ini adalah penolakan tegas terhadap segala bentuk kemusyrikan dan keyakinan paganisme.
Ayat 2: اَللّٰهُ الصَّمَدُ (Allāhuṣ-ṣamad) - Allah tempat meminta segala sesuatu.
"Aṣ-Ṣamad" adalah salah satu nama dan sifat Allah yang agung, disebutkan hanya sekali dalam Al-Qur'an pada surah ini. Para ulama tafsir memberikan berbagai makna untuk "Aṣ-Ṣamad," yang semuanya mengarah pada keagungan dan kemandirian Allah serta ketergantungan seluruh makhluk kepada-Nya. Beberapa makna "Aṣ-Ṣamad" antara lain:
Ayat ini menegaskan bahwa hanya Allah lah satu-satunya tempat bergantung dan meminta pertolongan. Ini mengikis habis mentalitas meminta-minta kepada selain Allah, seperti berhala, roh nenek moyang, jimat, atau kekuatan gaib lainnya. Ketika kita menghadapi kesulitan, hanya kepada Allah kita mengadu; ketika kita memiliki keinginan, hanya kepada Allah kita memohon.
Ayat 3: لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ (Lam yalid wa lam yūlad) - (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.
Ayat ini membantah dua konsep fundamental yang seringkali diasosiasikan dengan ketuhanan dalam agama atau kepercayaan lain: memiliki anak dan diperanakkan (memiliki orang tua). Kedua konsep ini adalah karakteristik makhluk hidup yang fana dan terbatas, yang membutuhkan reproduksi untuk kelangsungan spesies atau memiliki asal-usul dari yang lain. Allah SWT, sebagai Dzat yang Maha Kekal, Maha Awal (Al-Awwal), dan Maha Akhir (Al-Akhir), tidak mungkin memiliki karakteristik tersebut.
Ayat ini menghancurkan mitologi pagan yang penuh dengan kisah dewa-dewi yang memiliki keturunan dan silsilah, menggambarkan mereka dengan karakteristik manusia yang lemah. Ini menegaskan bahwa Allah adalah mutlak unik, tak terikat oleh proses biologis makhluk.
Ayat 4: وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ (Wa lam yakul lahū kufuwan aḥad) - Dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia.
Ayat penutup ini menegaskan kembali keunikan dan kemutlakan Allah SWT. "Kufuwan" berarti "setara," "sepadan," "mirip," atau "tandingan." Ayat ini secara tegas menyatakan bahwa tidak ada satu pun makhluk, baik di langit maupun di bumi, yang setara dengan Allah dalam Dzat-Nya, sifat-sifat-Nya, nama-nama-Nya, maupun perbuatan-perbuatan-Nya. Tidak ada yang menyerupai-Nya dalam kekuasaan, kebijaksanaan, ilmu, keagungan, keindahan, atau kemuliaan. Dia adalah satu-satunya yang Maha Sempurna tanpa cela, tanpa ada yang bisa dibandingkan dengan-Nya.
Ayat ini berfungsi sebagai penutup yang kokoh bagi seluruh argumen tauhid dalam surah ini. Ia menghancurkan segala bentuk perbandingan atau penyamaan Allah dengan makhluk, menegaskan bahwa Allah adalah Dzat yang mutlak berbeda dan tidak terbatas oleh apa pun yang dikenal manusia. Ini mengukuhkan konsep Laisa kamitslihi syai'un (Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia) dari Surah Asy-Syura ayat 11. Implikasi dari ayat ini sangat besar, karena ia menutup pintu bagi segala bentuk antropomorfisme (menyerupakan Allah dengan manusia) dan tasbih (menyerupakan Allah dengan makhluk).
Surah Al-Ikhlas memiliki banyak keutamaan yang disebutkan dalam berbagai hadis Nabi Muhammad SAW, menunjukkan betapa agung dan sentralnya surah ini dalam agama Islam:
Memahami dan mengamalkan Surah Al-Ikhlas bukan hanya tentang membacanya, tetapi juga menghayati maknanya dan menjadikannya pedoman hidup:
Surah Al-Falaq adalah surah ke-113 dalam Al-Qur'an, tergolong surah Makkiyah, dan terdiri dari 5 ayat. Kata "Al-Falaq" berarti "waktu subuh" atau "pecahnya kegelapan". Surah ini mengajarkan umat Islam untuk memohon perlindungan kepada Allah SWT dari berbagai macam kejahatan yang dapat menimpa manusia, baik yang terlihat maupun tidak terlihat, termasuk kejahatan dari makhluk, malam yang gelap, sihir, dan kedengkian. Bersama dengan Surah An-Nas, Surah Al-Falaq dikenal sebagai Al-Mu'awwidzatayn (dua surah perlindungan), yang secara khusus dianjurkan untuk dibaca sebagai benteng spiritual dari sihir, kejahatan, dan penyakit. Penempatan surah ini setelah Al-Ikhlas menunjukkan bahwa setelah memurnikan tauhid, langkah selanjutnya adalah memohon perlindungan kepada Tuhan Yang Maha Esa dari segala bahaya yang ada di dunia.
Bismillahirrahmanirrahim.
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
1. Qul a‘ūżu birabbil-falaq
1. Katakanlah (Muhammad), "Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh (fajar),
2. Min syarri mā khalaq
2. dari kejahatan (makhluk yang) Dia ciptakan,
3. Wa min syarri gāsiqin iżā waqab
3. dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita,
4. Wa min syarrin-naffāṡāti fil-‘uqad
4. dan dari kejahatan perempuan-perempuan penyihir yang meniup pada buhul-buhul (talinya),
5. Wa min syarri ḥāsidin iżā ḥasad
5. dan dari kejahatan orang yang dengki apabila dia dengki."
Surah Al-Falaq dan An-Nas memiliki sebab turun yang sangat spesifik dan terkenal, yang menegaskan urgensi dan kemanjuran keduanya sebagai doa perlindungan. Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah disihir oleh seorang Yahudi bernama Labid bin Al-A'sam. Sihir tersebut menyebabkan Nabi SAW merasakan sakit dan kebingungan, seolah-olah beliau telah melakukan sesuatu padahal belum. Menurut riwayat Aisyah RA, Nabi SAW sampai merasa seperti tidak mengingat apa yang telah dilakukannya. Beliau menderita selama beberapa hari. Allah kemudian menurunkan kedua surah ini kepada beliau melalui Malaikat Jibril.
Malaikat Jibril menunjukkan kepada Nabi SAW tempat sihir itu disimpan, yaitu di sebuah sumur bernama Dzarwan, terikat pada sisir dan rambut yang ada di bawah batu. Nabi SAW memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk mengambilnya. Di sana ditemukan ikatan tali dengan sebelas buhul. Setiap kali Nabi SAW membaca satu ayat dari kedua surah tersebut, satu ikatan sihir yang dibuat Labid bin Al-A'sam terlepas, hingga akhirnya Nabi SAW membaca sebelas ayat (5 ayat Al-Falaq dan 6 ayat An-Nas) dan semua buhul terlepas, serta Nabi SAW sembuh sepenuhnya. Peristiwa ini menunjukkan betapa dahsyatnya kekuatan perlindungan yang terkandung dalam kedua surah ini, bahkan untuk seorang Nabi yang mulia.
Kisah ini menegaskan bahwa bahkan seorang Nabi sekalipun membutuhkan perlindungan dari Allah dari kejahatan makhluk, termasuk sihir. Ini menjadi pelajaran berharga bagi umatnya untuk senantiasa memohon perlindungan hanya kepada Allah dalam setiap keadaan, dan tidak meremehkan kekuatan sihir atau kejahatan gaib lainnya, namun dengan tetap berpegang teguh pada tauhid dan perlindungan Allah.
Surah Al-Falaq adalah doa permohonan perlindungan yang menyeluruh dari berbagai bentuk kejahatan yang seringkali tidak terlihat atau sulit untuk dihindari oleh manusia secara mandiri:
Ayat 1: قُلْ اَعُوْذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ (Qul a‘ūżu birabbil-falaq) - Katakanlah (Muhammad), "Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh (fajar)."
Pembuka surah ini adalah perintah "Qul" (Katakanlah!), menunjukkan urgensi dan universalitas permohonan ini, bukan hanya untuk Nabi tetapi untuk seluruh umatnya. "A'uudzu" berarti "aku berlindung" atau "aku mencari suaka". Perlindungan ini bukan hanya sekadar berlindung secara fisik, tetapi perlindungan jiwa, pikiran, hati, dan spiritual dari segala yang membahayakan. "Birabbil-Falaq" berarti "kepada Tuhan yang menguasai waktu subuh (fajar)."
Mengapa Allah memilih untuk disifati dengan "Rabbil-Falaq" dalam konteks permohonan perlindungan? Ada beberapa penafsiran yang saling melengkapi:
Dengan berlindung kepada "Rabbil-Falaq," kita mengakui kekuasaan Allah yang tak terbatas untuk menghilangkan kejahatan dan membawa terang, serta menegaskan bahwa Allah adalah Penguasa segala yang muncul dan terungkap.
Ayat 2: مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ (Min syarri mā khalaq) - dari kejahatan (makhluk yang) Dia ciptakan.
Ini adalah permohonan perlindungan yang paling umum dan menyeluruh dalam surah ini. "Min syarri mā khalaq" mencakup perlindungan dari segala jenis kejahatan yang bersumber dari makhluk ciptaan Allah. Ini adalah doa yang luas, meliputi semua jenis keburukan yang mungkin menimpa manusia, baik dari yang berakal maupun tidak, dari yang hidup maupun yang mati, dari yang terlihat maupun yang tidak terlihat. Kejahatan bisa muncul dari:
Ayat ini menunjukkan bahwa segala sesuatu yang diciptakan Allah memiliki potensi kebaikan dan kejahatan. Kita memohon agar Allah melindungi kita dari sisi kejahatan yang mungkin muncul dari makhluk-makhluk-Nya, karena hanya Dia yang memiliki kekuasaan mutlak atas semua ciptaan-Nya.
Ayat 3: وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ اِذَا وَقَبَ (Wa min syarri gāsiqin iżā waqab) - dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita.
Ayat ini secara khusus memohon perlindungan dari kejahatan yang muncul di waktu malam ketika kegelapan telah merata. "Ghaasiq" berarti malam yang gelap gulita, atau dapat juga diartikan sebagai "bulan" ketika ia tenggelam dan gelap, atau juga "bintang" yang tampak redup. "Idza waqab" berarti "apabila telah masuk" atau "telah menyelimuti" dengan kegelapan penuh.
Mengapa malam disebutkan secara khusus sebagai waktu yang perlu diwaspadai dari kejahatan? Malam seringkali menjadi waktu di mana kejahatan lebih mudah terjadi dan terasa lebih menakutkan karena:
Dengan memohon perlindungan dari kejahatan malam, kita memohon agar Allah menjaga kita dari segala mara bahaya yang tersembunyi maupun terang-terangan saat dunia diselimuti kegelapan. Ini adalah pengakuan akan kelemahan manusia di hadapan kekuatan malam dan ketergantungan penuh kepada Allah untuk perlindungan.
Ayat 4: وَمِنْ شَرِّ النَّفّٰثٰتِ فِى الْعُقَدِ (Wa min syarrin-naffāṡāti fil-‘uqad) - dan dari kejahatan perempuan-perempuan penyihir yang meniup pada buhul-buhul (talinya).
Ayat ini secara eksplisit memohon perlindungan dari kejahatan sihir. "An-Naffatsati fil-'Uqad" secara harfiah berarti "para wanita peniup pada buhul-buhul". Ini merujuk pada para penyihir (baik laki-laki maupun perempuan, meskipun dalam bahasa Arab bentuk feminin sering digunakan secara umum untuk merujuk pada kelompok atau profesi yang melibatkan banyak perempuan, atau karena sihir sering dilakukan oleh wanita) yang menggunakan praktik sihir dengan meniupkan mantra pada buhul-buhul tali. Praktik ini dikenal luas dalam sejarah sihir di berbagai budaya sebagai cara untuk mengikat, merugikan, atau mempengaruhi orang lain secara gaib.
Ayat ini secara tidak langsung menegaskan keberadaan sihir dan bahayanya, sekaligus mengajarkan umat Islam untuk tidak takut pada sihir itu sendiri, melainkan berlindung kepada Allah dari efeknya. Penting untuk dipahami bahwa kekuatan sihir tidaklah berasal dari penyihir itu sendiri, melainkan dari izin Allah, dan hanya Allah yang mampu membatalkan dan melindungi dari dampaknya. Dengan membaca ayat ini, seorang Muslim menegaskan bahwa kekuatan Allah jauh lebih besar dari segala bentuk sihir, dan hanya kepada-Nya perlindungan dicari.
Ayat 5: وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ اِذَا حَسَدَ (Wa min syarri ḥāsidin iżā ḥasad) - dan dari kejahatan orang yang dengki apabila dia dengki.
Ayat terakhir ini memohon perlindungan dari kejahatan orang yang dengki (hasad). "Haasid" adalah orang yang dengki, dan "idza hasad" berarti "apabila dia dengki" atau "apabila kedengkiannya beraksi dan menimbulkan keburukan". Dengki (hasad) adalah salah satu penyakit hati yang paling berbahaya dalam Islam, karena ia adalah ketidakrelaan terhadap nikmat yang Allah berikan kepada orang lain, disertai harapan agar nikmat itu lenyap dari mereka. Ia berbeda dengan ghibtah (iri hati yang positif), yaitu berharap mendapatkan nikmat yang sama tanpa mengharapkan nikmat itu hilang dari orang lain.
Kedengkian seringkali menjadi pemicu berbagai kejahatan, karena rasa tidak senang melihat orang lain bahagia dapat memicu permusuhan, fitnah, sabotase, pengkhianatan, dan tindakan merugikan lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Bahkan kedengkian yang tidak diikuti tindakan fisik pun dapat membahayakan melalui 'ain (mata jahat), sebagaimana banyak hadis yang mengisyaratkan hal tersebut. Orang yang dengki hatinya busuk, tidak ridha dengan takdir Allah, dan berpotensi melakukan kejahatan demi memuaskan kedengkiannya.
Dengan memohon perlindungan dari kedengkian, kita memohon agar Allah melindungi kita dari segala akibat buruk yang ditimbulkan oleh orang-orang yang memiliki penyakit hati ini. Ini juga menjadi pengingat bagi kita sendiri untuk menjauhi sifat hasad, karena ia merusak hati dan amal kebaikan.
Surah Al-Falaq memiliki banyak keutamaan, terutama sebagai benteng perlindungan, sebagaimana disebutkan dalam hadis-hadis Nabi Muhammad SAW:
Mengamalkan Surah Al-Falaq secara rutin memiliki manfaat besar dalam menjaga diri secara fisik dan spiritual:
Surah An-Nas adalah surah ke-114 dan terakhir dalam Al-Qur'an, tergolong surah Makkiyah, dan terdiri dari 6 ayat. Kata "An-Nas" berarti "manusia". Surah ini fokus pada permohonan perlindungan kepada Allah SWT dari kejahatan bisikan (waswas) setan, baik dari golongan jin maupun manusia, yang membisikkan kejahatan ke dalam hati manusia. Bersama dengan Surah Al-Falaq, ia membentuk Al-Mu'awwidzatayn, dua surah yang sangat dianjurkan untuk dibaca sebagai penangkal segala bentuk bahaya. Surah ini secara khusus melengkapi Surah Al-Falaq dengan berfokus pada kejahatan internal yang menggerogoti jiwa, yaitu bisikan-bisikan halus yang mengarah pada dosa dan kesesatan.
Bismillahirrahmanirrahim.
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
1. Qul a‘ūżu birabbin-nās
1. Katakanlah (Muhammad), "Aku berlindung kepada Tuhannya manusia,
2. Malikin-nās
2. Raja manusia,
3. Ilāhin-nās
3. Sembahan manusia,
4. Min syarril-waswāsil-khannās
4. dari kejahatan (bisikan) setan yang bersembunyi,
5. Allażī yuwaswisu fī ṣudūrin-nās
5. yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia,
6. Minal-jinnati wan-nās
6. dari (golongan) jin dan manusia."
Sama seperti Surah Al-Falaq, Surah An-Nas juga diturunkan ketika Nabi Muhammad SAW disihir oleh Labid bin Al-A'sam. Ketika itu, Nabi SAW merasa kebingungan dan sakit. Kedua surah ini, Al-Falaq dan An-Nas, diturunkan bersamaan sebagai obat dan perlindungan dari sihir tersebut. Surah An-Nas secara khusus menyoroti aspek perlindungan dari bisikan jahat yang dapat memengaruhi hati dan pikiran, yang merupakan salah satu modus operandi sihir dan setan untuk merusak batin manusia.
Dengan demikian, Surah An-Nas adalah pelengkap sempurna dari Surah Al-Falaq. Jika Al-Falaq lebih berfokus pada perlindungan dari kejahatan eksternal (sihir, dengki, kejahatan makhluk), maka An-Nas berfokus pada perlindungan dari kejahatan internal, yaitu bisikan-bisikan jahat yang masuk ke dalam jiwa manusia. Peristiwa sihir yang menimpa Nabi SAW ini menegaskan bahwa bahkan seorang Nabi pun tidak luput dari gangguan kejahatan, dan jalan keluar satu-satunya adalah memohon perlindungan langsung kepada Allah SWT, yang menunjukkan betapa pentingnya amalan ini bagi setiap Muslim.
Surah An-Nas mengajarkan kita untuk memohon perlindungan dari bisikan setan yang paling halus dan berbahaya, yang seringkali menyerang dari dalam diri sendiri:
Ayat 1-3: Pengantar Perlindungan dengan Tiga Sifat Allah
Surah ini dibuka dengan permohonan perlindungan kepada Allah yang disifati dengan tiga atribut agung yang sangat relevan dengan objek perlindungan surah ini (manusia):
Ketiga sifat ini – Rabb (Pengatur), Malik (Raja), Ilah (Sembahan) – mencakup seluruh aspek hubungan manusia dengan Allah. Mereka adalah pilar-pilar tauhid yang mengingatkan kita bahwa Allah adalah satu-satunya Dzat yang memiliki kekuasaan, kedaulatan, dan hak mutlak untuk disembah, sehingga Dia adalah sebaik-baik tempat berlindung dari segala kejahatan yang menimpa manusia. Urutan penyebutan tiga sifat ini secara bertingkat (Rabb sebagai Pencipta dan Pemelihara, Malik sebagai Penguasa, dan Ilah sebagai Dzat yang berhak disembah) menunjukkan kedekatan Allah dengan manusia dan kemampuan-Nya untuk melindungi manusia dari segala arah.
Ayat 4: مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ (Min syarril-waswāsil-khannās) - dari kejahatan (bisikan) setan yang bersembunyi.
Setelah menegaskan kebesaran Allah melalui tiga sifat-Nya, surah ini secara spesifik menyebutkan dari kejahatan apa kita berlindung. "Al-Waswasil-Khannas" adalah iblis atau setan yang tugasnya adalah membisikkan kejahatan. Kata ini terdiri dari dua bagian yang menggambarkan karakteristik kerja setan:
Ayat ini menunjukkan bahwa musuh terbesar manusia adalah setan yang bekerja secara halus, diam-diam, dan terus-menerus mencoba menyesatkan manusia melalui bisikan-bisikan negatif. Bentuk kejahatan ini adalah kejahatan batin yang menyerang iman dan akhlak. Perlindungan terbaik darinya adalah dengan senantiasa mengingat Allah, karena zikir adalah perisai yang membuat setan "khannas" (mundur dan bersembunyi).
Ayat 5: الَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِيْ صُدُوْرِ النَّاسِ (Allażī yuwaswisu fī ṣudūrin-nās) - yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.
Ayat ini menjelaskan lebih lanjut bagaimana setan bekerja. "Yuwaswisu fi shudurinnas" berarti membisikkan kejahatan ke dalam dada manusia. Dada atau hati (dalam konteks ini, `sudar` mencakup hati, pikiran, dan jiwa) adalah pusat emosi, keinginan, keyakinan, dan niat. Setan bekerja dengan menargetkan pusat kendali ini, menyusupkan keraguan (syubhat), syahwat (dorongan nafsu), amarah, iri hati, rasa sombong, putus asa, rasa malas, dan segala bentuk kejahatan agar manusia condong pada kemaksiatan dan meninggalkan kebaikan.
Bisikan ini tidak terdengar dengan telinga, melainkan berupa pikiran-pikiran buruk, keraguan akan kebenaran agama, keinginan untuk berbuat dosa, atau rasa malas untuk beribadah. Pertarungan melawan bisikan setan adalah pertarungan internal yang berlangsung terus-menerus dalam diri manusia. Setan berusaha untuk membelokkan niat, merusak ibadah, dan menghiasi kemaksiatan agar tampak indah di mata manusia.
Ayat 6: مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ (Minal-jinnati wan-nās) - dari (golongan) jin dan manusia.
Ayat penutup ini menegaskan bahwa sumber bisikan jahat (waswas) bukan hanya berasal dari golongan jin (setan dari bangsa jin), tetapi juga dari golongan manusia (setan dari bangsa manusia). Setan dari kalangan manusia adalah orang-orang jahat yang dengan sengaja atau tidak sengaja mengajak kepada kemaksiatan, menyebarkan fitnah, menghasut permusuhan, merusak agama, atau menjauhkan orang lain dari kebaikan. Mereka bisa menjadi teman, kerabat, bahkan figur publik yang memiliki pengaruh buruk.
Ini adalah peringatan penting bahwa kejahatan bisa datang dari mana saja, bahkan dari orang yang terlihat dekat dan mungkin kita percaya. Oleh karena itu, kita harus selalu waspada dan memohon perlindungan Allah dari segala bentuk pengaruh buruk, baik dari yang tak terlihat (jin) maupun yang terlihat (manusia). Ayat ini mengajarkan kita untuk tidak hanya menjaga diri dari musuh yang jelas, tetapi juga dari musuh yang bersembunyi dalam wujud yang tidak terduga, termasuk orang-orang yang tampaknya baik tetapi membisikkan kejahatan atau mengajak kepada hal yang menyesatkan.
Surah An-Nas memiliki keutamaan yang sangat besar, terutama dalam aspek perlindungan spiritual dan penjagaan hati dari kerusakan:
Untuk mendapatkan manfaat maksimal dari Surah An-Nas, kita perlu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari dengan kesadaran penuh:
Ketiga surah ini, Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas, seringkali disebut sebagai Al-Mu'awwidzat (surah-surah perlindungan). Meskipun Surah Al-Ikhlas secara khusus berfokus pada tauhid, ia tetap termasuk dalam kategori perlindungan karena pemurnian tauhid adalah perlindungan terbesar dari segala bentuk kesesatan dan kejahatan. Nabi Muhammad SAW sering membaca ketiganya secara bersamaan dalam berbagai kesempatan untuk memohon perlindungan Allah, menjadikannya amalan yang sangat ditekankan dalam sunnah.
Rasulullah SAW adalah teladan terbaik bagi umat manusia, dan beliau menunjukkan betapa pentingnya mengamalkan ketiga surah ini dalam kehidupan sehari-hari:
Pengamalan ketiga surah ini secara bersamaan membawa hikmah dan manfaat yang saling melengkapi dan tak ternilai harganya bagi seorang Muslim:
Dalam Islam, konsep perlindungan (isti'adzah) bukan berarti menolak atau mengingkari adanya kejahatan, melainkan mengakui bahwa kejahatan itu ada dan memohon kepada Dzat Yang Maha Kuasa untuk menghindarkan kita darinya. Al-Mu'awwidzat adalah manifestasi dari tawakal dan keyakinan penuh kepada Allah sebagai satu-satunya Pelindung, Penjaga, dan Penolong. Dengan mengamalkannya, seorang Muslim membangun benteng spiritual yang kokoh di tengah badai kehidupan.
Surah Al-Ikhlas, Surah Al-Falaq, dan Surah An-Nas adalah tiga permata Al-Qur'an yang memiliki kedudukan istimewa dalam Islam. Surah Al-Ikhlas adalah deklarasi murni tentang keesaan Allah (tauhid) yang menjadi inti dan fondasi ajaran agama. Ia membersihkan segala bentuk kemusyrikan dan menegaskan kemutlakan serta kesempurnaan Dzat Allah yang tidak ada tandingannya.
Sementara itu, Surah Al-Falaq dan An-Nas adalah permohonan perlindungan yang komprehensif dari segala bentuk kejahatan. Al-Falaq secara khusus melindungi dari kejahatan makhluk secara umum, kejahatan malam, sihir yang terikat pada buhul, dan kedengkian yang muncul dari luar diri. An-Nas melengkapi dengan memohon perlindungan dari bisikan-bisikan jahat setan yang menyerang dari dalam, baik dari golongan jin maupun manusia, yang berusaha merusak hati dan pikiran kita.
Mengamalkan ketiga surah ini secara rutin, baik dalam dzikir pagi-petang, sebelum tidur, setelah shalat, maupun sebagai bagian dari ruqyah syar'iyyah, adalah benteng spiritual yang sangat kuat bagi seorang Muslim. Mereka bukan hanya sekadar bacaan, tetapi juga manifestasi dari keyakinan yang mendalam akan kekuasaan, keesaan, dan perlindungan mutlak Allah SWT. Dengan menghayati makna dan mengamalkan fadhilahnya, kita dapat memperkokoh iman, menenangkan hati yang gelisah, dan menjaga diri dari berbagai mara bahaya, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi, di dunia ini dan di akhirat kelak.
Semoga kita senantiasa termasuk golongan yang berlindung hanya kepada Allah, menjadikan Al-Qur'an sebagai pedoman hidup, dan mendapatkan kedamaian serta perlindungan-Nya dalam setiap langkah perjalanan hidup kita. Teruslah membaca, memahami, dan mengamalkan Al-Mu'awwidzat, karena di dalamnya terkandung rahmat dan penjagaan dari Allah Yang Maha Kuasa.