بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
Surah Al-Kahf, atau yang dikenal sebagai "Gua", adalah salah satu surah yang memiliki kedudukan istimewa dalam Al-Qur'an. Diturunkan di Mekkah, surah ke-18 ini terdiri dari 110 ayat dan seringkali dianjurkan untuk dibaca pada hari Jumat karena kandungan hikmah dan pelajaran yang sangat mendalam. Surah ini memuat empat kisah utama yang sarat dengan pesan moral, spiritual, dan eskatologis: kisah Ashabul Kahf (Penghuni Gua), kisah dua pemilik kebun, kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir, serta kisah Dhul-Qarnayn. Keempat kisah ini saling terkait dalam menyampaikan pesan tentang pentingnya iman, kesabaran, kerendahan hati, dan pemahaman akan kekuasaan serta takdir Allah SWT.
Di antara kisah-kisah tersebut, narasi tentang Dhul-Qarnayn adalah salah satu yang paling menarik perhatian dan memicu banyak perdebatan serta interpretasi. Kisah ini secara khusus berpusat pada kepemimpinan Dhul-Qarnayn yang adil, kebijaksanaannya, perjalanannya yang jauh, dan yang terpenting, pembangunannya sebuah dinding raksasa untuk menghalangi kerusakan yang ditimbulkan oleh Ya'juj dan Ma'juj. Ayat-ayat 92 hingga 99 dari Surah Al-Kahf adalah inti dari pembahasan ini, menjelaskan secara detail perjalanan ketiga Dhul-Qarnayn dan interaksinya dengan kaum yang meminta perlindungan darinya.
Artikel ini akan mengupas tuntas ayat-ayat 92-99 Surah Al-Kahf, menelusuri setiap detail narasi, menggali makna-makna tersembunyi, serta merenungkan implikasi dari kisah ini bagi kehidupan kita sebagai Muslim. Kita akan membahas identitas Dhul-Qarnayn, lokasi dan karakteristik dinding tersebut, sifat Ya'juj dan Ma'juj, serta hikmah universal yang dapat dipetik dari kisah ini, yang melampaui batas waktu dan tempat. Pemahaman terhadap ayat-ayat ini bukan hanya menambah khazanah ilmu keislaman kita, tetapi juga membimbing kita pada prinsip-prinsip kepemimpinan, tanggung jawab sosial, dan persiapan menghadapi janji-janji akhir zaman yang telah difirmankan Allah SWT.
Sebelum menyelami ayat-ayat inti, penting untuk memahami konteks kisah Dhul-Qarnayn dalam Al-Qur'an. Nama "Dhul-Qarnayn" secara harfiah berarti "Pemilik Dua Tanduk" atau "Pemilik Dua Masa/Abad". Julukan ini telah memicu banyak spekulasi tentang identitas sebenarnya. Beberapa ulama mengaitkannya dengan Alexander Agung (Iskandar Agung), mengingat reputasinya sebagai penakluk besar yang melakukan perjalanan luas. Namun, pandangan ini banyak ditentang oleh mayoritas ulama karena Alexander Agung dikenal sebagai penyembah berhala dan seringkali bertindak tiran, sementara Dhul-Qarnayn dalam Al-Qur'an jelas digambarkan sebagai pemimpin yang saleh, beriman kepada Allah, menegakkan keadilan, dan menyebarkan kebaikan.
Identitas Dhul-Qarnayn yang sesungguhnya, baik dari segi nama, periode hidup, maupun asal-usul geografisnya, tidak diungkapkan secara definitif dalam Al-Qur'an maupun hadits shahih. Ini adalah salah satu hikmah ilahi, agar perhatian umat tidak terfokus pada identitas pribadi tokoh, melainkan pada sifat dan tindakan yang ia tunjukkan. Ia adalah teladan seorang pemimpin yang diberikan kekuasaan besar oleh Allah, tetapi tetap rendah hati, bersyukur, dan menggunakan kekuasaannya untuk kebaikan dan keadilan di muka bumi. Kisah ini mengajarkan bahwa kekuasaan adalah amanah yang berat, bukan sarana untuk kesombongan, penindasan, atau akumulasi kekayaan pribadi.
Al-Qur'an menceritakan tiga perjalanan utama Dhul-Qarnayn, masing-masing ke arah yang berbeda: perjalanan ke Barat hingga tempat terbenamnya matahari (ayat 86), perjalanan ke Timur hingga tempat terbitnya matahari (ayat 90), dan perjalanan ke suatu tempat di antara dua gunung (ayat 92). Dalam setiap perjalanannya, ia menunjukkan kebijaksanaan dalam memutuskan perkara, keadilan dalam bertindak, dan bukti nyata pertolongan Allah yang selalu menyertainya. Kisah-kisah perjalanannya ini bukan hanya catatan geografis, tetapi juga narasi tentang interaksi Dhul-Qarnayn dengan berbagai kaum, menunjukkan kepemimpinannya yang adaptif dan komitmennya terhadap misi ilahi.
ثُمَّ أَتْبَعَ سَبَبًا
"Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain)."
Ayat ini, dengan kalimat yang ringkas namun padat makna, menandai dimulainya perjalanan ketiga Dhul-Qarnayn setelah perjalanannya yang monumental ke barat dan ke timur. Frasa "ثُمَّ أَتْبَعَ سَبَبًا" (tsumma atba'a sababan) secara harfiah berarti "kemudian dia mengikuti suatu jalan" atau "kemudian dia mengikuti suatu sebab". Dalam konteks ini, "sababan" (jalan/sebab) tidak hanya merujuk pada lintasan geografis, tetapi juga pada sarana, metode, atau instrumen yang Allah mudahkan baginya untuk mencapai tujuannya. Ini bisa berupa petunjuk ilahi, kekuatan fisik dan militer, pengetahuan strategis, atau bahkan alat dan teknologi yang relevan pada masanya. Ini menegaskan bahwa segala sesuatu yang dicapai Dhul-Qarnayn adalah karena kemudahan dan pertolongan dari Allah SWT, bukan semata-mata karena kekuatannya sendiri.
Setelah Dhul-Qarnayn menghadapi kaum yang membutuhkan kebijaksanaannya di barat (di mana ia menerapkan keadilan antara orang-orang beriman dan kafir) dan kaum yang diberikan pelajaran di timur (di mana ia menunjukkan kemurahan hati kepada mereka yang tidak memiliki perlindungan), ia tidak beristirahat dari tugasnya. Hal ini mencerminkan sifat seorang pemimpin yang tidak pernah puas dengan pencapaiannya, melainkan terus mencari kesempatan untuk berbuat lebih banyak kebaikan, menegakkan keadilan, dan menolong mereka yang tertindas. Ini adalah pelajaran tentang ketekunan dan dedikasi dalam menjalankan amanah.
Frasa ini juga menyiratkan bahwa Dhul-Qarnayn memiliki kemampuan untuk menjelajahi bumi, bukan hanya secara fisik melintasi daratan dan lautan, tetapi juga secara metodologis, ia mampu menyesuaikan diri dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat yang berbeda. Fleksibilitas dan kecerdasan dalam kepemimpinannya memungkinkannya berinteraksi dengan berbagai budaya dan menyelesaikan masalah yang kompleks. Kesinambungan perjalanannya menunjukkan bahwa misi Dhul-Qarnayn bersifat berkelanjutan dan terarah, di bawah bimbingan ilahi, untuk membawa manfaat ke seluruh penjuru bumi yang ia jangkau.
حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ بَيْنَ السَّدَّيْنِ وَجَدَ مِن دُونِهِمَا قَوْمًا لَّا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ قَوْلًا
"Hingga ketika dia sampai di antara dua gunung, dia mendapati di hadapan keduanya suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan."
Dalam perjalanannya yang ketiga ini, Dhul-Qarnayn tiba di sebuah lokasi yang sangat spesifik dan mencolok: "حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ بَيْنَ السَّدَّيْنِ" (hatta idza balagha baina as-saddayn), yaitu "hingga ketika dia sampai di antara dua gunung". Kata "as-saddayn" merujuk pada dua benteng alami, atau dua tebing atau pegunungan yang menjulang tinggi, menciptakan celah, ngarai, atau lembah yang sempit di antaranya. Lokasi ini menggambarkan sebuah wilayah yang sangat terisolasi, mungkin sulit dijangkau, dan secara alami membentuk koridor yang strategis.
Di tempat terpencil itu, ia bertemu dengan suatu kaum yang digambarkan dengan ciri khas: "وَجَدَ مِن دُونِهِمَا قَوْمًا لَّا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ قَوْلًا" (wajada min dunihima qawman la yakaduna yafqahuna qawla), "dia mendapati di hadapan keduanya suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan". Ini menunjukkan adanya hambatan bahasa atau komunikasi yang sangat signifikan. Bisa jadi mereka memiliki dialek yang sangat asing, struktur bahasa yang primitif, atau mereka hidup dalam isolasi ekstrem sehingga jarang berinteraksi dengan dunia luar dan tidak terbiasa dengan bahasa-bahasa lain. Meskipun ada kesulitan komunikasi, Dhul-Qarnayn, dengan kebijaksanaan dan kesabarannya, pasti menemukan cara untuk berkomunikasi dengan mereka, mungkin melalui isyarat, penerjemah, atau bahkan intuisi ilahi yang membimbingnya.
Kondisi kaum ini, yang terisolasi dan kesulitan berkomunikasi, mengindikasikan bahwa mereka adalah masyarakat yang rentan dan mungkin terbelakang, sangat membutuhkan pertolongan dari pihak luar. Kehadiran Dhul-Qarnayn di tempat yang begitu terpencil bukanlah suatu kebetulan, melainkan bagian dari rencana ilahi untuk membawa kebaikan dan keadilan ke tempat yang paling tersembunyi sekalipun. Ini juga menegaskan bahwa keadilan dan pertolongan Allah tidak terbatas pada wilayah-wilayah yang maju atau mudah diakses, melainkan menjangkau seluruh umat manusia yang membutuhkan.
Penting untuk dicatat bahwa Al-Qur'an tidak memberikan detail geografis yang spesifik tentang lokasi ini, seperti nama gunung atau negara. Hikmah di balik ketiadaan detail ini adalah agar pesan utama kisah tidak terganggu oleh spekulasi lokasi yang berlebihan, melainkan fokus pada pelajaran moral dan spiritual yang dapat diambil. Lokasi tersebut bisa di mana saja di muka bumi yang memenuhi deskripsi, dan yang terpenting adalah konteks sosial dan ancaman yang dihadapi kaum tersebut.
قَالُوا يَا ذَا الْقَرْنَيْنِ إِنَّ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ مُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ فَهَلْ نَجْعَلُ لَكَ خَرْجًا عَلَىٰ أَن تَجْعَلَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ سَدًّا
"Mereka berkata, 'Wahai Dhul-Qarnayn! Sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj itu pembuat kerusakan di bumi, maka bersediakah engkau kami beri imbalan agar engkau membuatkan dinding penghalang antara kami dan mereka?'"
Setelah Dhul-Qarnayn berhasil menjalin komunikasi, kaum tersebut segera mengungkapkan penderitaan mereka yang telah berlangsung lama. Mereka memperkenalkan Dhul-Qarnayn pada ancaman besar yang mereka hadapi: "يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ" (Ya'juj dan Ma'juj), yaitu Gog dan Magog. Mereka digambarkan dengan frasa yang sangat kuat: "مُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ" (mufsiduna fil-ardh), yaitu "pembuat kerusakan di bumi". Deskripsi ini mengindikasikan bahwa Ya'juj dan Ma'juj adalah makhluk yang destruktif secara inheren, agresif, dan selalu menimbulkan kekacauan, penjarahan, pembunuhan, dan kehancuran di wilayah mereka serta terhadap kaum di sekitarnya. Kerusakan yang mereka timbulkan sangat luas, meliputi aspek materi, sosial, dan mungkin juga moral.
Penyebutan "di bumi" (fil-ardh) tidak terbatas pada wilayah mereka saja, tetapi memiliki implikasi universal bahwa kerusakan yang mereka timbulkan dapat mempengaruhi kehidupan secara luas, layaknya wabah yang menyebar. Kaum yang terisolasi ini telah lama menderita akibat serangan berulang-ulang dari Ya'juj dan Ma'juj, yang mungkin sering menjarah hasil panen, menghancurkan tempat tinggal, dan menindas penduduk. Kondisi mereka yang rentan dan terisolasi menjadikan mereka target empuk bagi makhluk-makhluk perusak ini.
Dalam keputusasaan yang mendalam, mereka mengajukan permohonan kepada Dhul-Qarnayn, yang mereka yakini memiliki kekuatan dan kemampuan untuk membantu. Mereka menawarkan "خَرْجًا" (kharjan), yaitu imbalan, upah, atau sejumlah harta kepada Dhul-Qarnayn, dengan harapan ia bersedia "تَجْعَلَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ سَدًّا" (taj'ala baynana wa baynahum saddan), "membuatkan dinding penghalang antara kami dan mereka". Tawaran imbalan ini adalah cerminan dari keseriusan masalah yang mereka hadapi; mereka bersedia membayar mahal, bahkan mengorbankan harta benda mereka, demi keamanan, kedamaian, dan kelangsungan hidup. Ini menunjukkan bahwa mereka sangat menderita dan memandang proyek ini sebagai satu-satunya jalan keluar.
Permintaan ini juga menunjukkan bahwa kaum tersebut sebelumnya telah berusaha sendiri, namun gagal, atau tidak memiliki pengetahuan dan sumber daya yang cukup untuk menghadapi ancaman Ya'juj dan Ma'juj. Mereka membutuhkan campur tangan kekuatan yang lebih besar dan lebih terampil, yang mereka temukan pada diri Dhul-Qarnayn. Permohonan ini menjadi titik sentral dalam kisah ini, mengarahkan pada proyek pembangunan megah yang akan mengubah nasib mereka dan menunjukkan keadilan serta rahmat Allah melalui hamba-Nya.
قَالَ مَا مَكَّنِّي فِيهِ رَبِّي خَيْرٌ فَأَعِينُونِي بِقُوَّةٍ أَجْعَلْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ رَدْمًا
"Dia (Dhul-Qarnayn) berkata, 'Apa yang telah dikuasakan Tuhanku kepadaku lebih baik (daripada imbalanmu), maka bantulah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding penghalang antara kamu dan mereka.'"
Respons Dhul-Qarnayn terhadap tawaran imbalan ini adalah salah satu pelajaran moral terpenting dalam seluruh kisah ini. Dengan kerendahan hati yang luar biasa dan ketakwaan yang mendalam, ia menolak imbalan materi. Ia menyatakan, "مَا مَكَّنِّي فِيهِ رَبِّي خَيْرٌ" (ma makkanni fihi Rabbi khayr), "Apa yang telah dikuasakan Tuhanku kepadaku lebih baik (daripada imbalanmu)". Pernyataan ini menegaskan bahwa ia menganggap kekuasaan, kekayaan, kemampuan, dan seluruh fasilitas yang dimilikinya sebagai karunia dan anugerah dari Allah semata. Ia tidak mencari keuntungan pribadi, pujian, atau balasan duniawi dari pertolongan yang ia berikan. Motivasi utamanya adalah beribadah kepada Allah dan menegakkan keadilan di muka bumi, bukan untuk memperkaya diri atau mencari popularitas.
Pernyataan ini menggarisbawahi prinsip kepemimpinan Islami yang sejati: seorang pemimpin sejati bertindak demi kebaikan rakyatnya dan demi memenuhi amanah ilahi, bukan demi kepentingan pribadi atau kelompok. Kekayaan dan kekuasaan adalah ujian berat bagi seseorang, dan Dhul-Qarnayn lulus ujian ini dengan gemilang, menunjukkan bahwa motivasinya murni demi Allah dan keadilan semesta.
Meskipun menolak imbalan finansial, Dhul-Qarnayn tidak lantas menolak bantuan sama sekali. Ia meminta "فَأَعِينُونِي بِقُوَّةٍ" (fa a'inuni bi quwwatin), "maka bantulah aku dengan kekuatan" atau bantuan tenaga dan peralatan dari kaum tersebut. Ini adalah permintaan yang sangat masuk akal dan adil. Pembangunan dinding raksasa adalah proyek infrastruktur yang sangat besar dan ambisius, yang membutuhkan mobilisasi tenaga kerja dalam jumlah besar serta sumber daya material. Ia tidak ingin melakukan semuanya sendiri, melainkan melibatkan kaum yang akan merasakan manfaat langsung dari proyek tersebut. Ini bukan hanya untuk meringankan bebannya, tetapi juga untuk memberikan rasa kepemilikan, tanggung jawab, dan kebanggaan kepada mereka terhadap proyek tersebut. Dengan berpartisipasi aktif, mereka akan lebih menghargai, menjaga, dan merasa bertanggung jawab atas benteng yang dibangun untuk keselamatan mereka.
Perubahan kata dari "سَدًّا" (saddan - dinding biasa) di ayat 94 menjadi "رَدْمًا" (radman - dinding kokoh/penghalang tebal dan padat) di ayat 95 juga sangat signifikan. Ini menunjukkan bahwa Dhul-Qarnayn tidak hanya akan membangun dinding biasa yang mungkin bisa dihancurkan, melainkan sebuah benteng yang sangat kokoh, tebal, dan tak tertembus, jauh lebih kuat dan lebih permanen dari yang mungkin dibayangkan oleh kaum tersebut. Pemilihan kata ini menegaskan ambisi Dhul-Qarnayn untuk menciptakan solusi yang fundamental dan tahan lama terhadap ancaman Ya'juj dan Ma'juj.
آتُونِي زُبَرَ الْحَدِيدِ ۖ حَتَّىٰ إِذَا سَاوَىٰ بَيْنَ الصَّدَفَيْنِ قَالَ انفُخُوا ۖ حَتَّىٰ إِذَا جَعَلَهُ نَارًا قَالَ آتُونِي أُفْرِغْ عَلَيْهِ قِطْرًا
"Berilah aku potongan-potongan besi!' Hingga apabila (potongan-potongan besi) itu telah sama tinggi dengan kedua (puncak) gunung itu, dia berkata, 'Tiup (api) itu!' Hingga ketika (besi) itu telah menjadi merah seperti api, dia pun berkata, 'Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar kutuangkan ke atasnya.'"
Ayat ini adalah deskripsi detail yang menakjubkan tentang kejeniusan rekayasa dan kepemimpinan Dhul-Qarnayn, menunjukkan bahwa ia tidak hanya seorang pemimpin militer tetapi juga seorang insinyur dan ahli metalurgi yang ulung. Ia memulai dengan meminta "آتُونِي زُبَرَ الْحَدِيدِ" (atuni zubara al-hadid), "Berilah aku potongan-potongan besi". Ini menunjukkan bahwa ia merencanakan struktur inti yang sangat kuat dan tahan lama, bukan hanya dinding batu bata atau tanah liat. Potongan-potongan besi ini kemudian disusun sedemikian rupa "حَتَّىٰ إِذَا سَاوَىٰ بَيْنَ الصَّدَفَيْنِ" (hatta idza sawa bayna ash-shadafayn), "hingga apabila (potongan-potongan besi) itu telah sama tinggi dengan kedua (puncak) gunung itu". Ini menggambarkan skala proyek yang luar biasa; dinding tersebut dibangun hingga setinggi dua puncak gunung yang mengapit celah tersebut, secara efektif menutup seluruh jalur dan menjadikannya tak bisa dilewati dari atas.
Setelah struktur besi dasar terbentuk dan mencapai ketinggian yang diinginkan, Dhul-Qarnayn memerintahkan, "قَالَ انفُخُوا" (qala unfukhu), "Tiup (api) itu!". Ini berarti mereka menggunakan alat tiup atau tungku besar dengan intensitas tinggi untuk memanaskan tumpukan besi tersebut dengan api yang sangat panas. Tujuan dari proses pemanasan ekstrem ini adalah untuk membuat besi menjadi "نَارًا" (naran), "merah seperti api" atau bahkan mencapai titik leleh. Proses ini menunjukkan penggunaan teknologi metalurgi yang canggih dan pemahaman mendalam tentang sifat-sifat material pada masanya, sesuatu yang luar biasa untuk ukuran zaman kuno.
Langkah terakhir dalam konstruksi adalah ketika besi telah mencapai suhu ekstrem, Dhul-Qarnayn berkata, "قَالَ آتُونِي أُفْرِغْ عَلَيْهِ قِطْرًا" (qala atuni ufrigh 'alayhi qitran), "Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar kutuangkan ke atasnya". Kata "قِطْرًا" (qitran) dalam bahasa Arab merujuk pada tembaga cair atau logam cair lainnya yang sangat kuat dan memiliki titik leleh yang lebih rendah dari besi, memungkinkan ia meresap ke dalam celah-celah besi yang sudah membara. Dengan menuangkan tembaga cair di atas besi yang sudah dipanaskan hingga membara, Dhul-Qarnayn menciptakan sebuah paduan logam yang sangat kuat, padat, dan tidak dapat ditembus. Tembaga cair akan menyatukan potongan-potongan besi, mengisi semua celah, dan membentuk sebuah dinding monolitis yang sangat solid, tahan korosi, dan tahan lama. Hasilnya adalah benteng yang tidak hanya tinggi tetapi juga sangat padat dan homogen.
Proyek ini bukan hanya menunjukkan kekuatan fisik dan mobilisasi massa, tetapi juga kecerdasan teknis, perencanaan yang matang, dan inovasi dari Dhul-Qarnayn. Ia adalah seorang pemimpin yang tidak hanya mampu memobilisasi tenaga kerja, tetapi juga memahami ilmu material dan konstruksi untuk menciptakan sebuah benteng yang tak tertandingi di masanya, sebuah mahakarya rekayasa yang mencerminkan pertolongan dan ilham dari Allah.
فَمَا اسْطَاعُوا أَن يَظْهَرُوهُ وَمَا اسْتَطَاعُوا لَهُ نَقْبًا
"Maka mereka (Ya'juj dan Ma'juj) tidak dapat mendakinya dan tidak dapat (pula) melubanginya."
Ayat ini secara definitif menegaskan keberhasilan dan keampuhan dinding yang dibangun oleh Dhul-Qarnayn. Dengan bahan yang tepat (kombinasi besi dan tembaga) dan metode konstruksi yang inovatif serta kuat, dinding tersebut menjadi penghalang yang benar-benar tak tertembus bagi Ya'juj dan Ma'juj. Ini adalah puncak dari proyek besar tersebut, di mana tujuan utama, yaitu menghentikan kerusakan Ya'juj dan Ma'juj, telah tercapai dengan sempurna.
Frasa "فَمَا اسْطَاعُوا أَن يَظْهَرُوهُ" (fa ma ista'u an yazharuhu) berarti mereka tidak mampu "mendakinya" atau "memanjatnya". Ada beberapa alasan mengapa mereka tidak bisa melakukannya:
Lebih lanjut, "وَمَا اسْتَطَاعُوا لَهُ نَقْبًا" (wa ma istata'u lahu naqban) berarti mereka juga tidak mampu "melubanginya", "menembusnya", atau "merusaknya". Kombinasi besi dan tembaga cair menghasilkan material yang sangat padat, homogen, dan kuat, yang tidak dapat dirusak dengan peralatan atau kekuatan yang dimiliki Ya'juj dan Ma'juj pada saat itu. Kekuatan mereka, meskipun besar dalam menimbulkan kerusakan, ternyata tidak cukup untuk menembus benteng yang dibangun dengan ilmu dan pertolongan Allah ini. Mereka mungkin berusaha dengan segala cara, namun sia-sia.
Ayat ini memberikan gambaran tentang betapa mengerikannya Ya'juj dan Ma'juj, sehingga membutuhkan sebuah benteng yang sedemikian kokoh dan invulnertable. Pada saat yang sama, ia juga menunjukkan rahmat Allah kepada kaum yang tertindas, yang diberikan perlindungan abadi (untuk sementara waktu) melalui seorang pemimpin yang saleh dan bijaksana. Keberadaan dinding ini bukan hanya berfungsi sebagai perlindungan fisik, tetapi juga sebagai simbol dari perlindungan ilahi dan kekuatan iman yang mampu mengatasi kesulitan besar. Meskipun Ya'juj dan Ma'juj adalah makhluk yang sangat kuat dan merusak, mereka tetap terhalang oleh sebuah konstruksi yang diciptakan dengan izin dan pertolongan Allah.
قَالَ هَٰذَا رَحْمَةٌ مِّن رَّبِّي ۖ فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ رَبِّي جَعَلَهُ دَكَّاءَ ۖ وَكَانَ وَعْدُ رَبِّي حَقًّا
"Dia (Dhul-Qarnayn) berkata, 'Ini (dinding) adalah rahmat dari Tuhanku; tetapi apabila janji Tuhanku tiba, Dia akan menghancurkannya dan janji Tuhanku itu adalah benar.'"
Setelah proyek raksasa selesai dan terbukti sangat efektif, Dhul-Qarnayn tidak mengambil pujian, sanjungan, atau kemuliaan untuk dirinya sendiri. Sebaliknya, ia menunjukkan kerendahan hati yang luar biasa dan ketakwaan yang mendalam dengan mengatakan, "قَالَ هَٰذَا رَحْمَةٌ مِّن رَّبِّي" (qala hadha rahmatun min Rabbi), "Dia (Dhul-Qarnayn) berkata, 'Ini adalah rahmat dari Tuhanku'". Ia secara tegas mengakui bahwa semua keberhasilan, kekuatan, pengetahuan, dan kemampuan yang ia miliki untuk membangun dinding maha karya ini adalah semata-mata anugerah, karunia, dan rahmat dari Allah SWT. Sikap ini adalah esensi dari tauhid, mengembalikan segala kebaikan dan kekuatan kepada Sang Pencipta. Ini adalah pelajaran penting bagi setiap pemimpin dan individu: semua keberhasilan, capaian, dan fasilitas yang dinikmati harus dikembalikan dan disyukuri kepada Sang Pemberi rezeki, bukan menjadi sumber kesombongan.
Bagian kedua dari ayat ini mengandung nubuat penting dan mendalam tentang akhir zaman: "فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ رَبِّي جَعَلَهُ دَكَّاءَ" (fa idza ja'a wa'du Rabbi ja'alahu dakka'), "tetapi apabila janji Tuhanku tiba, Dia akan menghancurkannya (dinding) dan menjadikannya rata dengan tanah". Ini adalah prediksi tentang kehancuran dinding tersebut di masa depan, yang akan menjadi salah satu tanda dekatnya Hari Kiamat. Kata "دَكَّاءَ" (dakka') berarti rata dengan tanah, hancur lebur, menjadi puing-puing. Ini menunjukkan bahwa meskipun dinding itu kokoh, sebuah keajaiban teknik pada masanya, ia tidak akan bertahan selamanya. Hanya Allah yang Maha Kekal, dan segala ciptaan-Nya memiliki batas waktu dan akan kembali kepada kehancuran sesuai kehendak-Nya.
Nubuat ini mengajarkan beberapa hal:
وَتَرَكْنَا بَعْضَهُمْ يَوْمَئِذٍ يَمُوجُ فِي بَعْضٍ ۖ وَنُفِخَ فِي الصُّورِ فَجَمَعْنَاهُمْ جَمْعًا
"Pada hari itu Kami biarkan mereka (Ya'juj dan Ma'juj) bergelombang antara satu sama lain, dan ditiuplah sangkakala lalu Kami kumpulkan mereka semuanya."
Ayat terakhir dalam rangkaian ini menguraikan konsekuensi langsung dari kehancuran dinding dan kemunculan Ya'juj dan Ma'juj, menghubungkannya dengan peristiwa-peristiwa besar di akhir zaman hingga hari kebangkitan. Frasa "يَوْمَئِذٍ" (yawma'idhin), "Pada hari itu" mengacu pada waktu ketika janji Allah tiba, yaitu ketika dinding Dhul-Qarnayn dihancurkan dan Ya'juj dan Ma'juj akhirnya dilepaskan dari kurungan mereka.
Pada saat itu, "وَنَتَرَكْنَا بَعْضَهُمْ يَمُوجُ فِي بَعْضٍ" (wa tarakna ba'dhahum yamuju fi ba'dhin), "Kami biarkan mereka (Ya'juj dan Ma'juj) bergelombang antara satu sama lain". Kata "yamuju" (bergelombang) adalah metafora yang sangat kuat dan deskriptif. Ia menggambarkan jumlah mereka yang sangat besar, kekacauan yang mereka timbulkan, dan kecepatan penyebaran mereka. Mereka akan menyebar ke seluruh penjuru bumi seperti gelombang air bah yang meluap, tanpa arah yang jelas, saling bertumbukan, berdesakan, dan menghancurkan segala sesuatu yang dilaluinya. Ini adalah gambaran tentang invasi yang dahsyat, tak terbendung, dan menimbulkan kekacauan massal yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kekuatan dan jumlah mereka akan begitu besar sehingga tidak ada kekuatan manusia yang mampu melawan atau menahan laju mereka.
Kemudian, ayat ini beralih ke peristiwa yang lebih besar lagi, yaitu salah satu tanda Kiamat yang paling fundamental: "وَنُفِخَ فِي الصُّورِ" (wa nufikha fis-Sur), "dan ditiuplah sangkakala". Tiupan sangkakala ini merujuk pada salah satu dari dua tiupan utama:
Ayat ini dengan demikian menghubungkan peristiwa kemunculan Ya'juj dan Ma'juj secara langsung dengan Hari Kiamat dan hari kebangkitan. Ini menegaskan bahwa kemunculan mereka bukanlah akhir dari segalanya, melainkan hanya salah satu tahap penting menuju hari perhitungan yang lebih besar dan tak terhindarkan. Ini adalah pengingat bahwa semua yang terjadi di dunia ini, baik kejadian besar maupun kecil, adalah bagian dari rencana ilahi yang lebih besar, yang puncaknya adalah pertanggungjawaban di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa. Umat Muslim diajak untuk merenungkan akhir dari perjalanan hidup ini dan mempersiapkan diri sebaik mungkin.
Pertanyaan tentang Ya'juj dan Ma'juj (Gog dan Magog) telah menjadi bahan diskusi dan penelitian yang intens di kalangan ulama dan sejarawan Islam selama berabad-abad. Mereka disebutkan dalam Al-Qur'an dan beberapa hadits Nabi Muhammad SAW sebagai kaum perusak yang akan muncul di akhir zaman sebagai salah satu tanda besar kiamat. Pemahaman tentang mereka adalah bagian integral dari akidah Islam, khususnya yang berkaitan dengan eskatologi (ilmu tentang hari akhir).
Al-Qur'an secara eksplisit menggambarkan Ya'juj dan Ma'juj sebagai "مُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ" (mufsiduna fil-ardh), yaitu kaum yang secara inheren membuat kerusakan di muka bumi. Hadits-hadits Nabi Muhammad SAW memberikan detail tambahan yang memperkaya pemahaman kita tentang mereka:
Kemunculan Ya'juj dan Ma'juj adalah salah satu dari sepuluh tanda besar Hari Kiamat. Menurut riwayat-riwayat hadits yang shahih, mereka akan muncul setelah peristiwa besar lainnya: setelah kedatangan Dajjal dan turunnya Nabi Isa AS ke bumi. Nabi Isa AS, bersama kaum mukminin yang selamat dari fitnah Dajjal, akan berlindung di sebuah bukit di Yerusalem, yaitu bukit Thur, karena Allah telah memberitahunya bahwa tidak ada yang mampu melawan Ya'juj dan Ma'juj.
Ketika Ya'juj dan Ma'juj telah menyebar ke seluruh penjuru bumi dan menyebabkan kerusakan yang sangat parah, hingga tidak ada lagi tempat berlindung bagi manusia, Nabi Isa AS dan kaum mukminin akan berdoa kepada Allah untuk membinasakan mereka. Doa ini akan dikabulkan Allah. Proses pembinasaan mereka dijelaskan dalam hadits: Allah akan mengirimkan ulat-ulat kecil (disebut juga naghaf atau cacing yang biasa menyerang hidung unta) ke leher mereka. Ulat-ulat ini akan menyebabkan kematian mereka secara massal dalam satu malam, sehingga bumi akan dipenuhi dengan bangkai-bangkai mereka yang membusuk.
Setelah itu, Allah akan mengirimkan burung-burung besar yang lehernya seperti leher unta untuk membawa bangkai-bangkai mereka ke tempat yang dikehendaki Allah, membersihkan bumi dari kekotoran tersebut. Kemudian, hujan lebat akan turun untuk membersihkan bumi dari bau dan sisa-sisa mereka, sehingga bumi kembali bersih dan wangi. Setelah peristiwa ini, bumi akan menjadi makmur dan penuh berkah selama masa kepemimpinan Nabi Isa AS.
Lokasi persis dinding Dhul-Qarnayn dan tempat Ya'juj dan Ma'juj terkurung telah menjadi subjek banyak spekulasi dan perdebatan di kalangan sejarawan dan geografer Muslim maupun non-Muslim. Berbagai lokasi telah diusulkan, mulai dari Tembok Besar Tiongkok, pegunungan Kaukasus (khususnya celah Darial atau Derbent), hingga lokasi-lokasi hipotetis di Siberia atau Asia Tengah yang kini tertutup gletser atau formasi geologi lainnya. Namun, tidak ada bukti geografis yang pasti, baik dari arkeologi maupun eksplorasi modern, yang secara definitif dapat mengidentifikasi lokasi tersebut sesuai dengan deskripsi Al-Qur'an.
Para ulama modern lebih cenderung menafsirkan bahwa dinding tersebut mungkin berada di lokasi yang tidak diketahui oleh manusia saat ini, atau bahkan mungkin telah hancur dan menjadi bagian dari lanskap alami yang kini tak dikenali. Al-Qur'an sendiri sengaja tidak memberikan detail geografis yang memungkinkan identifikasi pasti, agar fokus pelajaran tidak bergeser dari esensi kisah dan hikmahnya. Tujuan utama Al-Qur'an adalah menyampaikan pesan ilahi, bukan buku geografi atau sejarah detail.
Penting untuk dicatat bahwa dinding ini adalah sebuah mukjizat teknik yang dibangun dengan izin dan pertolongan Allah. Fungsinya bukan hanya fisik, tetapi juga sebagai tanda kebesaran Allah dan ujian bagi umat manusia tentang janji-janji-Nya di akhir zaman. Dalam hadits disebutkan bahwa setiap hari, Ya'juj dan Ma'juj berusaha menggali dinding tersebut. Mereka terus menggali hingga hampir menembus, namun menjelang malam, mereka berkata, "Besok kita akan melanjutkannya." Allah selalu mengembalikan dinding itu ke kondisi semula. Ini terus berulang hingga pada suatu hari, dengan izin Allah, mereka akan berkata, "Insya Allah (jika Allah menghendaki), besok kita akan melanjutkannya." Pada saat itulah dinding itu akan hancur dan mereka akan bebas, memenuhi janji Allah SWT (HR. Ibnu Majah, Tirmidzi).
Kisah Dhul-Qarnayn dan Ya'juj dan Ma'juj, sebagaimana diuraikan dalam Surah Al-Kahf, mengandung banyak pelajaran berharga dan mendalam yang relevan bagi umat manusia di setiap zaman, melampaui batas geografis dan temporal. Ini adalah panduan tentang kepemimpinan, iman, etika, dan persiapan menghadapi masa depan.
Dhul-Qarnayn adalah prototipe pemimpin ideal dalam Islam. Ciri-ciri kepemimpinannya adalah teladan yang harus diikuti:
Kisah ini dengan jelas menyinggung tentang "janji Tuhanku" (wa'du Rabbi) yang pasti akan datang. Ini mengacu pada Hari Kiamat dan peristiwa-peristiwa besar yang mendahuluinya, termasuk kemunculan Ya'juj dan Ma'juj. Ini adalah pengingat bagi umat Muslim untuk selalu waspada dan mempersiapkan diri menghadapi akhir zaman dengan memperkuat iman dan amal saleh. Kiamat bukanlah cerita fiksi, melainkan realitas yang pasti terjadi.
Iman kepada hari akhir, beserta tanda-tandanya, adalah salah satu rukun iman. Kisah ini memperkuat keyakinan tersebut dan mendorong kita untuk merenungkan makna keberadaan kita di dunia yang fana ini. Ia juga mengajarkan bahwa tidak ada kekuatan di bumi yang dapat menghalangi kehendak Allah. Dinding yang begitu kokoh pun akan hancur pada waktu yang telah ditetapkan, menunjukkan bahwa segala sesuatu di dunia ini bersifat sementara dan fana, kecuali Wajah Allah SWT.
Kaum yang menderita akibat Ya'juj dan Ma'juj memohon pertolongan kepada Dhul-Qarnayn dengan tulus dan putus asa. Permohonan tulus mereka dijawab oleh Allah melalui tangan seorang pemimpin yang saleh, yang datang membawa solusi efektif. Ini menunjukkan bahwa Allah SWT selalu mendengar doa hamba-hamba-Nya yang tertindas dan akan memberikan pertolongan melalui berbagai cara yang tak terduga, bahkan di tempat-tempat terpencil.
Ini juga mengajarkan pentingnya untuk tidak berputus asa di tengah kesulitan dan untuk selalu mencari solusi, baik secara spiritual (dengan doa dan tawakal) maupun dengan berusaha secara fisik (dengan akal dan tenaga), sambil tetap berserah diri kepada Allah. Pertolongan Allah datang kepada mereka yang beriman dan berusaha.
Pembangunan dinding Dhul-Qarnayn adalah contoh luar biasa dari aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang canggih untuk tujuan yang mulia. Penggunaan besi dan tembaga, serta proses pemanasan dan pencampuran logam pada skala masif, menunjukkan pengetahuan metalurgi yang maju pada masanya. Ini mengajarkan bahwa Islam tidak menolak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan mendorong umatnya untuk menguasai dan memanfaatkannya demi kebaikan umat manusia dan untuk menegakkan keadilan di muka bumi.
Namun, penting juga untuk diingat bahwa teknologi ini hanyalah sarana. Kekuatan sejati datang dari Allah, dan keberkahan dalam penggunaannya hanya datang dengan niat yang benar, moral yang luhur, dan ketaatan kepada-Nya. Ilmu tanpa iman bisa menjadi bencana.
Meskipun Dhul-Qarnayn adalah pemimpin yang hebat dan memiliki sumber daya besar, ia tidak segan meminta bantuan dari kaum yang ia lindungi. Ia meminta mereka untuk membantunya dengan kekuatan dan tenaga, "فَأَعِينُونِي بِقُوَّةٍ". Ini menunjukkan pentingnya kerjasama, gotong royong, dan pemberdayaan masyarakat dalam menyelesaikan masalah besar. Sebuah proyek besar tidak dapat diselesaikan oleh satu individu atau satu pihak saja, tidak peduli seberapa hebatnya dia. Keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan juga menumbuhkan rasa kepemilikan, tanggung jawab bersama, dan memperkuat ikatan sosial.
Keberadaan Ya'juj dan Ma'juj yang membuat kerusakan adalah ujian bagi umat manusia. Bagaimana manusia merespons ancaman tersebut, apakah dengan keputusasaan dan kehancuran moral atau dengan mencari solusi, berdoa, dan meminta pertolongan Allah, adalah bagian dari ujian tersebut. Kisah ini juga mengingatkan bahwa dunia ini adalah tempat ujian, dan tantangan serta kesulitan akan selalu ada. Yang membedakan adalah bagaimana kita menghadapinya: dengan kesabaran, keimanan, dan usaha, atau dengan menyerah pada keputusasaan.
Meskipun kisah ini terjadi di masa lampau dan melibatkan makhluk-makhluk yang sebagian besar masih tersembunyi dari pandangan kita, pesan-pesannya tetap sangat relevan dan mendalam bagi dunia modern. Ayat-ayat ini bukan hanya narasi historis, tetapi juga pelajaran eskatologis dan moral yang relevan hingga hari ini.
Beberapa ulama dan pemikir kontemporer mencoba menafsirkan konsep "Ya'juj dan Ma'juj" dalam konteks modern sebagai sebuah metafora. Meskipun Ya'juj dan Ma'juj yang sebenarnya adalah entitas fisik yang akan muncul di akhir zaman, sifat "pembuat kerusakan di bumi" dapat menjadi metafora untuk berbagai ancaman destruktif yang dihadapi umat manusia saat ini. Ancaman-ancaman ini, seperti Ya'juj dan Ma'juj, bersifat masif, sulit dikendalikan, dan menimbulkan kekacauan luas:
Kisah Dhul-Qarnayn adalah panggilan untuk aktif mencegah kerusakan dan menegakkan keadilan. Dhul-Qarnayn tidak menunggu Ya'juj dan Ma'juj menyerang dan menghancurkan, tetapi ia proaktif membangun pertahanan yang kokoh. Ini mengajarkan kita untuk tidak pasif menghadapi masalah, tetapi mencari solusi yang efektif, inovatif, dan berkelanjutan. Sikap proaktif adalah kunci dalam menghadapi tantangan.
Dalam konteks saat ini, ini berarti memerangi kemiskinan, ketidakadilan, korupsi, dan kerusakan lingkungan dengan segala daya upaya. Ini juga berarti membangun sistem pendidikan yang kuat, lembaga-lembaga yang transparan, dan masyarakat yang berlandaskan nilai-nilai etika dan moral yang tinggi, yang dapat melindungi masyarakat dari berbagai bentuk eksploitasi dan penindasan.
Kisah ini juga memberikan harapan besar. Bahkan di hadapan ancaman yang mengerikan seperti Ya'juj dan Ma'juj, Allah memberikan jalan keluar melalui hamba-Nya yang saleh dan beriman. Ini menegaskan bahwa tidak ada masalah yang terlalu besar bagi Allah, dan bahwa dengan iman yang kuat, kesabaran, serta usaha yang gigih, solusi dapat ditemukan, bahkan untuk tantangan yang tampak mustahil.
Bagi umat Muslim, ini adalah pengingat untuk selalu beroptimis dan percaya pada pertolongan Allah, bahkan ketika menghadapi tantangan global yang tampak tak teratasi. Ini juga merupakan pengingat bahwa tujuan hidup ini bukan hanya kenikmatan dunia, tetapi juga persiapan untuk kehidupan akhirat. Dengan memahami dan merenungkan kisah-kisah Al-Qur'an, iman kita akan semakin kuat, dan kita akan lebih siap menghadapi segala takdir Allah SWT.
Kisah Dhul-Qarnayn dan dinding yang dibangunnya untuk membendung Ya'juj dan Ma'juj, sebagaimana diuraikan dalam Surah Al-Kahf ayat 92-99, adalah salah satu narasi paling kaya, mendalam, dan inspiratif dalam Al-Qur'an. Ia bukan sekadar cerita sejarah atau legenda kuno, melainkan sebuah sumber hikmah yang abadi, petunjuk bagi kepemimpinan yang benar, dan pengingat akan janji-janja Allah yang pasti akan terwujud. Kisah ini mengajarkan kita tentang hakikat kekuasaan, keadilan, kerendahan hati, dan pertolongan ilahi.
Melalui ayat-ayat ini, kita belajar tentang sifat seorang pemimpin yang ideal: rendah hati di hadapan Allah, adil kepada sesama tanpa memandang status atau kepercayaan, bijaksana dalam mengambil keputusan strategis, dan gigih dalam berjuang demi kebaikan. Kita juga diingatkan akan keberadaan kekuatan-kekuatan perusak di dunia ini, baik dalam bentuk fisik Ya'juj dan Ma'juj yang sesungguhnya maupun dalam bentuk metaforis dari berbagai ancaman modern yang mengganggu kedamaian dan kesejahteraan umat manusia.
Pembangunan dinding itu sendiri adalah sebuah pelajaran monumental tentang kekuatan iman yang digabungkan dengan akal, ilmu pengetahuan, dan usaha manusia yang maksimal. Ia menunjukkan bahwa dengan izin dan pertolongan Allah, bahkan masalah yang paling menakutkan dan tantangan yang tampak mustahil pun dapat dihadapi dan diatasi, meskipun hanya untuk waktu yang ditentukan oleh-Nya. Ini adalah bukti bahwa Allah tidak akan membiarkan hamba-hamba-Nya yang beriman dan berusaha tanpa pertolongan.
Akhirnya, kisah ini menuntun kita pada perenungan yang lebih dalam tentang akhir zaman. Nubuat tentang kehancuran dinding, kemunculan Ya'juj dan Ma'juj yang kemudian disusul dengan tiupan sangkakala, dan pengumpulan seluruh makhluk, adalah pengingat akan realitas Hari Kiamat yang tak terhindarkan. Ini adalah seruan untuk mempersiapkan diri, untuk hidup dengan penuh kesadaran akan tujuan akhir kita, dan untuk senantiasa mencari keridhaan Allah dalam setiap langkah yang kita ambil, menjadikan setiap tindakan sebagai ibadah dan bekal menuju kehidupan abadi.
Semoga telaah mendalam Surah Al-Kahf 92-99 ini semakin memperkaya pemahaman kita tentang keagungan Al-Qur'an dan menginspirasi kita untuk menjadi hamba Allah yang lebih baik, pemimpin yang lebih adil dan bertanggung jawab, serta individu yang senantiasa berkontribusi pada kebaikan di muka bumi, sambil menantikan janji-janji-Nya yang pasti datang dengan penuh keimanan dan ketakwaan. Amin.