Di antara lautan ilmu dan kearifan spiritual Islam, nama Syekh Abdul Qodir Jaelani bersinar terang sebagai salah satu wali agung, guru para arif, dan pendiri tarekat Qodiriyah yang pengaruhnya membentang lintas zaman dan geografi. Warisan ajarannya begitu mendalam, menyentuh setiap aspek kehidupan seorang Muslim, dari syariat hingga hakikat. Salah satu inti dari praktik spiritual dalam Islam, yang juga ditekankan oleh para ulama dan wali seperti Syekh Abdul Qodir Jaelani, adalah pemahaman dan pengamalan Surah Al-Fatihah. Surah pembuka Al-Qur'an ini bukan sekadar kumpulan ayat, melainkan sebuah doa komprehensif, puji-pujian, dan peta jalan menuju kedekatan ilahi yang sarat makna. Artikel ini akan menggali lebih dalam tentang Surah Al-Fatihah, signifikansinya dalam Islam, serta bagaimana ajaran dan spiritualitas Syekh Abdul Qodir Jaelani relevan dengan pemahaman dan pengamalan surah mulia ini, membimbing kita pada lautan hikmah yang tak bertepi. Mari kita selami lebih dalam warisan kebijaksanaan yang tak lekang oleh waktu ini.
Nama lengkap beliau adalah Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qodir bin Abi Shalih Musa bin Abdullah bin Yahya bin Muhammad bin Daud bin Musa bin Abdullah bin Musa bin Abdullah bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Beliau dilahirkan pada tahun 470 Hijriah, yang bertepatan dengan sekitar tahun 1077 Masehi, di sebuah desa bernama Naif, yang terletak di wilayah Gilan, Persia (sekarang Iran). Keistimewaan Syekh Abdul Qodir Jaelani tidak hanya terletak pada keluasan ilmunya, melainkan juga pada silsilah keturunannya yang mulia. Beliau adalah keturunan langsung Nabi Muhammad SAW dari jalur Sayyidina Hasan bin Ali RA di garis ayah, dan dari jalur Sayyidina Husain bin Ali RA di garis ibu. Garis keturunan yang suci ini memberinya kedudukan istimewa di hati umat Islam, mengaitkannya langsung dengan Ahlul Bait Nabi yang diberkahi.
Sejak masa kanak-kanak, tanda-tanda keistimewaan dan karomah sudah nampak pada diri beliau. Salah satu riwayat terkenal menyebutkan bahwa beliau tidak pernah menyusu pada siang hari di bulan Ramadhan, sebuah fenomena luar biasa yang menunjukkan ketaatan spiritualnya yang sudah terbentuk sejak dini. Hal ini menjadi petunjuk awal akan derajat kewalian yang akan beliau capai. Pada usia 18 tahun, dengan tekad membara untuk menuntut ilmu, beliau meninggalkan kampung halamannya di Gilan dan melakukan perjalanan panjang menuju Baghdad, yang pada saat itu merupakan pusat peradaban, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan Islam terbesar di dunia. Di kota seribu satu malam inilah beliau mulai mengarungi lautan ilmu.
Di Baghdad, Syekh Abdul Qodir Jaelani belajar kepada banyak ulama terkemuka dan mumpuni di masanya. Beliau menguasai berbagai disiplin ilmu syariat, termasuk fiqh mazhab Hanbali, ilmu hadis dengan segala cabangnya, tafsir Al-Qur'an, nahwu dan sharaf dalam bahasa Arab, serta berbagai ilmu kalam dan ushul fiqh. Di antara guru-guru beliau yang paling berpengaruh adalah Abu Sa'ad Al-Mukharrimi, seorang ulama besar mazhab Hanbali, serta Imam Abu Al-Wafa' Ali bin Aqil Al-Baghdadi. Beliau tidak hanya sekadar menghafal, melainkan memahami secara mendalam, menelaah, dan menguasai setiap cabang ilmu yang dipelajarinya, sehingga menjadi seorang mujtahid yang diakui.
Setelah menyelesaikan masa pendidikannya yang intensif, Syekh Abdul Qodir Jaelani tidak langsung terjun ke dunia dakwah atau pengajaran. Sebaliknya, beliau memilih jalur zuhud yang ekstrem dan riyadhah (latihan spiritual) yang sangat berat. Beliau menghabiskan waktu bertahun-tahun dalam kesunyian, mengasingkan diri di gurun, gua, dan tempat-tempat sunyi lainnya, jauh dari hiruk pikuk kehidupan kota. Dalam periode ini, beliau beribadah, berzikir, bermunajat, dan membersihkan hati dari segala bentuk keterikatan duniawi. Uzlah dan mujahadah ini adalah fondasi spiritual yang kokoh yang membentuk beliau menjadi seorang wali qutub, pusat spiritual, dan rujukan utama bagi para arifbillah di zamannya. Periode inilah yang memberinya cahaya hikmah dan ma'rifatullah yang mendalam.
Setelah periode uzlah yang panjang dan penuh perjuangan spiritual, beliau kembali ke Baghdad dan mulai mengajar di Madrasah Bab Al-Azaj, yang kemudian lebih dikenal sebagai Madrasah Al-Qodiriyah. Ceramah-ceramahnya, yang dimulai pada tahun 521 H, dihadiri oleh ribuan orang dari berbagai lapisan masyarakat. Para pendengarnya meliputi ulama terkemuka, pejabat tinggi kerajaan, pedagang, pengusaha, hingga rakyat jelata yang haus akan ilmu dan pencerahan spiritual. Kata-kata beliau bukan hanya berisi ilmu syariat yang kokoh dan argumentasi yang kuat, tetapi juga hikmah spiritual yang mendalam, menyentuh relung hati para pendengarnya, dan membangkitkan semangat untuk kembali kepada Allah SWT dengan tobat yang tulus dan amal yang shalih. Beliau dikenal dengan keberaniannya dalam menyampaikan kebenaran (amar ma'ruf nahi munkar), tidak gentar mengkritik penguasa atau ulama yang menyimpang dari jalan Allah dan Rasul-Nya, sehingga beliau dijuluki "Sulthanul Auliya" (Rajanya para Wali).
Beliau wafat pada tahun 561 H (1166 M) di Baghdad, setelah mengabdikan seluruh hidupnya untuk ilmu, dakwah, dan pembimbingan umat. Makam beliau hingga kini menjadi tempat ziarah yang tak pernah sepi, dikunjungi oleh jutaan Muslim dari seluruh penjuru dunia yang ingin mengambil berkah dari beliau. Warisannya tidak hanya berupa tulisan-tulisan beliau yang monumental seperti "Fathul Ghaib" (Pembuka Kegaiban), "Al-Ghunyah li Thalibi Thariqil Haqq" (Kecukupan bagi Pencari Jalan Kebenaran), dan "Futuhul Ghaib" (Penyingkap Kegaiban), tetapi juga tarekat Qodiriyah. Tarekat ini adalah salah satu tarekat Sufi tertua dan paling berpengaruh, yang tersebar luas di seluruh dunia Islam. Tarekat Qodiriyah menekankan pentingnya syariat sebagai landasan utama, diikuti dengan tazkiyatun nafs (penyucian jiwa), zikir yang kontinyu, dan muraqabah (kontemplasi) menuju ma'rifatullah (mengenal Allah secara mendalam), dengan selalu berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Sunnah.
Ajaran Syekh Abdul Qodir Jaelani adalah kompas yang membimbing para salikin (penempuh jalan spiritual) menuju kedekatan ilahi. Inti dari ajarannya dapat dirangkum dalam beberapa poin kunci yang saling terkait dan membentuk sebuah sistem spiritual yang holistik:
Melalui ajaran-ajaran fundamental ini, Syekh Abdul Qodir Jaelani bukan hanya mengajarkan bagaimana cara beribadah dengan benar, tetapi juga bagaimana cara hidup dengan hati yang bersih, jiwa yang tenang, dan pikiran yang tercerahkan, yang pada akhirnya akan mengantarkan seseorang pada hakikat kehidupan, tujuan penciptaan, dan kedekatan abadi dengan Sang Pencipta.
Surah Al-Fatihah adalah permata Al-Qur'an, yang memiliki kedudukan dan keistimewaan yang tiada tara. Ia disebut "Ummul Kitab" (Induk Kitab) atau "Ummul Qur'an" (Induk Al-Qur'an) karena ia merangkum seluruh inti ajaran Al-Qur'an. Selain itu, ia juga dikenal sebagai "As-Sab'ul Matsani" (Tujuh Ayat yang Diulang-ulang), "Ash-Shalah" (shalat), "Asy-Syifa" (penyembuh), "Al-Wafiyah" (yang sempurna), dan banyak nama mulia lainnya. Tidak ada surah lain dalam Al-Qur'an yang memiliki nama dan keistimewaan sebanyak Al-Fatihah, menunjukkan betapa sentralnya posisi surah ini. Ia adalah pembuka, fondasi, dan intisari dari seluruh ajaran Al-Qur'an yang agung.
Al-Fatihah terdiri dari tujuh ayat yang singkat namun padat makna, dan setiap Muslim diwajibkan untuk membacanya dalam setiap rakaat shalatnya. Tanpa Al-Fatihah, shalat seseorang tidak sah, sebagaimana sabda Nabi SAW: "Tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (Al-Fatihah)." (HR. Bukhari dan Muslim). Kewajiban ini menegaskan betapa sentralnya peran surah ini dalam ibadah pokok umat Islam. Ia adalah dialog langsung antara hamba dan Tuhannya, sebuah munajat yang agung.
Setiap ayat dalam Surah Al-Fatihah mengandung lautan hikmah dan petunjuk yang mendalam, membimbing hati dan pikiran menuju kesadaran ilahi:
Ayat ini adalah gerbang pembuka setiap perbuatan baik dalam Islam, sekaligus pembuka seluruh surah Al-Qur'an kecuali Surah At-Taubah. Mengawali sesuatu dengan nama Allah adalah bentuk pengakuan akan kekuasaan-Nya, memohon berkah, dan menegaskan bahwa segala kekuatan dan keberhasilan hanya berasal dari-Nya. "Ar-Rahman" (Yang Maha Pengasih) menunjukkan sifat kasih sayang Allah yang bersifat umum, meliputi seluruh makhluk di dunia ini tanpa memandang keimanan atau ketaatan. Rahmat-Nya tercurah bagi semua, baik yang beriman maupun yang kafir, melalui rezeki, kesehatan, dan segala kenikmatan duniawi. Sementara itu, "Ar-Rahim" (Yang Maha Penyayang) menunjukkan kasih sayang Allah yang bersifat khusus, hanya diberikan kepada orang-orang yang beriman dan bertaqwa, terutama di akhirat kelak. Dengan mengawali Al-Fatihah dengan ayat ini, kita menempatkan diri dalam naungan rahmat dan kasih sayang-Nya yang tak terbatas, memohon agar setiap niat dan langkah kita diberkahi dan dirahmati-Nya.
Ayat kedua ini adalah inti dari segala pujian, syukur, dan sanjungan. Kata "Alhamdulillah" adalah ungkapan syukur yang paling sempurna, yang berarti bahwa segala bentuk pujian, kemuliaan, dan rasa terima kasih hanya layak ditujukan kepada Allah SWT semata. Dialah "Rabbil 'alamin", Tuhan yang menciptakan, memelihara, mengurus, mengatur, dan mendidik seluruh alam semesta beserta isinya, dari makhluk terkecil hingga galaksi terjauh. Ini adalah deklarasi tauhid rububiyah, pengakuan akan keesaan Allah dalam menciptakan dan mengatur. Ayat ini adalah pengakuan akan keesaan Allah, kekuasaan-Nya yang mutlak, dan kesempurnaan sifat-sifat-Nya yang tiada tara. Dengan ayat ini, kita menyatakan bahwa tiada yang patut dipuji kecuali Dia, dan kita bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikan, baik yang kita sadari maupun yang tidak, baik yang besar maupun yang kecil, karena semua berasal dari karunia-Nya.
Pengulangan sifat "Ar-Rahman" dan "Ar-Rahim" setelah pujian kepada "Rabbil 'alamin" memiliki makna yang sangat mendalam. Ini menggarisbawahi bahwa kasih sayang dan rahmat Allah adalah sumber utama dari segala puji dan nikmat yang kita terima. Allah adalah Tuhan yang memiliki kekuasaan mutlak atas seluruh alam semesta, namun kekuasaan-Nya itu tidak terpisah dari sifat kasih sayang-Nya yang luas. Pengulangan ini mengingatkan kita bahwa meskipun Dia adalah Tuhan yang Maha Perkasa dan Maha Agung, Dia juga adalah Tuhan yang penyayang dan penuh kasih. Ini memperkuat harapan seorang hamba akan rahmat-Nya yang tiada batas, menumbuhkan rasa cinta yang mendalam kepada-Nya, dan menghilangkan rasa putus asa. Ia menegaskan bahwa dasar hubungan kita dengan Allah adalah rahmat, bukan semata-mata ketakutan.
Setelah pengakuan atas rahmat dan kasih sayang-Nya, ayat ini mengingatkan kita akan keadilan-Nya dan realitas Hari Kiamat. "Maliki Yawmid-Din" berarti Allah adalah satu-satunya penguasa mutlak pada Hari Kiamat, hari di mana setiap jiwa akan dimintai pertanggungjawaban dan menerima balasan atas segala amal perbuatannya, baik yang baik maupun yang buruk. Ayat ini menanamkan rasa takut (khauf) yang sehat sekaligus harapan (raja') kepada hamba. Takut akan hisab (perhitungan) yang adil dan tidak ada celah untuk bersembunyi, serta berharap akan rahmat dan ampunan-Nya. Ini mendorong seorang Muslim untuk selalu introspeksi diri, memperbaiki amal perbuatannya, dan mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk kehidupan abadi setelah dunia ini. Ini adalah pengingat bahwa hidup di dunia ini hanyalah persinggahan sementara, dan ada tujuan akhir yang lebih besar.
Ini adalah inti tauhid dalam Surah Al-Fatihah, bahkan dalam seluruh Islam. Ayat ini menegaskan dua prinsip fundamental yang tidak boleh ditawar: ibadah (penyembahan total) dan istia'nah (memohon pertolongan) hanya boleh ditujukan kepada Allah SWT semata. Kata "Iyyaka" (hanya kepada Engkau) yang diletakkan di awal kalimat menunjukkan pengkhususan dan penegasan bahwa tidak ada sekutu bagi-Nya dalam hal ibadah maupun dalam memohon pertolongan. Ayat ini adalah janji dan ikrar seorang hamba untuk sepenuhnya bergantung kepada Tuhannya, melepaskan diri dari segala bentuk syirik, baik syirik besar maupun kecil, dan membebaskan hati dari ketergantungan kepada selain Allah. Ini adalah esensi dari kemerdekaan sejati seorang hamba, yang hanya tunduk kepada Penciptanya.
Setelah ikrar tauhid yang agung, muncullah doa teragung yang bisa dipanjatkan seorang hamba. "As-Siratal Mustaqim" adalah jalan yang lurus, yaitu jalan Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, jalan yang terang benderang tanpa kebengkokan sedikit pun. Ini adalah jalan yang telah ditempuh oleh para nabi, siddiqin (orang-orang yang sangat benar), syuhada (orang-orang yang mati syahid), dan shalihin (orang-orang yang shalih). Permohonan ini menunjukkan pengakuan akan kelemahan dan keterbatasan kita sebagai manusia, serta ketergantungan mutlak kita kepada hidayah dan bimbingan Allah. Kita memohon agar senantiasa dibimbing di jalan kebenaran, dijauhkan dari kesesatan, dan diteguhkan iman serta amal shalih hingga akhir hayat. Ini adalah doa yang paling vital bagi perjalanan spiritual seorang Muslim, sebab tanpa hidayah-Nya, kita akan tersesat.
Ayat terakhir ini menjelaskan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan "Siratal Mustaqim". Yaitu jalan orang-orang yang telah Allah beri nikmat, sebagaimana dijelaskan dalam Surah An-Nisa ayat 69: "Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para Nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah sebaik-baik teman." Ayat ini juga dengan jelas menyebutkan dua jalur yang harus dihindari dan dimohon perlindungan darinya: jalan orang-orang yang dimurkai (seperti Yahudi, yang mengetahui kebenaran tetapi menolaknya karena kesombongan atau hawa nafsu) dan jalan orang-orang yang sesat (seperti Nasrani, yang beribadah dengan niat baik tetapi tanpa ilmu yang benar dan tersesat dari jalan yang lurus). Dengan doa ini, kita memohon perlindungan dari kesesatan dan kemurkaan Allah, serta memohon agar selalu berada di jalan para kekasih-Nya, meneladani jejak langkah mereka yang telah diridhai Allah.
Dari uraian mendalam ini, jelaslah bahwa Al-Fatihah bukan hanya sebuah surah atau doa biasa, melainkan sebuah doa universal yang mencakup seluruh dimensi kehidupan seorang Muslim: akidah yang kokoh, ibadah yang tulus, tauhid yang murni, puji-pujian yang agung, permohonan yang tulus, dan permohonan perlindungan dari segala keburukan. Ia adalah peta jalan lengkap bagi setiap Muslim menuju kebahagiaan dunia dan akhirat, sebuah munajat yang menghubungkan hamba dengan Sang Pencipta dalam setiap kesempatan.
Meskipun tidak ada "Doa Al-Fatihah Syekh Abdul Qodir Jaelani" yang secara spesifik merupakan formulasi doa baru dari beliau yang berbeda dari Al-Fatihah itu sendiri, namun secara substansi, ajaran dan spiritualitas beliau sangat erat kaitannya dengan penghayatan mendalam terhadap Surah Al-Fatihah. Para wali dan ulama besar, termasuk Syekh Abdul Qodir Jaelani, adalah contoh nyata bagaimana Al-Fatihah seharusnya dihidupkan dalam setiap aspek kehidupan, bukan sekadar dibaca tanpa makna.
Karya-karya dan ceramah-ceramah beliau, seperti "Fathul Ghaib", secara konsisten menyentuh inti dari nilai-nilai yang termaktub dalam Al-Fatihah. Beliau tidak hanya mengajarkan syariat, tetapi juga mengajak para muridnya untuk menyelami hakikat di balik setiap perintah dan larangan, mencari kedekatan dengan Allah melalui penghayatan yang mendalam terhadap firman-firman-Nya, terutama Al-Fatihah yang menjadi inti Al-Qur'an.
Ayat "Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in" adalah puncak tauhid dalam Al-Fatihah, sebuah deklarasi agung tentang pengabdian dan ketergantungan mutlak kepada Allah semata. Syekh Abdul Qodir Jaelani adalah seorang mujahid tauhid sejati. Dalam setiap ceramah dan tulisannya, beliau selalu dan tanpa henti menekankan pentingnya membersihkan hati dari segala bentuk syirik, baik yang terang-terangan maupun yang tersembunyi (seperti riya' – beramal karena ingin dilihat orang, sum'ah – beramal karena ingin didengar orang, atau 'ujub – membanggakan diri sendiri). Beliau mengajarkan bahwa seorang murid harus sepenuhnya menyerahkan diri kepada Allah, tidak bergantung pada makhluk, tidak takut kecuali kepada Allah, dan tidak berharap kecuali kepada-Nya. Ini adalah esensi dari "Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in" – hanya menyembah Allah dan hanya memohon pertolongan kepada-Nya, membebaskan diri dari belenggu selain-Nya.
Beliau sering mengumpamakan hati sebagai bejana. Jika bejana itu penuh dengan duniawi, maka tidak ada lagi ruang untuk akhirat dan Allah SWT. Demikian pula, jika hati masih bergantung pada makhluk, ia tidak akan bisa sepenuhnya bersandar kepada Al-Khaliq (Sang Pencipta). Beliau juga sering berpesan, "Jika kamu ingin beribadah kepada Allah, maka putuskanlah hubunganmu dengan segala selain-Nya." Hal ini selaras dengan pesan Al-Fatihah untuk mengesakan Allah dalam segala hal, baik dalam niat, ibadah, maupun dalam memohon pertolongan, sehingga hati menjadi murni dan hanya tertuju kepada-Nya.
Ayat "Ihdinas-Siratal Mustaqim" adalah doa pokok Al-Fatihah, sebuah permohonan paling mendasar bagi setiap Muslim. Syekh Abdul Qodir Jaelani adalah seorang pembimbing spiritual yang tak kenal lelah menyeru umat untuk kembali ke jalan yang lurus. Ajaran tarekat Qodiriyah sendiri adalah metodologi yang komprehensif untuk mencapai "Siratal Mustaqim" melalui zikir, mujahadah (perjuangan melawan hawa nafsu), dan tazkiyatun nafs (penyucian jiwa). Beliau mengajarkan bahwa hidayah adalah anugerah murni dari Allah, dan kita harus terus-menerus memohonnya dengan penuh kerendahan hati. Seorang murid harus selalu merasa fakir di hadapan Allah, selalu membutuhkan bimbingan-Nya, dan tidak pernah merasa cukup atau berpuas diri dengan ilmu atau amal yang telah dimilikinya, karena setan senantiasa menggoda.
Beliau mendorong para muridnya untuk selalu merenungi makna Al-Fatihah, terutama bagian doa, untuk senantiasa memperbaharui komitmen mereka terhadap jalan yang benar dan menjauhi jalan orang-orang yang dimurkai atau tersesat. Ini bukan hanya doa lisan yang terucap, tetapi juga doa hati yang tulus dan terwujud dalam setiap tindakan nyata, mengarahkan setiap pilihan hidup menuju ridha Ilahi. Beliau sering berkata, "Jika engkau ingin lurus, maka ikutilah jejak para salafus shalih dan jangan menyimpang dari jalan mereka."
Syekh Abdul Qodir Jaelani dikenal sebagai sosok yang sangat bersyukur dan selalu memuji Allah dalam setiap keadaan, baik dalam kemudahan maupun kesulitan. Beliau mengajarkan pentingnya "ridha bil qada'" (ridha terhadap ketetapan Allah), baik dalam suka maupun duka, dalam keadaan sehat maupun sakit, dalam kelapangan maupun kesempitan. Sikap ini adalah perwujudan sejati dari "Alhamdulillahi Rabbil 'alamin," sebuah pengakuan bahwa segala sesuatu berasal dari Allah dan segala puji kembali kepada-Nya. Ketika seorang hamba memahami bahwa segala sesuatu berasal dari Allah, dan bahwa Allah adalah Rabb semesta alam yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, maka hati akan dipenuhi dengan syukur, bukan keluh kesah atau protes.
Ini adalah inti ajaran beliau tentang sabar dan syukur, dua sayap iman yang mengantarkan seorang Muslim menuju kedekatan ilahi. Bahkan dalam cobaan terberat sekalipun, beliau mengajarkan untuk tetap memuji Allah, karena di balik setiap musibah pasti ada hikmah, ujian, dan ampunan dosa. Ini adalah manifestasi nyata dari penghayatan ayat kedua dan ketiga Al-Fatihah, yang mengajarkan kita untuk selalu melihat rahmat Allah dalam setiap aspek kehidupan, dan mensyukuri-Nya di setiap kesempatan.
Kesadaran akan Hari Pembalasan adalah pendorong utama bagi para salikin (penempuh jalan spiritual) untuk beramal shalih dan menjauhi maksiat. Syekh Abdul Qodir Jaelani dalam ceramah-ceramahnya sering mengingatkan tentang kematian, alam kubur, hisab (perhitungan amal), shirath (jembatan), mizan (timbangan amal), dan neraka, serta janji-janji surga bagi orang-orang yang bertaqwa. Ini bertujuan untuk menumbuhkan rasa takut (khauf) yang sehat dalam diri murid, bukan rasa takut yang membuat putus asa dari rahmat Allah, melainkan takut yang mendorong untuk beramal, bertaubat, dan memperbaiki diri dengan sungguh-sungguh.
Pemahaman ini sangat sejalan dengan pesan "Maliki Yawmid-Din" dalam Al-Fatihah, yang menegaskan kekuasaan mutlak Allah pada Hari Kiamat. Dengan kesadaran ini, seorang Muslim tidak akan terlena dengan fatamorgana duniawi yang menipu dan akan selalu mempersiapkan diri untuk kehidupan abadi setelahnya. Beliau mengajarkan, "Dunia adalah ladang akhirat, tanamlah kebaikan di dalamnya agar engkau memanen kebahagiaan di akhirat." Ini adalah fondasi penting dalam perjalanan spiritual yang beliau ajarkan, mengingatkan bahwa setiap perbuatan memiliki konsekuensi abadi.
Ajaran Syekh Abdul Qodir Jaelani juga sangat menekankan aspek rahmat dan kasih sayang Allah. Meskipun beliau seringkali berbicara dengan ketegasan tentang dosa dan hukuman, namun selalu dengan tujuan untuk mengembalikan manusia kepada rahmat Allah yang luas. Beliau adalah seorang yang sangat mencintai Rasulullah SAW dan umatnya, meneladani kasih sayang Nabi yang tiada tara. Sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim yang diulang dalam Al-Fatihah menjadi landasan bagi harapan seorang hamba. Syekh Abdul Qodir Jaelani mengajarkan bahwa pintu taubat selalu terbuka, dan rahmat Allah lebih luas dari murka-Nya. Hal ini memberikan motivasi bagi para pendosa untuk kembali ke jalan yang benar, dan bagi para salikin untuk semakin dekat kepada-Nya dengan penuh harap akan pengampunan dan kasih sayang-Nya.
Beliau berkata, "Janganlah engkau berputus asa dari rahmat Allah, karena rahmat-Nya meliputi segala sesuatu." Ini adalah ajaran yang menghibur dan menguatkan hati, memberikan harapan di tengah keputusasaan. Dengan demikian, ajaran beliau sepenuhnya merefleksikan dan memperdalam pemahaman kita tentang pesan-pesan universal yang terkandung dalam Al-Fatihah, yang mengundang kita untuk senantiasa merasakan kehadiran rahmat Allah dalam setiap momen kehidupan.
Dalam tradisi Sufi yang kaya, termasuk Tarekat Qodiriyah yang didirikan oleh Syekh Abdul Qodir Jaelani, Al-Fatihah memiliki tempat yang sangat istimewa, lebih dari sekadar bacaan shalat wajib. Ia menjadi kunci untuk membuka pintu-pintu spiritual, sumber berkah yang melimpah, dan wasilah (perantara) yang ampuh untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Al-Fatihah bukan hanya dibaca, tetapi juga dihidupkan, diresapi, dan menjadi bagian integral dari perjalanan spiritual seorang murid.
Meskipun Tarekat Qodiriyah memiliki wirid dan zikir khusus seperti 'La Ilaha Illallah', shalawat kepada Nabi, dan istighfar, namun Al-Fatihah seringkali diintegrasikan dalam praktik mereka sebagai bagian tak terpisahkan dari zikir dan munajat. Membaca Al-Fatihah dengan penghayatan yang mendalam adalah salah satu bentuk zikir hati yang paling efektif. Para salikin diajarkan untuk merenungkan setiap ayat, merasakan kehadiran Allah, dan membiarkan makna-makna Al-Fatihah meresap ke dalam jiwa, membersihkan hati dari kotoran duniawi dan mengisinya dengan cahaya ilahi. Ini mengubah bacaan Al-Fatihah dari sekadar lisan menjadi pengalaman spiritual yang transformatif, membawa ketenangan dan kedekatan.
Bagi Syekh Abdul Qodir Jaelani dan murid-muridnya, Al-Fatihah adalah manifestasi dari doa dan permohonan yang paling sempurna karena ia datang langsung dari Allah SWT dan diajarkan oleh Nabi-Nya. Pengulangannya dalam shalat adalah kesempatan untuk terus-menerus memohon hidayah, menegaskan tauhid, dan bersyukur. Di luar shalat, ia bisa menjadi wirid yang dibaca dalam jumlah tertentu untuk memohon perlindungan, kesembuhan dari penyakit, pembukaan pintu rezeki, atau pembukaan hikmah dan ilmu ladunni (ilmu yang langsung dari Allah).
Dalam tradisi Sufi, Al-Fatihah sering dibaca sebagai wasilah (perantara) atau untuk memohon berkah (tawassul) melalui orang-orang shalih. Misalnya, ketika berkunjung ke makam para wali, termasuk makam Syekh Abdul Qodir Jaelani di Baghdad, para peziarah sering membaca Al-Fatihah. Penting untuk dicatat bahwa ini bukan berarti menyembah makam atau orang yang sudah wafat, melainkan memohon kepada Allah SWT agar diberikan berkah, dikabulkan hajat, atau diangkat kesusahan melalui perantara orang-orang shalih yang telah dekat dengan-Nya dan memiliki kedudukan tinggi di sisi-Nya, atau menghadiahkan pahala bacaan Al-Fatihah kepada ruh mereka sebagai bentuk penghormatan dan kecintaan.
Syekh Abdul Qodir Jaelani sendiri adalah seorang wali yang sangat dihormati dan dianggap sebagai wasilah yang kuat karena derajat spiritualnya. Dengan membaca Al-Fatihah dan menghadiahkan pahalanya kepada beliau, seorang Muslim berharap mendapatkan keberkahan dan kemudahan dalam urusan dunia dan akhirat melalui keagungan dan kedudukan beliau di sisi Allah. Ini adalah bentuk penghormatan, pengakuan atas derajat spiritual para `awliyaullah`, dan harapan agar Allah meridhai dan mengabulkan doa-doa yang dipanjatkan.
Al-Fatihah juga dikenal sebagai "Asy-Syifa" (penyembuh), sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, "Surah Al-Fatihah adalah penyembuh dari setiap penyakit." (HR. Ad-Darimi). Dalam tradisi Sufi, dan juga dalam pengobatan Islam secara umum, Al-Fatihah digunakan sebagai bagian dari `ruqyah syar'iyyah` (ruqyah yang sesuai syariat) untuk menyembuhkan penyakit fisik maupun spiritual, menghilangkan sihir, mengusir gangguan jin, atau mengatasi masalah psikologis. Syekh Abdul Qodir Jaelani dikenal memiliki banyak karomah, termasuk menyembuhkan orang sakit dan membebaskan orang dari kesusahan. Salah satu cara beliau atau murid-muridnya mungkin melakukannya adalah dengan membacakan ayat-ayat Al-Qur'an, termasuk Al-Fatihah, dengan penuh keyakinan, tawakkal kepada Allah, dan niat yang tulus.
Kekuatan penyembuhan Al-Fatihah terletak pada kandungan maknanya yang tauhid, pujian, dan doa permohonan yang murni kepada Allah. Ketika dibaca dengan keyakinan yang kuat, hati yang hadir, dan keikhlasan, ia dapat mengusir energi negatif, membakar pengaruh sihir, dan menarik energi positif dari rahmat dan kuasa Allah SWT, sehingga membawa kesembuhan dan perlindungan.
Bagi para salikin Tarekat Qodiriyah, membaca Al-Fatihah bukan hanya sekadar melafalkan huruf dan kata-kata, tetapi juga melakukan `tadabbur`, yaitu merenungi makna-maknanya secara mendalam, membiarkan setiap ayat berbicara kepada hati dan jiwa. Setiap ayat adalah sebuah pintu menuju lautan ma'rifat dan kedekatan ilahi:
Kontemplasi mendalam ini, yang secara konsisten diajarkan dalam tradisi Sufi dan menjadi ciri khas Tarekat Qodiriyah, memungkinkan Al-Fatihah bukan hanya menjadi doa yang terucap, tetapi menjadi sebuah pengalaman `mi'raj` (kenaikan spiritual) mini dalam setiap shalat atau zikir, menghubungkan hamba dengan Tuhannya secara intim, membuka hati terhadap hikmah-hikmah ilahi, dan membersihkan jiwa dari segala noda.
Di era modern ini, tantangan spiritual bagi umat Muslim semakin kompleks dan beragam. Godaan duniawi yang datang dari berbagai arah, banjir informasi yang seringkali menyesatkan, tekanan sosial, dan kekeringan spiritual seringkali membuat hati menjadi gersang dan jiwa merasa kosong. Dalam konteks inilah, warisan ajaran Syekh Abdul Qodir Jaelani yang penuh kearifan dan kekuatan Surah Al-Fatihah menjadi semakin relevan, penting, dan mendesak untuk dihidupkan kembali dalam setiap aspek kehidupan kita.
Ajaran Syekh Abdul Qodir Jaelani tentang zuhud, wara', ikhlas, dan tawakkal adalah benteng pertahanan spiritual yang kokoh di tengah arus materialisme dan hedonisme yang mengalir deras di masyarakat modern. Ketika seseorang menghayati Al-Fatihah dengan penuh kesadaran, ia akan terus-menerus diingatkan akan Rabbul Alamin yang menguasai segalanya, akan Hari Pembalasan yang pasti tiba, dan akan pentingnya mengesakan Allah dalam setiap ibadah dan dalam memohon pertolongan. Kesadaran ini secara otomatis akan menuntun pada pembentukan akhlak mulia dan pondasi spiritual yang kokoh, yang tidak mudah digoyahkan oleh badai kehidupan.
Misalnya, dengan menghayati "Maliki Yawmid-Din", seorang Muslim akan lebih berhati-hati dalam bermuamalah, menjauhi riba, korupsi, penipuan, dan segala bentuk kezaliman, karena ia tahu bahwa setiap perbuatan, sekecil apa pun, akan ada pertanggungjawaban di Hari Kiamat. Demikian pula, dengan menghayati "Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in", ia akan lebih bersandar kepada Allah dalam setiap kesulitan, bukan kepada jabatan, harta, popularitas, atau manusia, sehingga ia akan terhindar dari kecemasan, kekecewaan, dan keputusasaan yang sering melanda jiwa modern.
Dunia modern seringkali dipenuhi dengan kecemasan, stres, kegelisahan, dan depresi karena tekanan hidup yang tinggi dan ketidakpastian. Al-Fatihah, dengan kandungan tauhid, pujian, dan doanya, adalah sumber kedamaian yang tak terhingga yang dapat menenangkan jiwa yang bergejolak. Ketika seorang Muslim melafalkannya dengan khusyuk dan penuh penghayatan, ia sedang berkomunikasi langsung dengan Penciptanya, memohon bimbingan dan perlindungan. Ini adalah momen pengosongan diri dari beban dan kekacauan duniawi, dan pengisian jiwa dengan ketenangan ilahi (sakinah) yang hanya bisa ditemukan dalam kedekatan dengan Allah.
Ajaran Syekh Abdul Qodir Jaelani tentang ridha dan tawakkal juga merupakan resep mujarab untuk mencapai kedamaian sejati. Ketika seorang hamba ridha dengan setiap ketetapan Allah dan sepenuhnya menyerahkan segala urusan kepada-Nya setelah berusaha semaksimal mungkin, ia akan menemukan ketenangan yang sejati, karena ia tahu bahwa Allah adalah sebaik-baik pengatur segala urusan. Ini membebaskan hati dari kekhawatiran yang berlebihan terhadap masa depan dan penyesalan terhadap masa lalu.
Syekh Abdul Qodir Jaelani adalah seorang ulama yang menguasai berbagai cabang ilmu syariat dengan sangat mendalam sebelum ia mendalami tasawuf dan mencapai derajat kewalian. Ini menunjukkan bahwa tasawuf atau spiritualitas yang benar harus berlandaskan pada ilmu yang kokoh. Al-Fatihah sendiri, sebagai Ummul Kitab, menuntut kita untuk tidak hanya sekadar membacanya, tetapi juga untuk memahami maknanya secara mendalam (ilmu). Dengan menggabungkan ilmu (memahami makna Al-Fatihah) dan amal (menghayatinya serta mengamalkannya dalam kehidupan), seorang Muslim dapat mencapai kemajuan spiritual yang otentik dan berkelanjutan.
Ini melawan pemahaman keliru yang sering muncul di beberapa kalangan bahwa spiritualitas adalah pelarian dari ilmu atau syariat. Sebaliknya, spiritualitas yang sejati, sebagaimana diajarkan oleh Syekh Abdul Qodir Jaelani, adalah puncak dari pengamalan ilmu yang benar dan syariat yang kokoh. Ilmu tanpa amal adalah kosong, dan amal tanpa ilmu adalah sesat. Keduanya harus berjalan seiring.
Ajaran Syekh Abdul Qodir Jaelani tidak hanya berfokus pada perbaikan diri secara individu, tetapi juga pada pembentukan komunitas yang saling mendukung dalam kebaikan dan ketaqwaan. Melalui tarekatnya, beliau membangun jemaah yang memiliki ikatan spiritual dan persaudaraan yang kuat. Pengamalan Al-Fatihah secara berjamaah, baik dalam shalat maupun dalam majelis zikir, dapat memperkuat ikatan ini. Doa "Ihdinas-Siratal Mustaqim" yang diucapkan bersama-sama mencerminkan harapan kolektif untuk bimbingan ilahi, dan "Shiratal-ladhina an'amta 'alayhim" adalah aspirasi bersama untuk mengikuti jejak para shalihin, secara berjamaah, bukan individualis.
Dengan menghidupkan kembali semangat ajaran Syekh Abdul Qodir Jaelani yang menekankan keikhlasan, taqwa, persatuan umat, dan pelayanan kepada sesama di bawah naungan Al-Qur'an dan Sunnah, umat Islam dapat membangun komunitas yang lebih resilient (tangguh), berakhlak mulia, saling tolong-menolong, dan berorientasi pada akhirat, sehingga menjadi contoh kebaikan bagi seluruh umat manusia.
Al-Fatihah dibaca minimal 17 kali dalam sehari dalam shalat fardhu saja. Ini adalah kesempatan emas yang luar biasa untuk terus memperbarui spiritualitas kita, membersihkan hati, dan menguatkan hubungan dengan Allah. Daripada membacanya secara mekanis tanpa penghayatan, kita bisa menjadikannya sebagai momen kontemplasi, dialog pribadi dengan Allah, dan penguatan niat. Setiap kali kita membaca "Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in", kita bisa bertanya pada diri sendiri: Apakah aku benar-benar hanya menyembah-Mu? Apakah aku benar-benar hanya bersandar pada-Mu? Adakah selain Engkau yang ku takutkan atau ku harapkan?
Ajaran Syekh Abdul Qodir Jaelani mendorong kita untuk mencari kedalaman dalam setiap ibadah, mengubah kebiasaan rutin menjadi ibadah yang penuh kesadaran dan kehadiran hati (`hudhur al-qalb`). Ini adalah kunci untuk merasakan manisnya iman, kedekatan dengan Allah, dan merasakan dampak spiritual yang nyata dalam kehidupan sehari-hari. Dengan cara ini, setiap shalat akan menjadi mi'raj, setiap zikir akan menjadi pencerahan, dan setiap langkah akan menjadi ibadah.
Kehidupan Syekh Abdul Qodir Jaelani penuh dengan kisah-kisah inspiratif dan karomah yang menunjukkan kedalaman spiritual, keikhlasan, dan kedekatan beliau dengan Allah SWT. Meskipun tidak ada kisah langsung yang menghubungkan beliau dengan "doa Al-Fatihah" secara spesifik dalam bentuk formulasi baru, namun banyak dari ajarannya, teladan hidupnya, dan karomahnya secara tidak langsung menekankan prinsip-prinsip luhur yang terkandung dalam Al-Fatihah.
Salah satu kisah paling terkenal dari masa muda Syekh Abdul Qodir Jaelani adalah tentang kejujurannya yang luar biasa dan keteguhan hatinya. Ketika ia hendak berangkat dari Gilan menuju Baghdad untuk menuntut ilmu, ibunya berpesan agar ia selalu jujur dalam setiap keadaan, tidak peduli apa pun yang terjadi. Di tengah perjalanan, rombongannya dihadang oleh gerombolan perampok yang terkenal kejam. Pemimpin perampok, setelah menggeledah rombongan, bertanya kepadanya berapa uang yang ia miliki. Dengan tenang dan jujur, Syekh Abdul Qodir Jaelani kecil mengatakan bahwa ia memiliki 40 dinar yang disembunyikan di bawah ketiaknya, seperti pesan ibunya. Para perampok terheran-heran, mengapa anak ini jujur padahal ia bisa saja berbohong dan menyelamatkan hartanya. Syekh menjawab bahwa ia tidak ingin melanggar janji kepada ibunya, yang telah berpesan untuk selalu berkata jujur.
Kisah ini menunjukkan keteguhan hati, kejujuran, dan ketaatan yang luar biasa. Dalam konteks Al-Fatihah, ini adalah perwujudan dari "Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in" – kebergantungan total kepada Allah dan ketakutan hanya kepada-Nya, bukan kepada makhluk atau ancaman perampok. Kejujuran ini juga merupakan bagian dari "Siratal Mustaqim" yang ia mohon dalam doanya, jalan yang lurus, tidak menyimpang, dan penuh integritas. Kejujuran adalah salah satu fondasi utama untuk membangun hubungan yang tulus dengan Allah dan manusia.
Syekh Abdul Qodir Jaelani dikenal memiliki banyak karomah (kemuliaan luar biasa yang diberikan Allah kepada wali-Nya), seperti dapat berbicara dengan jin, menyembuhkan orang sakit yang parah, menghidupkan kembali makhluk mati atas izin Allah, atau mengetahui hal-hal gaib atas izin dan ilham dari Allah. Karomah-karomah ini bukan tujuan akhir dari spiritualitas beliau, melainkan buah dari ketaqwaan, keikhlasan, dan kedekatan beliau yang mendalam dengan Allah SWT. Keyakinan beliau yang kokoh terhadap "Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin" (segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam) dan "Maliki Yawmid-Din" (Yang Menguasai Hari Pembalasan) membuatnya memiliki kekuatan batin yang luar biasa, sehingga Allah memperlihatkan kekuasaan-Nya melalui beliau.
Orang yang hatinya sepenuhnya bersandar kepada Allah (sebagaimana ditegaskan dalam "Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in" dalam Al-Fatihah), akan diberikan kekuatan dan pertolongan oleh-Nya. Karomah-karomah beliau adalah tanda kekuasaan Allah yang bekerja melalui hamba-Nya yang shalih, dan ini menguatkan keyakinan umat akan kekuatan doa, ketaatan, dan janji Allah untuk menolong para wali-Nya. Karomah ini juga menjadi bukti nyata bahwa kesucian hati dan kejujuran dalam beribadah memiliki konsekuensi spiritual yang agung.
Perjalanan Syekh Abdul Qodir Jaelani dalam menuntut ilmu di Baghdad selama bertahun-tahun dan periode uzlahnya yang panjang di gurun dan tempat-tempat sunyi, menunjukkan kesabaran dan mujahadah (perjuangan keras) yang luar biasa. Beliau menghadapi berbagai kesulitan, termasuk kemiskinan ekstrem, kelaparan, dan kesendirian, namun tidak pernah menyerah. Beliau rela mengikat perutnya dengan batu untuk menahan lapar. Ini adalah manifestasi nyata dari semangat "Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in" – beribadah dan memohon pertolongan hanya kepada Allah dengan penuh kesabaran, serta "Ihdinas-Siratal Mustaqim" – keteguhan dalam mencari jalan yang benar dan hidayah Ilahi, meskipun penuh rintangan.
Kisah hidup beliau mengajarkan kita bahwa mencapai kedalaman spiritual dan ilmu yang bermanfaat membutuhkan pengorbanan yang tidak sedikit, kesabaran yang tiada batas, dan ketekunan yang tak kenal lelah, dengan selalu menjadikan Allah sebagai satu-satunya sandaran, tujuan, dan pemberi kekuatan. Ini adalah fondasi bagi siapa saja yang ingin menapaki jalan spiritual yang lurus dan mencapai derajat yang tinggi di sisi Allah.
Meskipun beliau adalah seorang ulama besar, seorang guru dari para guru, dan wali agung yang dihormati oleh ribuan orang, Syekh Abdul Qodir Jaelani tetaplah seorang yang sangat rendah hati, lembut, dan mulia akhlaknya. Beliau senantiasa melayani umat, tidak membeda-bedakan kaya atau miskin, berilmu atau awam, penguasa atau rakyat jelata. Beliau selalu menyapa semua orang dengan ramah, mendengarkan keluh kesah mereka, dan memberikan nasihat dengan penuh hikmah. Sikap ini adalah perwujudan dari rahmat dan kasih sayang (Ar-Rahman Ar-Rahim) yang ia rasakan dari Allah dan ia sebarkan kepada sesama makhluk. Beliau adalah cermin dari akhlak Rasulullah SAW.
Kerendahan hati beliau juga tercermin dari ajarannya bahwa segala kebaikan dan kesuksesan, termasuk karomah yang beliau miliki, berasal sepenuhnya dari Allah SWT, dan tidak ada sedikit pun yang patut disombongkan pada diri sendiri. Ini adalah perwujudan dari "Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin" – segala puji hanya bagi Allah. Kisah hidup beliau menjadi teladan bagi kita untuk selalu bersyukur atas nikmat yang diberikan, dan tidak pernah sombong atau merasa lebih baik dari orang lain, karena kemuliaan sejati adalah ketakwaan dan kerendahan hati di hadapan Allah.
Surah Al-Fatihah, dengan tujuh ayatnya yang mulia, adalah inti dari Al-Qur'an, doa yang paling sempurna, dan fondasi spiritual bagi setiap Muslim. Ia adalah Ummul Kitab yang merangkum seluruh ajaran agama, dari tauhid yang murni, pujian yang agung, pengakuan akan Hari Pembalasan yang pasti, hingga permohonan hidayah di jalan yang lurus dan perlindungan dari kesesatan serta kemurkaan Allah. Ia adalah sebuah munajat yang komprehensif, sebuah peta jalan yang jelas bagi perjalanan spiritual seorang hamba menuju Tuhannya.
Sementara itu, Syekh Abdul Qodir Jaelani, sang Sulthanul Auliya, melalui kehidupan, ajaran, dan tarekatnya yang telah tersebar luas, telah menunjukkan kepada umat manusia bagaimana seorang hamba dapat mencapai puncak kedekatan ilahi dengan menghidupkan makna-makna Al-Fatihah dalam setiap aspek kehidupannya. Beliau adalah teladan nyata dari seorang yang sepenuhnya bersandar kepada Allah, ikhlas dalam setiap ibadah dan perbuatannya, teguh di jalan kebenaran yang lurus, dan penuh kasih sayang kepada sesama makhluk.
Meskipun tidak ada "Doa Al-Fatihah Syekh Abdul Qodir Jaelani" yang merupakan formulasi baru di luar Surah Al-Fatihah itu sendiri, namun seluruh ajaran beliau, setiap nasihat, dan setiap langkah hidupnya adalah penghayatan yang mendalam terhadap pesan-pesan universal yang terkandung dalam Al-Fatihah. Beliau mengajarkan kita untuk tidak hanya membaca Al-Fatihah secara lisan, tetapi untuk merasakannya dengan hati, merenungkannya dengan pikiran, dan mengintegrasikannya ke dalam sanubari, sehingga setiap tarikan napas dan setiap langkah hidup menjadi manifestasi dari ikrar "Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in" (Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan) dan permohonan "Ihdinas-Siratal Mustaqim" (Tunjukilah kami jalan yang lurus).
Warisan beliau yang abadi adalah inspirasi bagi kita semua untuk terus menuntut ilmu syariat yang kokoh, menyucikan jiwa dari segala noda, berzikir kepada Allah secara terus-menerus, dan menapaki jalan para kekasih-Nya dengan penuh keyakinan, keikhlasan, serta keberanian dalam menghadapi tantangan zaman. Semoga kita semua dapat mengambil hikmah yang mendalam dari Al-Fatihah dan meneladani spiritualitas agung Syekh Abdul Qodir Jaelani, agar hati kita selalu hidup dengan cahaya ilahi dan senantiasa berada di jalan yang lurus yang diridhai Allah SWT.
Semoga artikel yang mendalam ini memberikan pemahaman yang lebih luas dan inspiratif tentang hubungan yang erat antara doa Al-Fatihah dan ajaran spiritual Syekh Abdul Qodir Jaelani, serta menginspirasi kita semua untuk merenungkan kembali nilai-nilai luhur yang telah mereka wariskan. Mari kita jadikan setiap bacaan Al-Fatihah sebagai pintu menuju ma'rifatullah dan setiap langkah kita sebagai perwujudan dari ajaran para wali Allah yang telah menorehkan sejarah dengan tinta emas ketaqwaan dan kecintaan kepada-Nya.